Sabtu, 11 Oktober 2014

HUKUM MUSIK DAN NYANYIAN DALAM PANDANGAN ISLAM

Penulis: Rizki Maulana 


HUKUM SYAIR (SYI’IR)
Banyak hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang menjelaskan tentang dibencinya banyak bersya’ir :
عن بن عمر رضى الله تعالى عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال لأن يمتلئ جوف أحدكم قيحا خير له من أن يمتلئ شعرا
Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yang bersabda : “Lebih baik salah seorang dari kalian memenuhi perutnya dengan nanah daripada ia penuhi dengan sya’ir” [HR. Al-Bukhari no. 5802].

عن أبي هريرة رضى الله تعالى عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لأن يمتلئ جوف رجل قيحا يريه خير من أن يمتلئ شعرا
Dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Lebih baik salah seorang dari kalian memenuhi perutnya dengan nanah hingga merusak perutnya daripada ia penuhi dengan sya’ir” [HR. Al-Bukhari no. 5803 dan Muslim no. 2257].
Ibnu Hajar berkata :
هذه المبالغة في ذم الشعر أن الذين خوطبوا بذلك كانوا في غاية الإقبال عليه والاشتغال به فزجرهم عنه ليقبلوا على القرآن وعلى ذكر الله تعالى وعبادته فمن أخذ من ذلك ما أمر به لم يضره ما بقي عنده مما سوى ذلك والله أعلم
“Faktor munculnya celaan yang cukup keras tersebut karena orang yang diajak bicara adalah orang-orang yang menyibukkan diri dan menghabiskan waktunya hanya untuk sya’ir, sehingga Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mencela mereka agar mereka kembali kepada Al-Qur’an, berdzikir, dan beribadah kepada Allah. Barangsiapa telah melaksanakan apa yang diperintahkan kepadanya, maka tidak mengapa jika sisa waktunya digunakan untuk hal lain. Wallaahu a’lam. [Fathul-Bari – 10/550]
عن عمرو بن الشريد عن أبيه قال ردفت رسول الله صلى الله عليه وسلم يوما فقال هل معك من شعر أمية بن أبي الصلت شيئا قلت نعم قال هيه فأنشدته بيتا فقال هيه ثم أنشدته بيتا فقال هيه حتى أنشدته مائة بيت
Dari ‘Amru bin Asy-Syarid dari ayahnya (Asy-Syarid bin Suwaid Ats-Tsaqafy) ia berkata : ”Suatu hari aku dibonceng oleh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam. Maka beliau bertanya : ‘Apakah engkau hafal syair Umayyah bin Abish-Shalat ?’. Aku menjawab : ‘Ya’. Beliau berkata : ‘Lantunkanlah !’. Maka aku pun melantunkan satu bait syair. (Setelah selesai), beliau pun berkata : ‘Teruskanlah !’. Maka aku pun melantunkan satu bait syair lagi. (Setelah selesai), beliau pun berkata hal yang sama : ‘Teruskanlah !’. Hingga aku melantunkan sekitar seratus bait syair” [HR. Muslim no. 2255].
An-Nawawi berkata ketika menjelaskan hadits di atas :
وَمَقْصُود الْحَدِيث أَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِسْتَحْسَنَ شِعْر أُمِّيَّة , وَاسْتَزَادَ مِنْ إِنْشَاده لِمَا فِيهِ مِنْ الْإِقْرَار بِالْوَحْدَانِيَّةِ وَالْبَعْث , فَفِيهِ جَوَاز إِنْشَاد الشِّعْر الَّذِي لَا فُحْش فِيهِ , وَسَمَاعه , سَوَاء شِعْر الْجَاهِلِيَّة وَغَيْرهمْ , وَأَنَّ الْمَذْمُوم مِنْ الشِّعْر الَّذِي لَا فُحْش فِيهِ إِنَّمَا هُوَ الْإِكْثَار مِنْهُ , وَكَوْنه غَالِبًا عَلَى الْإِنْسَان . فَأَمَّا يَسِيره فَلَا بَأْس بِإِنْشَادِهِ وَسَمَاعه وَحِفْظه
”Maksud hadits ini bahwa Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam menganggap baik syair Umayyah dan meminta tambahan syair terhadap apa yang ada di dalamnya dari pengakuan terhadap keesaan (Allah) dan hari akhir. Dan di dalamnya terdapat pembolehan terhadap pelantunan syair yang tidak mengandung kekejian, sekaligus mendengarkannya. Sama saja, apakah syair tersebut merupakan syair Jahiliyyah atau selainnya. Dan yang harus dijauhi dari perkara syair yang tidak mengandung kekejian adalah tidak berlebihan padanya. Dan itulah yang biasanya terjadi pada diri manusia. Adapun sedikit syair dengan cara melantunkan, mendengarkannya,  atau menghafalnya maka tidak mengapa” [Syarah Shahih Muslim lin-Nawawi  hal. 1572 – Maktabah Al-Misykah].
Bersyair pada asalnya adalah boleh sebagaimana telah tsabit dalam hadits-hadits shahih. Bahkan, dalam kondisi-kondisi tertentu sangat diperlukan untuk menumbuhkan semangat jihad. Namun jika dilakukan secara berlebihan (sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar dan An-Nawawi), maka hal itu adalah tercela.
HUKUM NYANYIAN DAN MUSIK
Perlu dicatat bahwa lantunan syair yang dikenal di jaman Rasulaullah shallallaahu ’alaihi wasallam sangatlah berbeda dengan nyanyian [al-ghina’ atau as-simaa’]. Imam Ahmad Al-Qurthubi menyatakan dalam Kasyful-Qina’ halaman 47 : Al-Ghina’ secara bahasa adalah meninggikan suara ketika bersya’ir atau yang semisal dengannya (seperti rajaz secara khusus). Di dalam Al-Qamus (halaman 1187), al-ghinaa’ dikatakan sebagai suara yang diperindah. Yang lebih jelas adalah apa yang dikatakan oleh Asy-Syathibi :
لكن العرب لم يكن لها من تحسين النغمات ما يجرى مجرى ما الناس عليه اليوم بل كانوا ينشدون الشعر مطلقا من غير ان يتعلموا هذه الترجيعات التي حدثت بعدهم بل كانوا يرققون الصوت ويمططونه على وجه يليق بأمية العرب الذين لم يعرفوا صنائع الموسيقى فلم يكن فيه إلذاذ ولا إطراب لهى وإنما كان لهم شىء من النشاط كما كان الحبشة وعبد الله بن رواحة يحدوان بين يدى رسول الله صلى الله عليه وسلم
وكما كان الأنصار يقولون عند حفر الخندق
نحن الذين بايعوا محمداًَ
على الجهاد ما حيينا أبداًَ
فيجيبهم صلى الله عليه وسلم
اللهم لا خير إلا خير الأخرة
فاغفر للأنصار والمهاجرة
“Akan tetapi orang Arab tidaklah mengenal cara memperindah lantunan seperti apa yang dilakukan oleh manusia pada hari ini. Akan tetapi mereka melantunkan syair secara mutlak tanpa mempelajari notasi-notasi yang muncul setelahnya. Mereka melembutkan suara dan memanjangkannya sebagaimana kebiasaan kaum Arab yang ummi yang mereka tidak mengetahui alunan musik. Maka tidak akan menimbulkan keterlenaan dan membuat bergoyang yang melenakan. Hal itu hanyalah sesuatu yang membangkitkan semangat sebagaimana Abdullah bin Rawahah melantunkan syairnya di hadapan Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam. Juga sebagaimana kaum Anshar yang melantunkannya ketika menggali parit (ketika menjelang perang Khandaq) :
Kamilah yang membaiat Muhammad
          Untuk berjihad selamanya selama kami masih hidup
Maka Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam menjawab mereka dengan :
Ya Allah, tidak ada kebaikan selain kebaikan akhirat
          Maka ampunilah kaum Anshar dan Muhajirin
[selesai perkataan Asy-Syathibi dalam Kitabul-I’tisham juz 1 hal. 207-208 – Maktabah Al-Misykah].
Para ulama telah membagi al-ghina’ menjadi dua :
1.        Nyanyian yang seperti kita temukan dalam berbagai aktifitas sehari-hari dalam perjalanan, pekerjaan, mengangkut beban, dan sebagainya. Sebagian di antara mereka ada yang menghibur dirinya dengan bernyanyi untuk menambah gairah dan semangat, menghilangkan kejenuhan dan rasa sepi. Contoh yang pertama ini di antaranya adalah al-hida’, lagu yang dinyanyikan oleh sebagian kaum perempuan untuk menenangkan tangis atau rengekan buah hati mereka, atau nyanyian gadis-gadis kecil dalam sendau-gurau permainan mereka, wallaahu a’lam [Kaffur-Ri’a’ halaman 59-60 dan Kasyful-Qina’ halaman 47-49]. Disebutkan oleh para ulama bahwa jenis pertama ini selamat atau bersih dari penyebutan kata-kata keji dan hal-hal yang diharamkan. Ringkasnya, nyanyian – atau lebih tepatnya syair (karena lebih mirip kepada syair) – seperti ini adalah diperbolehkan.
2.        Nyanyian yang dilakukan oleh penyanyi laki-laki atau perempuan, artis, dan yang semacamnya yang mengenal seluk beluk gubahan (nada dan irama – sebagaimana lazim ada di jaman sekarang) suatu lagu, dari rangkaian syair; kemudian mereka mendendangkannya dengan nada atau irama yang teratur, halus, lembut, dan menyentuh hati, membangkitkan gejolak, serta menggairahkannya. Nyanyian jenis kedua inilah yang diperselisihkan oleh para ulama. Para ulama berbeda pendapat menjadi tiga kelompok : mengharamkannya, memakruhkannya, dan membolehkannya.
Khilaf yang terjadi dalam nyanyian jenis kedua di atas, yang paling rajih adalah pendapat yang mengharamkannya atau minimal membencinya (makruh) – untuk ditinggalkan. Apalagi jika diiringi oleh alat musik, maka ini lebih jelas dan kuat lagi keharamannya. Dalil-dalil yang dijadikan dasar keharaman adalah sebagai berikut:
Dalil Al-Qur’an
1.    Firman Allah ta’ala :
وَمِنَ النّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلّ عَن سَبِيلِ اللّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتّخِذَهَا هُزُواً أُوْلَـَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مّهِينٌ
Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan [QS. Luqman : 6].
Ibnu Katsir menukil perkataan Ibnu Jarir dalam Tafsirnya :
حدثني يونس بن عبد الأعلى قال: أخبرنا ابن وهب, أخبرني يزيد بن يونس عن أبي صخر عن أبي معاوية البجلي عن سعيد بن جبير عن أبي الصهباء البكري أنه سمع عبد الله بن مسعود وهو يسأل عن هذه الاَية {ومن الناس من يشتري لهو الحديث ليضل على سبيل الله} فقال عبد الله بن مسعود: الغناء والله الذي لا إله إلا هو, يرددها ثلاث مرات
Telah menceritakan kepadaku Yunus bin ‘Abdil-A’laa ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Ibnu Wahb : Telah mengkhabarkan kepadaku Yazid bin Yunus, dari Shakhr, dari Abu Mu’awiyyah Al-Bajaly, dari Sa’id bin Jubair, dari Abu Shahbaa’ Al-Bakry bahwasanya ia mendengar ‘Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhu ketika ia bertanya kepada beliau tentang ayat Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah” ; maka beliau menjawab : “Al-Ghinaa’ (nyanyian)”. Demi Allah yang tidak ada tuhan yang berhak disembah melainkan Dia, beliau mengulanginya tiga kali [Tafsir Ibnu Katsir QS. Luqman : 6 – Free Program from Islamspirit].
Ibnu Katsir membawakan perkataan Ibnu Mas’ud dari jalan lain ‘Ammar, dari Sa’id bin Jubair, dari Abu Shahbaa’ Al-Bakri, dari Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu. Atsar ini diriwayatkan juga oleh Al-Hakim no. 3542, ia berkata : Hadits ini sanadnya shahih, namun tidak dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim. Tashhih ini disepakati oleh Adz-Dzahabi, dan memang seperti itulah keadaannya (atas keshahihannya).
Al-Hasan Al-Bashri mengatakan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan nyanyian (ghinaa’) dan seruling (mazaamir).
Ibnu Mas’ud merupakan salah satu pembesar shahabat yang perkataan lebih diunggulkan daripada selainnya. Tentang Ibnu Mas’ud, As-Sunnah Ash-Shahiihah menjadi saksi :
عن أبي الأحوص قال كنا في دار أبي موسى مع نفر من أصحاب عبد الله وهم ينظرون في مصحف فقام عبد الله فقال أبو مسعود ما اعلم رسول الله صلى الله عليه وسلم ترك بعده اعلم بما انزل الله من هذا القائم فقال أبو موسى أما لئن قلت ذاك لقد كان يشهد إذا غبنا ويؤذن إذا حجبنا
Dari Abul-Ahwash ia berkata,”Kami pernah berada di rumah Abu Musa beserta beberapa orang shahabat Abdullah bin Mas’ud. Mereka sedang menelaah mushhaf Al-Qur’an, lalu Abdullah bin Mas’ud berdiri. Lalu kata Abu Mas’ud,”Sepengetahuanku, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tidaklah meninggalkan orang yang lebih mengerti tentang Al-Qur’an daripada orang yang berdiri tadi setelah beliau wafat”. Kata Abu Musa,”Kalau engkau mengatakan demikian, Abdullah bin Mas’ud memang selalu menyertai Rasulullah ketika kita tidak turut serta, dan dia diijinkan masuk ke rumah beliau ketika kita tidak diijinkan masuk” [HR. Muslim no. 2461].
Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhu ketika menafsirkan {لَهْوَ الْحَدِيثِ} juga dengan Nyanyian {الغناء}.
حدثنا حفص بن عمر قال أخبرنا خالد بن عبد الله قال أخبرنا عطاء بن السائب عن سعيد بن جبير عن بن عباس ومن الناس من يشتري لهو الحديث قال الغناء وأشباهه
Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin ‘UMar, ia berkata : Telah mengkhabarakan kepada kami Khalid bin ‘Abdillah, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Athaa’ bin As-Saaib, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma :  Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah” ; beliau berkata : “Al-Ghinaa’  (nyanyian) dan yang menyerupainya” [HR. Al-Bukhari dalam Al-Adaabul-Mufrad no. 786 dan 1265; shahih].
Lihat pula atsar ini dalam Tafsir Ath-Thabari. Tentang Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah berdoa untuknya : {اللهم فقهه في الدين} “Ya Allah, pahamkanlah ia dalam masalah agama” [HR. Muslim no. 2477]. Atas doa ini, para shahabat dan ulama lainnya memberikan gelar kepadanya : Turjumanul-Qur’an.
Mujahid juga menafsirkan sebagaimana perkataan dua imamnya terdahulu, dimana beliau berkata tentang ayat ini :
الـمغنـي والـمغنـية بـالـمال الكثـير, أو استـماع إلـيه, أو إلـى مثله من البـاطل.
”Membayar penyanyi laki-laki dan perempuan dengan biaya yang mahal dan mendengarkannya atau yang sepertinya, termasuk perkara-perkara yang bathil” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dalam Tafsir-nya no. 21360; dengan sanad shahih].
Syu’aib bin Yasar berkata :
سألت عكرمة عن ( لهو الحديث )  ؟ قال : هو الغناء.
”Aku pernah bertanya kepada ’Ikrimah tentang Lahwul-Hadiits ; maka ia menjawab : ”Ia adalah nyanyian” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam At-Tarikh Al-Kabir no. 2556, Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya no. 21361-21362, Ibnu Abid-Dun-ya dalam Dzammul-Malaahi – dan ini adalah lafadhnya - , dan yang lainnya. Asy-Syaikh Al-Albani dalam At-Tahrim berkata : ”Hasanul-isnad, insyaAllah”].
Penafsiran lahwul-hadiits dengan al-ghinaa’ (nyanyian) ditegaskan oleh Ibnu Katsir – selain dari yang telah disebutkan di atas – juga merupakan penafsiran dari Jabir, Sa’id bin Jubair, Mak-hul, ‘Amr bin Syu’aib, dan ‘Ali bin Nadiimah rahimahumullah.
Asy-Syaukani menjelaskan :
ولهو الحديث كل ما يلهى عن الخير من الغناء والملاهي والأحاديث المكذوبة وكل ما هو منكر..... قال القرطبي: إن أولى ما قيل في هذا الباب هو تفسير لهو الحديث بالغناء، قال: وهو قول الصحابة والتابعين،
”Dan lahwal-hadiits maknanya adalah : Segala sesuatu yang melalaikan seseorang dari kebaikan, contohnya adalah nyanyian, permainan, perkataan-perkataan (dongeng) yang dusta, dan setiap perkara yang munkar.................... Dan berkata Al-Qurthubi : Sesungguhnya yang didahulukan (tepat) adalah apa yang telah dikatakan dalam bab ini bahwa tafsir dari lahwul-hadiits  adalah nyanyian (al-ghinaa’). Hal itu merupakan perkataan dari para shahabat dan tabi’in” [Fathul-Qadiir – Free Program from Islamspirit].
2.    Firman Allah ta’ala :
أَفَمِنْ هَـَذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ *  وَتَضْحَكُونَ وَلاَ تَبْكُونَ *  وَأَنتُمْ سَامِدُونَ
Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini?. Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis?. Sedang kamu melengahkan(nya)?” [QS. An-Najm : 59-61].
Ketika menafsirkan ayat { وَأَنتُمْ سَامِدُونَ} “Sedang kamu melengahkan(nya)?”, Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma dalam salah satu riwayat berkata : { هو الغناء} “Maksudnya adalah nyanyian” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dalam Tafsir-nya no. 25273].  
Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma ketika menafsirkan وَأَنتُمْ سَامِدُونَ ; maka ia berkata : “Yaitu Al-Ghinaa’ (nyanyian)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya no. 25282-25283, Al-Bazzar no. 4724, Al-dan Baihaqi 10/223. Berkata Al-Haitsami dalam Majma’uz-Zawaaid juz 7 no. 11381 : “Rijaaluhu rijaalush-shahiih”].
Al-Qurthubi menjelaskan :
سمد لنا أي غن لنا، فكانوا إذا سمعوا القرآن يتلى تغنوا ولعبوا حتى لا يسمعوا.
Samada lanaa ; artinya adalah : ghanna lanaa (bernyanyilah untuk kami). Yaitu, jika mereka mendengarkan Al-Qur’an yang dibacakan, maka mereka bernyanyi-nyanyi dan bermain-main hingga mereka tidak mendengarkannya (Al-Qur’an)” [Tafsir Al-Qurthubi – Free Program from Islamspirit].
3.    Firman Allah ta’ala :
وَالّذِينَ لاَ يَشْهَدُونَ الزّورَ وَإِذَا مَرّواْ بِاللّغْوِ مَرّوا كِراماً
Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” [QS. Al-Furqan : 72].
Ketika menafsirkan { وَالّذِينَ لاَ يَشْهَدُونَ الزّورَ } Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu” , Mujahid berkata : { لا يسمعون الغِناء} “(yaitu) orang-orang yang tidak mendengarkan nyanyian”  [Lihat Tafsir Ath-Thabari  QS. Al-Furqaan : 72].
4.    Firman Allah ta’ala :
وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ وَأَجْلِبْ عَلَيْهِمْ بِخَيْلِكَ وَرَجِلِكَ وَشَارِكْهُمْ فِي الأمْوَالِ وَالأولادِ وَعِدْهُمْ وَمَا يَعِدُهُمُ الشَّيْطَانُ إِلا غُرُورًا
“Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh setan kepada mereka melainkan tipuan belaka.” [QS. Al-Israa’ : 64].
Ibnu Katsir berkata :
وقوله تعالى: {واستفزز من استطعت منهم بصوتك} قيل هو الغناء قال مجاهد باللهو والغناء أي استخفهم بذلك
”Dan firman-Nya : Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu ; dikatakan, yaitu dengan nyanyian. Mujahid berkata : ”Dengan permainan dan nyanyian, yaitu meremehkannya dengan hal tersebut” [Tafsir Ibnu Katsir – Free Prgoram from Islamspirit].
Adapun Al-Qurthubi juga menyebutkan hal yang hampir serupa dengan perkataannya :
"بصوتك" وصوته كل داع يدعو إلى معصية الله تعالى؛ عن ابن عباس. مجاهد: الغناء والمزامير واللهو. الضحاك: صوت المزمار.
Dengan suaramu/ajakanmu ; dan suaranya yaitu setiap hal yang mengajak kepada kemaksiatan terhadap Allah, hal itu berasal dari perkataan Ibnu ’Abbas. Adapun Mujahid, ia berkata : Nyanyian, seruling, dan permainan. Berkata Adl-Dlahhak : Suara seruling” [Tafsir Al-Qurthubi – Free Program from Islamspirit].
Ibnu Taimiyyah menjelaskan :
وقد فسر ذلك طائفة من السلف بصوت الغناء‏.‏ وهو شامل له ولغيره من الأصوات المستفزة لأصحابها عن سبيل الله‏.
”Dan sungguh sebagian ulama salaf telah menafsirkan bi-shautika dengan : ”Nyanyian (al-ghinaa’). Hal itu mencakup seluruh hal selainnya dari jenis-jenis suara yang menghalangi pelakunya dari jalan Allah” [Majmu’ Fataawaa 10/180 – Maktabah Al-Misykah].
Beberapa penafsiran ayat dari para ulama terdahulu di atas menunjukkan bahwa nyanyian di jaman mereka (jaman para shahabat dan tabi’in) merupakan sesuatu yang sangat dibenci dan termasuk perbuatan yang sia-sia.

Dalil As-Sunnah
1.    Imam Bukhari telah menyebut dalam kitab Shahih-nya dalam Bab { باب ما جاء فيمن يستحل الخمر ويسميه بغير اسمه } Bab Apa-Apa yang Datang Seputar Orang yang Menghalalkan Khamr dan Menamainya dengan Nama Lain. Kemudian beliau membawakan hadits sebagai berikut :
وقال هشام بن عمار حدثنا صدقة بن خالد حدثنا عبد الرحمن بن يزيد بن جابر حدثنا عطية بن قيس الكلابي حدثنا عبد الرحمن بن غنم الأشعري قال حدثني أبو عامر أو أبو مالك الأشعري والله ما كذبني سمع النبي صلى الله عليه وسلم يقول ليكونن من أمتي أقوام يستحلون الحر والحرير والخمر والمعازف ولينزلن أقوام إلى جنب علم يروح عليه بسارحة لهم يأتيهم يعني الفقير لحاجة فيقولوا ارجع إلينا غدا فيبيتهم الله ويضع العلم ويمسخ آخرين قردة وخنازير إلى يوم القيامة
Telah berkata Hisyam bin ‘Ammar : Telah menceritakan kepada kami Shadaqah bin Khalid : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman  bin Yazid bin Jaabir : Telah menceritakan kepada kami ‘Athiyyah bin Qais Al-Kilaaby : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman bin Ghunm Al-Asy’ary ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Abu ‘Aamir atau Abu Malik Al-Asy’ary – demi Allah dia ia tidak mendustaiku – bahwa ia telah mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Akan ada di kalangan umatku suatu kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr, alat musik (al-ma’aazif). Dan sungguh beberapa kaum akan mendatangi tempat yang terletak di dekat gunung tinggi lalu mereka didatangi orang yang berjalan kaki untuk suatu keperluan. Lantas mereka berkata : “Kembalilah besok”. Pada malam harinya, Allah menimpakan gunung tersebut kepada mereka dan sebagian yang lain dikutuk menjadi monyet dan babi hingga hari kiamat” [HR. Al-Bukhari no. 5268. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Hibban no. 6754; Ath-Thabrani dalam Al-Kabir no. 3417 dan dalam Musnad Syamiyyin no. 588; Al-Baihaqi 3/272, 10/221; Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam Taghliqut-Ta’liq 5/18,19 dan yang lainnya. Hadits ini memiliki banyak penguat].
Agar lebih jelas, sanad hadits ini diuraikan sebagai berikut :
-       Hisyam bin ‘Ammar
-       Shadaqah bin Khalid
-       ‘Abdurrahman bin Yazid bin Jabir
-       ‘Athiyyah bin Qais Al-Kilaby
-       ‘Abdurrahman bin Ghunm Al-Asy’ary
-       Abu ‘Aamir atau Abu Malik Al-Asy’ary
-       Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam
Sebagian orang mendla’ifkannya karena menganggap hadits tersebut adalah hadits mu’allaq karena ada keterputusan antara Imam Al-Bukhari dan Hisyam bin ‘Ammar. Perkataan ini adalah perkataan yang jauh dari kebenaran dan tidak bisa diterima. Hal itu telah disanggah oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dalam Ighaatsatul-Lahfan (1/259-260) dan Tahdzibus-Sunan (5/271-275) sebagai berikut (dengan peringkasan – melalui perantaraan Tahrim Aalatit-Tharb) :
أحدها: أن البخاري قد لقي هشام بن عمار وسمع منه ، فإذا قال "قال هشام" فهو بمنزلة قوله : " عن هشام " اتفاقا
الثاني: أنه لو لم يسمع منه فهو لم يستجز الجزم به عنه إلا وقد صح عنه أنه حدث به ، وهذا كثيراً ما يكون لكثرة من رواه عنه عن ذلك الشيخ وشهرته ، فالبخاري أبعد خلق الله عن التدليس
الثالث: أنه أدخله في كتابه المسمى ب ( الصحيح )  محتجا به ، فلولا صحته عنده لما فعل ذلك ، فالحديث صحيح بلا ريب
الرابع: أنه علقه بصيغة الجزم دون صيغة التمريض ، فإنه إذا توقف في الحديث أو لم يكن على شرطه يقول: " ويروى عن رسول الله صلى الله عليه وسلم " ، و: " يذكر عنه " ، ونحو ذلك ، فإذا قال: " قال رسول الله صلى الله عليه وسلم " ، و: " قال فلان " فقد جزم وقطع بإضافته إليه ، وهنا قد جزم بإضافة الحديث إلى هشام ، فهو صحيح عنده
الخامس: أنا لو أضربنا عن هذا كله صفحا ، فالحديث صحيح متصل عند غيره"
Pertama, Bahwasannya Imam Al-Bukhari telah bertemu dengan Hisyam bin ‘Ammar dan mendengar darinya. Maka apabila ia berkata : “Telah berkata Hisyam”, itu sama artinya dengan perkataannya : “Dari Hisyam”  menurut kesepakatan. (dan ini artinya bahwa hadits tersebut bersambung/maushul).
Kedua, Jikapun Imam Al-Bukhari tidak mendengar dari Hisyam bin ‘Ammar, maka ia tentu tidak menggunakan lafadh jazm (tegas) dari Hisyam kecuali beliau yakin bahwa benar Hisyam menyampaikan hadits tersebut. Yang demikian itu sering terjadi karena begitu banyak dan masyhurnya riwayat dari Syaikh tersebut. Lagi pula, Al-Bukhari adalah makhluk Allah yang paling jauh dari tadlis.
Ketiga, Imam Al-Bukhari telah memasukkan hadits tersebut dalam kitabnya yang dinamakan “Ash-Shahih” sekaligus berhujjah dengannya. Apabla hadits tersebut tidak shahih, tentu ia tidak akan memasukkannya dalam kitab Ash-Shahih. Walhasil, hadits tersebut adalah shahih tanpa diragukan lagi (menurut Imam Al-Bukhari).
Keempat, Imam Bukhari telah menggunakan lafadh ‘mu’allaq, namun ia menggnakan shighah jazm (tegas) dan bukan menggunakan shighah tamridl (tidak tegas). Apabila Imam Al-Bukhari tawaquf dalam sebuah hadits atau hadits tersebut tidak memenuhi persyaratan (penshahihan)-nya, niscaya ia akan berkata : “Telah diriwayatkan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam” ; “Telah disebutkan dari Fulan” ; atau yang semisal dengannya. Namun apabila ia Imam Al-Bukhari berkata : “Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam” atau “Telah berkata Fulan”  ; maka beliau menegaskan tentang penisbatan riwayat tersebut kepadanya. Dan di sini, Imam Al-Bukhari telah menegaskan penisbatan hadits kepada Hisyam. Maka hadits itu adalah shahih menurutnya.
Kelima, Apabila kita permisalkan bahwa kita menolek hadits ini dari Imam Al-Bukhari, maka (tetap aja) hadits ini shahih muttashil (bersambung sanadnya) selain dari riwayat Imam Al-Bukhari.
[selesai perkataan Ibnul-Qayyim]
Penjelasan perkataan Ibnul-Qayyim tentang kebersambungan sanad dan banyaknya jalan adalah sebagai berikut :
Kebersambungan Sanad
Imam Ibnu Hibban telah membawakan riwayat secara bersambung dalam Shahih-nya (no. 6754) sebagai berikut :
أخبرنا الحسين بن عبد الله القطان قال حدثنا هشام بن عمار قال حدثنا صدقة بن خالد قال حدثنا بن جابر قال حدثنا عطية بن قيس قال حدثنا عبد الرحمن بن غنم قال حدثنا أبو عامر وأبو مالك الأشعريان سمعا رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول ليكونن في أمتي أقوام يستحلون الحرير والخمر والمعازف
Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Husain bin ‘Abdillah Al-Qaththaan ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hisyam bin ‘Ammar ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Shadaqah bin Khalid ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Jabir ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Athiyyah bin Qais ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdirrahman bin Ghunm ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aamir atau Abu Maalik Al-Asy’ary bahwasannya mereka berdua telah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Akan ada di kalangan umatku suatu kaum yang akan menghalalkan sutera, khamr, dan alat musik (al-ma’aazif)”
Susunan sanad hadits tersebut adalah :
-       Al-Husain bin ‘Abdillah Al-Qaththaan
-       Hisyam bin ‘Ammar
-       Shadaqah bin Khalid
-       Ibnu Jabir (yaitu ‘Abdurrahman bin Yazid bin Jabir)
-       ‘Athiyyah bin Qais
-       ‘Abdurrahman bin Ghunm
-       Abu ‘Aamir atau Abu Malik Al-Asy’ary
-       Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam
Sanad ini sama dengan sanad Imam Bukhari dan disebutkan secara bersambung kepada Hisyaam bin ‘Ammar oleh Imam Ibnu Hibban dari Al-Husain bin ‘Abdillah Al-Qaththaan (yaitu dengan memakai shighah : Haddatsanaa Hisyaam bin ‘Ammar). Al-Husain bin ‘Abdilah Al-Qaththaan ini adalah perawi tsiqah lagi haafidh [Siyaru A’lamin-Nubalaa’ 14/287].
Selain Ibnu Hibban, hadits Hisyam bin ‘Ammar bin ‘Ammar tersebut juga muttashil (memakai lafadh haddatsanaa, akhbaranaa, atau yang semisal)  dari :
a)    Imam Ath-Thabarani dalam Mu’jamul-Kabir-nya no. 3417 dari Musa bin Sahl Al-Jauni Al-Bashri (موسى بن سهل الجوني البصري) dari Hisyam bin ‘Ammar. Musa bin Sahl adalah perawi tsiqah lagi haafidh sebagaimana dijelaskan dalam Siyaru A’lamin-Nubalaa’ (14/261).
b)    Imam Ath-Thabarani dalam Musnad Syaamiyyin no. 588 dari Muhammad bin Yaziid bin ‘Abdish-Shamad Ad-Dimasyqi (محمد بن يزيد بن عبد الصمد الدمشقي) dari Hisyam bin ‘Ammar. Muhammad bin Yazid ini disebutkan biografinya oleh Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyqi (16/124) dimana sejumlah perawi meriwayatkan darinya.
c)    Isma’ily dalam Al-Mustakhraj ‘alash-Shahiih dan juga dari jalan Imam Al-Baihaqi dalam Sunan-nya (10/221) dari Al-Hasan bin Sufyan (الحسن بن سفيان) dari Hisyam bin ‘Ammar. Al-Hasan bin Sufyan Al-Khurasany An-Naisabury termasuk salah seorang syaikh (guru) dari Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan yang lainnya. Ia termasuk seorang hafidh. Biografinya terdapat dalam Siyaru A’lamin-Nubalaa’ (14/157-162) dan Tadzkiratul-Huffadh (2/no. 724).
d)    dan yang lain-lain [silakan lihat Taghliqut-Ta’liq 5/17-19 oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani].
Mutaba’ah Hisyam bin ‘Ammar dan Shadaqah bin Khalid
Hadits Hisyam bin ‘Ammar (dan syaikhnya : Shadaqah bin Khaalid) yang muttashil shahih tersebut juga mempunyai mutaba’ah dari Abdul-Wahhab bin Najdah dari Bisyr bin Bakr. Riwayat tersebut terdapat dalam Sunan Abi Dawud no. 4039 secara muttashil sebagai berikut :
حدثنا عبد الوهاب بن نجده ثنا بشر بن بكر عن عبد الرحمن بن يزيد بن جابر ثنا عطية بن قيس قال سمعت عبد الرحمن بن غنم الأشعري قال حدثني أبو عامر أو أبو مالك والله يمين أخرى ما كذبني أنه سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول ليكونن من أمتي أقوام يستحلون الخز والحرير وذكر كلاما قال يمسخ منهم آخرون قردة وخنازير إلى يوم القيامة
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdil-Wahhab bin Najdah : Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Bakr, dari ‘Abdirrahman bin Yazid bin Jabir : Telah menceritakan kepada kami ‘Athiyyah bin Qais, ia berkata : Aku mendengar ‘Abdurrahman bin Ghunm  Al-Asy’ary ia berkata : Telah menceritakan kepadaku : Abu ‘Aamir atau Abu Malik – demi Allah dia tidak mendustaiku – bahwasannya ia telah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Akan ada di kalangan umatku satu kaum yang akan menghalalkan zina, sutera, - (perawi berkata) “dan beliau menyebutkan satu perkataan”. Kemudian Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam melanjutkan : “Sebagian dari mereka yang lain diubah menjadi kera dan babi hingga hari kiamat”.
Susunan sanad hadits tersebut adalah :
-       ‘Abdul-Wahhab bin Najdah
-       Bisyr bin Bakr
-       ‘Abdurrahman bin Yazid bin Jabir
-       ‘Athiyyah bin Qais
-       ‘Abdurrahman bin Ghunm
-       Abu ‘Aamir atau Abu Malik Al-Asy’ary
-       Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
Hadits di atas tidak menyebutkan “al-ma’aazif” (alat musik). Namun disebutkan oleh perawi dengan : “dan beliau menyebutkan satu perkataan” { وذكر كلاما}. Makna kalimat ini dijelaskan pada riwayat lain oleh Ibnu Hajar dalam Taghliqut-Ta’liq dan Isma’ily dalam Al-Mustakhraj dari Abdurrahman bin Ibrahim yang ia digelari Ad-Duhaim. Ad-Duhaim berkata : Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Bakr : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Jabir, dari ‘Athiyyah,…..dst. { ثنا بشر هو ابن بكر ثنا ابن جابر عن عطية بن قيس .....}. Kemudian menyebutkan hadits :
......يستحلون الحر والحرير والخمر والمعازف
“……Yang menghalalkan zina, sutera, khamr, alat musik (al-ma’aazif)”.
Mutaba’ah yang lain adalah ‘Isa bin Ahmad Al-‘Asqalani yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyqi (19/196) dari Al-Hafidh Abi Sa’iid Al-Haitsam bin Kulaib Asy-Syaasyii darinya (‘Isa).
Mutaba’ah ‘Athiyyah bin Qais
‘Athiyyah bin Qais dalam sanad Al-Bukhari juga mempunyai mutaba’ah, yaitu riwayat dari :
a)    Malik bin Abi Maryam
حدثنا عبد الله بن سعيد ثنا معن بن عيسى عن معاوية بن صالح عن حاتم بن حريث عن مالك بن أبي مريم عن عبد الرحمن بن غنم الأشعري عن أبي مالك الأشعري قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ليشربن ناس من أمتي الخمر يسمونها بغير اسمها يعزف على رءوسهم بالمعازف والمغنيات يخسف الله بهم الأرض ويجعل منهم القردة والخنازير
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Sa’iid : Telah menceritakan kepada kami : Ma’in bin ‘Isa, dari Mu’awiyyah bin Shaalih, dari Haatim bin Haarits, dari Malik bin Abi Maryam, dari ‘Abdirrahman bin Ghunm Al-Asy’ary, dari Abi Malik Al-Asy’ary ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Pasti akan ada sekelompok manusia dari umatku yang meminum khamr dan menamainya dengan nama lain. Mereka senang memainkan alat-alat musik (ma’aazif) dan biduanita. Lalu Allah akan menenggelamkan mereka ke dalam bumi dan menjadikan sebagian mereka kera dan babi”  [HR. Abu Dawud no. 3688, Ibnu Majah no. 4020, Ahmad no. 22951, Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir no. 3419, dan yang lainnya].
Semua perawi dalam hadits ini adalah tsiqah, kecuali Malik bin Abi Maryam. Ia adalah perawi majhul. Tidak diketahui riwayat darinya kecuali apa yang driwayatkan Haatim bin Haarits darinya (sebagaimana hadits di atas). Ia hanya dianggap tsiqah oleh Ibnu Hibban (dan Ibnu Hibban adalah salah seorang ulama yang dikenal tasahul dalam mentsiqahkan perawi-perawi majhul).
b)    Ibrahim bin ‘Abdil-Hamid bin Dzi Himayah
إبراهيم بن عبد الحميد بن ذي حماية عمن أخبره عن أبي مالك الأشعري أو أبي عامر سمعت النبي صلى الله عليه وسلم في الخمر والمعازف
Ibrahim bin ‘Abdil-Hamid bin Dzi Himayah dari orang yang mengkhabarkan padanya, dari Abi Malik Al-Asy’ary atau Abi ‘Aamir : Aku mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang khamr dan alat-alat musik (ma’aazif).
Ibrahim bin ‘Abdil-Hamid adalah perawi tsiqah sebagaimana disebutkan oleh Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyqi (1/454-455). Abu Zur’ah berkata : “Tidak mengapa dengannya” {ما به بأس}. Imam Ath-Thabarani berkata dalam Ash-Shaghiir : “Ia termasuk perawi yang dipercaya oleh kaum muslimin” {كان من ثقات المسلمين}. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat (no. 6520).
Dalam hadits tersebut terdapat perawi mubham (yang tidak disebutkan identitasnya). Ada kemungkinan bahwa perawi mubham tersebut adalah ‘Abdurrahman bin Ghunm. Jika benar, maka ini adalah mutaba’ah yang sangat kuat. Jika bukan dia, maka kemungkinan adalah seorang tabi’i majhul yang setingkat dengan ‘Abdurrahman bin Ghunm.
Bagaimanapun juga, hadits Ibrahim ini menguatkan hadits Abu Malik dengan keseluruhan riwayatnya.
Secara keseluruhan, pendapat yang melemahkan hadits ini (seperti pendapat Ibnu Hazm dan orang yang bertaqlid kepadanya) adalah pendapat yang paling lemah yang tidak mempunyai dasar pijakan yang kuat. Adapun para imam yang menshahihkan hadits ma’aazif  dalam Shahih Al-Bukhari dan yang lainnya ini antara lain adalah : Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya; Imam Ibnu Hibban dalam Shahih-nya; Imam Abu Bakar Al-Isma’ily dalam Al-Mustakhraj ‘alash-Shahih; An-Nawawi dalam Irsyaadul Thullaabil-Haq, Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam Fathul-Bari dan Taghliqut-Ta’liq; Al-Hafidh Ibnu Shalah dalam Ma’rifati ‘Ulumil-Hadiits; Al-Hafidh As-Sakhawi dalam Fathul-Mughiits ; Al-Hafidh Ibnu Rajab dalam Nuzhatul-Asmaa’ ; dan yang lainnya (termasuk ulama jaman sekarang : Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahiihah dan Tahrim Aalatith-Tharb).
Hadits ini kami tuliskan sedikit rinci untuk membantah orang-orang yang mendla’ifkannya dalam rangka membolehkan nyanyian dan alat musik, terutama di jaman sekarang ditokohi oleh Dr. Yusuf Al-Qaradlawi.
Catatan :
Apa makna Al-Ma’aazif [اْلمَعَازِف] ? Al-Ma’aazif [اْلمَعَازِف] merupakan jamak dari Al-Mi’zaf [اْلمِعْزَف]. Dalam Qamus Al-Muhith halaman 753 dinyatakan : [هي الملاهي ، كالعود والطنبور] = Ia adalah al-malahi (alat-alat musik dan permainan-permainan), seperti al-‘ud dan ath-thanbur (gitar atau rebab). Dalam An-Nihayah, al-ma’azif diartikan sebagai : [هي الدفوف وغيرها مما يضرب [ به ]] = Ia adalah seperti duff-duff atau selainnya yang biasa dipukul. Adz-Dzahabi dalam Siyaru A’laamin-Nubalaa’ mengatakan : [اسم لكلِّ آلات الملاهي التي يعزَف بها ، كالمزمار ، والطنبور ، والشبابة ، والصنوج] = Al-Ma’azif adalah setiap nama dari alat musik atau permainan (al-malahi) yang digunakan untuk mengiringi sebuah lagu atau sya’ir; seperti seruling, thanbur, simpal, dan terompet. Definisi serupa juga tertera dalam kitab beliau yang lain : Tadzkiratul-Huffadh 2/1337.
Ibnul-Qayyim dalam Ighatsatul-Lahfan memberikan kata-kata pamungkas untuk definisi Al-Ma’azif : [وهي آلات اللهو كلها ، لا خلاف بين أهل اللغة في ذلك] = Ia adalah seluruh alat permainan. Dan ini tidak diperselisihkan lagi oleh para ahli bahasa (Arab).
2.    Imam At-Tirmidzi membawakan sebuah hadits dalam Sunan-nya :
عن عمران بن حصين أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال في هذه الأمة خسف ومسخ وقذف فقال رجل من المسلمين يا رسول الله ومتى ذاك قال إذا ظهرت القينات والمعازف وشربت الخمور
Dari ‘Imraan bin Hushain : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Akan ada di kalangan umatku ini nanti bumi yang ditenggelamkan, hujan batu, dan kutukan hingga diubah menjadi makhluk lain”. Maka berkata seorang laki-laki di antara kaum muslimin (yaitu dari kalangan shahabat Nabi) : “Wahai Rasulullah, bagaimanakah hal itu bisa terjadi?”. Beliau menjawab : “Ya, jika telah bermunculan para penyanyi perempuan (biduanita), alat-alat musik, dan khamr telah diminum” [HR. Tirmidzi no. 2212. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abid-Dunya dalam Dzammul-Malaahy 1/2; Abu ‘Amru Ad-Daani dalam As-Sunanul-Waaraditau fil-Fitan 39/1, 40/2; dan Ibnun-Najjar dalam Dzail Tarikh Baghdad 18/252].
Imam At-Tirmidzi mengomentari hadits itu dengan perkataannya : { وقد روي هذا الحديث عن الأعمش عن عبد الرحمن بن سابط عن صلى الله عليه وسلم مرسل وهذا حديث غريب } “Hadits ini telah diriwayatkan dari Al-A’masy dari ‘Abdirrahman bin Saabith dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam secara mursal. Dan hadits ini adalah hadits gharib”.
Hadits di atas perawinya semua tsiqah, kecuali Abdullah bin ‘Abdil-Quddus. Al-Hafidh berkata tentangnya : { صدوق ، رُمي بالرفض ، وكان أيضا يخطئ} “Shaduuq, tertuduh sebagai seorang Rafidlah, dan banyak salah”. Jarh (celaan) terhadap Abdullah bin ‘Abdil-Quddus ini tidak menjadi masalah karena banyaknya mutaba’ah.
Adapun kemursalan Al-A’masy, maka hal itu telah disambung oleh Abu ‘Amru Ad-Daani (40/2) melalui jalan Hammad bin ‘Amru dengan lafadh yang sama. Namun Hammad ini adalah seorang matruk (ditinggalkan haditsnya) yang kedudukannya lebih rendah daripada Abdullah bin ‘Abdil-Quddus. Sementara itu, riwayat Al-A’masy mempunyai mutaba’ah terlebih dahulu dari Laits bin Abi Sulaim yang dikenal dengan kelemahannya sebagaimana diriwayatkan oleh Ad-Daani (37/2, 39/1).
Mutaba’ah lain adalah sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abid-Dunya (2/2) : Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Isma’il ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Jarir, dari ‘Abban bin Taghlab, dari ‘Amru bin Murrah, dari ‘Abdirrahman bin Saabith ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam ….. kemudian dia menyebutkan haditsnya. Hadits tersebut adalah hadits mursal shahih, seluruh perawinya adalah tsiqah yang dipakai oleh Imam Muslim, kecuali Ishaq bin Isma’il. Ia adalah Ath-Thalaqany, yang merupakan guru dari Abu Dawud. Beliau (Abu Dawud) mengomentarinya : “Tsiqah”. Begitu pula yang dikatakan oleh Ad-Daruquthni dan ‘Utsman bin Khurrazaadz : “Tsiqatun-tsiqah” (amat sangat dipercaya).
Mutaba’ah lain adalah dari Ibnu Abi Syaibah (15/164/19391) : Dari Waki’ bin ‘Abdillah bin ‘Amru bin Murrah, dari ayahnya (‘Amru bin Murrah), dengan lafadh yang sama.
Masih banyak mutaba’ah yang lain sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Tahrim Aalatith-Tharb dan Silsilah Ash-Shahihah yang membawa hadits ini dalam derajat shahih.
3.    Imam Ibnu Majah meriwayatkan hadits sebagai beikut :
عن أبي مالك الأشعري قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ليشربن ناس من أمتي الخمر يسمونها بغير اسمها يعزف على رءوسهم بالمعازف والمغنيات يخسف الله بهم الأرض ويجعل منهم القردة والخنازير
Dari Abu Malik Al-Asy’ary ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam : ”Sungguh akan ada orang-orang dari umatku yang meminum khamr yang mana mereka menamakannya dengan selain namanya. Mereka dihibur dengan musik dan (alunan suara) biduanita, maka Allah akan membenamkan mereka ke dalam bumi dan Dia akan mengubah bentuk sebagian mereka menjadi kera dan babi”  [HR. Ibnu Majah no. 4010. Diriwayatkan juga oleh Ahmad no. 22951, Ibnu Hibban dalam Mawaaridudh-Dham’an hal. 336 no. 1384, dan yang lainnya. Hadits ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah, Misykaatul-Mashaabih, Ash-Shahiihah, dan Tahrim Alaatith-Tharb dan Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth dalam ta’liq-nya atas Musnad Imam Ahmad].
4.    Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alahi wasallam :
إن الله حرّم عليّ - أو حرم - الخمر ، والميسر ، والكوبة ، وكل مسكر حرام
“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas diriku – atau telah mengharamkan – khamr, judi, al-kuubah (sejenis alat musik), dan setiap hal yang memabukkan adalah haram”.
Diriwayatkan oleh Qais bin Habtar An-Nahsyaly dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma. Dari Qais ini diriwayatkan dalam dua jalur :
a)    Dari ‘Ali bin Badziimah (علي بن بذيمة) : Telah menceritakan kepadaku Qais bin Habtar An-Nahsyaly dari Ibnu ‘Abbas.
Dikeluarkan oleh Abu Dawud (no. 3696), Al-Baihaqi (10/221), Ahmad dalam Al-Musnad (no. 2476) dan Al-Asyribah (no. 193), Abu Ya’la dalam Musnad-nya (no. 2729), Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (no. 5341), Abul-Hasan Ath-Thuusi dalam Al-Arba’iin (13/1 – cet. Dhahiriyyah), dan Ath-Thabarani dalam iAl-Mu’jamul-Kabiir (12/101 no. 12598-12599) ; dari jalan Sufyan bin ‘Ali bin Badziimah ia berkata : Telah berkata Sufyan : Aku berkata kepada ‘Ali bin Badziimah : " Apa yang dimaksudkan dengan Al-Kuubah ?". Ia menjawab : "Gendang".
b)    Dari ‘Abdil-Kariim Al-Jazry (عبد الكريم الجزري) dari Qais bin Habtar dengan lafadh :
إن الله حرّم عليهم الخمر ، والميسر ، والكوبة - وهو الطبل - وقال: كل مسكر حرام
"Sesungguhnya Allah telah mengharamkan kepada mereka khamr, judi, dan al-kuubah – yaitu gendang - . Dan kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Setiap hal yang memabukkan adalah haram”.
Dikeluarkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad (no. 2625) dan Al-Asyribah (no. 14), Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir (no. 12601), dan Al-Baihaqi (10/213-221).
Sanad hadits ini adalah shahih dari dua jalur Qais. Qais telah diberikan tautsiq oleh Abu Zur’ah dan Ya’qub dalam Al-Ma’rifah (3/194), Ibnu Hibban (5/308), An-Nasa’i dan Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam At-Taqrib serta dan diringkas oleh Adz-Dzahabi dalam Al-Kaasyif terhadap penyebutan tautsiq An-Nasa’i tersebut – dan ia menyetujuinya - . Oleh karena itu Syaikh Ahmad Syakir menshahihkannya sebagaimana komentarnya terhadap Al-Musnad (Imam Ahmad bin Hanbal) dalam dua tempat (4/158, 218).
5.    Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam Musnad-nya :
عن نافع مولى بن عمر : أن بن عمر سمع صوت زمارة راع فوضع إصبعيه في أذنيه وعدل راحلته عن الطريق وهو يقول يا نافع أتسمع فأقول نعم فيمضي حتى قلت لا فوضع يديه وأعاد راحلته إلى الطريق وقال رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وسمع صوت زمارة راع فصنع مثل هذا
Dari Nafi’ maula Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma : Bahwasannya Ibnu ’Umar pernah mendengarkan suara seruling yang ditiup oleh seorang penggembala. Maka ia meletakkan kedua jarinya di kedua telinganya (untuk menyumbat/menutupinya) sambil membelokkan untanya dari jalan (menghindari suara tersebut). Ibnu ’Umar berkata : ”Wahai Nafi’, apakah kamu masih mendengarnya ?”. Maka aku berkata : ”Ya”. Maka ia terus berlalu hingga aku berkata : ”Aku tidak mendengarnya lagi”. Maka Ibnu ’Umar pun meletakkan tangannya (dari kedua telinganya) dan kembali ke jalan tersebut sambil berkata : ”Aku melihat Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam ketika mendengar suara seruling melakukannya demikian” [HR. Ahmad 2/8 no. 4535 dan 2/38 no. 4965. Diriwayatkan juga oleh Abu Dawud no. 4924 dan 4926; Al-Ajurri dalam Tahriimun-Nard wasy-Syatranj wal-Malaahi no. 64; dan yang lainnya].
Abu ’Ali Al-Lu’lu’i berkata : Aku mendengar Abu Dawud berkata : ”Hadza hadiitsun munkarun” (ini adalah hadits munkar) [Sunan Abi Dawud no. 4924]. Namun penilaian Abu Dawud tersebut disanggah oleh Muhammad Syamsul-Haq Al-’Adhim ’Abadi dengan perkataannya :
هكذا قاله أبو داود ولا يعلم وجه النكارة فإن هذا الحديث رواته كلهم ثقات وليس بمخالف لرواية أوثق الناس
”Begitulah yang dikatakan Abu Dawud. Dan tidak diketahui sisi kemunkaran hadits ini. Para perawi hadits ini seluruhnya tsiqah, dan tidak bertentangan dengan riwayat orang yang lebih tsiqah darinya” [’Aunul-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, Kitaabul-Adab].
Hadits ini dishahihkan oleh Syamsul-Haq ’Adhim ’Abadi dalam ’Aunul-Ma’bud, As-Suyuthi melalui nukilan dalam ’Aunul-Ma’bud, Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud, dan Al-Arna’uth dalam ta’liq-nya atas Musnad Imam Ahmad (dengan status penilaian : hasan).
Sebagian orang ada yang justru memakai hadits ini tentang diperbolehkannya mendengarkan alat musik. Mereka beralasan bahwa jika memang mendengarkan suara seruling itu haram, maka Ibnu ’Umar tentu tidak akan membiarkan Nafi’ untuk mendengarkannya. Apa yang dilakukan oleh Ibnu ’Umar hanya merupakan sikap wara’  yang ada pada dalam dirinya.
Pendalilan mereka itu telah dijawab oleh para ulama. As-Suyuthi - sebagaimana dinukil oleh Al-’Adhim ’Abadi dalam Aunul-Ma’bud - berkata :
وهذا لا يدل على إباحة لأن المحظور هو قصد الاستماع لا مجرد إدراك الصوت لأنه لا يدخل تحت تكليف
“Hadits ini tidak menunjukkan sama sekali tentang kebolehannya, karena hal yang dilarang adalah dengan tujuan ”mendengarkan” (al-istimaa’ ). Bukan pada keberadaan sampainya (terdengarnya) suara pada telinga kita (yang memang terkadang tidak bisa kita hindari). Hal itu tidak masuk pada perkara yang dibebankan pada manusia (taklif )” [’Aunul-Ma’bud, Kitaabul-Adab].
6.    Imam Bukhari dan Imam Muslim membawakan hadits dalam kitab Shahih-nya dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa ia berkata :
دخل علي رسول الله صلى الله عليه وسلم وعندي جاريتان تغنيان بغناء بعاث فاضطجع على الفراش وحول وجهه ودخل أبو بكر فانتهرني وقال مزمارة الشيطان عند النبي صلى الله عليه وسلم فأقبل عليه رسول الله عليه السلام فقال دعهما فلما غفل غمزتهما فخرجتا وكان يوم عيد يلعب السودان بالدرق والحراب فإما سألت النبي صلى الله عليه وسلم وإما قال تشتهين تنظرين فقلت نعم فأقامني وراءه خدي على خده وهو يقول دونكم يا بني أرفدة حتى إذا مللت قال حسبك قلت نعم قال فاذهبي
"Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memasuki rumahku sedang aku bersama dua orang anak perempuan kecil yang sedang mendendangkan nyanyian Bu’ats. Lalu beliau berbaring dan mengarahkan wajahnya ke arah lain. Kemudian Abu Bakar masuk dan memukulku seraya berkata : “Ada seruling syaithan di dekat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam”. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menghadapkan wajahnya kepada Abu Bakar seraya bersabda : “Biarkan saja mereka berdua”. Ketika Abu Bakar lengah, aku mencubit kedua anak perempuan itu dan merekapun pergi keluar”  [HR. Al-Bukhari no. 907 dan Muslim no. 892].
Hadits ‘Aisyah di atas memberikan pemahaman bahwa Nabi dan para shahabatnya tidak terbiasa berkumpul mendengarkan nyanyian, karena itu secara spontan Abu Bakar Ash-Shiddiq menamainya seruling syaithan. Dan pada waktu itu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak mengingkari perkataan Abu Bakar (ketika beliau mengatakan : “Ada seruling syaithan di dekat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam”). Dalam riwayat lain, beliau memberikan penjelasan kepada Abu Bakar tentang alasan pembolehan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam pada waktu itu sebagai satu rukhshah, dengan perkataan beliau : (دعهما يا أبا بكر ! فإن لكل قوم عيدا ، وهذا عيدنا) " Biarkan mereka berdua wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum itu mempunyai ‘Ied (hari raya). Dan ini adalah hari raya kita".[1]
Abu Thayyib Ath-Thabari mengatakan :
هذا الحديث حجتنا ، لأن أبا بكر سمى ذلك مزمور الشيطان ، ولم ينكر النبي صلى الله عليه وسلم على أبي بكر قوله ، وإنما منعه من التغليظ في الإنكار لحسن رفقته ، لا سيما في يوم العيد ، وقد كانت عائشة رضي الله عنها صغيرة في ذلك الوقت ، ولم ينقل عنها بعد بلوغها وتحصيلها إلا ذم الغناء ، وقد كان ابن أخيها القاسم بن محمد يذم الغناء ويمنع من سماعه ، وقد أخذ العلم عنها
“Hadits tersebut (yaitu hadits ‘Aisyah di atas) merupakan hujjah bagi kami. Hal itu disebabkan Abu Bakar menamakannya seruling syaithan, dan perkataan ini tidak diingkari oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Hanya saja, beliau melarang Abu Bakar untuk mengingkarinya secara keras (berlebihan) karena kelemah-lembutan beliau terhadap mereka, terutama pada hari ‘Ied.  Apalagi ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa masih kecil/muda pada waktu itu. Dan tidaklah kemudian dinukil darinya setelah ia baligh dan dewasa kecuali celaannya terhadap nyanyian. Kemenakannya yang bernama Al-Qaasim bin Muhammad mencela nyanyian dan melarang untuk mendengarkannya. Dan Al-Qasim telah mengambil ilmu dari ‘Aisyah (maknanya : celaan dan pelarangan Al-Qasim itu sangat dimungkinkan merupakan ilmu yang diajarkan ‘Aisyah kepadanya)” [Dinukil dari kitab Ibnul-Jauzi 1/253-254].
Ibnu Taimiyyah berkata :
ففي هذا الحديث بيان أن هذا لم يكن من عادة النبي صلى الله عليه وسلم وأصحابه الاجتماع عليه ، ولهذا سماه الصديق أبو بكر رضي الله عنه " مزمور الشيطان " ، والنبي صلى الله عليه وسلم أقرّ الجواري عليه معللا ذلك بأنه يوم عيد والصغار يرخص لهم في اللعب في الأعياد ، كما جاء في الحديث:
 " ليعلم المشركون أن في ديننا فسحة " ، وكما كان يكون لعائشة لعب تلعب بهن ، وتجيء صواحباتها من صغار النسوة يلعبن معها".
“Dalam hadits ini mengandung penjelasan bahwasannya hal tersebut (mendengarkan nyanyian dan seruling) bukanlah kebiasaan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya, yaitu berkumpul padanya (untuk mendengarkannya). Oleh karena itu Abu Bakar Ash-Shiddiq menamainya dengan seruling syaithan. Dan di waktu yang bersamaan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam menyetujui apa yang dilakukan oleh gadis-gadis kecil dengan alasan bahwa hari itu adalah hari ‘Ied. Anak-anak kecil diberikan keringanan (rukhshah) untuk bernyanyi dan bermain-main sebagaimana tercantum dalam hadits : “Agar orang-orang musyrik mengetahui bahwa dalam agama kita terdapat keluasan”.  Sebagaimana juga ‘Aisyah mempunyai mainan yang ia pakai untuk bermain, dan kemudian didatangkan anak-anak kecil perempuan untuk bermain dengannya” [As-Simaa’ war-RaqshMajmu’atur-Rasaail Al-Kubraa 2/285].
Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata :
فيه تعليل وإيضاح خلاف ما ظنه الصديق من أنهما فعلتا ذلك بغير علمه صلى الله عليه وسلم ، لكونه دخل فوجده مغطى بثوبه فظنه نائما ، فتوجه له الإنكار على ابنته من هذه الأوجه ، مستصحبا لما تقرر عنده من منع الغناء واللهو ، فبادر إلى إنكار ذلك قياما عن النبي صلى الله عليه وسلم بذلك ، مستندا إلى ما ظهر له ، فأوضح له النبي صلى الله عليه وسلم الحال ، وعرّفه الحكم مقرونا ببيان الحكمة بأنه يوم عيد ، أي: سرور شرعي فلا ينكر فيه مثل هذا كما لا ينكر في الأعراس
“Di dalam hadits tersebut terdapat alasan dan penjelasan yang bertolak belakang dengan apa yang diperkirakan oleh Ash-Shiddiq (Abu Bakar), bahwasannya mereka berdua (yaitu dua anak kecil yang bernyanyi) melakukannya tanpa sepengetahuan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Hal itu dikarenakan, ketika Abu Bakar masuk, ia menemukan beliau dalam keadaan berselimut pakaiannya yang ia menyangka beliau sedang tidur. Maka Abu Bakar melakukan pengingkaran berdasarkan apa yang ia pahami secara dhahir dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam (atas pelarangannya). Maka kemudian Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam menjelaskan hal tersebut kepadanya, dan memberitahukan hukum yang terkait dengan penjelasan hikmah yang terkandung dalam hari ‘Ied, yaitu : kegembiraan yang disyari’atkan. Maka, tidaklah hal itu diingkari sebagaimana hal itu juga tidak diingkari ketika acara pernikahan” [Fathul-Baari  2/no. 907].
7.    Dan lain-lain. 


Perkataan Ulama Mengenai Keharaman Nyanyian yang Disertai Alat Musik
Jumhur ulama mengharamkan nyanyian yang disertai alat musik. Hal itu telah menjadi kesepakatan imam empat.
1.        ’Utsman bin ’Affan radliyallaahu ’anhu, ia berkata :
لَقَدِ اخْتَبَأْتُ عِنْدَ رَبِّي عَشْرًا ، إِنِّي لَرَابِعُ أَرْبَعَةٍ فِي الإِسْلامِ ، وَمَا تَعَنَّيْتُ وَلا تَمَنَّيْتُ
”Sungguh aku telah bersumbunyi dari Rab-ku selama sepuluh tahun. Dan aku adalah orang keempat dari empat orang yang pertama kali masuk Islam. Aku tidak pernah bernyanyi dan berangan-angan.....” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Mu’jamul-Kabiir no. 122 – Maktabah Sahab; hasan].
2.        Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
الغناء ينبت النفاق في القلب
“Nyanyian itu menumbuhkan kemunafikan dalam hati” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abid-Dunyaa dalam Dzammul-Malaahi 4/2 serta Al-Baihaqi dari jalannya dalam Sunan-nya 10/223 dan Syu’abul-Iman 4/5098-5099; shahih. Lihat Tahrim Alaatith-Tharb hal. 98; Maktabah Sahab].
3.        ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma. Ibnul-Jauzi meriwayatkan sebagai berikut :
ومر ابن عمر رضي الله عنه بقوم محرمين وفيهم رجل يتغنى قال ألا لا سمع الله لكم
”Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhu pernah melewati satu kaum yang sedang melakukan ihram dimana bersama mereka ada seorang laki-laki yang sedang bernyanyi. Maka Ibnu ’Umar berkata kepada mereka : ”Ketahuilah, semoga Allah tidak mendengar doa kalian” [Talbis Ibliis oleh Ibnul-Jauzi hal. 209 – Daarul-Fikr 1421].
4.        ‘Abdullah bin ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma, ia berkata :
الدف حرام ، والمعازف حرام ، والكوبة حرام ، والمزمار حرام
”Duff itu haram, alat musik (ma’aazif) itu haram, al-kuubah itu haram, dan seruling itu haram” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi 10/222; shahih].
5.        Khalifah ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziz rahimahullah.
Al-Auza’i berkata :
كتب مع عمر بن عبد العزيز إلى ( عمر بن الوليد )  كتابا فيه "....و إظهارك المعازف والمزمار بدعة في الإسلام ، ولقد هممت أن أبعث إليك من يَجُزُّ جُمَّتك جمَّة سوء".
‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziz pernah menulis surat kepada ‘Umar bin Al-Waliid yang di diantaranya berisi : “….Perbuatanmu yang memperkenalkan alat musik merupakan satu kebid’ahan dalam Islam. Dan sungguh aku telah berniat untuk mengutus seseorang kepadamu untuk memotong rambut kepalamu dengan cara yang kasar” [Dikeluarkan oleh An-Nasa’i dalam Sunan-nya (2/178) dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (5/270) dengan sanad shahih. Disebutkan juga oleh Ibnu ‘Abdil-Hakam dalam Siratu ‘Umar (154-157) dengan panjang lebar. Juga oleh Abu Nu’aim (5/309) dari jalan yang lain dengan sangat ringkas].
6.        Abu Hanifah rahimahullah.
Ibnul-Jauzi berkata :
أخبرنا هبة الله بن أحمد الحريري عن أبي الطيب الطبري قال كان أبو حنيفة يكره الغناء مع إباحته شرب النبيذ ويجعل سماع الغناء من الذنوب قال وكذلك مذهب سائر أهل الكوفة إبراهيم والشعبي وحماد وسفيان الثوري وغيرهم لا أختلاف بينهم في ذلك قال ولا يعرف بين أهل البصرة خلاف في كراهة ذلك والمنع منه
“Telah mengkhabarkan kepada kami Hibatullah bin Ahmad Al-Hariry, dari Abuth-Thayyib Ath-Thabary ia berkata : “Adalah Abu Hanifah membenci nyanyian dan memperbolehkan perasan buah. Beliau memasukkan mendengar lagu sebagai satu dosa. Dan begitulah madzhab seluruh penduduk Kufah seperti Ibrahim (An-Nakha’i), Asy-Sya’bi, Hammad, Sufyan Ats-Tsauri, dan yang lainnya. Tidak ada perbedaan di antara mereka mengenai hal itu. Dan tidak diketahui pula perbedaan pendapat akan hal yang sama di antara penduduk Bashrah dalam kebencian dan larangan mengenai hal tersebut” [1] [Talbis Ibliis oleh Ibnul-Jauzi hal. 205 – Daarul-Fikr 1421].
7.        Malik bin Anas rahimahullah.
Telah diriwayatkan dengan sanad shahih dari Ishaaq bin ‘Isa Ath-Thabbaa’ (termasuk perawi Muslim) oleh Abu Bakar Al-Khallal dalam Al-Amru bil-Ma’ruf (halaman 32) dan Ibnul-Jauzi dalam Talbis Iblis (halaman 244), bahwa ia berkata :
سألت مالك بن أنس عما يترخص فيه أهل المدينة من الغناء ؟ فقال: " إنما يفعله عندنا الفسّاق
“Aku bertanya kepada Malik bin Anas tentang nyanyian yang diperbolehkan oleh Ahlul-Madinah ?”. Maka ia menjawab : “Bahwasannya hal bagi kami hanya dilakukan oleh orang-orang fasiq” [selesai perkataan Imam Malik]. [2]
8.        Muhammad bin Idris (Asy-Syafi’i) rahimahullah berkata :
إن الغناء لهو مكروه يشبه الباطل والمحال ومن استكثر منه فهو سفيه ترد شهادته
“Sesungguhnya nyanyian itu perkataan sia-sia lagi makruh, sama halnya dengan kebathilan. Barangsiapa yang sering mendengarkan nyanyian, maka dia itu bodoh, tidak diterima persaksiannya” [Adabul-Qadla’  - melalui perantara Al-I’laam bi-Naqdi Kitaab Al-Halal wal-Haram oleh Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan – Maktabah Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, Free Program from Islamspirit].
Beliau juga pernah berkata :
تركت بالعراق شيئا يسمونه التغبير وضعته الزنادقة يصدون به الناس عن القرآن
“Aku meninggalkan Baghdad karena munculnya sesuatu di sana yang mereka namakan dengan At-Taghbiir yang telah dibuat oleh kaum Zanadiqah. Mereka memalingkan manusia dari Al-Qur’an” [Nuzhatul-Asmaa’ fii Mas-alatis-Simaa’ oleh Ibnu Rajab Al-Hanbaly, Daaruth-Thayyibah 1407].
Para ulama telah menjelaskan makna At-Taghbiir di sini dengan : ”Bait-bait syair yang mengajak bersikap zuhud terhadap dunia, dilantunkan oleh seorang penyanyi. Sebagian yang hadir kemudian memukulkan potongan ranting di atas hamparan tikar atau bantal, disesuaikan dengan jenis lagunya”. Jumhur fuqahaa telah melarang taghbiir ini.
9.        Sa’id bin Al-Musayib rahimahullah mengatakan :
إني لأُبغض الغناء وأحب الرجز
“Sesungguhnya aku membenci nyanyian, dan lebih menyukai rajaz (semacam syi’ir)” [Dikeluarkan oleh Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf (11/6/19743) dengan sanad shahih].
10.     Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata : ”Aku pernah mendengar ayahku (Ahmad bin Hanbal) berkomentar tentang seorang laki-laki yang kebetulan melihat (beberapa alat musik seperti) thanbur (gitar/rebab), ’uud, thabl (gendang), atau yang serupa dengannya, maka apa yang harus ia lakukan dengannya ?. Beliau berkata :
اذا كان مغطى فلا وان كان مكشوفا كسره
”Apabila alat-alat tersebut tidak tampak, maka jangan (engkau rusak). Namun bila alat-alat tersebut nampak, maka hendaknya ia rusakkan” [Masaailul-Imam Ahmad bin Hanbal no. 1174].
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal pernah bertanya kepada ayahnya tentang nyanyian. Maka beliau menjawab :
يثبت النفاق في القلب........
”Menetapkan kemunafikan di dalam hati.......... [idem, no. 1175].
11.     Syuraih Al-Qadli rahimahullah. Abu Hushain mengatakan :
أن رجلاً كسر طنبور رجل ، فخاصمه شريح ، فلم يضمّنه شيئاً
“Bahwasannya ada seorang laki-laki yang mematahkan thanbur (mandolin) milik seseorang. Maka hal itu diperkarakan kepada Syuraih (sebagai seorang Qadli pada waktu itu). Maka ia (Syuraih) memutuskan bahwa orang yang mematahkan thanbur tersebut tidak memberi jaminan ganti sedikitpun” [Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf  7/312/3275 dengan sanad shahih. Diriwayatkan juga oleh Al-Baihaqi 6/101 dan Al-Khallal halaman 26, dimana disebutkan bahwa sesuadah itu Abu Hushain berkata : Telah berkata Hanbal : Aku mendengar Abu ‘Abdillah (Imam Ahmad) berkata : “Hal tersebut adalah munkar, sehingga Syuraih tidak memberikan keputusan apa-apa (pada si pemilik thanbur)”.].
12.     Asy-Sya’bi (‘Aamir bin Syaraahiil) rahimahullah. Diriwayatkan oleh Isma’il bin Abi Khaalid bahwa Asy-Sya’bi membenci upah penyanyi, dan ia (Asy-Sya’bi) berkata :
ما أحب أن آكله
“Aku tidak mau mmakannya” [Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (7/9/2203) dengan sanad shahih].
Beliau juga berkata :
إن الغناء ينبت النفاق في القلب ، كما ينبت الماء الزرع ، وإن الذكر ينبت الإيمان في القلب كما ينبت الماء الزرع
“Sesungguhnya nyanyian itu menumbuhkan emunafikan dalam hati, sebagaimana air menumbuhkan tanaman. Dan sesungguhnya dzikir itu menumbuhkan iman sebagaimana air menumbuhkan tanaman” [Dikeluarkan oleh Ibnun-Nashr dalam Qadrush-Shalah halaman 151/2 – 152/1 dengan sanad hasan dari riwayat Abdullah bin Dukain, dari Firaas bin Yahya (asalnya dari Ibnu Abdillah – dan hal itu keliru), dari Asy-Sya’bi].
13.     Ibrahim bin Al-Mundzir rahimahullah – seorang tsiqah yang berasal dari Madinah dan termasuk guru dari Al-Imam Al-Bukhari – pernah ditanya : “Apakah engkau membolehkan nyanyian ?”. Maka beliau menjawab :
معاذ الله ، ما يفعل هذا عندنا إلا الفسّاق
Ma’adzallah (aku berlindung kepada Allah), tidaklah ada yang melakukannya di sisi kami kecuali orang-orang fasiq” [Diriwayatkan oleh Al-Khallal dengan sanad shahih].
14.     Abu ‘Umar bin Abdil-Barr (Ibnu Abdil-Barr) rahimahullah menjelaskan :
من المكاسب المجتمع على تحريمها الربا ومهور البغاء والسحت والرشاوي وأخذ الأجرة على النياحة والغناء وعلى الكهانة وادعاء الغيب وأخبار السماء وعلى الرمز واللعب والباطل كله
“Termasuk usaha-usaha yang haram ialah riba, hasil perzinahan, makanan haram, suap, upah ratapan, nyanyian, hasil perdukunan, peramal bintang, serta permainan bathil” [Al-Kaafi - Bab : Mukhtasharul-Qauli fil-Makaasib – Free Program from Maktabah Al-Misykah].
15.     Ibnush-Shalaah rahimahullah berkata dalam Fataawaa-nya ketika ditanya tentang orang-orang yang menghalalkan nyanyian dengan rebana dan seruling, dengan tarian dan tepuk tangan, serta mereka menganggapnya sebagai perkara yang halal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah :
لقد كذبوا على الله سبحانه وتعالى ، وشايعوا بقولهم هذا باطنية الملحدين ، وخالفوا إجماع المسلمين ، ومن خالف إجماعهم ، فعليه ما في قوله تعالى: ( ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبين له الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنم وساءت مصيرا
”Sungguh, mereka telah berdusta atas nama Allah subhaanahu wa ta’ala. Mereka mengiringi orang-orang bathiniyyah atheis dengan perkataan mereka. Mereka juga telah menyelisihi ijma’ kaum muslimin. Barangsiapa yang menyelisihi ijma’ mereka, maka baginya adalah seperti yang difirmankan oleh Allah ta’ala : ”Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali” (QS. An-Nisaa’ : 115) [Fataawaa Ibnish-Shalah hal. 300-301 – lihat At-Tahrim hal. 115; Maktabah Sahab].
16.     Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
فمن فعل هـذه الملاهـي على وجه الديانة والتقرب فلا ريب في ضلالته وجهالته
“Barangsiapa yang memainkan alat-alat musik tersebut dalam keyakinannya menjalankan agama dan bertaqarrub kepada Allah, maka tidak diragukan lagi kesesatan dan kebodohannya” [Majmu’ Fatawa 11/162 – Maktabah Al-Misykah].
17.     ‘Abdul-‘Aziz bin Baaz rahimahullah berkata :
إن الاستماع إلى الأغاني حرام ومنكر , ومن أسباب مرض القلوب وقسوتها وصدها عن ذكر الله وعن الصلاة . وقد فسر أكثر أهل العلم قوله تعالى : سورة لقمان الآية 6 وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ الآية : بالغناء .
“Sesungguhnya mendengarkan nyanyian merupakan satu keharaman dan mekunkaran. Termasuk di antara sebab hati menjadi sakit dan keras. Mencegah dzikir kepada Allah dan menghalangi ditunaikannya shalat. Dan sungguh telah banyak ulama yang menafsirkan firman Allah dala QS. Luqman ayat 6 ”Dan diantara manusia ada yang membeli perkataan-perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah” [Al-Ayat]. Yaitu dengan nyanyian” [Majmu’ Fatawa wa Maqaalat Mutanawwi’ah oleh Asy-Syaikh Ibnu Baaz, 3/432 – Free Program from Islamspirit].
18.     Bakr bin ’Abdillah Abu Zaid rahimahullah berkata :
والذي نقول هنا : إن الذكر، والدعاء بالغناء، والتلحين، والتطريب، وإنشاد الأشعار، والأت اللهو، والتصفيق، والتمايل، كل ذلك بدع شنيعة، وأعمال قبيحة، هي من أقبح أنواع الإبتداء في الذكر والدعاء، فواجب على كل فاعل لها، أو لشيء منها، الإقلاء عنه، وأن لا يجعل نفسه مطية لهواه وشيطانه، وواجب على من رأى شيئاًَ من ذلك إنكاره، وواجب على من بسط الله يده علي المسلمين، منعه، وتأدبوهّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّ فاعله، وردعه، وتبصير لدينه
Dan sesungguhnya kami mengatakan di sini : ”Sesungguhnya dzikir dan doa dengan nyanyian, dengan lirik yang disertai tabuhan alat musik, melantunkan syair, tepuk tangan; semua itu termasuk perbuatan bid’ah, sangat menjijikkan dan perbuatan yang buruk. Lebih buruk daripada pelanggaran dalam berdzikir dan berdoa. Siapapun yang melakukan hal itu atau sebagian di antaranya harus segera melepaskan diri darinya, tidak membuat dirinya tunduk kepada hawa nafsu dan bisikan syaithan. Siapapun yang melihat dari sebagian hal-hal itu harus mengingkarinya. Siapapun di antara kaum muslimin yang mempunyai kekuatan terhadap harus mencegahnya, mencela pelakunya, meluruskannya, dan menjelaskan kedudukan hal tersebut dalam kaca mata agamanya” [Tashhiihud-Du’a hal. 78 – Daarul-’Ashimah 1419].
Nyanyian dan musik yang diperkecualikan…..
Ada saat-saat tertentu dimana nyanyian dan alat musik ini diperbolehkan untuk dimainkan dan didengarkan. Di antaranya adalah :
1.    Pada saat hari raya.
Dalilnya adalah apa yang diriwayatkan oleh ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa sebagaimana telah lewat [HR. Bukhari no. 907 dan Muslim no. 892]. Selain itu, masih dalam riwayat ‘Aisyah yang dibawakan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya :
أن أبا بكر رضى الله تعالى عنه دخل عليها وعندها جاريتان في أيام منى تدففان وتضربان والنبي صلى الله عليه وسلم متغش بثوبه فانتهرهما أبو بكر فكشف النبي صلى الله عليه وسلم عن وجهه فقال دعهما يا أبا بكر فإنها أيام عيد وتلك الأيام أيام منى وقالت عائشة رأيت النبي صلى الله عليه وسلم يسترني وأنا أنظر إلى الحبشة وهم يلعبون في المسجد فزجرهم عمر فقال النبي صلى الله عليه وسلم دعهم أمنا بني أرفدة يعني من الأمن
”Bahwasannya Abu Bakr radliyallaahu ta’ala ’anhu masuk menemuinya (’Aisyah) dimana di sampingnya terdapat dua orang anak perempuan di hari Mina yang memukul duff. Adapun Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam waktu itu dalam keadaan menutup wajahnya dengan bajunya. Ketika melihat hal tersebut, maka Abu Bakr membentak kedua anak perempuan tadi. Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam kemudian membuka bajunya yang menutup wajahnya dan berkata : ”Biarkan mereka wahai Abu Bakr, sesungguhnya hari ini adalah hari raya Mina” . Pada waktu itu adalah hari-hari Mina” [HR. Al-Bukhari no. 944].
2.    Pada saat pernikahan.
قالت الربيع بنت معوذ بن عفراء جاء النبي صلى الله عليه وسلم فدخل حين بني علي فجلس على فراشي كمجلسك مني فجعلت جويريات لنا يضربن بالدف ويندبن من قتل من آبائي يوم بدر إذ قالت إحداهن وفينا نبي يعلم ما في غد فقال دعي هذه وقولي بالذي كنت تقولين
Telah berkata Ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz bin ’Afraa’ : ”Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam datang ketika acara pernikahanku. Maka beliau duduk di atas tempat tidurku seperti duduknya engkau (yaitu Khalid bin Dzakwaan – orang yang diajak bicara Ar-Rubayi’) dariku. Datanglah beberapa anak perempuan yang memainkan/memukul duff sambil menyebut kebaikan-kebaikan orang-orang yang terbunuh dari orang-orang tuaku pada waktu Perang Badr. Salah seorang dari mereka berkata : ”Di antara kami terdapat seorang Nabi yang mengetahui apa yang terjadi esok hari”. Maka Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam berkata : ”Tinggalkan perkataan ini (karena perkataan anak-anak wanita tersebut tidak benar) dan ucapkanlah apa yang tadi engkau katakan (yaitu sebelum perkataan yang mengandung keharaman tadi)”  [HR. Al-Bukhari no. 4852].
Ibnu Hajar mengomentari hadits ini dengan perkataannya :
قال المهلب في هذا الحديث اعلان النكاح بالدف وبالغناء المباح
”Telah berkata Al-Muhallab : Dalam hadits ini menunjukkan bahwa mengumumkan pernikahan dengan memainkan duff adalah diperbolehkan” [Fathul-Bari  juz 9 no. 4852].
عن محمد بن حاطب الجمحي قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم فصل بين الحلال والحرام الدف والصوت في النكاح
Dari Muhammad bin Haathib Al-Jumahi berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam : ”Pembeda antara yang haram dan yang halal adalah duff dan suara dalam pernikahan”  [HR. Ahmad no. 15489, Tirmidzi no. 1088, dan yang lainnya; hasan].
Hadits-hadits di atas tidak bisa dipahami bahwa pembolehan tersebut mutlak di semua waktu, semua orang, dan semua alat musik. Ini tidak benar. Hadits-hadits di atas sifatnya lebih khusus yang mentakhshish hadits-hadits yang telah disebut sebelumnya yang menyatakan keharamannya, sehingga yang ’aam (umum) dibawa kepada yang khaash (khusus). Pengkhususan tersebut meliputi :
a.    Terkait dengan waktu, yaitu pada saat hari raya dan pernikahan.
b.    Terkait dengan orang yang melakukan, yaitu wanita.
c.    Terkait dengan alat musik yang dimainkan, yaitu duff (rebana).
Tidak diriwayatkan satupun hadits shahih selain dari sifat-sfat yang disebutkan, selain hadits Buraidah yang akan dibahas kemudian. Diperbolehkannya nyanyian dan memukul duff pada hari raya dan pernikahan merupakan rukhshah (keringanan). Hal ini sebagaimana jelas dalam riwayat :
عن عامر بن سعد قال :   دخلت على قرظه بن كعب وأبي مسعود الأنصاري في عرس وإذا جوار يغنين فقلت أنتما صاحبا رسول الله صلى الله عليه وسلم ومن أهل بدر يفعل هذا عندكم فقال اجلس إن شئت فاسمع معنا وإن شئت اذهب قد رخص لنا في اللهو عند العرس 
Dari ’Amir bin Sa’d ia berkata : Aku masuk menemui Quradhah bin Ka’b dan Abu Mas’ud Al-Anshary radliyallaahu ’anhuma dalam satu pernikahan yang di situ terdapat anak-anak perempuan yang sedang menyanyi. Maka aku berkata : ”Kalian berdua adalah shahabat Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam dan termasuk ahli Badr. Dan hal ini dilakukan di sisi kalian ?”. Maka salah seorang dari mereka menjawab : ”Duduklah jika engkau mau dan dengarkanlah bersama kami. Atau pergilah jika engkau mau. Sungguh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasalam memberikan rukhshah (keringanan) kepada kami mendengarkan hiburan saat pernikahan” [HR. An-Nasa’i no. 3383, Al-Hakim no. 2752, dan yang lainnya; hasan].
Atsar di atas menunjukkan bahwa nyanyian dan musik di kalangan shahabat bukan merupakan fenomena yang lazim dimainkan, sehingga ketika Quradhah dan Abu Mas’ud mendengarkan nyanyian yang dimainkan oleh gadis kecil saat pernikahan, maka ’Amir bin Sa’d bertanya dengan penuh keheranan. Namun kemudian dua orang shahabat Nabi tersebut menjawab bahwa mendengarkan nyanyian dan pukulan duff (rebana) saat pernikahan merupakan satu keringanan (rukhshah) dalam syari’at Islam.
Kalimat rukhkhisha lanaa menunjukkan bahwa nyanyian dan memainkan duff merupakan pengecualian (takhshish) yang sangat jelas dari dalil yang bersifat umum (yang menjelaskan keharaman). Juga, kalimat tersebut memberikan pengetahuan bahwa perkara sebelum pemberian rukhshah adalah sesuatu yang patut untuk berhati-hati/diwaspadai – yaitu menunjukkan keharaman { الأمر قبل الترخيص محظور – أي محرّم }. Hal serupa adalah seperti yang terdapat dalam hadits :
عن أنس بن مالك أنبأهم أن رسول الله صلى الله عليه وسلم رخص لعبد الرحمن بن عوف والزبير بن العوام في القمص الحرير في السفر من حكة كانت بهما أو وجع كان بهما
Dari Anas bin Malik radliyallaahu ’anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam telah memberikan keringanan (rukhshah) kepada ’Abdurrahman bin ’Auf dan Az-Zubair bin ’Awwam untuk mengenakan baju dari sutera dalam safar karena mereka berdua terserang penyakit gatal atau penyakit yang lain” [HR. Al-Bukhari no. 2762 dan Muslim no. 2076].
Maka, hadits di atas merupakan takhshish dari keumuman larangan sutera bagi laki-laki sebagaimana sabda beliau shallallaahu ’alaihi wasallam :
لا تلبسوا الحرير فإنه من لبسه في الدنيا لم يلبسه في الآخرة
”Janganlah kalian mengenakan sutera, karena sesungguhnya jika ia mengenakannya di dunia maka ia tidak akan mengenakannya di akhirat” [HR. Al-Bukhari no. 5310 dan Muslim no. 2069].
Rukhshah di sini datang setelah adalah pengharaman. Asy-Syaikh ’Abdurrahman As-Suhaim (dalam risalahnya : Hukmud-Duff lir-Rijaal wan-Nisaa’ fii Ghairil-A’rasy [3]) menukil perkataan Ibnu Hazm :
لا تكون لفظة الرخصة إلا عن شيء تقدم التحذير منه
”Tidak ada lafadh rukhshah kecuali berasal dari sesuatu yang didahului peringatan atas hal tersebut”
Al-Amidi berkata : { الرخصة ما شرع لعذر مع قيام السبب المحرم } ”Rukhshah itu adalah apa-apa yang disyari’atkan karena adanya udzur yang bersamaan dengan keberadaan sebab yang mengharamkan (jika ia mengerjakan atau melanggarnya ditinjau dari hukum asal). Banyak ulama yang mendefinisikan semisal.
Dan kaidah inilah yang berlaku secara umum, baik dalam masalah sutera, nyanyian dan musik, serta yang lainnya. Jika hukum asalnya adalah wajib, maka rukhshah ini berlaku dengan pembolehan untuk meninggalkan kewajiban atau mengerjakan penggantinya yang diperbolehkan oleh syari’at. Jika hukum asalnya adalah haram, maka rukhshah di sini berlaku untuk mengerjakan keharaman itu. [4] Tentunya, semua itu dengan batasan-batasan yang telah diberikan sesuai dengan penunjukan dalil.
Keharaman nyanyian dan musik dalam bahasan di sini adalah keharaman karena dzatnya. Tidak bisa kita katakan bahwa nyanyian dan alat musik itu hukum asalnya adalah mubah. Jika hukum asalnya adalah mubah, tentu para shahabat tidak akan mengatakan bahwa kebolehan mendengarkan nyanyian dan tabuhan rebana itu hanya dalam hari raya dan pernikahan. Hukum mubah itu menafikkan adanya rukhshah. Ringkasnya, tidak ada keringanan dalam perkara yang asalnya adalah mubah.
Hadits Buraidah
Sebagian orang yang membolehkan nyanyian dan musik berdalilkan dengan hadits Buraidah radliyallaahu ’anhu :
ان أمة سوداء أتت رسول الله صلى الله عليه وسلم ورجع من بعض مغازيه فقالت انى كنت نذرت ان ردك الله صالحا ان أضرب عندك بالدف قال ان كنت فعلت فافعلي وان كنت لم تفعلي فلا تفعلي فضربت فدخل أبو بكر وهى تضرب ودخل غيره وهى تضرب ثم دخل عمر قال فجعلت دفها خلفها وهى مقنعة فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم ان الشيطان ليفرق منك يا عمر أنا جالس ها هنا ودخل هؤلاء فلما ان دخلت فعلت ما فعلت
”Bahwasannya ada seorang budak wanita hitam yang datang kepada Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam ketika beliau datang dari sebuah peperangan. Maka budak tersebut berkata kepada beliau : ”Sesungguhnya aku pernah bernadzar untuk memukul rebana di dekatmu jika Allah mengembalikanmu dalam keadaan selamat”. Beliau berkata : ”Jika engkau telah bernadzar, maka lakukanlah. Dan jika engkau belum bernadzar, maka jangan engkau lakukan”. Maka dia pun mulai memukulnya. Lalu Abu Bakr masuk, ia tetap memukulnya. Masuklah shahabat yang lain, ia pun masih memukulnya. Lalu ’Umar masuk, maka ia pun segera menyembunyikan rebananya itu di balik punggungnya sambil menutupi dirinya. Maka Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam berkata : ”Sesungguhnya setan benar-benar takut padamu wahai ’Umar. Aku duduk di sini dan mereka ini masuk. Ketika engkau masuk, maka ia pun melakukan apa yang ia lakukan tadi”  [HR. Ahmad no. 23039, Ibnu Hibban 10/4386, dan yang lainnya; hasan].
Mereka mengatakan bahwa jika memang nyanyian dan musik itu haram, tentu Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam akan melarangnya. Taqrir beliau atas apa yang dilakukan oleh budak wanita tersebut menunjukkan kebolehan nyanyian dan memainkan alat musik. Nyanyian dan alat musik dilarang jika sudah melalaikan. Jika tidak melalaikan maka itu boleh.
Saya (Rizki Maulana) katakan : Sungguh jauh apa yang mereka sangkakan itu. Tidak ada taqyid pengharaman dengan kata ”melalaikan” dalam nash. Itu hanyalah hal yang mereka buat-buat semata. Jika memang taqyid ”melalaikan” itu dipakai, maka itu akan membatalkan beberapa manthuq nash yang menjelaskan tentang keharaman nyanyian dan alat musik sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Jika kita terima taqyid mereka, maka sifat melalaikan itu hakekatnya ada pada semua hal. Bukan hanya pada nyanyian dan alat musik. Maka taqyid mereka itu akan membawa konsekuensi hukum bahwa asal dari perkara nyanyian dan alat musik adalah mubah. Sebab, hanya perkara mubahlah yang dapat ditaqyid dengan sifat melalaikan. Ini adalah aneh dan janggal..... Bagaimana bisa dipakai taqyid ini padahal Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam telah dengan tegas menjelaskan keharaman alat musik dan penyanyi. Bahkan dalam beberapa hadits ditegaskan jenis alat musiknya (seperti al-kuubah). Bahkan para shahabat besar dan tabi’in sangat tegas membenci nyanyian. Apalagi lafadh-lafadh hadits memakai lafadh celaan, laknat, atau kutukan. Maka tidak bisa tidak, lafadh-lafadh itu mengandung hukum asal yang menunjukkan keharaman.
Selain itu, jika kita terima taqyid ”melalaikan” dari mereka, maka atsar mauquf (namun dihukumi marfu) dari ’Aamir bin Sa’d akan sia-sia. Perkataan Abu Mas’ud/Quradhah tentang rukhshah Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam mendengarkan nyanyian dan tabuhan duff ketika pernikahan menjadi tidak bermakna. Apa makna rukhshah jika hukum asalnya adalah mubah ? Ini menyalahi kaidah ushul.
Justru dalam hadits Buraidah itu terdapat lafadh yang menunjukkan tentang hukum asal keharamannya. Lafadh tersebut adalah : { ان كنت فعلت فافعلي وان كنت لم تفعلي فلا تفعلي} ”Jika engkau telah bernadzar, maka lakukanlah. Dan jika engkau belum bernadzar, maka jangan engkau lakukan.
Perkataan beliau ”jika engkau belum bernadzar, maka jangan engkau lakukan”  ; menunjukkan bahwa pada asalnya perbuatan tersebut adalah tidak diperbolehkan. Perkataan ini menunjukkan bahwa sebenarnya beliau tidak mau/ingin mendengarkannya. Namun kemudian beliau membolehkannya karena ia telah menadzarkannya karena besarnya rasa gembira dengan kepulangan Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam dari peperangan dalam keadaan selamat. Beliau membolehkan pelaksanaan nadzar budak perempuan itu yang pada asalnya tidak boleh sebagai satu kekhususan bagi dirinya yang tidak diberlakukan bagi selain dirinya. Asy-Syaikh Al-Albani berkata :
وقد يُشكل هذا الحديث على بعض الناس ، لأن الضرب بالدف معصية في غير النكاح والعيد ، والمعصية لا يجوز نذرها ولا الوفاء بها .
والذي يبدو لي في ذلك أن نذرها لما كان فرحا منها بقدومه عليه السلام صالحا منتصرا ، اغتفر لها السبب الذي نذرته لإظهار فرحها ، خصوصية له صلى الله عليه وسلم دون الناس جميعا ، فلا يؤخذ منه جواز الدف في الأفراح كلها ، لأنه ليس هناك من يُفرح به كالفرح به صلى الله عليه وسلم ، ولمنافاة ذلك لعموم الأدلة المحرمة للمعازف والدفوف وغيرها ، إلا ما استثني كما ذكرنا آنفا
”Hadits ini telah membuat kerumitan bagi sebagian orang karena memukul duff (rebana) selain waktu pernikahan dan hari raya adalah kemaksiatan. Dan kemaksiatan itu tidak diperbolehkan dijadikan nadzar dan ditunaikan. Maka yang nampak bagiku adalah bahwa nadzar yang dilakukan oleh budak perempuan tersebut disebabkan kegembiraan karena kedatangan/kepulangan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan selamat, sehat, dan menang. Nabi pun memaafkan penyebab nadzarnya itu untuk meluapkan kegembiraan tersebut. Hal ini sebagai kekhususan bagi beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam, bukan untuk seluruh manusia. Sehingga tidak boleh dijadikan dalil bolehnya memukul rebana pada setiap kegembiraan. Sebab, tidak ada yang lebih menggembirakan dari kegembiraan atas datangnya Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam” [Silsilah Ash-Shahiihah 4/142 dan At-Tahriim hal. 85].
Asy-Syaikh Al-Albani mengisyaratkan apa yang menjadi pendapatnya tersebut juga tersirat dalam penjelasan Al-Imam Al-Khaththabi dalam Ma’aalimus-Sunan (4/382).
Ada juga ulama lain yang membawa hadits Buraidah ini tentang kebolehan menabuh rebana (oleh wanita) karena ada orang yang datang. Dan ini merupakan pendapat dari sebagaian ulama Najd. ’Abdis-Salaam bin Taimiyyah (kakek dari Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah) membawa hadits Buraidah dalam pemahaman ini dimana dalam kitab Al-Muntaqaa min Akhbaaril-Musthafaa beliau meletakkannya dalam Bab : Dlarbun-Nisaa’ bid-Duff li Quduumil-Ghaaibi Wamaa fii Ma’naahu (Bab : Wanita yang Memukul Rebana karena Kedatangan Seseorang atau Alasan yang Semisalnya). Pemahaman dalil ini pun bisa diterima karena takhshish ini menunjukkan pada waktu, yaitu saat Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam pulang dari salah satu peperangan. Wallaahu a’lam.
Tanbih !
Di jaman sekarang muncullah istilah yang disebut an-nasyid. Sebagian ulama kontemporer membolehkan jika tidak disertai oleh alat musik, tidak berlebihan, tidak mengandung unsur-unsur yang haram. Namun jika dicermati sebagian diantara ulama yang membolehkan an-nasyid dengan model tersebut adalah yang mempunyai sifat seperti syi’ir, rajaz, atau hidaa’ (sebagaimana yang saya pahami dalam salah satu fatwa Asy-Syaikh Al-Albani (dalam kaset yang berjudul : Hukum Nasyid Islamy) dan Asy-Syaikh Ibnu ’Utsaimin (yang terdapat dalam kaset Nuur ’alad-Darb no. 337 side B). Jika nasyid tersebut telah dilantunkan dengan gubahan dan aturan-aturan melodi ala Barat, maka dilarang. Tapi ada juga yang membencinya secara tegas seperti Asy-Syaikh Ibnu Fauzan (seperti dalam Majalah Ad-Da’wah edisi 1632, tgl 7 Dzulhijjah 1418 dan dalam Al-Khuthabul-Minbariyyah 3/184-185), Asy-Syaikh Shalih Alu Syaikh (dalam Al-Fataawaa hal. 28), Asy-Syaikh Hamud At-Tuwaijiri (dalam Iqaamatud-Daliil ’alal-Man’i Minal-Anaasyid) dan yang lainnya.
Kesimpulan :
1.      Nyanyian dan musik adalah haram menurut pendapat yang rajih yang didasarkan oleh nash-nash yang shahih.
2.      Nyanyian dan musik hanya diperbolehkan pada waktu pernikahan dan hari raya. Bisa juga dilakukan ketika seorang pemimpin atau orang besar datang, menurut salah satu pendapat. Hal itu merupakan satu rukhshah yang dipandang dalam syari’at Islam.
3.      Alat yang diperbolehkan untuk dimainkan hanyalah rebana (duff) yang dibawakan oleh perempuan. Laki-laki diharamkan untuk memukul rebana. Tidak diriwayatkan satu pun shahabat dan tabi’in besar yang memukul rebana.
Alhamdulillah selesai....

[1]     Kecuali apa yang diriwayatkan oleh ‘Ubaidillah bin Hasan Al-Anbary yang menurutnya tidak apa-apa.
[2]     Ada sebagian ulama yang menyebutkan bahwa ahli/penduduk Madinah memberikan kelonggaran dalam hal itu, sebagaimana yang dikatakan Imam Adz-Dzahabi terhadap biografi Yusf bin Ya’qub bin Abi Salamah bin Al-Majisyun : {قلت: أهل المدينة يترخصون في الغناء ، وهم معروفون بالتسمُّح فيه} “Aku berkata : Penduduk Madinah memberikan kelonggaran dalam hal nyanyian. Dan mereka memang dikenal sebagai orang-orang yang longgar dalam masalah ini” [selesai perkataan Adz-Dzahabi]. Maka perlu ditegaskan bahwa ketika disebutkan Ahlul-Madinah, maka di sini tidak termasuk Imam Malik bin Anas sebagai penghulu ulama Ahlul-Madinah.
Sungguh aneh pula apa yang dikatakan oleh Asy-Syaukani yang menukil dari Al-Qaffal bahwa madzhab Imam Malik membolehkan nyanyian dengan musik !
[3]     Saya peroleh dari www.saaid.net/books
[4]     Perincian rukhshah di sini ada enam keadaan, yaitu (1) Rukhshah dalam menggugurkan kewajiban, (2) Rukhshah dalam bentuk mengurangi kadar kewajiban, (3) Rukhshah dalam bentuk mengganti kewajiban, (4) Rukhshah dalam bentuk penangguhan pelaksanaan kewajiban, (5) Rukhshah dalam bentuk mendahulukan pelaksanaan kewajiban, (6) Rukhshah dalam bentuk merubah kewajiban, dan (7) Rukhshah dalam bentuk membolehkan melakukan perkara yang diharamkan. Semua rukhshah tersebut terbingkai dengan syarat : Adanya udzur syar’i.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar