Penulis: Rizki Maulana
Manusia adalah makhluk yang tidak bisa
hidup tanpa orang lain. ia memerlukan bergaul dengan orang lain. Ini
merupakan fitrah. Tidak mungkin ada yang bisa menghindarinya, terlebih
lagi pada era global sekarang ini, dunia layaknya sebuah kampung kecil
saja. Berhubungan dengan orang lain, meski terkadang berefek negatif,
manakala berlangsung tanpa kendali, tetapi ia juga merupakan peluang
yang bisa mendatangkan beragam kemaslahatan, sekaligus ladang amal untuk
memproleh pahala.
Islam sangat responsif terhadap fenomena
ini. Bukan sekedar komunikasi yang bertema dan berskala besar saja yang
diperhatikannya, tetapi hubungan yang sangat kecil pun tak luput dari
pantauannya. Ini tiada lain karena demi kemaslahatan manusia, sebagai
makhluk yang berkepribadian mulia. Islam telah memberikan peraturan
dalam masalah mu’amalah semacam ini, agar dalam pergaulan, manusia tidak
melampui batas-batas koridor yang telah ditentukan syariat. Sehingga
pergaulan tersebut tidak merugikan salah satu pihak.
Salah satu dari bentuk mu’amalah tersebut adalah ta’ziyah. Atau biasa disebut melayat. Bagaimanakah penjelasan tentang masalah ini?
Untuk menjelaskan masalah ta’ziyah ini,
berikut saya (Rizki Maulana, pen) ketengahkan ulasan yang diambil dari kitab at Ta`ziyah,
karya Syaikh Musa’id bin Qashim al Falih, yang diterbitkan Dar al
‘Ashimah. Semoga bermanfaat.
DEFINISI TA’ZIYAH
Kata “ta`ziyah”, secara etimologis merupakan bentuk mashdar (kata benda turunan) dari kata kerja ‘aza. Maknanya sama dengan al aza’u. Yaitu sabar menghadapi musibah kehilangan.[1]
Dalam terminologi ilmu fikih, “ta’ziyah”
didefinisikan dengan beragam redaksi, yang substansinya tidak begitu
berbeda dari makna kamusnya.
Penulis kitab Radd al Mukhtar mengatakan :
“Berta’ziyah kepada ahlul mayyit (keluarga yang ditinggal mati)
maksudnya ialah, menghibur mereka supaya bisa bersabar, dan sekaligus
mendo’akannya”.[2]
Imam al Khirasyi di dalam syarahnya
menulis: “Ta’ziyah, yaitu menghibur orang yang tertimpa musibah dengan
pahala-pahala yang dijanjikan oleh Allah, sekaligus mendo’akan mereka
dan mayitnya”.[3]
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan :
“Yaitu memotivasi orang yang tertimpa musibah agar bisa lebih bersabar,
dan menghiburnya supaya bisa melupakannya, meringankan tekanan kesedihan
dan himpitan musibah yang menimpanya”.[4]
HUKUM FIKIH TA’ZIYAH
Berdasarkan kesepakatan para ulama, seperti yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah, hukumnya adalah sunnah [5]. Hal ini diperkuatkan oleh hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya :
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
مَنْ عَزَّى مُصَابًا فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ
Barangsiapa yang berta’ziyah kepada orang
yang tertimpa musibah, maka baginya pahala seperti pahala yang didapat
orang tersebut. [HR Tirmidzi 2/268. Kata beliau: “Hadits ini gharib.
Sepanjang yang saya ketahui, hadits ini tidak marfu’ kecuali dari jalur
‘Adi bin ‘Ashim”; Ibnu Majah, 1/511].
Dalil lainnya, ‘Abdullah bin ‘Amr bin al
Ash menceritakan, bahwa pada suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bertanya kepada Fathimah Radhiyallahu ‘anha : “Wahai,
Fathimah! Apa yang membuatmu keluar rumah?” Fathimah menjawab,”Aku
berta’ziyah kepada keluarga yang ditinggal mati ini.” [HR Abu Dawud,
3/192].
HIKMAH TA’ZIYAH
Disamping pahala, juga terdapat kemaslahatan bagi kedua belah pihak [6]. Antara lain :
- Meringankan beban musibah yang diderita oleh orang yang dilayat.
– Memotivasinya untuk terus bersabar menghadapi musibah, dan berharap pahala dari Allah Ta’ala.
– Memotivasinya untuk ridha dengan ketentuan atau qadar Allah Ta’ala, dan menyerahkannya kepada Allah.
– Mendo’akannya agar musibah tersebut diganti oleh Allah dengan sesuatu yang lebih baik.
– Melarangnya dari berbuat niyahah (meratap), memukul, atau merobek pakaian, dan lain sebagainya akibat musibah yang menimpanya.
– Mendo’akan mayit dengan kebaikan.
– Adanya pahala bagi orang yang berta’ziyah.
– Memotivasinya untuk terus bersabar menghadapi musibah, dan berharap pahala dari Allah Ta’ala.
– Memotivasinya untuk ridha dengan ketentuan atau qadar Allah Ta’ala, dan menyerahkannya kepada Allah.
– Mendo’akannya agar musibah tersebut diganti oleh Allah dengan sesuatu yang lebih baik.
– Melarangnya dari berbuat niyahah (meratap), memukul, atau merobek pakaian, dan lain sebagainya akibat musibah yang menimpanya.
– Mendo’akan mayit dengan kebaikan.
– Adanya pahala bagi orang yang berta’ziyah.
WAKTU TA’ZIYAH
Jumhur ulama memandang bahwa ta’ziyah diperbolehkan sebelum dan sesudah mayit dikebumikan.[7]
Pendapat lainnya, sebagaimana yang
diriwayatkan dari Imam Tsauri, bahwa beliau memandang makruh ta’ziyah
setelah mayitnya dikuburkan. Alasannya, setelah mayitnya dikuburkan,
berarti masalahnya juga selesai. Sedangkan ta’ziyah itu sendiri
disyari’atkan guna menghibur agar orang yang tertimpa musibah bisa
melupakannya. Oleh karena itu, hendaknya ta’ziyah dilakukan pada waktu
terjadinya musibah. Kala itu, orang yang tertimpa musibah benar-benar
dituntut untuk bersabar. [8]
Pendapat yang rajih, yaitu pendapat
jumhur ulama. Alasannya, orang yang tertimpa musibah memerlukan
penghibur untuk mengurangi beban musibah yang menghimpitnya. Penglipur
ini tentu saja diperlukan, sekalipun mayitnya sudah dikuburkan,
sebagaimana ia memerlukannya sebelum dikuburkan. Bahkan ta’ziyah setelah
mayit dikuburkan hukumnya lebih utama. Sebab, sebelumnya ia sibuk
mengurus mayit. Dan orang yang tertimpa musibah merasa lebih kesepian
dan sengsara karena betul-betul berpisah dengan si mayit.[9]
JANGKA WAKTU TA’ZIYAH
Ta’ziyah disyari’atkan dalam jangka waktu tiga hari setelah mayitnya dikebumikan. Jumlah tiga hari ini bukan pembatasan yang final, tetapi perkiraan saja (kurang lebihnya saja). Dan jumhur ulama menghukumi makruh, apabila ta’ziyah dilakukan lebih dari tiga hari [10]. Ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثِ أَيَّامٍ إِلَّا عَلَى زَوْجٍ فَإِنَّهَا تُحِدُّ عَلَيْهِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًاTidaklah dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari Kiamat, untuk berkabung lebih dari tiga hari, terkecuali berkabung karena (ditinggal mati) suaminya, yaitu selama empat bulan sepuluh hari. [HR Bukhari, 2/78; Muslim, 4/202].
Alasan lainnya, setelah tiga hari,
biasanya orang yang ditinggal mati, bisa kembali tenang. Maka, tidak
perlu lagi untuk dibangkitkan kesedihannya dengan dilayat. Kendatipun
begitu, jumhur ulama membuat pengecualian. Yaitu apabila orang yang
hendak melayatnya, atau orang yang hendah dilayatnya (keluarga yang
ditinggal mati) tidak ada dalam jangka waktu tiga hari tersebut.
Sebagian ulama mazhab Syafi’iyah dan
Hanabilah membebaskannya begitu saja. Sampai kapan saja, tak ada
pembatasan waktunya. Sebab, menurut mereka, tujuan dari ta’ziyah ini
untuk mendo’akan, memotivasinya agar bersabar dan tidak melakukan
ratapan, dan lain sebagainya. Tujuan ini tentu saja berlaku untuk jangka
waktu yang lama.
Yang lebih kuat dari dua pendapat ini, adalah pendapat jumhur ulama.
MENGULANG-ULANG TA’ZIYAH
Mengulang-ulang ta’ziyah, hukumnya dimakruhkan. Tidak boleh berta’ziyah di kuburan, apabila sebelumnya sudah melakukannya.
Hikmah sekaligus alasannya, karena tujuan
dilakukannya ta’ziyah sudah dicapai pada ta’ziyah yang pertama kali,
sehingga tidak perlu diulang lagi, supaya tidak membuat kesedihannya
terus menghimpitnya.[11]
KEPADA SIAPA BERTA’ZIYAH?
Sunnahnya ta’ziyah dilakukan kepada seluruh orang yang tertimpa musibah (ahlul mushibah), baik orang tua, anak-anak, dan apalagi orang-orang yang lemah. Lebih khusus lagi kepada orang-orang tertentu dari mereka yang merasakan kehilangan dan kesepian karena ditimpa musibah tersebut. Tetapi para ulama bersepakat, bahwa seorang lelaki tidak boleh berta’ziyah kepada seorang perempuan muda, sebab bisa menimbulkan fitnah (bahaya), terkecuali mahramnya. [12]
Jika saat ta’ziyah mengetahui adanya
kebatilan, maka kebenaran tidak boleh diabaikan atau ditinggalkan. Orang
yang meratap dan merobek bajunya, dan sebagainya, ia tidak boleh
dibiarkan. Begitu juga untuk hal-hal lainnya.
TA’ZIYAH KEPADA ORANG KAFIR
Ada perbedaan pendapat dalam masalah melayat kepada orang kafir dzimmi (orang kafir dalam perlindungan). Sebagian ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah memperbolehkannya [13]. Adapun Imam Ahmad bersikap tawaqquf, beliau tidak berpendapat apa-apa dalam masalah ini.[14]
Sedangkan para sahabat Imam Ahmad
memandang ta’ziyah sama dengan ‘iyadah (menengok atau besuk). Dan dalam
masalah ini, mereka memiliki dua pendapat :
Pertama : Menengok dan melayat orang kafir hukumnya terlarang atau haram [15]. Dalil yang mereka pergunakan ialah:
لَا تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلَا النَّصَارَى بِالسَّلَامِ فَإِذَا لَقِيتُمْ أَحَدَهُمْ فِي طَرِيقٍ فَاضْطَرُّوهُ إِلَى أَضْيَقِهِ
Janganlah memulai salam kepada Yahudi dan
Nasrani. Apabila kalian berpapasan dengan salah seorang dari mereka,
pepetlah ke tempat yang sempit. [HR Muslim, 7/5]
.
Dalam hal ini, ta’ziyah disamakan dengan memulai salam kepada mereka.
.
Dalam hal ini, ta’ziyah disamakan dengan memulai salam kepada mereka.
Kedua : Membolehkan ta’ziyah dan menengoknya, dengan dalil hadits berikut ini :
قَالَ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ
غُلَامٌ يَهُودِيٌّ يَخْدُمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَمَرِضَ فَأَتَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَعُودُهُ فَقَعَدَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَقَالَ لَهُ أَسْلِمْ فَنَظَرَ إِلَى
أَبِيهِ وَهُوَ عِنْدَهُ فَقَالَ لَهُ أَطِعْ أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَسْلَمَ فَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقُولُ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْقَذَهُ
مِنْ النَّارِ
Dahulu ada seorang anak Yahudi yang
membantu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu ketika si anak ini
sakit. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menengoknya. Beliau
duduk di dekat kepalanya, dan berkata : “Masuklah ke dalam Islam”.
Anak tersebut memandang bapaknya yang hadir di dekatnya. Bapaknya berkata,”Patuhilah (perkataan) Abul Qasim Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,” maka anak itupun masuk Islam. Setelah itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar seraya berkata : “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan anak itu dari siksa neraka”. [HR Bukhari, 2/96].
Pendapat yang rajih (kuat), yaitu tidak boleh
melayat orang kafir dzimmi, terkecuali apabila membawa kemaslahatan
-menurut dugaan yang rajih- misalnya mengharapkannya masuk Islam.
Wallahu a’lam.
MELAYAT ORANG MUSLIM YANG DITINGGAL MATI OLEH SEORANG KAFIR
Jumhur ulama memperbolehkan ta’ziyah kepadanya [16]. Adapun pendapat yang melarangnya, dipegang oleh Imam Malik dan salah satu riwayat dari mazhab Hanabilah [17].
Yang rajih dalam masalah ini, ialah pendapat jumhur ulama. Dalilnya ialah, keumuman dalil-dalil yang memerintahkan ta’ziyah.
APA YANG DIUCAPKAN KETIKA BERTA’ZIYAH?
Berdasarkan pendapat para ulama dalam masalah ini, bisa disimpulkan bahwa mereka tidak membatasi dan tidak menentukan bacaan-bacaan khusus yang harus diucapkan ketika berta’ziyah.
Ibnu Qudamah berpendapat [18] :
“Sepanjang yang kami ketahui, tidak ada ucapan tertentu yang khusus
dalam ta’ziyah. Namun, diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah melayat seseorang dan mengucapkan:
رَحِمَكَ اللهُ وَآجَرَكَ
(Semoga Allah merahmatimu, dan memberimu pahala. –HR Tirmidzi, 4/60).
Imam Nawawi berpendapat [19], yang paling
baik untuk diucapkan ketika ta’ziyah, yaitu apa yang diucapkan oleh
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada salah seorang utusan yang
datang kepadanya untuk memberi kabar kematian sesorang. Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada utusan itu : Kembalilah
kepadanya dan katakanlah kepadanya :
أَنَّ لِلَّهِ مَا أَخَذَ وَلَهُ مَا أَعْطَى وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مُسَمًّى فَمُرْهَا فَلْتَصْبِرْ وَلْتَحْتَسِبْ
Sesungguhnya adalah milik Allah apa yang
Dia ambil, dan akan kembali kepadaNya apa yang Dia berikan. Segala
sesuatu yang ada disisiNya ada jangka waktu tertentu (ada ajalnya). Maka
hendaklah engkau bersabar dan mengharap pahala dari Allah. [HR Muslim,
3/39].
Sebagian ulama mensunnahkan, agar ketika melayat orang muslim yang ditinggal mati oleh orang muslim, membaca :
أَعْظَمَ اللهُ أَجْرَكَ وَأَحْسَنَ عَزَاكَ وَرَحِمَ مَيِّتَكَ
Semoga Allah melipatkan pahalamu, memberimu pelipur lara yang baik, dan semoga Dia memberikan rahmat kepada si mayit. [20]
Menurut Mazhab Syafi’iyah, mendoa’akan
orang yang dilayat atau yang tertimpa musibah dengan mengucapkan:
“Semoga Allah mengampuni si mayit, melipatkan pahalamu, dan memberimu
pelipur yang baik,” tetapi, ada juga yang berpendapat berdo’a dengan
do’a apa saja.[21]
Adapun ketika melayat seorang muslim yang
ditinggal mati oleh seorang kafir, maka cukup dengan mendo’akan
orang-orang yang ditinggal mati ini saja dan tidak mendoakan si mayit
(yang kafir). Dan melayat orang kafir, sebagaimana telah dibahas di
muka, tidak diperbolehkan, terkecuali membawa kemaslahatan.
Sedangkan mazhab Syafi’iyah dan Hanabilah
yang membolehkan melayat orang kafir karena ditinggal mati oleh seorang
muslim, memberikan tuntunan do’a :
أَحْسَنَ اللهُ عَزَاءَكَ وَغَفَرَ لِمَيِّتِكَ
(Semoga Allah memberimu pelipur lara yang baik, dan semoga Dia mengampuni si mayit).
Dan ketika yang meninggal adalah orang kafir, doanya ialah :
أَخْلَفَ اللهُ عَلَيْكَ وَلاَ نَقَصَ عَدَدَكَ
(Semoga Allah menggantinya buatmu, dan semoga tidak mengurangi jumlahmu).
(Semoga Allah menggantinya buatmu, dan semoga tidak mengurangi jumlahmu).
Maksudnya, supaya jumlah jizyah (upeti) yang diambil dari mereka tetap besar.[22]
Masalah ini dikomentari oleh Imam Nawawi :
“Ini sangat bermasalah, sebab berdo’a agar orang kafir dan kekafiran
tetap ada atau eksis. Sebaiknya, ini ditinggalkan saja” [23] Apa yang
dikatakan oleh Imam Nawawi adalah benar.
Selanjutnya, apa yang dikatakan oleh
orang yang dilayat? Dalam hal ini sama. Tidak ada ketentuan bacaan
khusus yang harus dibaca sebagai jawaban kepada para pelayat.
Ada pendapat dari Mazhab Hanabilah, bahwasanya disunnahkan untuk mengucapkan :
اسْتَجَابَ اللهُ دُعَاءَكَ وَرَحِمَنَا وَإِيَّاكَ
(Semoga Allah mengabukan do’amu. Dan semoga Dia mengasihi kita, juga kamu). [24]
DUDUK-DUDUK KETIKA TA’ZIYAH
Berkumpul dan membaca al Qur`an ketika melayat, bukan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; baik di pekuburan ataupun di tempat tidak diajarkan [25]. Jumhur ulama melarang duduk-duduk di tempat orang yang ditinggal mati. Yang disyari’atkan ialah, setelah mayat dikuburkan, sebaiknya kembali kepada kesibukannya masing-masing. Larangan ini adalah makruh (makruh tanzih) apabila tidak dibarengi kemunkaran-kemunkaran lain. Adapun jika dibarengi dengan kemungkaran-kemungkaran, misalnya bid’ah-bid’ah, maka hukumnya haram.[26]
Adat yang biasa dilakukan oleh orang-orang, seperti duduk-duduk di tempat orang yang ditinggal mati, lalu dikeluarkan biaya untuk keperluan ini dan itu, mereka tinggalkan apa yang membuatnya maslahat; pada saat yang sama, mereka mencela orang yang tidak mau mengikuti dalam acara tersebut. Dalam acara itu mereka melakukan hal-hal yang tidak disyari’atkan, dan ini termasuk kegiatan bid’ah yang dicela oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[27]
Dalam masalah ini ada yang berpendapat
memperbolehkannya. Mereka ialah sebagian dari ulama Hanafiyah dan
Malikiyah[28]. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh
Aisyah Radhiyallahu ‘anha , dia menceritakan, ketika Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, ternyata Ibnu Haritsah, Ja’far bin
Abu Thalib dan Abdullah bin Rawahah terbunuh. Lalu beliau duduk. Beliau
mengetahui jika di tempat itu ada kesedihan … [HR Muslim, 3/45]
.
Jawabannya atau bantahan dari pendapat ini ialah, bahwa kedatangan Rasulullah dan beliau duduk, tidak bermaksud untuk ta’ziyah, dan tidak ada indikasi ke arah yang menguatkannya berta’ziyah.[29]
.
Jawabannya atau bantahan dari pendapat ini ialah, bahwa kedatangan Rasulullah dan beliau duduk, tidak bermaksud untuk ta’ziyah, dan tidak ada indikasi ke arah yang menguatkannya berta’ziyah.[29]
Maka dari itu, sebagian lagi dari ulama
Hanabilah menyatakan, sebenarnya yang dimakruhkan adalah menginap di
tempat orang yang ditinggal mati, duduk-duduk bagi orang yang sudah
pernah melayat sebelumnya, atau duduk-duduk supaya bisa melayat lebih
lama lagi. [30]
Demikianlah beberapa point berkenaan dengan ta’ziyah. Semoga bermanfaat!!
_______
Footnote
[1]. Lihat Mukhtar ash Shihah, hlm. 431; al Qamus al Muhith (4/364) dan Lisan al ‘Arab (15/52).
[2]. Radd al Mukhtar (1/603).
[3]. Syarh al Khirasyi ‘ala Mukhtashar Khalil (2/129).
[4]. Al Adzkar an Nawawiyah, hlm.126. Lihat juga al Majmu’ (5/304).
[5]. Al Mughni (3/480). Lihat juga al Ifshah (1/193).
[6]. Lihat Syarh al Khirasyi (2/130), al Balighah (2/82).
[7]. Lihat Hasyiyah Radd al Mukhtar (1/604), Syarh al Khirasyi (2/130); al Majmu’ (5/306), al Mughni, (2/480), al Inshaf (2/563).
[8]. Al Mughni (3/480), Nail al Authar (4/95).
[9]. Hasyiah Radd al Mukhtar (1/604), al Majmu’ (5/306).
[10]. Hasyiah Radd al Mukhtar (1/604), al Majmu’ (5/306), al Inshaf (2/564), Kasysyaf al Qina’ (2/160).
[11]. Lihat Hasyiyah Radd al Mukhtar (1/604), al Furu’ (2/294), al Inshaf (2/564).
[12]. Lihat Syarh al Khirasyi (2/129), al Majmu’ (5/305), al Adzkar an Nawawiyah hlm. 127, al Mughni (3/480).
[13]. Hasyiyah Radd al Mukhtar (1/604), al Muhadzdzab –dicetak bersama al Majmu- (5/304).
[14]. Al Mughni (3/486), Ahkam Ahl adz Dzimmah (1/204).
[15]. Al Inshaf (2/566), Kasysyaf al Qina’ (2/161).
[16]. Hasyiyah Radd al Mukhtar (1/604), al Majmu’ (5/306), al Inshaf (2/565).
[17]. Hasyiyah ad Dusuqi (1/419), al Inshaf (2/566).
[18]. Al Mughni (3/480).
[19]. Al Adzkar, hlm. 127.
[20]. Lihat Hasyiyah Radd al Mukhtar (1/604), al Mughni (3/486), al Inshaf (2/565).
[21]. Al Majmu’ (5/306).
[22]. Al Majmu’ (5/306), al Mughni (3/486)
[23]. Al Majmu’ (5/306)
[24]. Al Mughni (3/487), Kasysyaf al Qina’ (2/161).
[25]. Zadul Ma’ad (1/146).
[26]. Al Adzkar an Nawawiyah, hlm. 127.
[27]. Lihat Fatawa Lajnah Daimah lil Buhuts wal Ifta`, no. 38, diambil dari surat kabar al Muslimun.
[28]. Hasyiyah Radd al Mukhtar (1/604), Syarh al Khirasyi (2/130).
[29]. Lihat Radd al Mukhtar (1/604).
[30]. Kasysyaf al Qina’ (2/160).
Footnote
[1]. Lihat Mukhtar ash Shihah, hlm. 431; al Qamus al Muhith (4/364) dan Lisan al ‘Arab (15/52).
[2]. Radd al Mukhtar (1/603).
[3]. Syarh al Khirasyi ‘ala Mukhtashar Khalil (2/129).
[4]. Al Adzkar an Nawawiyah, hlm.126. Lihat juga al Majmu’ (5/304).
[5]. Al Mughni (3/480). Lihat juga al Ifshah (1/193).
[6]. Lihat Syarh al Khirasyi (2/130), al Balighah (2/82).
[7]. Lihat Hasyiyah Radd al Mukhtar (1/604), Syarh al Khirasyi (2/130); al Majmu’ (5/306), al Mughni, (2/480), al Inshaf (2/563).
[8]. Al Mughni (3/480), Nail al Authar (4/95).
[9]. Hasyiah Radd al Mukhtar (1/604), al Majmu’ (5/306).
[10]. Hasyiah Radd al Mukhtar (1/604), al Majmu’ (5/306), al Inshaf (2/564), Kasysyaf al Qina’ (2/160).
[11]. Lihat Hasyiyah Radd al Mukhtar (1/604), al Furu’ (2/294), al Inshaf (2/564).
[12]. Lihat Syarh al Khirasyi (2/129), al Majmu’ (5/305), al Adzkar an Nawawiyah hlm. 127, al Mughni (3/480).
[13]. Hasyiyah Radd al Mukhtar (1/604), al Muhadzdzab –dicetak bersama al Majmu- (5/304).
[14]. Al Mughni (3/486), Ahkam Ahl adz Dzimmah (1/204).
[15]. Al Inshaf (2/566), Kasysyaf al Qina’ (2/161).
[16]. Hasyiyah Radd al Mukhtar (1/604), al Majmu’ (5/306), al Inshaf (2/565).
[17]. Hasyiyah ad Dusuqi (1/419), al Inshaf (2/566).
[18]. Al Mughni (3/480).
[19]. Al Adzkar, hlm. 127.
[20]. Lihat Hasyiyah Radd al Mukhtar (1/604), al Mughni (3/486), al Inshaf (2/565).
[21]. Al Majmu’ (5/306).
[22]. Al Majmu’ (5/306), al Mughni (3/486)
[23]. Al Majmu’ (5/306)
[24]. Al Mughni (3/487), Kasysyaf al Qina’ (2/161).
[25]. Zadul Ma’ad (1/146).
[26]. Al Adzkar an Nawawiyah, hlm. 127.
[27]. Lihat Fatawa Lajnah Daimah lil Buhuts wal Ifta`, no. 38, diambil dari surat kabar al Muslimun.
[28]. Hasyiyah Radd al Mukhtar (1/604), Syarh al Khirasyi (2/130).
[29]. Lihat Radd al Mukhtar (1/604).
[30]. Kasysyaf al Qina’ (2/160).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar