Selasa, 30 September 2014

DEFINISI AT-TAFWIDH DAN MAKNA HAKIKI

Penulis: Rizki Maulana
Allah ta’ala mengutus Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk menjelaskan kepada umatnya apa yang telah diturunkan kepada beliau berupa Al-Qur’an. Allah ta’ala berfirman :
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan” [QS. An-Nahl : 44].
وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ إِلا لِتُبَيِّنَ لَهُمُ الَّذِي اخْتَلَفُوا فِيهِ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
“Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman” [QS. An-Nahl : 64].

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ
“Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka” [QS. Ibraahiim : 4].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan sejelas-jelasnya kepada umatnya melalui perantaraan generasi pertama Islam (para shahabat), dan mereka pun (para shahabat) memahaminya karena Allah berfirman :
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ
“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur'an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” [QS. Al-Qamar : 17].
Tidak terkecuali dalam permasalahan sifat-sifat Allah. Pengetahuan akan (nama-nama), sifat-sifat, (dan perbuatan-perbuatan) Allah ta’ala merupakan bagian dari ma’rifatullah karena darinya lah pengetahuan-pengetahuan lain bercabang.
Salah satu prinsip Ahlus-Sunnah dalam perkara sifat-sifat Allah adalah beriman kepada sifat-sifat (Allah) tersebut sebagaimana yang terdapat dalam Kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam tanpa tahrif (penyelewengan makna), ta’thil (meniadakannya), takyif (menanyakan bagaimana/kaifiyyah), dan tamtsil (mempermisalkannya/menyamakannya dengan makhluk); dan mengimani bahwa Allah subhaanahu wa ta’ala tidak serupa dengan sesuatu apapun, Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat. Mereka (Ahlus-Sunnah) tidak menafikkan dari-Nya apa-apa yang Allah sifatkan bagi diri-Nya, tidak menyelewengkan kalimat dari makna asalnya, dan tidak pula berbuat ilhad (menentang) terhadap nama-nama dan ayat-ayat Allah, dan tidak pula menanyakan bagaimana (kaifiyah) dan menyamakan sifat-sifat-Nya dengan sifat-sifat makhluk-Nya [sebagaimana perkataan Ibnu Taimiyyah dalam kitab Al-‘Aqiidah Al-Waasithiyyah – melalui At-Ta’liiqaatuz-Zakiyyah ‘alal-‘Aqiidah Al-Waasithiyyah oleh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahmaan Al-Jibriin, 1/81-88; Daarul-Wathaan, Cet. 1/1419].
Mereka menetapkan ayat-ayat yang berbicara tentang sifat Allah, dan mereka pun mengetahui maknanya – sebagaimana hal itu menjadi konsekuensi ayat-ayat yang telah disebutkan. Dan penunjukkan (dilalah) dari ayat-ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah terhadap sifat-sifat Allah menunjukkan (makna) hakekatnya – sebagaimana hal itu juga menjadi prinsip dasar dalam syari’at-syari’at lainnya. Asal makna dari satu perkataan adalah hakekatnya, yaitu makna yang langsung bisa tertangkap dari pembicaraan. Allah ta’ala telah berfirman :
إِنَّا جَعَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya Kami menjadikan Al Qur'an dalam bahasa Arab supaya kamu memahami-(nya)” [QS. Az-Zukhruf : 3].
Banyak dalil yang menerangkan akan hal itu, di antaranya :
Pertama
Allah ta’ala berfirman :
إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
“Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [QS. An-Nisaa’ : 58].
Al-Haafidh Ibnu Katsiir rahimahullah berkata :
أي: سميعا لأقوالكم، بصيرا بأفعالكم، كما قال ابن أبي حاتم:حدثنا أبو زُرْعَة، حدثنا يحيى بن عبد الله بن بكير، حدثني عبد الله بن لهيعة، عن يزيد بن أبي حبيب، عن أبي الخير، عن عقبة بن عامر قال: رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو يقرئ هذه الآية { سَمِيعًا بَصِيرًا } يقول: بكل شيء بصير.
وقد قال ابن أبي حاتم: أخبرنا يحيى بن عبدك القزويني، أنبأنا المقرئ -يعني أبا عبد الرحمن- عبد الله بن يزيد، حدثنا حرملة -يعني ابن عمران التجيبي المصري-حدثنا أبو يونس، سمعت أبا هريرة يقرأ هذه الآية: { إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا } إلى قوله: { إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا } ويضع إبهامه على أذنه والتي تليها على عينه ويقول: هكذا سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقرؤها ويضع أصبعيه. قال أبو زكريا: وصفه لنا المقري، ووضع أبو زكريا إبهامه اليمنى على عينه اليمنى، والتي تليها على الأذن اليمنى، وأرانا فقال: هكذا وهكذا.
رواه أبو داود، وابن حبان في صحيحه، والحاكم في مستدركه، وابن مردويه في تفسيره، من حديث أبي عبد الرحمن المقري بإسناده -نحوه وأبو يونس هذا مولى أبي هريرة، واسمه سُلَيْم بن جُبَير.
“Yaitu : Allah Maha Mendengar terhadap perkataan-perkataan kalian dan Maha Melihat terhadap perbuatan-perbuatan kalian. Hal itu sebagaimana dikatakan oleh Abu Haatim : Telah menceritakan kepada kami Abu Zur’ah : telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin ‘Abdillah bin Bukair : Telah menceritakan kepadaku ‘Abdullah bin Lahii’ah, dari Yaziid bin Abi Habiib, dari Abul-Khair, dari ‘Uqbah bin ‘Aamir, ia berkata : “Aku melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat ini : ‘Maha Mendengar lagi Maha Melihat’, beliau bersabda : ‘(Allah) Maha Melihat segala sesuatu”.[1]
Ibnu Abi Haatim berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Yahyaa bin ‘Abdak Al-Qazwiiniy : Telah memberitakan kepada kami Al-Muqri’ – yaitu Abu ‘Abdirrahman – ‘Abdullah bin Yaziid : Telah menceritakan kepada kami Harmalah – yaitu Ibnu ‘Imraan At-Tajiibiy Al-Mishriy - : Telah menceritakan kepada kami Abu Yuunus : Aku mendengar Abu Hurairah membaca ayat : ‘‘Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya” hingga pada ayat : ‘Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat’ (QS. An-Nisaa’ : 58), lalu ia (Abu Hurairah) meletakkan ibu jari tangannya ke telinganya, dan yang lain (telunjuk) ke matanya, lalu berkata : “Demikianlah aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam membacanya dimana beliau juga meletakkan dua jarinya”. Abu Zakariyya berkata : “Al-Muqri’ menyifatkan/memperagakan hal itu kepada kami”. Lalu Abu Zakariyya meletakkan ibu jari tangan kanannya ke mata kanannya dan jari yang lain ke telinga kanannya, dan kami melihatnya, lalu Al-Muqri’ berkata : “Demikianlah, demikianlah”.[2]
Diriwayatkan pula oleh Abu Daawud, Ibnu Hibbaan dalam Shahih­-nya, Al-Haakim dalam Mustadrak-nya, dan Ibnu Mardawaih dalam Tafsir-nya, dari Abu ‘Abdirrahman Al-Muqri’ dengan sanad semisal. Abu Yuunus ini adalah maula Abu Hurairah, namanya Sulaim bin Jubair” [selesai – Tafsir Ibni Katsiir, 2/341-342, tahqiq : Saamiy bin Muhammad Salaamah; Daaruth-Thayyibah, Cet. 2/1420].
Dapat kita lihat dari ayat, hadits, amalan shahabat, dan juga ulama setelahnya; mereka semua memahami sifat mendengar (as-sam’u) dan mendengar (al-bashar) dengan makna hakekatnya. As-sam’u dinisbatkan untuk sifat Maha Medengar (As-Samii’) terhadap semua perkataan makhluk-Nya, baik yang nampak ataupun tersembunyi; sedangkan Al-bashar dinisbatkan untuk sifat Maha Melihat (Al-Bashiir) terdapat semua perbuatan makhluk-Nya, baik yang nampak ataupun tersembunyi. Pengisyaratan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam (yang kemudian diikuti oleh Abu Hurairah dan Ibnu Muqri’) terhadap telinga dan mata bukan untuk menyamakan (tasybiih) sifat Allah dengan makhluk, namun sebagai penjelas bahwa yang dimaksud adalah makna hakiki (dhahir) yang jika sifat itu dinisbatkan kepada manusia, maka itu merujuk pada telinga dan mata mereka. Allah ta’ala berfirman :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [QS. Asy-Syuuraa : 11].
Allah ta’ala telah menetapkan sifat mendengar dan melihat, dan bersamaan dengan itu Dia menafikkan penyamaan dua sifat tersebut dengan sifat-sifat makhluk-Nya. Allah Maha Tinggi dengan segala kesempurnaan sifat-sifat-Nya.
Kedua
حدثنا موسى بن إسماعيل: حدثنا جويرية، عن نافع، عن عبد الله قال: ذكر الدجال عند النبي صلى الله عليه وسلم، فقال: (إن الله لا يخفى عليكم، إن الله ليس بأعور - وأشار بيده إلى عينه - وإن المسيح الدجال أعور العين اليمنى، كأن عينه عنبة طافية).
Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin Ismaa’iil : Telah menceritakan kepada kami Juwairiyyah, dari Naafi’, dari ‘Abdullah (bin ‘Umar), ia berkata : Disebutkan Dajjaal di sisi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda : “Sesungguhnya Allah tidak tersembunyi dari kalian. Sesungguhnya Allah itu tidak buta sebelah matanya – lalu beliau berisyarat dengan tangannya ke matanya - . Dan bahwasannya Al-Masiih Ad-Dajjaal itu buta sebelah matanya yang kanan seakan-akan matanya itu seperti buah anggur yang mengapung (menonjol keluar)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7407].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menetapkan sifat mata (العين) bagi Allah.[3] Isyarat beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam ke mata beliau bukan untuk penyerupaan sifat Allah dengan makhluk, akan tetapi menjelaskan dan menekankan makna hakiki dari sifat Allah bahwa Ia benar-benar mempunyai dua mata yang tidak buta sebelah seperti mata Dajjaal (yang buta sebelah).
Ketiga
حدثنا أبو جعفر محمد بن الصباح، وأبو بكر بن أبي شيبة قالا: حدثنا إسماعيل بن إبراهيم عن حجاج الصواف، عن يحيى بن أبي كثير، عن هلال بن أبي ميمونة، عن عطاء بن يسار، عن معاوية بن الحكم السلمي؛ قال : ........ وكانت لي جارية ترعى غنما لي قبل أحد والجوانية. فاطلعت ذات يوم فإذا الذيب [الذئب؟؟] قد ذهب بشاة من غنمها. وأنا رجل من بني آدم. آسف كما يأسفون. لكني صككتها صكة. فأتيت رسول الله صلى الله عليه وسلم فعظم ذلك علي. قلت: يا رسول الله! أفلا أعتقها؟ قال "ائتني بها" فأتيته بها. فقال لها "أين الله؟" قالت: في السماء. قال "من أنا؟" قالت: أنت رسول الله. قال "أعتقها. فإنها مؤمنة".
Telah menceritakan kepada kami Abu Ja’far Muhammad bin Ash-Shabbaah dan Abu Bakr bin Syaibah, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Ibraahiim, dari Hajjaaj Ash-Shawaaf, dari Yahyaa bin Abi Katsiir, dari Hilaal bin Abi Maimuunah, dari ‘Athaa’ bin Yasaar, dari Mu’aawiyyah bin Al-Hakam, ia berkata : “……Dulu aku mempunyai seorang budak perempuan yang bertugas menggembala kambing milikku yang tersebar di antara gunung Uhud dan Jawaniyyah. Pada suatu hari, sampailah kepadaku laporan bahwa seekor serigala telah memangsa seekor kambing (yang ia gembala). Aku adalah anak Adam yang bisa marah sebagaimana orang-orang juga marah. Namun kemudian aku memukulnya dengan satu pukulan yang keras. Lalu aku mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau menganggap hal itu sebagai sesuatu yang besar bagiku. Aku berkata : “Wahai Rasulullah, apakah aku harus membebaskannya (memerdekakannya) ?”. Beliau bersabda : “Bawalah dia kepadaku”. Lalu aku pun membawanya ke hadapan beliau. Beliau bertanya kepadanya : “Dimana Allah ?”. Ia menjawab : “Di langit”. Beliau kembali bertanya : “Siapakah aku ?”. Ia menjawab : “Engkau adalah Rasulullah”. Beliau pun bersabda : “Bebaskanlah, sesungguhnya ia seorang perempuan yang beriman” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 537].
Hadits ini menetapkan sifat Al-‘Ulluw bagi Allah. Keberadaan Allah ta’ala bagi budak perempuan tersebut bukanlah sesuatu yang tersembunyi. Ia paham benar akan hal ini, sehingga ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya ‘dimana Allah’, maka ia lekas menjawab : ‘di langit’.[4] Keberadaan Allah tinggi di atas langit merupakan satu hal yang hakiki, bukan majaziy.
Keempat
حدثنا سعيد بن منصور. حدثنا يعقوب (يعني ابن عبدالرحمن). حدثني أبو حازم عن عبيدالله بن مقسم؛أنه نظر إلى عبدالله بن عمر كيف يحكي رسول الله صلى الله عليه وسلم قال "يأخذ الله عز وجل سماواته وأرضيه بيديه. فيقول: أنا الله. (ويقبض أصابعه ويبسطها) أنا الملك" حتى نظرت إلى المنبر يتحرك من أسفل شيء منه. حتى إني لأقول: أساقط هو برسول الله صلى الله عليه وسلم؟
Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Manshuur : Telah menceritakan kepada kami Ya’quub (yaitu Ibnu ‘Abdirrahman) : Telah menceritakan kepadaku Abu Haazim, dari ‘Ubaidullah bin Miqsam : Bahwasannya ia melihat kepada ‘Abdullah bin ‘Umar bagaimana ia menirukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata : “Allah ‘azza wa jalla memegang langit-langit-Nya dan bumi-bumi-Nya dengan tangan-Nya, lalu berfirman : ‘Aku adalah Allah’ – lalu Ibnu ‘Umar menggenggam jari jemarinya dan membentangkannya - . Aku adalah Raja – hingga aku aku melihat ke mimbar bergerak/goyang di bagian bawah karena sesuatu darinya. Hingga aku pun ingin berkata : “Apakah ia telah menggantikan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam (dalam berkhutbah) ?” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2788].
Hadits di atas menunjukkan bahwa sifat tangan (اليد) Allah serta pengenggaman (القبض) langit dan bumi di hari kiamat sangat dipahami oleh Ibnu ‘Umar dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan makna-maknanya yang hakiki. Dan tentu saja hal itu tanpa menyerupakannya dengan sifat-sifat makhluk.
Kelima
Perhatikan pula riwayat tentang kisah orang yang terakhir kali masuk surga :
حدثنا عبد الله حدثني أبي حدثنا يزيد أخبرنا حماد بن سلمة عن ثابت البناني عن أنس بن مالك عن عبد الله بن مسعود عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ...... فيقول عز وجل: ما يصريني منك أي عبدي أيرضيك أن أعطيك من الجنة الدنيا ومثلها معها قال: فيقول: أتهزؤ بي وأنت رب العزة قال: فضحك عبد الله حتى بدت نواجذه ثم قال: ألا تسألوني لم ضحكت قالوا له: لم ضحكت قال: لضحك رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم قال لنا رسول الله صلى الله عليه وسلم: ألا تسألوني لم ضحكت قالوا: لم ضحكت يا رسول الله قال: لضحك الرب حين قال: أتهزؤ بي وأنت رب العزة.
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah : Telah menceritakan kepadaku ayahku : Telah menceritakan kepada Hammaad bin Salamah, dari Tsaabit Al-Bunaaniy, dari Anas bin Maalik, dari ‘Abdullah bin Mas’uud, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “…..Maka Allah ‘azza wa jalla berfirman : ‘Apa yang memberhentikan-Ku dari permintaanmu ? Hai hamba-Ku, apakah engkau suka jika Aku berikan kepadamu dunia dan semisalnya bersamanya ?’. Orang itu menjawab : ‘Apakah Engkau memperolok-olokku padahal Engkau adalah Rabbul-‘Izzah ?’. Perawi berkata : “Lalu ‘Abdullah (bin Mas’uud) tertawa hingga terlihat gigi gerahamnya. Ia berkata : ‘Tidakkah kalian bertanya kepadaku mengapa aku tertawa ?’. Mereka pun berkata kepadanya : ‘Apa yang membuatmu tertawa ?’. Ibnu Mas’uud menjawab : ‘(Aku tertawa) karena tertawanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau bersabda kepada kami : ‘Tidakkah engkau bertanya kepadaku mengapa aku tertawa ?’. Para shahabat pun bertanya : ‘Apa yang membuatmu tertawa wahai Rasulullah ?’. Beliau menjawab : “(Aku tertawa) karena tertawanya Ar-Rabb (Allah) saat  hamba tadi mengatakan : ‘Apakah Engkau memperolok-olokku padahal Engkau adalah Rabbul-‘Izzah ?” [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/391; sanadnya shahih sesuai dengan Muslim, para perawinya tsiqaat termasuk perawi Syaikhaan kecuali Hammaad bin Salamah, ia hanya dipakai oleh Muslim saja].
Hadits ini menetapkan sifat tertawa (الضحك) bagi Allah dimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memahaminya dengan pemahaman hakiki, yang kemudian pemahaman itu diikuti oleh Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu.
Keenam
حدثنا وكيع عن إسماعيل عن قيس قال : لما قدم عمر الشام استقبله الناس وهو على البعير فقالوا : يا أمير المؤمنين لو ركبت برذونا يلقاك عظماء الناس ووجوههم ، فقال عمر : لا أراكم ههنا ، إنما الامر من هنا - وأشار بيده إلى السماء .
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Ismaa’iil, dari Qais, ia berkata : Ketika ‘Umar baru datang dari Syaam, orang-orang menghadap kepadanya dimana ia waktu itu masih di atas onta tunggangannya. Mereka berkata : “Wahai Amiirul-Mukminiin, jika saja engkau mengendarai kuda tunggangan yang tegak, niscaya para pembesar dan tokoh-tokoh masyarakat akan menemuimu”. Maka ‘Umar menjawab : “Tidakkah kalian lihat, bahwasannya perintah itu datang dari sana ? – Dan ia (‘Umar) berisyarat dengan tangannya ke langit” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 13/40; shahih].
Atsar di atas menetapkan sifat Al-‘Ulluw bagi Allah ta’ala. Sifat ini dipahami oleh ‘Umar sebagaimana dhahir/hakekatnya, sehingga ia menunjuk ke arah langit dimana Allah ta’ala berada.
Inilah madzhab yang beredar di kalangan shahabat radliyallaahu ‘anhum tentang sifat Allah ta’ala. Mereka menetapkan lafadh sekaligus makna hakikinya (dhahirnya). Madzhab inilah yang mereka wariskan ke generasi tabi’in, tabi’ut-tabi’iin, dan seterusnya dari ulama Ahlus-Sunnah hingga sekarang.
Telah masyhur riwayat Al-Imam Maalik bin Anas rahimahullah sebagai berikut :
ذكره علي بن الربيع التميمي المقري قال ثنا عبد الله ابن أبي داود قال ثنا سلمة بن شبيب قال ثنا مهدي بن جعفر عن جعفر بن عبد الله قال جاء رجل إلى مالك بن أنس فقال يا أبا عبد الله الرحمن على العرش استوى كيف استوى قال فما رأيت مالكا وجد من شيء كموجدته من مقالته وعلاه الرحضاء يعني العرق قال واطرق القوم وجعلوا ينتظرون ما يأتي منه فيه قال فسرى عن مالك فقال الكيف غير معقول والاستواء منه غير مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة فإني أخاف أن تكون ضالا وامر به فأخرج
Telah menyebutkan kepadanya ‘Aliy bin Ar-Rabii’ At-Tamimiy Al-Muqri’, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Abi Dawud, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Salamah bin Syabiib, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Mahdiy bin Ja’far, dari Ja’far bin ‘Abdillah, ia berkata : Datang seorang laki-laki kepada Maalik bin Anas. Ia berkata : “Wahai Abu ‘Abdillah, ‘Ar-Rahman yang beristiwaa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy’; bagaimana Allah beristiwaa’ ?”. Perawi berkata : “Belum pernah aku melihat beliau (Malik) marah sedemikian rupa seperti marahnya beliau kepada orang itu. Tubuhnya berkeringat, orang-orang pun terdiam. Mereka terus menantikan apa yang akan terjadi. Maka keadaan Al-Imam Malik kembali normal, beliau berkata : “Kaifiyah-nya tidaklah dapat dinalar, istiwaa’ sendiri bukan sesuatu yang majhul, beriman kepada adalah wajib, dan bertanya tentangnya adalah bid’ah. Dan sesungguhnya aku khawatir kamu berada dalam kesesatan”. Kemudian beliau memerintahkan orang tersebut untuk dikeluarkan dari majelisnya. [Syarh Ushuulil-I’tiqad Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah, hal. 398, tahqiq : Ahmad bin Mas’ud bin Hamdaan; desertasi S3].
Makna “istiwaa’ itu bukan sesuatu yang majhuul” adalah bahwa istiwaa’ itu diketahui maknanya secara hakiki sebagaimana dhahir bahasa Arab yang jelas.[5]
وقال الوليد بن مسلم : سألت الأوزاعي ومالك بن أنس وسفيان الثوري والليث بن سعد عن الأحاديث فيها الصفات ؟ فكلهم قالوا لي : أمروها كما جاءت بلا تفسير
Al-Walid bin Muslim berkata : Aku pernah bertanya kepada Al-Auza’iy, Malik bin Anas, Sufyan Ats-Tsauriy, dan Al-Laits bin Sa’d tentang hadits-hadits yang berkenaan dengan sifat, maka setiap dari mereka menjawab : “Perlakukanlah (ayat-ayat tentang sifat Allah) sebagaimana datangnya tanpa tafsir”  [Diriwayatkan oleh Adz-Dzahabi dalam Al-‘Ulluw, berserta Mukhtashar-nya oleh Al-Albani hal. 142 no. 134 dengan sanad shahih; Al-Maktab Al-Islamy, Cet. 1/1401].
Maksudnya, perlakukanlah ayat-ayat sifat sesuai dengan dhahir makna yang termuat di dalamnya, tanpa tafsir ke makna-makna selainnya atau menanyakan kaifiyah-nya.[6] Sebab, sesuatu yang telah jelas, tidak perlu penjelasan/tafsir lagi. Apabila diperlukan penjelas/tafsir, maka kembalinya pun pada dhahir bacaan nash itu sendiri sebagaimana dikatakan oleh Sufyaan bin ‘Uyainah :
كل ما وصف الله من نفسه في كتابه فتفسيره تلاوته والسكوت عليه
“Segala sifat yang Allah sifatkan bagi diri-Nya di dalam Al-Qur’an, penafsirannya adalah (dhahir) bacaannya dan diam terhadapnya” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Al-I’tiqaad hal. 118 no. 296, tahqiq : Ahmad ’Ishaam Al-Kaatib, Daarul-Aafaaq, Cet. 1/1401; dan Al-Asmaa’ wa Shifat  2/307 no. 869, tahqiq : ‘Abdullah bin Muhammad Al-Hasyidi; Maktabah As-Suwadiy. Atsar ini shahih].
Makna ‘diam terhadapnya’ yaitu menetapkannya, tidak menambah-nambah, dan tidak menanyakan kaifiyah dari sifat-sifat tersebut.
Mereka bukanlah orang-orang yang bodoh yang tidak mengerti tentang makna sifat-sifat Allah ketika menetapkannya – sebagaimana anggapan paham Mufawwidlah dari sebagian kalangan Asy’ariyyah.
Mujaahid Al-Makkiy ketika menjelaskan ayat istiwaa’ berkata :
علا على العرش
“Tinggi di atas ‘Arsy” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy secara mu’allaq dengan shighah jazm, 6/2698].
Perkataan Mujaahid didasarkan atas pengetahuannya terhadap makna (hakiki/dhahir) istiwaa’.
Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad, dari ayahnya, dari Nuuh bin Maimuun, dari Bukair bin Ma’ruuf, dari Muqaatil bin Hayyaan tentang firman Allah ta’ala : Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya’ (QS. Al-Mujaadalah : 7), ia (Muqaatil) berkata :
هو على عرشه، وعلمه معهم.
“Allah berada di atas ‘Arsy, dan ilmu-Nya bersama mereka” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah hal. 71, Abu Dawud dalam Al-Masaail hal. 263, dan yang lainnya dengan sanad hasan – melalui perantaraan Mukhtashar Al-‘Ulluw, hal. 138 no. 124].
Ahmad (bin Hanbal) meriwayatkan dengan sanadnya sampai Adl-Dlahhaak tentang ayat (yang artinya) : Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah yang keenamnya’ (QS. Al-Mujaadalah : 7); maka Adl-Dlahhaak berkata :
هو على العرش وعلمه معهم
“Allah berada di atas ‘Arsy, dan ilmu-Nya bersama mereka” [As-Sunnah oleh ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal hal. 80 – melalui perantaraan Al-Masaail war-Rasaail Al-Marwiyyatu ‘anil-Imam Ahmad bin Hanbal fil-‘Aqiidah oleh ‘Abdullah bin Sulaimaan Al-Ahmadiy, 1/319; Daaruth-Thayyibah, Cet. 1/1412].
Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah : Telah menceritakan ayahku, kemudian ia menyebutkan sanadnya dari ‘Abdullah bin Naafi’, ia berkata : Telah berkata Maalik bin Anas :
الله في السماء، وعلمه في كل مكان، لا يخلو منه شيء.
“Allah berada di atas langit, dan ilmu-Nya berada di setiap tempat. Tidak ada terlepas dari-Nya sesuatu” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah dalam As-Sunnah hal. 5, Abu Dawud dalam Al-Masaail hal. 263, Al-Aajuriiy hal. 289, dan Al-Laalikaa’iy 1/92/2 dengan sanad shahih – dinukil melalui perantaraan Mukhtashar Al-‘Ulluw, hal. 140 no. 130].
Pengetahuan pembedaan dua hal dari para imam (Muqaatil, Adl-Dlahhak, dan Maalik) yang disebutkan dalam tiga riwayat di atas didasari oleh pengetahuan terhadap makna (hakiki/dhahir) nash. Mereka mengetahui makna sifat al-‘ulluw Allah yang dengan itulah mereka menetapkan ‘aqidah tentang sifat tersebut kepada Allah. Yang bersama mereka adalah ilmu-Nya, sedangkan Dzat-Nya tetap tinggi berada di atas ‘Arsy sebagaimana telah menjadi ijma’ kaum muslimin :
وقال عثمان بن سعيد الدارمي : قد اتفقت الكلمة من المسلمين أن الله فوق عرشه فوق سماواتة
‘Utsmaan bin Sa’iid Ad-Daarimiy berkata : “Sungguh kaum muslimin telah bersepakat terhadap satu kalimat bahwasannya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, di atas langit-langit-Nya” [Al-Arba’iin fii Shifaati Rabbil-‘Aalamiin oleh Adz-Dzahabiy, tahqiq ‘Abdul-Qaadir Athaa, hal. 43 no. 17; Maktabah Al-‘Uluum wal-Hikam, Cet. 1/1413].
Oleh karena itu, nampaklah kekeliruan sebagian orang-orang Asy’ariyyah yang menganggap madzhab tafwidl makna kepada Allah adalah madzhab yang ditempuh para shahabat dan generasi salaf Islam. Salah besar. Mereka (mufawwidlah) hanya sekedar menetapkan lafadh tanpa makna, karena beranggapan bahwa makna lafadh itu tidak diketahui oleh manusia – dan hanya diketahui oleh Allah ta’ala.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan kebathilan madzhab tafwidl ini dengan perkataannya :
وأما الصنف الثالث ـ وهم ‏[‏أهل التجهيل‏]‏ ـ فهم كثير من المنتسبين إلى السنة، واتباع السلف، يقولون‏:‏ إن الرسول صلى الله عليه وسلم لم يعرف معاني ما أنزل اللّه إليه من آيات الصفات، ولا جبريل يعرف معاني الآيات، ولا السابقون الأولون عرفوا ذلك‏. وكذلك قولهم في أحاديث الصفات‏:‏ إن معناها لا يعلمه إلا اللّه، مع أن الرسول تكلم بها ابتداءً
”Adapun kelompok yang ketiga adalah Ahlut-Tajhiil. Kebanyakan mereka adalah orang-orang yang berintisab kepada Sunnah yang mengaku mengikuti kaum Salaf dan mengatakan : ”Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam tidak mengetahui makna-makna ayat-ayat sifat yang diturunkan kepada beliau. Demikian juga Jibril ’alaihis-salaam, ia tidak mengetahui makna-makna ayat tersebut, tidak juga orang-orang yang pertama masuk Islam itu mengetahui maknanya. Demikian juga dengan pendapat mereka mengenai hadits-hadits tentang sifat-sifat Allah, sebab makna-makna yang terkandung di dalamnya tidak ada yang tahu kecuali hanya Allah semata, padahal Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam telah menyinggung masalah ini sejak semula” [Majmua’ Al-Fataawaa, 5/31-34].
وأما التفويض : فإن من المعلوم أن الله – تعالى – أمرنا أن نتدبر القرآن، وحضنا على عقله وفهمه؛ فكيف يجوز مع ذلك أن يُراد منا الإعراض عن فهمه، ومعرفته، وعقله
Adapun Tafwidl (menyerahkan makna kepada Allah), sesungguhnya telah diketahui bahwa Allah ta’ala memerintahkan untuk memahami Al-Qur’an dan mendorong kita untuk memikirkan dan memahaminya. Maka bagaimana kita dibolehkan berpaling dari mengenal, memahami dan memikirkan ?”.
Hingga beliau berkata dengan tegas dalam permasalahan ini :
فتبين أن قول أهل التفويض الذين يزعمون أنهم متبعون للسنة والسلف من شر أقوال أهل البدع والإلحاد
”Maka jelas bahwa Ahlut-Tafwidl yang menyangka dirinya mengikuti As-Sunnah dan As-Salaf adalah seburuk-buruk perkataan Ahlul-Bid’ah dan ilhad” [lihat selengkapnya dalam Dar’ut-Ta’arudl Al-’Aql wan-Naql juz 1 bagian 16 hal. 201-205 – dinukil melalui perantaraan Al-Ajwibatul-Mufiidah Cet. 3, catatan kaki atas pertanyaan no. 40].[7]
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.

[1]      Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim dalam Tafsir-nya (3/5526) dan para perawi dalam sanadnya adalah para perawi Al-Bukhariy dan Muslim selain Ibnu Lahii’ah, seorang yang lemah dari sisi hapalannya. Riwayatnya shahih jika diriwayatkan darinya oleh Al-‘Abaadillah (4 orang yang bernama ‘Abdullah).
[2]      Tafsiir Ibni Abi Haatim (3/5524) dan terdapat tashhiif dalam sanadnya dari Abu Yuunus menjadi Abu Sulaimaan; sanadnya shahih, para perawinya tsiqaat. Diriwayatkan pula oleh Abu Daawud no. 4728, Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat 1/no. 390, Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhiid 1/no. 46-47, Ibnu Hibbaan no. 265, Al-Haakim 1/24, dan Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad 3/688; dari beberapa jalan, dari ‘Abdullah bin Yaziid, dan selanjutnya seperti sanad Ibnu Abi Haatim.
[3]      Asy-Syaafi’iy, Al-Baihaqiy, dan yang lainnya menggunakan hadits ini sebagai hujjah dalam penetapan sifat dzatiyyah mata bagi Allah ta’ala.
[4]      Bandingkan dengan orang-orang Asy’ariyyah ketika mereka ditanya : ‘Dimanakah Allah ‘ ; niscaya kita akan mendapatkan penjelasan yang berbelit-belit yang ujungnya mereka tidak puas dengan jawaban ‘di atas langit’ sebagaimana dalam hadits Mu’awiyyah bin Al-Hakam radliyallaahu ‘anhu.
[5]      Al-Imam Abu Bakr bin Al-‘Arabiy rahimahullah dengan lafadh :
وقال مالك أنه لم يتأول. ومذهب مالك رحمه الله أن كل حديث منها معلوم المعنى ولذلك قال للذي سأله : الاستواء معلوم والكيفية مجهولة
“Dan telah Malik bahwasannya ia tidak men-ta’wil-kannya. Madzhab Malik rahimahullah mengatakan bahwa semua hadits tentang sifat adalah diketahuinya maknanya. Oleh karena itu beliau berkata kepada orang yang bertanya kepadanya : ‘Al-Istiwaa’ diketahui (ma’luum), kaifiyyah-nya tidak diketahui (majhuul)” [‘Aaridlatul-Ahwadziy, 3/166; Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun].
[6]      Adz-Dzahabiy mengisyaratkan makna ‘tanpa tafsiir’ sebagaimana dikatakan para salaf terhadap nash-nash sifat (Allah) adalah tanpa men-takyif-nya. Ia berkata :
هذه أحاديث صحاح، حملها أصحان الحديث والفقهاء بعضهم عن بعض، وهي عندنا حق لا نشك فيها، ولكن إذا قيل : كيف يضحك ؟ وكيف وضع قدمه ؟ قلنا : لا نفسر هذا، ولا سمعنا أحدًَا يفسره
“Ini adalah hadits-hadits shahih yang dibawakan oleh para ahli hadits dan fuqahaa’ sebagian mereka dari sebagian yang lain. Hal itu di sisi kami adalah benar, tidak ada keraguan padanya. Akan tetapi jika dikatakan : Bagaimana Allah tertawa ? dan bagaimana Allah meletakkan telapak kaki-Nya ? Kami katakan : Kami tidak menafsirkan ini, dan kami pun tidak pernah mendengar seorang pun (ulama) menafsirkannya” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 10/505].
[7]      Sangatlah mengherankan – dengan pernyataan yang sangat jelas dan tegas dari ini – masih ada segelintir harakiyyiin/hizbiyyiin yang menisbatkan ‘aqidah tafwidl ini ada pada diri Syaikhul-Islaam hanya karena mereka menemukan satu atau dua kalimat dari beliau yang mirip dengan kalimat mufawwidlah yang kebetulan mereka (atau tokoh mereka) berdiri di atasnya. Sungguh, Syaikhul-Islam adalah ulama yang jauh dari ‘aqidah tafwidl. Mereka hanya memotong sebagian tanpa memperhatikan keseluruhan penjelasan Syaikhul-Islam – yang begitu gamblang – dalam masalah sifat Allah. Akan saya bawakan satu di antara banyak perkataan beliau yang membantah klaim mereka. Beliau berkata :
ومذهب السلف‏:‏ أنهم يصفون الله بما وصف به نفسه وبما وصفه به رسوله من غير تحريف ولا تعطيل ومن غير تكييف ولا تمثيل ونعلم أن ما وصف الله به من ذلك فهو حق ليس فيه لغز ولا أحاجي؛ بل معناه يعرف من حيث يعرف مقصود المتكلم بكلامه؛ لا سيما إذا كان المتكلم أعلم الخلق بما يقول وأفصح الخلق في بيان العلم وأفصح الخلق في البيان والتعريف والدلالة والإرشاد‏.‏ وهو سبحانه مع ذلك ليس كمثله شيء لا في نفسه المقدسة المذكورة بأسمائه وصفاته ولا في أفعاله فكما نتيقن أن الله سبحانه له ذات حقيقة وله أفعال حقيقة‏:‏ فكذلك له صفات حقيقة وهو ليس كمثله شيء لا في ذاته ولا في صفاته ولا في أفعاله وكل ما أوجب نقصا أو حدوثا فإن الله منزه عنه حقيقة فإنه سبحانه مستحق للكمال الذي لا غاية فوقه ويمتنع عليه الحدوث لامتناع العدم عليه واستلزام الحدوث سابقة العدم؛ ولافتقار المحدث إلى محدث ولوجوب وجوده بنفسه سبحانه وتعالى‏
Dan madzhab salaf adalah bahwa mereka mensifatkan Allah dengan apa-apa yang telah disifatkan-Nya untuk diri-Nya dan dengan apa-apa yang disifatkan oleh Rasul-Nya untuk-Nya tanpa tahrif dan ta’thil, juga tanpa takyif dan tamtsil. Kita yakin bahwa apa-apa yang disifatkan oleh Allah itu kebenaran, bukan teka-teki maupun rekaan, bahkan maknanya dapat langsung diketahui sebagaimana orang yang berbicara mengetahui maksud dari pembicaraannya, apalagi yang berbicara itu merupakan makhluk yang paling tahu apa yang diucapkannya; yang paling fasih dalam menjelaskan ilmu, dan yang paling fasif dalam penyampaian keterangan, pengenalan, penunjukkan, dan bimbingan. Allah subhaanahu wa ta’ala bersamaan dengan penetapan sifat-sifat itu, tidak ada satupun makhluk yang serupa dengan-Nya. Tidak pada diri-Nya yang disucikan dan disebutnya dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya, dan tidak pula pada perbuatan-perbuatan-Nya. Sebagaimana kita meyakini bahwa Allah ta’ala memiliki Dzat Yang Hakiki dan memiliki perbuatan-perbuatan yang hakiki pula. Demikian pula Dia memiliki sifat-sifat yang hakiki. Dan Dia, tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, tidak pada Dzat-Nya, tidak pada sifat-sifat-Nya, dan tidak pula pada perbuatan-perbuatan-Nya” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 5/26].
Lihatlah bagaimana Syaikhul-Islam menetapkan sifat-sifat Allah dengan adanya pengetahuan terhadap maknanya. Dan makna yang dimaksud di sini adalah makna dhahir (hakiki), karena makna itulah yang langsung terambil dari pembicaraan sebagaimana yang beliau katakan di atas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar