بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Muqoddimah:Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allooh سبحانه وتعالى,
Dalam buku paket kajian kita yaitu ‘Alaamus Sunnah al Mansyuuroh dalam edisi terjemahan berjudul 200 Tanya-Jawab Akidah Islam yang disusun oleh Syaikh Haafidz Hakamy, di bagian akhir ditulis tentang segala sesuatu yang berkenaan dengan lawan sunnah, yaitu Al Bid’ah.
Dalam bab tersebut ada 7 pertanyaan dan jawaban. Dalam pembahasan kita kali ini akan diperkaya dengan rujukan kitab-kitab yang lain. Karena pentingnya masalah bid’ah tersebut maka mungkin akan kita bahas dalam beberapa kali pertemuan. Karena bid’ah adalah masalah penting dan banyak kaum muslimin yang masih terkecoh. Bahkan kita sering mendengar istilah bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah. Hal tersebut dalam pembahasan nanti akan kita klarifikasikan duduk perkaranya, dari mana asal usul istilah tersebut.
Perlu diinformasikan bahwa sejak abad ke-3 Hijriyyah, para ulama sudah dengan seksama dan secara tersendiri menulis kitab khusus untuk menjelaskan masalah bid’ah. Karena bid’ah itu muncul sangat dini, bahkan sudah ada sejak masa Al Khulafaa’ Ar Roosyiduun yang empat. Dalam hadits Rosulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
“Kekhilafahan setelahku akan terjadi 30 tahun” (Hadits Riwayat Imaam Ibnu Hibban dari Safiinah رضي الله عنه).الخلافة بعدي ثلاثون سنة ثم تكون ملكا
Jadi bid’ah itu pada masa 20 tahun pertama telah muncul. Tetapi tidak sedahsyat seperti yang kita saksikan pada masa sekarang.
Ada sebuah kitab yang berjudul Al Baa’its Fi Inkaaril Hawaadits. Kitab tersebut termasuk kitab terdahulu, ditulis oleh Imam Ibnu Wahdhdhooh. Dan juga kitab Al Hawaadits wal Bida’, yang berisi penjelasan tentang masalah-masalah yang baru dan masalah bid’ah, ditulis oleh Imam Abu Bakr At Thurthuusy, beliau hidup pada abad ke-5 Hijriyyah. Kalau sekarang sudah abad ke-15 Hijriyyah, maka kitab itu sudah berumur 1000 tahun.
Disamping itu ada kitab yang isinya mendekati hati kaum muslimin Indonesia, yaitu kitab “Al Amru bill Ittibaa’ wan Nahyu ‘Anil Iibtidaa’” (Perintah untuk mengikuti Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dan Larangan untuk Berbuat Bid’ah). Ditulis oleh Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi (salah seorang penulis kitab tafsir Al Qur’an, yaitu Tafsir Al Jalaalain). Dari segi fiqih, beliau bermadzhab Syafi’iy. Maka nanti akan kita tonjolkan bahwa dari kalangan Syafi’iy, beliau menjelaskan dengan tegas tentang masalah bid’ah.
Ada lagi sebuah kitab yang berisi contoh-contoh bagaimana para ulama menyikapi bid’ah. Salah satunya adalah kitab yang ditulis oleh seorang ulama pada abad ke-4 Hijriyyah yaitu Imam Abu ‘Utsman bin ‘Abdur Rohman Ash Shoobuniy, beliau menulis Kitab ‘Aqiidatussalaf Ash haabul Hadiits, dan sekarang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan Kitab Al Ibdaa’ fi Kamaalisy Syar’ (kitab tentang Kesempurnaan Syari’at), ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Shoolih Al ‘Utsaimiin. Beliau ulama abad ini.
Kitab-kitab tersebut dimaksudkan sebagai referensi untuk menjelaskan bahwa para ulama terdahulu sudah secara serius menjelaskan masalah ini, sehingga jangan sampai kaum muslimin ummat Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم mau untuk dibelok-belokkan kepada sesuatu yang sesat. Terlihatnya ibadah padahal mereka tidak dalam beribadah, terlihatnya ajaran Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم padahal sesungguhnya itu hanyalah khayalan dan karangan-karangan manusia biasa. Itulah yang harus kita cermati dan hati-hati.
Kitab-kitab itu sebagai acuan, dan kita akan lebih senang/ mantap kalau mendengar dari redaksinya yang asli dari kitab-kitab tersebut. Bahwa itu adalah otentik dari perkataan para Imaam.
Pada kesempatan ini, kita akan membahas definisi-definisi dari para ulama tentang bid’ah. Karena masing-masing ulama tersebut berbeda-beda dalam pengutaraannya, tetapi substansi pengertiannya sama. Dan nanti bisa kita bandingkan diantara para Imaam tersebut letak perbedaannya. Dengan demikian akan semakin jelas bagi kita dalam memahami bi’dah.
Pembahasan ini akan bercabang, yaitu:
- Definisi bid’ah,
- Larangan mendekati dan berbuat bid’ah,
- Kapan bid’ah itu muncul,
- Negeri mana saja di masa lalu yang menjadi sumber munculnya bid’ah,
- Bahaya bid’ah,
- Sebab-sebab yang memperkuat munculnya bid’ah,
- Model-model dan jenis-jenis bid’ah yang ada pada masyarakat muslimin,
- Apa sikap kita terhadap bid’ah dan ahlu bid’ah, yang berdasarkan syar’iy,
- Bagaimana memberikan indikasi bahwa sesuatu itu bid’ah.
Kalimat bid’ah berasal dari bahasa Arab, dan kata bid’ah sudah diasimilasikan kedalam bahasa Indonesia. Kalau dikembalikan ke bahasa Arab, maka kata bid’ah berasal dari: bada’a – yabda’u – bid’atan ( بَدَعَ – يَبْدَعُ – بِدْعَة)
Maknanya tidak kurang dari empat:
- Bid’ah adalah Al Ihdaats, artinya: hadits baru, membarui, mengada-ada dengan sesuatu yang baru,
- Bid’ah adalah Al Ibtidaa’, artinya: permulaan, memulai sesuatu yang sebelumnya belum dimulai,
- Bid’ah adalah Al Insyaa’, artinya: merintis, memulai.
- Bid’ah adalah Al Ikhtiroo’, artinya: penemuan-penemuan baru dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Sesuatu yang baru yang tidak pernah ada sebelumnya.
Misalnya dalam Al Qur’an surat Al Baqoroh ayat 177, Allooh سبحانه وتعالى berfirman:
Artinya:{ لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ (177)} البقرة
“Allooh Pencipta langit dan bumi, dan apabila Dia berkehendak (untuk menciptakan), maka cukuplah Dia hanya mengatakan kepadanya: “Jadilah”. Lalu jadilah dia.”
Bahkan ada diantara para ulama yang mengatakan bahwa البديع adalah bagian dari sifat Allooh سبحانه وتعالى. Dialah yang mula-mula menciptakan langit dan bumi, berarti sebelumnya tidak ada langit dan bumi.
Misalnya lagi firman Allooh سبحانه وتعالى dalam surat Al Ahqoof ayat 9:
Artinya:{ قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ وَمَا أَدْرِي مَا يُفْعَلُ بِي وَلَا بِكُمْ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَى إِلَيَّ وَمَا أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ مُبِينٌ (9)} الأحقاف
“Katakanlah,“Aku bukanlah Rosuul yang pertama diantara rosuul-rosuul dan aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak (pula) terhadapmu. Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dan aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan.”
Dalam kamus Al Muhiith, atau kamus Al Mu’jam Al Washiit, ditemukan bahwa kata bid’ah maknanya al hadats (baru). Ada juga ulama bahasa yang mengartikan bahwa bid’ah adalah sesuatu yang diada-adakan didalam dien (Al Islam), setelah dien itu sempurna.
Ada juga ulama yang mengatakan bahwa bid’ah adalah sesuatu yang diada-adakan setelah Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, berupa hawa nafsu atau amalan. Maksudnya adalah hal-hal yang bersumber dari hawa nafsu, atau berbentuk amalan yang muncul setelah Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم wafat, dan hal tersebut berkaitan dengan urusan dien (Islam), maka itulah yang disebut bid’ah.
Sedangkan alat-alat, misalnya alat tulis, spidol, kendaraan, pesawat dan segala sarana prasarana tidak termasuk ke dalam kategori bid’ah yang dimaksud. Yang dimaksudkan bid’ah adalah segala sesuatu yang berkaitan Dien (Islam).
Kalaupun ada orang yang berdalil dengan ucapan sahabat ‘Umar Ibnu Al Khoththoob رضي الله عنه tentang masalah sholat at tarowih, yaitu betapa bagusnya bid’ah tersebut. Ketika itu beliau mengumpulkan orang-orang yang melakukan sholat tarowih sendiri-sendiri untuk berjama’ah, lalu beliau memilih Ubay bin Ka’ab رضي الله عنه sebagai imaam. Jadilah sholat tarowih berjama’ah.
Tetapi bid’ah yang dilakukan oleh ‘Umar Ibnu Al Khoththoob رضي الله عنه sebetulnya bukanlah bid’ah, sebab kita tidak bisa mengingkari bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم telah mencontohkan sholat tarowih berjama’ah itu beberapa malam pada masa beliau hidup.
Ketika bulan romadhon, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم sholat tarowih di masjid. Lalu berkumpullah dibelakangnya para sahabat mengikuti sholat tarowih. Pada malam pertama jumlah mereka sedikt, malam kedua lebih banyak dan malam ketiga semakin banyak lagi para sahabat yang mengikuti beliau untuk sholat tarowih. Karena semakin banyak yang mengikuti, beliau صلى الله عليه وسلم merasa khawatir bahwa sholat tarowih itu dianggap sholat fardhu, maka pada malam berikutnya beliau صلى الله عليه وسلم tidak keluar lagi dari rumah beliau. Beliau صلى الله عليه وسلم ditunggu oleh para sahabat sampai menjelang shubuh. Esok paginya beliau memberi penjelasan:
“Aku khawatir jangan-jangan sholat malam itu menjadi fardhu bagi kalian.” (Hadits Riwayat Imaam Abu Daawud dari ‘Aaisyah رضي الله عنها)خشيت أن تفرض عليكم
Artinya, pelaksanaan sholat tarowih berjama’ah itu sudah ada sejak zaman Rosuul. Jadi memang asalnya ada. Kalau kemudian dirintis kembali oleh ‘Umar Ibnu Al Khoththoob رضي الله عنه maka sebenarnya bukan bid’ah. Karena beliau رضي الله عنه tidak mengawali, melainkan menghidupkan kembali. Maka para ulama mengatakan bahwa pada kalimat yang dikatakan oleh ‘Umar ini adalah bid’ah lughowiyyah (bid’ah secara bahasa/ bersifat etimologis), bukan bid’ah haqiiqiyyah (bid’ah secara terminologis) atau bid’ah yang sesungguhnya (yang tercela dalam dien). Karena bid’ah secara terminologis hanya berlaku pada urusan dien saja, yaitu permasalahan dien, masalah ketetapan, kebijakan apa yang menjadi syari’at Allooh dan rosul-Nya[1].
Mudah-mudahan dengan penjelasan tersebut tidak lagi ada pertanyaan apakah kalau orang pergi haji dengan pesawat terbang atau kapal laut itu bid’ah atau tidak. Tidak ada lagi pertanyaan kalau orang menggunakan speaker (pengeras suara) di masjid-masjid itu bid’ah atau tidak. Walaupun sampai sekarang di daerah-daerah, di kampung-kampung masih ada orang yang mengatakan bahwa menggunakan speaker itu bid’ah. Bahkan berkhutbah dengan bahasa Indonesia itu dikatakan bid’ah. Sehingga khutbahnya harus menggunakan bahasa Arab, kitab khutbahnya itu-itu saja, dan yang berkhutbah pun tidak mengerti isi khutbahnya. Itu karena memahami bid’ah tidak seperti yang sebenarnya.
ARTI BID’AH SECARA TERMINOLOGIS
Arti bid’ah secara terminologis yang akan dibawakan oleh sedikitnya 8 orang ulama, yaitu:
1. Imam Asy Syaathiby dalam kitabnya yang berjudul Al I’tishoom.
Kitabnya terdiri dari 2 jilid, beliau mengatakan dalam jilid pertamanya: Bid’ah adalah cara, metode, dalam urusan dien (didalamnya termasuk urusan strategis dan teknis) yang tidak ada sebelumnya. Tetapi walaupun itu tidak ada, orang menilai bahwa itu syar’iy (ibadah). Mengapa itu dilakukan, menurut beliau pelaksanaan ibadah itu dilebih-lebihkan, atau karena faktor semangat beribadah kepada Allooh سبحانه وتعالى. Unsurnya antara lain:
“Suatu cara dalam Islam menyerupai syari’ah dijalankan dengan maksud berlebihan dalam beribadah kepada Allooh سبحانه وتعالى.”طريقة في الدين تضاهي الشرعية يقصد بالسلوك عليها المبالغة في التعبد لله تعالى
Misalnya: sholawatan. Sholawatan adalah syar’iy karena memang sholawat adalah perintah Allooh سبحانه وتعالى. Allooh سبحانه وتعالى berfirman:
Artinya:{ إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا }
Bersholawatlah kalian padanya dan berilah salam padanya. ( QS Al Ahzaab : 56 )
Dan sabda Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم: “Siapa yang mengucapkan sholawat atasku satu kali, maka Allooh سبحانه وتعالى akan membalasnya sepuluh kali.”{ … فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَىَّ صَلاَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا… }
Juga sabda Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, “Orang yang bakhil adalah orang yang apabila mendengar namaku, ia tidak mengucapkan sholawat atasku.”{ البخيل من ذكرت عنده فلم يصل علي }
Jadi sholawat itu diperintahkan oleh Allooh سبحانه وتعالى dan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Lalu apa yang disebut bid’ah atas sholawatan itu? Yaitu mengenai caranya. Sholawat seperti apa, sholawat mana yang sunnah dan sholawat mana yang bid’ah? Nanti kita akan membahasnya.
Demikian juga thoriqoh, orang mengatakan itu syar’iy seolah-olah ibadah, padahal bukan ibadah. Juga dzikir, siapa yang mengatakan dzikir bukan ibadah? Firman Allooh سبحانه وتعالى:
Artinya:{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا }
“Dzikirlah (ingatlah) kalian kepada Aku dengan dzikir yang banyak.” (QS Al Ahzaab : 41)
Maka dengan demikian dzikir adalah perintah Allooh سبحانه وتعالى. Tetapi dzikir dengan cara bagaimana yang disebut bid’ah? Itulah nanti yang akan kita bahas.
Kalau dikatakan ibadah, maka ibadah adalah tawaqquf: “Ibadah itu asalnya haram, kecuali ada dalil yang menjelaskan bahwa ibadah itu perintah”.
Kalau tidak ada perintah dan tidak ada penjelasan mengenai amalan tersebut maka amalan tersebut bukanlah ibadah. Hal itu sudah disepakati oleh mereka yang bergelut di bidang ilmu syar’iy.
Lalu ada pertanyaan, mengapa orang melakukan bid’ah seperti tersebut diatas? Karena ada maksud. Maksudnya adalah bahwa kita ini adalah cinta kepada Allooh سبحانه وتعالى, kita ingin mendapatkan pahala yang banyak, mendapatkan kebaikan yang banyak. Itu semua baik. Tetapi semangat melakukan kebaikan saja tidak cukup, kalau tidak didasarkan pada dalil. Kalau hanya semangat saja, menjadi salah. Semangat tinggi menggebu-gebu tetapi tidak didasari oleh ilmu yang shohih, namanya ngawur. Tidak benar.
Oleh karena itu semangat memang harus ada untuk menghidupkan sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, untuk beribadah pada Allooh سبحانه وتعالى, untuk mendapatkan apa saja yang ada disisi Allooh سبحانه وتعالى, tetapi hendaknya dengan cara yang diajarkan oleh Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
2. Imaam Al Jurjaani dalam kitabnya yang berjudul At Ta’riifaat.
Dalam kitab beliau jilid pertama, beliau mengatakan: “Bid’ah adalah sikap menyelisihi sunnah. Dinamakan bid’ah karena yang mengatakannya mengada-ada tanpa berlandaskan pada suatu perkataan dalil. Dan bid’ah adalah sesuatu yang baru, yang tidak pernah ada pada masa sahabat juga tabi’in. Bahkan tidak juga berdasarkan pada dalil syar’iy.”
Jadi menurut beliau, bisa disebut bid’ah kalau tidak ada dasarnya dari syar’iy, yaitu Al Qur’an dan As Sunnah. Bisa disebut bid’ah kalau orang tersebut tidak melakukan dengan tepat mengikuti sesuai apa yang ada pada masa sahabat dan tabi’in. Bisa disebut bid’ah jika seseorang melakukan sesuatu tanpa berdasarkan pendapat seorang Imaam. Termasuk misalnya ada sahabat yang menyikapi lain dari yang tersebut diatas, itu juga bid’ah.
Sampai pada perkataan Imaam, karena seorang Imaam berkata dan berbuat sesuai fiqih yang beliau dapati, yang beliau miliki tentang suatu dalil. Kalau itu Imaam. Masalahnya kita tidak punya standar kriteria tentang siapa yang disebut Imaam. Oleh karena itu harus ditempatkan sesuai dengan porsi yang sesungguhnya. Kalau orang tersebut tidak mempunyai dasar dalam perbuatan dan dalam perkataan, maka sesungguhnya ia telah melakukan sesuatu yang tidak berdasar atau disebut bid’ah.
3. Pendapat dalam kitab yang berjudul Al Huduudul ‘Aniqoh.
Mendefinisikan: “Bid’ah adalah apa saja yang tidak tersebut dalam Syar’iy (Al Qur’an dan As Sunnah)”.
Jadi kalau syari’at Islam tidak menyebutkannya, tidak mengajarkannya dan tidak menempatkannya dalam posisi bagian dari syari’at Islam, dan itu ada atau muncul, maka itu adalah bid’ah.
4. Pendapat Imaam Al Manaawi yang menulis kitab Faid Al Qodiir.
Kitab tersebut mentakhrij dan menjelaskan tentang kitab yang ditulis oleh Imam As Suyuuthi, yang disebut dengan Kitab Al Jaami’ Ash Shoghiir. Kata beliau: “Bid’ah adalah sikap atau perbuatan yang menyelisihi sunnah”.
Pendapatnya sama dengan Imam Al Jurjaani. Dalilnya adalah hadits Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bahwa setiap sesuatu yang baru adalah bid’ah. Setiap bid’ah pasti sesat, dan setiap kesesatan pasti masuk ke neraka. Na’udzu billaah min dzalik.
5. Imaam At Thurthuusi, yang menulis kitab Al Hawaadits wal Bida’.
Beliau menjelaskan kata bid’ah dari sisi pelaku. Menurut beliau munculnya bid’ah karena 3 hal:
- Bid’ah dalam masalah apa saja yang masuk ke dalam hati seseorang. Maksudnya, kalau ada satu keyakinan dalam hati seseorang, dimana keyakinan itu tidak ada ajarannya dalam Al Qur’an dan As Sunnah, maka keyakinan tersebut termasuk keyakinan yang bid’ah.
- Ucapan lisan, apa yang terlontar dari mulut seseorang kalau ia tidak berlandaskan pada syar’iy, maka ucapan itu bisa disebut bid’ah. Misalnya dzikir, sholawat, atau apa saja yang termasuk pekerjaan mulut, dan itu dikategorikan ibadah, dan tidak ada dalil- dalil syar’iy, maka hal itu disebut bid’ah.
- Apa saja yang diperbuat oleh anggota tubuh manusia, berdasarkan sesuatu yang tidak ada dalam Al Qur’an dan As Sunnah, dan itu dikategorikan ibadah, maka hal itu juga termasuk bid’ah.
6. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Beliau mengatakan bahwa bid’ah yang terjadi dalam urusan dien, dan tidak pernah disyari’atkan oleh Allooh سبحانه وتعالى, juga tidak pernah disyari’atkan oleh Rosulullooh صلى الله عليه وسلم, juga tidak pernah diperintahkan dalam perintah yang bermaksud penekanan, atau perintah yang bermakna anjuran. Anjuran saja tidak ada apalagi perintah. Sesuatu yang tidak dianjurkan, tidak diperintahkan oleh syar’iy maka itu disebut bid’ah.
Menurut beliau dalam kesempatan lain, diambil dari kitab Majmu’ Fatawa, yaitu apa saja yang menyelisihi Al Qur’an, As Sunnah, dan ijma’ pendahulu ummat ini, baik dalam masalah keyakinan maupun dalam masalah ibadah, seperti yang dinyatakan oleh kaum Khowarij, atau oleh orang Syi’ah, atau oleh orang Qodariyah, oleh orang Jahmiyah, seperti mereka mengatakan bahwa ibadah itu dengan joget, menari, rock; seperti dzikir dengan menggoyang-goyangkan kepala dan sebagainya, atau bernyanyi (berdendang) di masjid, adalah termasuk bid’ah.
Termasuk berdendang dengan sholawatan, dengan alasan sambil menunggu orang datang ke masjid, menyanyi qoshidahan, atau marawis di masjid, semua itu bagian dari bid’ah, juga orang yang mengatakan bahwa mencukur jenggot adalah ibadah, itu juga termasuk bid’ah. Atau misalnya memakan hajiz (ganja) dan sejenisnya yang menyelisihi Al Qur’an dan Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, sesungguhnya semua itu adalah termasuk dalam kategori bid’ah.
Ada definisi lain dari beliau yang substansinya sama, yaitu kata beliau bahwa bid’ah adalah apa saja yang tidak pernah ditetapkan oleh Allooh سبحانه وتعالى dalam urusan dien (Islam). Maka dari itu, siapa saja yang meyakini sesuatu yang belum ada ketetapannya dari Allooh سبحانه وتعالى, maka itu disebut bid’ah. Betapa pun orang itu sekedar berinterpretasi (menta’wil). Walaupun itu hanya berinterpretasi, kalau itu menyangkut urusan dien, yang tidak boleh ada bidang dan kesempatan dalam urusan itu, maka ia akan terperosok dalam urusan bid’ah.
7. Imaam Jalaaluddin As Suyuuthy
Menurut beliau, bid’ah adalah ungkapan tentang suatu perbuatan atau sikap yang bertabrakan dengan syari’at, dengan menyelisishi atau membuat unsur ziyaadah, yaitu menambah atau mengurangi.
8. Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin
Kata beliau, bid’ah adalah apa saja yang diada-adakan dalam urusan dien, menyelisihi Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, dan para sahabatnya, baik dalam bidang aqidah maupun amaliyah.
Dari definisi beliau ini ada standar, yaitu:
- Baru, sebelumnya tidak ada.
- Urusannya adalah urusan dien.
- Tidak mencontoh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dan para sahabatnya.
- Bidangnya adalah urusan aqidah dan amaliyah.
PERTANYAAN DAN JAWABAN
PERTANYAAN (1) :
Diatas selalu disebut-sebut tentang urusan dien. Apa yang dimaksudkan itu?
JAWABAN :
Urusan dien artinya urusan Islam. Urusan Islam adalah urusan yang seharusnya terpaku pada Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’. Karena para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah mengatakan bahwa segala urusan yang berkenaan dengan Islam (Ad Dien) adalah tauqifiyyah, harus terpaku pada Al Qur’an, As Sunnah, dan Al Ijma’. Karena dalil itu baik urusan aqidah maupun urusan fiqih atau furu’ atau khilafiyah, yang sepakat seluruhnya ada 3: Al Qur’an, As Sunnah, dan Al Ijma’.
Sedang dalam urusan aqidah tidak berlaku qiyas. Tetapi dalam urusan fiqih ada qiyas. Dari sisi itu saja sudah berbeda. Qiyas dipakai oleh Ahlussunnah wal Jama’ah karena menyangkut urusan amaliyah khilafiyah.
PERTANYAAN (2) :
Tentang dzikir, ada dzikir untuk penyembuhan penyakit, ada dzikir memang untuk bertaubat dan sebagainya, apakah itu termasuk bid’ah?
JAWABAN :
Dalam bahasan ini memang akan disinggung tentang beberapa model atau tampilan bid’ah dalam masyarakat. Tetapi bahasan kita baru sampai tentang definisi bid’ah. Maka yang dipertanyakan diatas akan dijawab pada pembahasan yang akan datang. Namun agar ada gambaran, sedikit kami jelaskan bahwa dzikir adalah ibadah.
Kalau ada dzikir untuk penyembuhan, untuk kesaktian dan lain-lain, maka dzikir semacam itu tidak diajarkan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Dzikirnya sendiri adalah obat secara otomatis. Itu betul. Tetapi kalau dzikir itu untuk pengobatan, cara seperti itu tidak diajarkan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
PERTANYAAN (3) :
- Sepengetahuan saya dalam hadits tidak ada apa yang disebut sholat hajat. Bagaimana pendapat anda?
- Mengenai sholawat pada Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, ada yang cukup mengatakan: Alloohumma sholli ‘alaa Muhammad. Tetapi ada juga yang mengatakan: Alloohumma sholli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali wa shohbihi wa sallim. Ada lagi yang namanya sholawat badar, dan lain-lain. Manakah yang paling benar dari sholawat-sholawat itu?
Pertanyaan tersebut juga belum sampai pada pembahasan. Maka jawabannya nanti pada pembahasan yang akan datang.
PERTANYAAN (4) :
Mengenai bid’ah dijelaskan diatas bahwa artinya adalah mengada-ada, tidak bersandar pada Al Qur’an dan Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dalam masalah dien.
Dalam masalah dien ada 2, yaitu ibadah mahdhoh dan ibadah ghoiru mahdhoh. Yang ditanyakan adalah bid’ah itu dalam ibadah mahdhoh atau ibadah ghoiru mahdhoh?
JAWABAN :
Itu juga akan dibahas nanti dalam masalah jenis-jenis bid’ah. Tetapi boleh disinggung sedikit, bahwa bid’ah itu ada bid’ah dalam ibadah dan ada bid’ah dalam muamalah (ibadah ghoiru mahdhoh).
PERTANYAAN (5) :
Seperti yang dikemukakan diatas, hadits yang menyatakan: “Kepemimpinan setelahku (Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم) hanya berlaku 30 tahun.” Setelah itu ada pemimpin-pemimpin yang sombong, congkak dan lepas dari ajaran Islam.
Untuk standar ulama yang mana yang dimaksud setelah kekhalifahan 30 tahun tersebut?
JAWABAN :
Yang dimaksud ulama yang mana, adalah ulama yang Ahlussunnah wal Jama’ah.
Adalah Muhammad bin Sirin seorang ‘ulama Ahlussunnah wal Jama’ah dari kalangan tabi’in, beliau berkata bahwa, “Dahulu tidak ada orang yang menanyakan siapa gurumu, darimana engkau mendapatkan pemahaman ini? Karena ketika itu orang tsiqoh (percaya dan menerima) saja. Tetapi ketika muncul fitnah, maka mulailah secara selektif ditanyakan dari mana pemahaman dien ini, siapa gurunya, dan sebagainya.” Kata beliau, “Kalau seandainya yang menyampaikan dien itu dari kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah maka kami ambil.”
Jadi yang menjadi pegangan adalah Ahlussunnah wal Jama’ah. Contohnya para Imam empat madzhab seperti Imaam Abu Hanifah, Imaam Malik, Imaam Syafi’iy dan Imaam Ahmad bin Hambal, mereka semua adalah Ahlussunnah wal Jama’ah.
Yang dimaksud Ahlussunnah wal Jama’ah menurut hadits Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, beliau bersabda:
“Mereka adalah orang yang berada diatas jalan seperti aku dan para sahabatku.” (Hadits Riwayat Imaam Dhiyaa al Maqdisy dari Anas bin Maalik رضي الله عنه)ما أنا عليه اليوم وأصحابي
Sebagai ilustrasi ada jalan, dimana Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم berjalan diatas jalan itu, dan bukan hanya beliau صلى الله عليه وسلم saja, tetapi juga para sahabatnya. Kalau orang itu kommit dan konsisten menjalankan seperti jalan dan pedoman yang dijalankan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dan para sahabatnya, maka orang itu layak disebut Ahlussunnah wal Jama’ah. Kalau tidak, maka sebenarnya ia hanya orang yang mengaku-aku saja.
Misalnya seperti yang dikatakan oleh Imam Malik: “Apa saja yang tidak pernah menjadi dien pada masa itu, maka tidak akan pernah menjadi dien pada suatu masa.”
Berarti, Islam yang kita jalankan hari ini, harus seperti apa yang dijalankan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم pada masa itu.
PERTANYAAN (6) :
Dari berbagai definisi yang disampaikan diatas tidak ada terlihat perbedaan. Sehingga bisa dikatakan bahwa yang dimaksud bid’ah adalah sesuatu yang sebelumnya tidak ada dalam urusan dien. Apakah demikian?
JAWABAN :
Anda benar. Maka di awal-awal penjelasan sudah disampaikan bahwa para ‘ulama itu hanya berbeda dalam redaksi, tetapi substansinya sama. Seperti yang Anda katakan tadi. Yaitu semua adalah dalam urusan dien dan tidak boleh mengada-ada. Semua harus berdasarkan dalil.
Sekian dahulu bahasan tentang bid’ah kali ini, akan kita lanjutkan pada pembahasan yang akan datang.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
[1] Akan datang penjelasannya lebih rinci setelah bahasan ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar