Senin, 16 Juni 2014

TANGGAPAN: WAHABI MEMALSUKAN PERKATAAN IMAM MALIK RAHIMAHULLAH

Penulis: Rizki Maulana

Ada seseorang yang menamakan dirinya sebagai Abu Salafy yang mengatakan bahwa Wahaby-Salafy (yang kemudian ia sebut sebagai Mujassimah – sebagaimana kebiasannya) telah berdusta atas nama Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah. Berikut perkataannya sebagaimana yang tertera di http://abusalafy.wordpress.com/2008/05/19/kaum-wahhabiyah-mujassimah-memalsu-atas-nama-salaf-2/ :

Kaum Mujassimah Berbohong Atas Nama Imam Malik

Selain memalsu atas nama Abu Hanifah, kaum Mujassimah juga memalsu atas nama Imam Malik.

Mereka mangatakan bahwa Imam Malik berkata:

الاستواء معلوم والكيف مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة.
“Istiwâ’ sudah diketahui, kaif (cara/bentuk) tidak diketahui, beriman kepadanya adalah wajib dan bertanya tentangnya adalah bid’ah.”

Abu Salafy:

Ucapan itu tidak benar pernah diucapkan oleh Imam Malik, baik dengan sanad riwayat shahih, hasan maupun dhaif dengan kedha’ifan ringan. Barang siapa mengaku selain itu hendaknnya ia membawakan bukti dan menjelaskannya. Dan kami insyaallah siap mendiskusikannya di sini.

Stitmen benar pernah diucapkan Imam Malik adalah:

الكيف غير معقول والاستواء منه غير مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة.
“Al kaif/bentuk/cara tidak masuk akal/tidak bisa diakal-akalkan, istiwâ’ tidak majhûl, beriman kepadanya adalah wajib dan bertanya tentangnya adalah bid’ah (baru dimana sebbelumnya tidak ada).”

Ucapan ini jelas membubarkan anggapan kaum Mujassimah.

Khusus “perkataan memalsu atas nama Abu Hanifah rahimahulah mungkin kita tunda pembahasannya. Silakan perhatikan baik-baik apa yang dikatakannya di atas. Anda katakan bahwa “Salafy-Wahabiy” memalsu perkataan Al-Imam Malik dan menyembunyikan perkataan beliau dengan lafadh yang sebenarnya. Maka saya katakan :

1.        Jika yang Anda maksud adalah bahwa “Salafy-Wahabiy” yang Anda anggap sebagai Mujassimah adalah orang yang membuat-buat perkataan tersebut, maka itu adalah keliru.Perkataan Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah :

الاستواء معلوم والكيف مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة.
Istiwaa’ itu telah diketahui (maknanya), kaifiyah-nya tidak diketahui (majhuul), beriman kepadanya adalah wajib, dan menanyakan tentangnya adalah bid’ah”

bukanlah buatan Salafy-Wahabiy. Apakah Anda tidak pernah membuka-buka kitab sehingga bisa menemukan perkataan Al-Imam Malik bin Anas ini dari para ulama terdahulu ? Simak perkataan Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah dalam Tafsir-nya :

قال مالك رحمه الله: الاستواء معلوم - يعني في اللغة – والكيف مجهول، والسؤال عن هذا بدعة. وكذا قالت أم سلمة رضي الله عنها
“Telah berkata Malik rahimahullah : ‘Al-Istiwaa’ adalah diketahui (ma’luum) – yaitu (diketahui) dalam bahasa (‘Arab) – , kaifiyah-nya tidak diketahui (majhuul), bertanya tentang hal ini adalah bid’ah’. Hal yang sama juga dikatakan oleh Ummu Salamah radliyallaahu ‘anhaa” [Tafsir Al-Qurthubi (Al-Jaami’ li-Ahkaamil-Qur’aan), 7/219-220, tahqiq : Hisyaam Samiir Al-Bukhariy; Daar ‘Aalamil-Kutub, Cet. Thn. 1423, Riyadl – atau 9/239, tahqiq : Dr. ‘Abdullah bn ‘Abdil-Muhsin At-Turkiy; Muassasah Ar-Risalah, Cet. 1/1427, Beirut]

Juga Al-Ghazzaaliy dengan lafadh :

.....واتباع ما تشابه من الكتاب والسنة. كما روي عن مالك - رحمه الله- أنه سُئل عن الاستواء، فقال: "الاستواء معلوم، والإيمان به واجب، والكيفية مجهولة، والسؤال عنه بدعة
“……Dan mengikuti apa-apa serupa dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebagaimana diriwayatkan dari Maalik rahimahullah bahwasannya ia pernah ditanya tentang al-istiwaa’. Maka beliau menjawab : ‘Al-Istiwaa’ itu diketahui (ma’luum), beriman kepadanya adalah wajib, kaifiyah-nya tidak diketahui (majhuul), dan bertanya tentangnya dalah bid’ah” [Fashlut-Tafriqah Bainal-Kufr waz-Zindiqah, hal. 88; Cet. 1/1353 H].

Juga Al-Imam Abu Bakr bin Al-‘Arabiy rahimahullah dengan lafadh :

وقال مالك أنه لم يتأول. ومذهب مالك رحمه الله أن كل حديث منها معلوم المعنى ولذلك قال للذي سأله : الاستواء معلوم والكيفية مجهولة
“Dan telah Malik bahwasannya ia tidak men-ta’wil-kannya. Madzhab Malik rahimahullah mengatakan bahwa semua hadits tentang sifat adalah diketahuinya maknanya. Oleh karena itu beliau berkata kepada orang yang bertanya kepadanya : ‘Al-Istiwaa’ diketahui (ma’luum), kaifiyyah-nya tidak diketahui (majhuul)” [‘Aaridlatul-Ahwadziy, 3/166; Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun].

Al-Imam Al-Juwainiy rahimahullah dengan lafadh :

الاستواء معلوم والكيفية مجهولة والسؤال عنه بدعه
Al-Istiwaa itu diketahui (ma’luum), kaifiyyah-nya tidak diketahui (majhuul), dan bertanya tentangnya adalah bid’ah” [Al-‘Aqiidah An-Nidhaamiyyah, hal. 23; Mathbaqah Al-Anwaar, Cet. Thn. 1948, Kairo].

Dan yang lainnya.

Apakah di sini Anda akan mengatakan bahwa Al-Juwainiy, Al-Qurthubiy, Ibnul-‘Arabiy, Al-Ghazaliy, dan yang lainnya yang menukil perkataan Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah dengan lafadh : Al-Istiwaa’ ma’luumun (istiwaa’ itu diketahui)…dst. adalah pendusta atau telah melakukan pemalsuan sebagaimana perkataan yang Anda alamatkan pada Wahaby-Salafy ? Saya kira tidak, dan semoga saja tidak. Anda lakukan itu hanyalah karena sentimen terhadap ‘Salafy-Wahabiy’. 

Lazim diketahui bahwa diperbolehkan membawa perkataan secara makna dari perkataan ulama selama makna tersebut tidak terlalu melenceng/berbeda dengan perkataan yang sebenarnya. Para ulama memberi kelonggaran dalam permasalahan nukilan ini, kecuali jika nukilan tersebut bertentangan dengan perkataan yang asli. Ini wajib diingkari. Kelonggaran yang diberikan ulama dalam menukil perkataan ulama lain ini salah satunya disebabkan karena penukilan tersebut hanya ingin mengambil faedah. Selain itu, ia juga bukan nukilan hadits yang menuntut sama seperti sumbernya. Bahkan, dalam hadits pun sering kita temui para ulama menukil secara makna. Saya berikan contoh : Hadits yang disebutkan oleh Al-Imam An-Nawawi dalam Al-Arba’uun (hadits no. 28) :

أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ،
“Aku wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah ‘azza wa jalla, mendengar dan taat kepada pemimpin kalian meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak”.

Perhatikan kalimat yang saya garis bawah. An-Nawawi rahimahullah menisbatkan hadits di atas kepada Sunan Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Coba Anda cek di dua kitab Sunan tersebut. Atau dalam kitab hadits yang enam. Insya Allah Anda tidak akan mendapati lafadh seperti itu. Beliau (Al-Imam An-Nawawi rahimahullah) membawakan hadits tersebut secara makna. Kalaupun Anda ingin mengoreksi, Anda cukup mengatakan bahwa Al-Imam An-Nawawi rahimahullah keliru dalam masalah ini. Tidak perlu Anda katakan bahwa beliau telah memalsu periwayatan/perkataan dari Al-Imam At-Tirmidzi dan Abu Dawud atau bahkan mengatakan memalsu perkataan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Oleh karena itu, sangat berlebihan kiranya jika ada orang yang menukil perkataan Al-Imam Malik secara makna Anda katakan sebagai pendusta, telah memalsukan, atau perkataan yang semisal.

Kesimpulan di point ini adalah bahwa tuduhan Anda bahwa Salafy Wahabiy memalsukan perkataan Al-Imam Malik rahimahullah adalah berlebihan, ceroboh, ngawur, lagi tidak benar.

2.        Perkataan Al-Imam Malik yang disertakan dengan sanadnya tentang istiwaa’ terdapat sedikit perbedaan lafadh namun yang mempunyai kemiripan satu dengan yang lainnya. Akan saya bawakan beberapa diantaranya :

Al-Imam Abu ‘Utsman Isma’il bin ‘Abdirrahman Ash-Shaabuniy rahimahullah (373-449 H) :

أخبرنا أبو محمد المخلدي العدل ، ثنا أبو بكر عبد الله بن محمد بن مسلم الإسفراييني، ثنا أبو الحسين علي بن الحسن، ثنا سلمة بن شبيب،ثنا مهدي بن جعفر بن ميمون الرملي ، عن جعفر بن عبد الله قال: جاء رجل إلى مالك بن أنس يعني يسأله عن قوله : الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى كيف استوى؟ قال فما رأيته وجد من شيء كوجده من مقالته ، وعلاه الرحضاء ، وأطرق القوم ؛ فجعلوا ينتظرون الأمر به فيه ، ثم سُرِّي عن مالك فقال: ( الكيف غير معقول، والاستواء غير مجهول ، والإيمان به واجب ، والسؤال عنه بدعة ، وإني لأخاف أن تكون ضالاً ) ثم أمر به فأخرج
“Telah mengkhabarkan kepada kami Abu MuhammadAl-Mukhalladiy : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr ‘Abdullah bin Muhammad bin Muslim Al-Isfiraayiiniy : Telah menceritakan kepada kami Abul-Husain ‘Ali bin Al-Hasan : Telah menceritakan kepada kami Salamah bin Syabiib : Telah menceritakan kepada kami Mahdiy bin Ja’far bin Maimun Ar-Ramliy, dari Ja’far bin ‘Abdillah ia berkata : “Datang seorang laki-laki kepada Maalik bin Anas, yaitu menanyakan kepada beliau tentang firman Allah : ‘Ar-Rahman yang beristiwaa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy’ ; bagaimana istiwaa’-nya Allah itu ?”. Perawi berkata : “Belum pernah aku melihat beliau (Malik) marah sedemikian rupa seperti marahnya beliau kepada orang itu. Tubuhnya berkeringat, orang-orang pun terdiam. Mereka terus menantikan apa yang akan terjadi. Kemudian setelah keadaan Al-Imam Malik kembali normal, beliau berkata : “Kaifiyah-nya tidaklah dapat dinalar, istiwaa’ sendiri bukan sesuatu yang majhul, beriman kepada adalah wajib, dan bertanya tentangnya adalah bid’ah. Dan sesungguhnya aku takut kamu berada dalam kesesatan”. Kemudian beliau memerintahkan orang tersebut untuk dikeluarkan dari majelisnya [‘Aqidatus-Salaf Ashhaabil-Hadiits, hal. 38-39, tahqiq : Badr bin ‘Abdillah Al-Badr; Adlwaaus-Salaf, Cet. 2/1415].

Abu Bakr Ahmad bin Al-Husain Al-Baihaqiy rahimahullah (384-458 H) : 

أخبرنا أبو بكر أحمد بن محمد بن الحارث الفقيه الأصفهاني أنا أبو محمد عبد الله بن محمد بن جعفر بن حيان المعروف بأبي الشيخ ثنا أبو جعفر أحمد بن زيرك اليزدي سمعت محمد بن عمرو بن النضر النيسابوري يقول : سمعت يحيى بن يحيى يقول : كنا عند مالك بن أنس فجاء رجل فقال : يا أبا عبد الله الرحمن على العرش استوى، فكيف استوى؟ قال : فأطرف مالك رأسه حتى علاه الرحضاء ثم قال : الاستواء غير مجهول، والكيف غير معقول، والإيمان به واجب، والسؤال عنه بدعة، وما أراك إلا مبتدعًا. فأمر به أن يخرج
“Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr Ahmad bin Muhammad bin Al-Haarits Al-Faqiih Al-Ashfahaniy : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Muhammad ‘Abdullah bin Muhammad bin Ja’far bin Hayyaan yang terkenal dengan nama Abusy-Syaikh : Telah menceritakan kepada kami Abu Ja’far Ahmad bin Zairak Al-Yazdiy : Aku mendengar Muhammad bin ‘Amr bin An-Nadlr An-Naisaburiy berkata : Aku mendengar Yahya bin Yahya berkata : “Kami pernah berada bersama Maalik. Maka datanglah seorang laki-laki yang bertanya : ‘Ar-Rahman yang beristiwaa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy’; bagaimana Allah ber-istiwaa’ ?”. Perawi berkata : Malik pun memalingkan kepalanya hingga tubuhnya berkeringat. Kemudian beliau berkata : “Istiwaa’ itu tidaklah majhul, kaifiyah-nya tidak dapat dinalar, beriman kepadanya adalah wajib, dan bertanya tentangnya adalah bid’ah. Tidaklah aku melihatmu melainkan seorang mubtadi’”. Maka beliau memerintahkan agar orang tersebut dikeluarkan dari majelisnya” [Al-Asmaa’ wash-Shifaat, 2/305-306, tahqiq : ‘Abdullah bin Muhammad Al-Haasyidiy; Maktabah As-Suwaadiy]. 

Abul-Qaasim Hibatullah bin Al-Hasan Al-Laalika’iy rahimahullah (w. 418 H) :

ذكره علي بن الربيع التميمي المقري قال ثنا عبد الله ابن أبي داود قال ثنا سلمة بن شبيب قال ثنا مهدي بن جعفر عن جعفر بن عبد الله قال جاء رجل إلى مالك بن أنس فقال يا أبا عبد الله الرحمن على العرش استوى كيف استوى قال فما رأيت مالكا وجد من شيء كموجدته من مقالته وعلاه الرحضاء يعني العرق قال واطرق القوم وجعلوا ينتظرون ما يأتي منه فيه قال فسرى عن مالك فقال الكيف غير معقول والاستواء منه غير مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة فإني أخاف أن تكون ضالا وامر به فأخرج
Telah menyebutkan kepadanya ‘Aliy bin Ar-Rabii’ At-Tamimiy Al-Muqri’, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Abi Dawud, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Salamah bin Syabiib, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Mahdiy bin Ja’far, dari Ja’far bin ‘Abdillah, ia berkata : Datang seorang laki-laki kepada Maalik bin Anas. Ia berkata : “Wahai Abu ‘Abdillah, ‘Ar-Rahman yang beristiwaa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy’; bagaiman Allah beristiwaa’ ?”. Perawi berkata : “Belum pernah aku melihat beliau (Malik) marah sedemikian rupa seperti marahnya beliau kepada orang itu. Tubuhnya berkeringat, orang-orang pun terdiam. Mereka terus menantikan apa yang akan terjadi. Maka keadaan Al-Imam Malik kembali normal, beliau berkata : “Kaifiyah-nya tidaklah dapat dinalar, istiwaa’ sendiri bukan sesuatu yang majhul, beriman kepada adalah wajib, dan bertanya tentangnya adalah bid’ah. Dan sesungguhnya aku khawatir kamu berada dalam kesesatan”. Kemudian beliau memerintahkan orang tersebut untuk dikeluarkan dari majelisnya. [Syarh Ushuulil-I’tiqad Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah, hal. 398, tahqiq : Ahmad bin Mas’ud bin Hamdaan; desertasi S3].

Perhatikan apa yang tertulis di atas.

Jika yang Anda maksud adalah bahwa ‘Salafiy Wahabiy’ tidak pernah membawakan lafadh yang Anda bawakan, maka itu sangat tidak benar. Tiga matan kitab yang saya punyai dan sebutkan di atas semuanya di-takhrij dan di-tahqiq oleh ahli ilmu ‘Salafy-Wahabiy’ yang banyak dijual di pasaran dan disebarkan di berbagai media (termasuk internet). Selain itu, bertaburan kalimat Al-Imam Malik rahimahullah dengan lafadh-lafadhnya dibawakan dibawakan oleh ulama ‘Salafy-Wahabiy’. Saya ambil contoh :

Perkataan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah – tokoh pertama yang sangat Anda benci - :

وروى الثقاة عن مالك أن سائلا سأله عن قوله: {الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى} فقال: "الاستواء غير مجهول والكيف غير معقول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة
“Para perawi terpercaya telah meriwayatkan dari Maalik bahwasannya ada seorang penanya yang bertanya kepada beliau tentang firman Allah : ‘Ar-Rahman yang beristiwaa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy’, maka beliau berkata : ‘Al-Istiwaa’ itu tidaklah majhul, kaifiyah-nya (bagaimananya) tidak dapat dinalar, beriman kepadanya wajib, dan bertanya tentannya adalah bid’ah” [lihat Bayaan Talbiis Al-Jahmiyyah, 2/35; Muassasah Qurthubah].

Perkataan Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahullah – tokoh kedua yang sangat Anda benci - :

فالسلف لا يقولون بورود ما لا معنى له لا في الكتاب ولا في السنة, بل يقولون في الاستواء مثلا: الاستواء غير مجهول والكيف غير معقول والإقرار به إيمان, والجحود به كفر"
“Para ulama salaf tidaklah mengatakan terhadap nash-nash yang datang dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah itu tidak mempunyai makna. Namun mereka mengatakan dalam hal istiwaa’ – misalnya - : ‘Istiwaa’ itu tidaklah majhul, kaifiyyah-nya tidak dapat dinalar, menetapkannya adalah iman, dan mengingkarinya adalah kufur” [Masaailul-Jaahiliyyah, hal. 181, tahqiq : Yusuf bin Muhammad As-Sa’iid; Daarul-Majd, Cet. 1/1425 H].

Perkataan Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah – tokoh ketiga yang sangat Anda benci – saat menukil perkataan Ibnu Taimiyyah :

فقول ربيعة ومالك : الاستواء غير مجهول , والكيف غير معقول , والإيمان به واجب , موافق لقول الباقين : أمروها كما جاءت بلا كيف , فإنما نفوا على علم الكيفية ولم ينفوا حقيقة ......
“Perkataan Rabi’ah dan Maalik : ‘Al-Istiwaa’ tidaklah majhul, kaifiyyah-nya tidak dapat dinalar, dan beriman kepadanya adalah wajib; berkesesuaian dengan dengan perkataan yang lain : ‘Perlakukanlah ia (apa adanya) sebagaimana datangnya tanpa menanyakan bagaimana’. Sesungguhnya yang dinafikkan adalah ilmu tentang kaifiyyah, bukan menafikkan hakekat dari sifat itu sendiri…..” [Majmu’ Fataawaa wa Maqaalaat, 2/101].

Perkataan Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah – tokoh keempat yang sangat Anda benci – juga menukil dan menjelaskan perkataan Al-Imam Malik dan Rabi’ah (guru Al-Imam Malik) rahimahumallah dalam pengantar kitab Mukhtashar Al-‘Ulluw [hal. 36; Al-Maktab Al-Islamiy, Cet. 2/1412].

Masih sangat banyak hal yang dapat ditampilkan. Namun setidaknya beberapa contoh di atas sudah mencukupi, kecuali bagi mereka yang telah buta matanya. Tidak ada yang disembunyikan oleh ‘Wahabi-Salafiy’ – sebagaimana tersirat dalam tulisan Anda.

3.        Perkataan Anda : Ucapan ini jelas membubarkan anggapan kaum Mujassimah ; jika itu ditujukan kepada ‘Wahabi-Salafiy’, maka maaf : Anda telah salah alamat, salah berpikir, dan salah dalam berhujjah. Justru ucapan Al-Imam Malik tersebut menjadi hujjah dalam penetapan dhahir makna. Dan,…….. di bagian mana kalimat beliau yang dapat ‘membubarkan’ sebagaimana yang Anda klaim ? Dan apa pula yang ‘bubar’ itu ?

Makna perkataan Al-Imam Malik rahimahullah : ‘Al-Istiwaa’ tidaklah majhul, kaifiyyah-nya tidak dapat dinalar’ ; adalah makna istiwaa’ itu bukan sesuatu hal yang asing untuk dipahami. Dalam bahasa Arab, ghairu majhuul itu sangat identik dengan ma’luum alias diketahui (maknanya). Oleh karena itu, sebagian ulama membawakan perkataan Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah tersebut secara makna dengan lafadh : ‘al-istiwaa’u ma’luumun = istiwaa’ itu diketahui maknanya. Bukan dengan jalan ta’wil. 

 Persis seperti perkataan Al-Qurthubi rahimahullah :

الاستواء معلوم - يعني في اللغة
Istiwaa’ itu diketahui – yaitu dalam bahasa (‘Arab)”.

Jika disebutkan bahwa istiwaa’ itu ‘diketahui dalam bahasa’, maka artinya adalah diketahui maknanya dalam bahasa ‘Arab – yaitu makna dhahir, makna hakekat yang cepat ditangkap oleh indera dan pikiran.

Apabila Anda cermati perkataan orang yang bertanya kepada Malik bin Anas rahimahullah : “Wahai Abu ‘Abdillah, ‘Ar-Rahman yang beristiwaa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy’; bagaiman Allah beristiwaa’ ?” ; dapat diambil satu pengertian bahwa si penanya ini sudah mengerti hakekat makna istiwaa’, sehingga kemudian ia menanyakan bagaimananya istiwaa’ Allah itu dilakukan. Atas pertanyaan ini, Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah mengingkari pertanyaan kaifiyyah yang diajukan oleh orang tersebut. 

Maka, Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullah berkata :

هذا أن الظاهر يعني به أمران أحدهما أنه لا تأويل لها غير دلالة الخطاب كما قال السلف الإستواء معلوم وكما قال سفيان وغيره قراءتها تفسيرها يعني أنها بينة واضحة في اللغة لا يبتغى بها مضائق التأويل والتحريف وهذا هو مذهب السلف مع إتفاقهم أيضا أنها لا تشبه صفات البشر بوجه إذ الباري لا مثل له لا في ذاته ولا في صفاته
“Lebih jauh lagi, yang dhahir (nampak) – dari nash tersebut – terbagi menjadi dua macam : Pertama, tidak ada penakwilan padanya selain apa yang diindikasikan oleh redaksinya, sebagaimana yang dikatakan oleh ulama salaf : al-istiwaa’ ma’luumun (istiwaa’ itu diketahui maknanya). Sebagaimana juga yang dikatakan oleh Sufyan dan yang lainnya : ‘Apa yang dibaca itu adalah tafsirannya’. Maksudnya adalah bahwa kata tersebut amat jelas menurut bahasa. Tidak selayaknya diganggu dengan interpretasi  (ta’wil) dan penyelewengan makna (tahrif). Inilah madzhab salaf dan kesepakatan mereka bahwa sifat-sifat tersebut sama sekali tidak menyerupai sifat manusia, sebab Allah tidak ada permisalan bagi-Nya, tidak pada Dzat-Nya tidak pula pada sifat-Nya” [Al-‘Ulluw, hal. 183, tashhiih : ‘Abdurrahman Muhammad ‘Utsmaan; Al-Maktabah As-Salafiyyah, Cet. 2/1388 H].

Sekali lagi, mana kalimat yang Anda anggap sebagai ‘pembubaran’ itu ? Perkataan Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah adalah hujjah bagi kami untuk Anda, bukan sebaliknya. Sungguh sangat aneh bagi saya ketika Anda memakai perkataan Al-Imam Malik rahimahullah yang lain untuk menghujjahi kami :

الرحمن على العرش استوى كما وصف به نفسه ولا يقال كيف ، وكيف عنه مرفوع…
Ar Rahmân di atas Arys beristiwâ’ sebagaimana Dia mensifati Diri-Nya. Dan tidak boleh dikatakan: Bagaimana? Dan bagaimana itu terangkat dari-Nya… “.

Perkataan di atas adalah untuk menetapkan sifat istiwaa’ sebagaimana makna dhahir nash yang datang tanpa ta’wil, yaitu : sesuai dengan yang Allah sifatkan bagi diri-Nya. 

Untuk memperjelas, sebaiknya Anda memperhatikan perkataan Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah yang lain :

وقال عبد الله بن أحمد بن حنبل في الرد على الجهمية حدثني أبي حدثنا شريح بن النعمان عن عبد الله بن نافع قال قال مالك بن أنس : الله في السماء وعلمه في كل مكان لا يخلو منه شيء
Telah berkata ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam kitab Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah : Telah menceritakan kepadaku ayahku : Telah menceritakan kepada kami Syuraih bin An-Nu’maan, dari ‘Abdullah bin Naafi’, ia berkata : Telah berkata Maalik bin Anas : “Allah berada di atas langit dan ilmu-Nya ada di setiap tempat, tidak terlepas dari-Nya sesuatu” [Dikeluarkan oleh ‘Abdullah dalam As-Sunnah, hal. 5, Abu Dawud dalam Al-Masaail hal. 264, Al-Ajurriy hal. 279, dan lain-lain – lihat Al-‘Ulluw, hal. 103. Sanad riwayat ini shahih].

Ini sangat sesuai dengan penjelasan Al-Imam Mujahid rahimahullah – murid Ibnu ‘Abbas – mengenai firman Allah istawaa ‘alal-‘Arsy :

علا على العرش
“Ia berada tinggi di atas ‘Arsy” [HR. Al-Bukhari].

Sesuai pula dengan penjelasan Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu :

والعرش على الماء والله عز وجل على العرش يعلم ما أنتم عليه
“’Arsy berada di atas air, dan Allah ‘azza wa jalla berada di atas ‘Arsy, yang mengetahui apa-apa yang kalian lakukan” [HR. Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir; shahih].

Dari sini dapat kita ambil pemahaman bahwasannya istiwaa’ Allah itu adalah sesuai dhahirnya, bahwa Dia ber-istiwaa’ di atas langit, sedangkan ilmu-Nya berada di setiap tempat. Ini berbeda dengan ‘aqidah sebagian Asy’ariyyah yang meyakini bahwa Allah tidak berada di atas langit, namun ia berada di setiap tempat. Sebagian lagi mengatakan bahwa Allah itu tidak berada dimana-mana, tidak di dalam alam atau di luar alam. Tidak di atas, tidak di bawah. Jika kita tanya kepada mereka : “Dimanakah Allah ?”. Maka mereka menjawab dengan teori bermacam-macam dan jawaban yang susah dicerna lagi memusingkan kepala. 

Padahal Rasululah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah membenarkan jawaban seorang budak ketika beliau bertanya kepadanya : “Dimanakah Allah ?”. Maka budak tersebut menjawab : “Di atas langit” [Diriwayatkan oleh Muslim, Malik, Abu Dawud, An-Nasa’i, Ahmad, Ad-Daarimiy, dan yang lainnya].[1]
 
Maka, kita jika ditanya : “Dimanakah Allah ?”. Kita jawab dengan mudah dan singkat : “Di langit”. Ia ber-istiwaa’ (bersemayam) di atas langit. Namun nampaknya Abu Salafy dan orang yang sepahaman dengannya tidak cukup dengan jawaban yang tertera di dalam hadits ini.

Di akhir pembahasan ini dapat kita katakan bahwa seluruh tulisan dan ucapan Abu Salafy terhadap “Salafy-Wahabiy” (yang sebenarnya adalah Ahlus-Sunnah) yang berisi tuduhan pemalsuan perkataan Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah adalah tidak benar, keliru, kurang pengetahuan, ngawur, dan hanya omong kosong belaka. Apalagi jika ia ingin memakai perkataan tersebut untuk mendukung hujjahnya, maka klaim ini adalah salah alamat.

Semoga tulisan ini ada manfaatnya.  

Wallaahu a’lam bish-shawwaab.


[1]     Namun jawaban ini ternyata tidak memuaskan Al-Kautsariy sehingga membuat dia melemahkan hadits tersebut dengan banyak dalih yang tidak ilmiah (sebagaimana ta’liq-nya yang rusak terhadap kitab Al-Asmaa’ wash-Shifaat milik Al-Imam Al-Bahiaqiy, hal. 441-442). Penolakan Al-Kautsariy ini ternyata banyak diikuti oleh Asy’ariyyun secara membabi buta. Mereka tidak merasa cukup dengan hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan malah memalingkan jawabannya selainnya. Allaahul-Musta’an. Beginikah pengikut Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar