Di antara karakteristik ahli bid’ah dari masa ke masa, bahwasanya mereka selalu mencela dan mencoreng citra Ahli Sunnah wal Jama’ah untuk menjauhkan umat dari al-haq.
Al-Imam Abu Hatim ar-Razi Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Ciri ahli bid’ah adalah mencela ahlil atsar.” (Ashlu Sunnah hlm. 24)
Al-Imam Abu Utsman ash-Shabuni Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Tanda yang paling jelas dari ahli bid’ah adalah kerasnya permusuhan mereka kepada pembawa Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Mereka melecehkan dan menghina Ahli Sunnah dan menamakan Ahli Sunnah dengan Hasyawiyyah, Jahalah, Dhahiriyyah, dan Musyabbihah.” (Aqidah Salaf Ashabul Hadits hlm. 116)
Di antara deretan buku-buku ‘hitam’ yang mencela ulama Sunnah adalah Buku Pintar Berdebat Dengan Wahabi yang beredar belakangan ini. Buku ini penuh dengan banyak cercaan, kedustaan, tadlis (manipulasi), dan pengkhianatan ilmiah terhadap Dakwah Salafiyyah.
Mengingat kitab ini telah menyebar di kalangan kaum muslimin—bahkan banyak dijadikan rujukan oleh para pemasar bid’ah—maka untuk menunaikan kewajiban saya (Rizki Maulana) dalam nasihat kepada kaum muslimin dan membela dakwah yang haq, dengan memohon pertolongan kepada Allah akan saya paparkan telaah kritis terhadap buku ini agar menjadi kewaspadaan dan peringatan bagi kita semua.
Penulis dan Penerbit Buku Ini
Buku ini ditulis oleh Muhammad Idrus Ramli dan diterbitkan oleh Bina Aswaja, Surabaya, cetakan ketujuh, Rajab 1433 H/Juni 2012 M.
Penulis Mengingkari “Allah di Langit”
Penulis berkata di dalam hlm. 16:
Allah juga Maha Suci dari tempat dan arah. Allah ada tanpa tempat.
Dia juga berkata di dalam hlm. 18:
Tidak jarang, kaum Wahabi menggunakan ayat-ayat Al-Qur‘an untuk membenarkan keyakinan mereka, bahwa Allah bertempat di langit. Akan tetapi dalil-dalil mereka dapat dengan mudah dipatahkan dengan ayat-ayat Al-Qur‘an yang sama.
Saya (Rizki Maulana) katakan:
Tidak syak lagi bahwa bahwa penulis telah terpengaruh dengan pemikiran Mu’tazilah yang menolak sifat-sifat Allah seperti istiwa‘ dan yang lainnya. Ini menyelisihi manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ah yang menetapkan semua sifat yang tsabitah bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Yang shahih adalah bahwa “Allah bersemayam di atas ’Arsy di atas semua makhluk-Nya”.
Al-Qur‘an, hadits shahih, dan fitrah yang bersih serta cara berpikir yang sehat adalah dalil-dalil yang qath’i yang mendukung kenyataan bahwa Allah berada di atas ’Arsy:
- Allah Ta’ala berfirman:
ٱلرَّحْمَـٰنُ عَلَى ٱلْعَرْشِ ٱسْتَوَىٰ ﴿٥﴾
Allah Yang Maha Pengasih itu beristiwa‘ di atas ’Arsy. (QS Thaha [20]: 5)Keterangan bahwa Allah bersemayam di atas ’Arsy terdapat dalam tujuh surat, yaitu: al-A’raf [7]: 54, Yunus [10]: 3, ar-Ra’d [51]: 2, Thaha [20]: 5, al-Furqan [25]: 59, as-Sajdah [22]: 4, dan al-Hadid [59]: 4.
Para tabi’in menafsirkan istiwa‘ dengan “naik dan tinggi”, sebagaimana diterangkan dalam hadits al-Bukhari (lihat Syarh al-’Aqidah al-Wasithiyyah, asy-Syaikh al-Fauzan hlm. 73–75 cet. Maktabah al-Ma’arif).
1. Dan Allah Ta’ala berfirman:
ءَأَمِنتُم مَّن فِى ٱلسَّمَآءِ أَن يَخْسِفَ بِكُمُ ٱلْأَرْضَ
Apakah kalian merasa aman terhadap “Yang di langit” bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kalian? (QS al-Mulk [67]: 16)Menurut Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu, yang dimaksud dengan “Yang di langit” adalah Allah, seperti disebutkan dalam kitab Tafsir Ibnul Jauzi.
2. Dan Allah Ta’ala berfirman:
يَخَافُونَ رَبَّهُم مِّن فَوْقِهِمْ
Mereka takut kepada Tuhan mereka yang (ada) di atas mereka. (QS an-Nahl [16]: 50)3. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mi’raj ke langit ketujuh dan berdialog dengan Allah serta diwajibkan untuk melakukan shalat lima waktu. (Muttafaqun ’alaih)
4. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Kenapa kamu tidak mempercayaiku, padahal aku ini dipercaya oleh Allah yang ada di langit?” (Muttafaqun ’alaih)
5. Di dalam Shahih Muslim (no. 537) bahwa ada seorang jariyah (budak perempuan) penggembala kambing ditanya oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Di manakah Allah?” Jawab budak perempuan, “Di atas langit.” Beliau bertanya (lagi), “Siapakah aku?” Jawab budak itu, “Engkau adalah Rasulullah.” Beliau bersabda, “Merdekakan ia, karena sesungguhnya ia mukminah (seorang perempuan yang beriman).”
6. Al-Imam Malik, ketika ditanya tentang masalah istiwa‘ (tingginya) Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas ’Arsy-Nya, dia berkata, “Istiwa‘ (Allah) sudah sama dipahami, dan bagaimana (hakikat)nya tidak diketahui, sedangkan mengimaninya adalah wajib, dan bertanya tentang bagaimana (hakikat) Allah ber-istiwa‘ adalah bid’ah.” (LihatMukhtashar al-’Uluw oleh al-Imam adz-Dzahabi hlm. 141.)
7. Al-Imam Abdullah bin Mubarak Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Kita mengetahui bahwa Tuhan kita berada di atas langit yang tujuh; ber-istiwa‘ di atas ’Arsy-Nya; terpisah dari makhluk-Nya. Kami tidak mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Jahmiyyah.” (Lihat Mukhtashar al-’Uluw oleh al-Imam adz-Dzahabi hlm. 151.)
8. Al-Imam al-Auza’i Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Kami dan para Tabi’in mengatakan, ‘Sesungguhnya Allah penyebutannya di atas ’Arsy-Nya dan kami mengimani apa saja yang terdapat di dalam Sunnah.’” (LihatMukhtashar al-’Uluw oleh al-Imam adz-Dzahabi hlm. 138.)
9. Al-Imam Abu Hanifah Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Barangsiapa yang mengatakan ‘Saya tidak tahu apakah Tuhan saya berada di langit atau bumi’ berarti dia telah kafir.” (Lihat Mukhtashar al-’Uluw oleh al-Imam adz-Dzahabi hlm. 136.)
10. Al-Imam Ibnu Khuzaimah Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Barangsiapa yang tidak menetapkan sesungguhnya Allah Ta’ala di atas ’Arsy-Nya Dia istiwa‘ di atas tujuh langit-Nya, maka ia telah kafir dengan Rabbnya…” (Diriwayatkan oleh al-Hakim di dalam kitab Ma’rifah Ulumul Hadits hlm. 84 dengan sanad yang shahih)
Kedustaan-Kedustaan Penulis
Penulis berkata di dalam hlm. 90:
Misalnya Abdul Muhsin Al-‘Abbad dari Madinah menganggap Al-Albani berfaham Murji’ah. Hamud Al-Tuwaijiri dari Riyadh menilai Al-Albani telah mulhid (tersesat)…
Saya (Rizki Maulana) katakan:
Demikianlah penulis telah membuat kedustaan yang besar yang diketahui oleh setiap orang yang memiliki perhatian terhadap perikehidupan para ulama, penulis telah melecehkan para ulama Sunnah dan membuat kebohongan-kebohongan atas mereka.
Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad sangat menghormati Syaikh al-Albani sebagaimana Syaikh al-Albani juga sangat menghormati beliau. Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad tidak pernah menuduh Syaikh al-Albani Murji’ah bahkan beliau mengatakan:
قد كان رحمه الله من العلماء الأفذاذ الذين أفنوا أعمارهم
في خدمة السنة و التأليف فيها و الدعوة إلى الله عز و جل و نصرة العقيدة
السلفية و محاربة البدعة، و الذب عن سنة الرسول- صلى الله عليه و سلم-
“Beliau Syaikh al-Albani termasuk para ulama yang menonjol yang
menghabiskan umur mereka di dalam pengabdian kepada Sunnah, berdakwah
ilallah, membela aqidah salaf, memerangi bid’ah, dan membela sunnah
Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (Tarjamah Syaikh al-Albani dari http://www.albani.org dan lihat juga buku kamiBarisan Ulama Pembela Sunnah Nabawiyyah hlm. 172 cet. kedua)Demikian juga Syaikh Hamud at-Tuwaijiri sangat menghormati Syaikh al-Albani dan beliau mengatakan tentang Syaikh al-Albani:
الألباني – الآن – علم على السنة ، الطعن فيه إعانة على الطعن في السنة
“Syaikh al-Albani sekarang adalah lambang dari Sunnah, mencela beliau akan memudahkan cela pada Sunnah.” (Sirah al-Allamah Hamud bin Abdullah at-Tuwaijiri hlm. 14 dan lihat juga buku kami Barisan Ulama Pembela Sunnah Nabawiyyah hlm. 165 cet. kedua)Bid’ah Hasanah Menurut Penulis
Penulis berkata di dalam hlm. 36:
Dalam acara itu saya menjelaskan, bahwa pembagian bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, merupakan keharusan dan keniscayaan dan pengamalan sekian banyak hadits Rasulullah yang shahih dan terdapat dalam kitab-kitab hadits yang otoritatif (mu’tabar) Karena meskipun Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam. Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR Muslim: 867)
Ternyata Rasulullah juga bersabda: “Barangsiapa yang memulai mengerjakan perbuatan baik dalam Islam, maka dia akan memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mencontoh perbuatan itu, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang memulai kebiasaan buruk, maka dia akan mendapatkan dosanya, dan dosa orang yang mengikutinya dengan tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” (HR Muslim: 1017)
Dalam hadits pertama Rasulullah menegaskan bahwa setiap bid’ah adalah sesat. Tetapi dalam hadits kedua, Rasulullah menegaskan pula, bahwa barangsiapa yang memulai perbuatan baik dalam Islam maka ia akan mendapatkan pahalanya dn pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya. Dengan demikian, hadits kedua jelas membatasi jangkauan makna hadits yang pertama “kullu bid’atin dhalalah” (setiap bid’ah adalah sesat) sebagaimana dikatakan oleh Imam An-Nawawi dan lain-lain.
Saya katakan:
Demikianlah penulis berusaha melegalkan bid’ah hasanah dengan menyebarkan pemahaman yang keliru tentang hadits Man Sanna fil Islam Sunnatan Hasanatan padahal tidak ada pertentangan antara kedua hadits tersebut, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyatakan “Man sanna fil Islam” yang artinya “Barangsiapa berbuat dalam Islam”, sedangkan bid’ah tidak termasuk dalam Islam; kemudian beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyatakan “sunnatan hasanatan” yang berarti “sunnah yang baik”, sedangkan bid’ah bukan yang baik. Tentu berbeda antara berbuat sunnah dan mengerjakan bid’ah.
Jawaban lainnya, bahwa kata-kata “Man sanna” bisa diartikan pula “Barangsiapa menghidupkan suatu sunnah”, yaitu sunnah yang telah ditinggalkan dan pernah ada sebelumnya. Jadi kata “sanna” tidak berarti membuat sunnah dari dirinya sendiri, melainkan menghidupkan kembali suatu sunnah yang telah ditinggalkan.
Ada juga jawaban lain yang ditunjukkan oleh sabab wurud (sebab timbulnya) hadits di atas, yaitu kisah orang-orang yang datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan mereka itu dalam keadaan yang amat sulit. Maka beliau menghimbau kepada para sahabat untuk mendermakan sebagian dari harta mereka. Kemudian datanglah seorang Anshar dengan membawa sebungkus uang perak yang kelihatannya cukup banyak, lalu diletakkannya di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Seketika itu berseri-serilah wajah beliau dan bersabda, “Siapa yang memulai memberi contoh kebaikan dalam Islam maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikuti (meniru) perbuatannya itu.”
Dari sini dapat dipahami bahwa arti “sanna” ialah melaksanakan (mengerjakan), bukan berarti membuat (mengadakan) suatu sunnah. Jadi, arti dari sabda beliau “Man sanna fil Islami sunnatan hasanatan” yaitu: “Barangsiapa melaksanakan sunnah yang baik dalam Islam”, bukan membuat atau mengadakannya karena yang demikian ini dilarang berdasarkan sabda beliau “Kullu bid’atin dhalalah”. (Lihat al-Ibda’ fi Kamalisy Syar’i wa Khatharil Ibtida’.)
Menolak Hadits Shahih
Penulis di dalam hlm. 21–22 menyebutkan hadits Jariyah yang diriwayatkan oleh al-Imam Muslim di dalamShahih-nya 2/70:
فَقَالَ لَهَا أَيْنَ اللَّهُ قَالَتْ فِي السَّمَاءِ
قَالَ مَنْ أَنَا قَالَتْ أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ قَالَ أَعْتِقْهَا
فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ
“Lalu beliau bertanya kepada budak wanita tersebut, ‘Di manakah
Allah?’ Budak itu menjawab, ‘Di langit.’ Beliau bertanya, ‘Siapakah
aku?’ Dia menjawab, ‘Engkau adalah utusan Allah.’ Beliau bersabda,
‘Bebaskanlah dia, karena dia seorang wanita mukminah.’”Kemudian penulis berkata:
Ada tiga tinjauan berkaitan dengan hadits yang Anda sebutkan. Pertama dari aspek kritisisme ilmu hadits (naqd al-hadits) Hadits yang Anda sebutkan menurut para ulama tergolong hadits mudhtarib (hadits yang simpang siur periwayatannya), sehingga kedudukannya menjadi lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah. Kesimpangsiuran periwayatan hadits tersebut, dapat dilihat dari perbedaan setiap perawi dalam meriwayatkan hadits tersebut. Ada yang meriwayatkan Nabi tidak bertanya dimana Allah. Akan tetapi Nabi bertanya, apakah kamu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah.
Saya katakan:
Demikianlah, untuk melegalkan pemikiran sesatnya bahwa Allah tidak di langit, penulis telah berani menolak hadits yang disepakati keshahihannya oleh para ulama.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Hadits ini disepakati keabsahannya oleh para ulama muslimin semenjak dahulu hingga sekarang dan dijadikan hujjah oleh imam-imam besar, seperti Malik, asy-Syafi’i, Ahmad, dan lainnya. Dan dishahihkan oleh Muslim, Abu ’Awanah, Ibnul Jarud, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan orang-orang yang mengikuti mereka dari para pakar dan sebagian mereka adalah para penakwil, seperti al-Baihaqi, al-Baghawi, Ibnul Jauzi, adz-Dzahabi, (Ibnu Hajar) al-Asqalani, dan lainnya. Lantas, bagaimana pendapat seorang muslim yang berakal terhadap orang jahil dan sombong yang menyelisihi para imam dan pakar tersebut, bahkan mencela lafal (yang diucapkan) Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang telah dishahihkan oleh para ulama tersebut?!” (Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah 1/11)
Al-Imam al-Baihaqi Rahimahullahu Ta’ala mengatakan, “Hadits ini shahih. Dikeluarkan oleh Muslim.” (al-Asma‘ wash Shifat hlm. 532–533)
Al-Imam adz-Dzahabi Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Hadits ini shahih. Dikeluarkan oleh Muslim, Abu Dawud, an-Nasa‘i, dan imam-imam lainnya dalam kitab-kitab mereka dengan memperlakukannya sebagaimana datangnya tanpa takwil dan tahrif.” (al-’Uluw lil ’Aliyyil ’Azhim 1/249)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullahu Ta’ala mengatakan, “Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Muslim.” (Fathul Bari13/359)
Sepanjang pengetahuan saya, tidak ada satu pun dari ulama hadits yang menyebutkan bahwa hadits tersebut adalah mudhtarib, maka penulis telah melakukan pelemahan hadits dengan dalih dari kantongnya sendiri.
Berargumen Dengan Hadits Lemah
Penulis berkata di dalam hlm. 10:
Sebagai penegasan bahwa Nabi yang telah wafat, dapat mendoakan orang yang masih hidup, adalah hadits berikut:
عن عبد الله بن مسعود عن النبي صلى الله عليه وسلم قال:
حياتي خير لكم ، تحدثون ويحدث لكم ، ووفاتي خير لكم ، تعرض علي أعمالكم ،
فما رأيت من خير حمدت الله عليه ، وما رأيت من شر استغفرت الله لكم
“Dari Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah bersabda: ‘Hidupku lebih baik
bagi kalian. Kalian berbuat sesuatu, aku dapat menjelaskan hukumnya.
Wafatku juga lebih baik bagi kalian. Apabila aku wafat, maka amal
perbuatan kalian ditampakkan kepadaku. Apabila aku melihat amal baik
kalian, aku akan memuji kepada Allah. Dan apabila aku melihat
sebaliknya, maka aku akan memintakan ampun kalian kepada Allah.’” (HR
al-Bazzar, 1925)Saya katakan:
Ini adalah hadits yang lemah. Ia diriwayatkan oleh al-Bazzar di dalam Musnad-nya 5/308 dari Yusuf bin Musa dari Abdul Majid bin Abdil Aziz bin Abi Rawwad dari Sufyan dari Abdullah bin Saib dari Zadzan dari Abdullah bin Mas’ud dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ لِلَّهِ مَلَائِكَةً سَيَّاحِينَ يُبَلِّغُونِي
عَنْ أُمَّتِي السَّلَامَ قَالَ: وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: حَيَاتِي خَيْرٌ لَكُمْ تُحَدِّثُونَ وَنُحَدِّثُ
لَكُمْ ، وَوَفَاتِي خَيْرٌ لَكُمْ تُعْرَضُ عَلَيَّ أَعْمَالُكُمْ ، فَمَا
رَأَيْتُ مِنَ خَيْرٍ حَمِدْتُ اللَّهَ عَلَيْهِ ، وَمَا رَأَيْتُ مِنَ
شَرٍّ اسْتَغْفَرْتُ اللَّهَ لَكُمْ
“Sesungguhnya Allah memiliki malaikat Sayyahin (yang berkeliling) di bumi. Mereka menyampaikan salam dari umatku kepadaku.” Abdullah berkata, “Dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
‘Hidupku lebih baik bagi kalian. Kalian berbicara dan kami berbicara
kepada kalian. Wafatku juga lebih baik bagi kalian. amal perbuatan
kalian ditampakkan kepadaku. Apabila aku melihat amal baik kalian, aku
akan memuji kepada Allah. Dan apabila aku melihat sebaliknya, maka aku
akan memintakan ampun kalian kepada Allah.’”Al-Bazzar Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Dan hadits ini, (bagian) akhirnya kami tidak mengetahui diriwayatkan dari Abdullah kecuali dari jalan dengan sanad ini.”
Abdul Aziz bin Abi Rawwad telah sendirian di dalam meriwayatkan hadits ini dari Sufyan ats-Tsauri dengan tambahan “Hidupku lebih baik bagi kalian…”, dia telah diselisihi oleh banyak dari para perawi yang tsiqah dari para sahabat Sufyan ats-Tsauri yang meriwayatkan hadits ini dari Sufyan tanpa tambahan di atas.
Para perawi yang tsiqah tersebut adalah: Yahya al-Qaththan, Abdurrahman bin Mahdi, Waki’ bin Jarrah, Ibnul Mubarak, Abdurrazzaq bin Hammam, Mu’adz al-’Anbari, Muhammad bin Yusuf al-Firyabi, Abdullah bin Numair, Zaid bin Habbab, Ubaidullah bin Musa, Abu Nu’aim, Fudhail bin ’Iyadh, Muhammad bin Katsir, dan Abu Ishaq al-Fazari, yang total jumlah mereka ada 14 orang (riwayat mereka ada di dalam Sunan an-Nasa‘i 3/43, Musnad Ahmad 1/452 dan yang lainnya, lihat Silsilah Ahadits Dha’ifah: 975 dan Fatawa Haditsiyyah 2/14).
Maka riwayat Abdul Majid bin Abi Rawwad adalah mungkar, dia dilemahkan oleh Abu Hatim Ibnu Sa’ad, Abu Zur’ah, Daruquthni, dan yang lainnya.
Hadits ini dilemahkan oleh al-’Ujluni di dalam Kasyful Khafa’ 1/442, al-Hafizh al-’Iraqi di dalam Mughnil Isfar2/1051, dan Ibnul Qaisarani di dalam Ma’rifat Tadzkirah 3/1250.
Syaikh al-Albani Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Dan kesimpulannya bahwa hadits ini adalah lemah dengan seluruh jalan-jalannya.” (Silsilah Dha’ifah 2/406)
Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Hadits ini termasuk mungkar-mungkar Abdul Majid bin Abi Rawwad.” (Arsip Multaqa Ahlil Hadits 27/327)
Syaikh Abu Ishaq al-Huwaini menyebutkan bahwa hadits ini mungkar secara matan dengan dalil hadits yang Muttafaq ’Alaih dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
ألا وإنه سيجاءُ برجالٍ من أمتي، فيؤخذُ بهم ذات الشمال، فأقولُ: يا ربِّ أصحابي، فقال: إنك لا تدري ما أحدثوا بعدك
“Ingat, sesungguhnya beberapa orang dari umatku akan didatangkan lalu
mereka diambil ke golongan kiri, aku berkata, ‘Wahai Rabb, (mereka itu)
sahabat-sahabatku.’ Dikatakan, ‘Sesungguhnya engkau tidak tahu apa yang
mereka buat-buat sepeninggalmu.’”Hadits ini merupakan dalil bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak mengetahui amalan-amalan umat beliau setelah beliau wafat. (Lihat Fatawa Haditsiyyah 2/16.)
Penutup
Inilah yang bisa saya sampaikan kepada para pembaca tentang jawaban-jawaban terhadap syubhat-syubhat buku ini. Sebetulnya masih banyak hal-hal lain dari syubhat-syubhat buku ini yang perlu dijelaskan, tetapi insya Allah yang telah saya paparkan di atas sudah bisa memberikan peringatan kepada kita tentang bahaya buku ini. Semoga Allah selalu menjadikan kita termasuk orang-orang yang mendengarkan nasihat dan mengikutinya.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar