Penulis: Rizki Maulana
Menurut imam al-Ghazali dan imam al-Juwaini, pajak ialah apa yang diwajibkan oleh penguasa
(pemerintahan muslim) kepada orang-orang kaya dengan menarik dari
mereka apa yang dipandang dapat mencukupi (kebutuhan Negara dan
masyarakat secara umum, pent) ketika tidak ada kas di dalam baitul mal.” (Lihat Syifa’ul Ghalil hal.234, dan Ghiyats al-Umam Min Iltiyats Azh-Zhulmi hal.275).
Adapun pajak menurut istilah kontemporer (modern) adalah iuran
rakyat kepada kas negara (pemerintah) berdasarkan undang-undang
-sehingga dapat dipaksakan- dengan tiada mendapat balas jasa secara
langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan
norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa
kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum.
Di sana ada istilah-istilah lain yang mirip dengan pajak atau adh-Dharibah diantaranya adalah :
a. al-Jizyah (upeti yang harus dibayarkan ahli kitab kepada pemerintahan Islam)
b. al-Kharaj (pajak bumi yang dimiliki oleh negara Islam)
c. al-‘Usyur (bea cukai bagi para pedagang non muslim yang masuk ke negara Islam)
B. BEBERAPA JENIS PAJAK DI ZAMAN SEKARANG:
Di zaman sekarang terdapat beberapa macam pajak yang sering kita jumpai, diantaranya ialah:
– Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yaitu pajak yang dikenakan terhapad tanah dan lahan dan bangunan yang dimiliki seseorang.
– Pajak Penghasilan (PPh), yaitu pajak yang dikenakan sehubungan dengan penghasilan seseorang.
– Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
– Pajak Barang dan Jasa
– Pajak Penjualan Barang Mewam (PPnBM)
– Pajak Perseroan, yaitu pajak yang dikenakan terhadap setiap perseroan (kongsi) atau badan lain semisalnya.
– Pajak Transit/Peron dan lain sebagainya.
C. HUKUM PAJAK DALAM FIQIH ISLAM:
Berdasarkan istilah-istilah di atas (al-Jizyah, al-Kharaj, dan al-‘Usyur), kita dapatkan bahwa pajak sebenarnya diwajibkan bagi orang-orang non muslim kepada pemerintahan Islam sebagai bayaran jaminan keamanan. Maka ketika pajak tersebut diwajibkan kepada kaum muslimin, para ulama dari zaman sahabat, tabi’in hingga sekarang berbeda pendapat di dalam menyikapinya.
Pendapat Pertama: Menyatakan bahwa pajak tidak boleh sama sekali dibebankan kepada kaum muslimin, karena kaum muslimin sudah dibebani kewajiban zakat. Di antara dalil-dalil syar’i yang melandasi pendapat ini adalah sebagaimana berikut:
1) Firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil….”. (QS. An-Nisa’: 29).
Dalam ayat ini Allah melarang hamba-Nya saling memakan harta sesamanya dengan jalan yang tidak dibenarkan. Dan pajak adalah salah satu jalan yang batil untuk memakan harta sesamanya.
2) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَلاَ لاَ تَظْلِمُوا ، أَلاَ لاَ تَظْلِمُوا ، أَلاَ لاَ تَظْلِمُوا ، إِنَّهُ لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ إِلاَّ بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ
“Janganlah kalian berbuat zhalim (beliau mengucapkannya tiga kali, pent). Sesungguhnya tidak halal harta seseorang muslim kecuali dengan kerelaan dari pemiliknya.” (HR. Imam Ahmad V/72 no.20714, dan di-shahih-kan oleh Al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Jami’ush Shagir no.7662, dan dalam Irwa’al Ghalil no.1761 dan 1459)
3) Hadits yang diriwayatkan dari Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha, bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَيْسَ فِي الْمَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاةِ
“Tidak ada kewajiban dalam harta kecuali zakat. ” (HR Ibnu Majah I/570 no.1789. Hadits ini dinilai dho’if (lemah) oleh syaikh Al-Albani karena di dalam sanadnya ada perawi yang bernama Abu Hamzah (Maimun), menurut imam Ahmad bin Hanbal dia adalah dha’if hadistnya, dan menurut Imam Bukhari, ‘dia tidak cerdas’).
Mereka mengatakan bahwa dalil-dalil syar’i yang menetapkan adanya hak wajib pada harta selain zakat hanyalah bersifat anjuran (bukan kewajiban yang harus dilaksanakan), seperti hak tamu atas tuan rumah. Mereka juga mengatakan bahwa hak-hak tersebut hukumnya wajib sebelum disyariatkan kewajiban zakat, namun setelah zakat diwajibkan, maka hak-hak wajib tersebut menjadi mansukh (dihapuskan/dirubah hukumnya dari wajib menjadi sunnah).
4) Hadits Buraidah radhiyallahu ‘anhu dalam kisah seorang wanita Ghamidiyah yang berzina, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentangnya:
فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا صَاحِبُ مَكْسٍ لَغُفِرَ لَهُ
“Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya perempuan itu telah benar-benar bertaubat, sekiranya seorang pemungut pajak bertaubat sebagaimana taubatnya wanita itu, niscaya dosanya akan diampuni.” (HR. Muslim III/1321 no: 1695, dan Abu Daud II/557 no.4442. dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah hal. 715-716)
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa dalam hadits ini terdapat beberapa pelajaran dan hikmah yang agung diantaranya ialah, “Bahwasanya pajak termasuk seburuk-buruk kemaksiatan dan termasuk dosa yang membinasakan (pelakunya), hal ini lantaran dia akan dituntut oleh manusia dengan tuntutan yang banyak sekali di akhirat kelak.” (Lihat Syarah Shahih Muslim XI/202 oleh Imam Nawawi).
5) Hadits Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, berkata: Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ
“Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak (secara zhalim, pent).” (HR. Abu Daud II/147 no.2937. Hadist ini dinilai dho’if oleh syaikh Al-Albani)
Dari beberapa dalil di atas, banyak para ulama yang menggolongkan pajak yang dibebankan kepada kaum muslim secara zhalim dan semena-mena, sebagai perbuatan dosa besar, seperti yang dinyatakan Imam Ibnu Hazm di dalam Maratib al Ijma’, Imam adz-Dzahabi di dalam bukunya Al-Kabair, Imam Ibnu Hajar al-Haitami di dalam az- Zawajir ‘an Iqtirafi al Kabair, Syaikh Shiddiq Hasan Khan di dalam ar-Raudah an-Nadiyah, Syaikh Syamsul al-Haq Abadi di dalam Aun al-Ma’bud dan selainnya.
6) Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah ditanya,
apakah Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah menarik pajak dari
kaum muslimin. Beliau menjawab: “Tidak, aku tidak pernah mengetahuinya.”
(Lihat Syarh Ma’anil Atsar II/31)
7) Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah dalam kitabnya, Huquq Ar-Ra’iy war Ra’iyyah, mengatakan, “Adapun kemungkaran seperti pemungutan pajak, maka kita mengharap agar pemerintah meninjau ulang (kebijakan itu)”.
Pendapat Kedua: Menyatakan
bahwa pajak boleh diambil dari kaum muslimin, jika memang negara sangat
membutuhkan dana, dan untuk menerapkan kebijaksanaan inipun harus
terpenuhi dahulu beberapa syarat.
Diantara para ulama yang membolehkan
pemerintahan Islam mengambil pajak dari kaum muslimin adalah imam
al-Juwaini di dalam kitab Ghiyats al-Umam hal. 267, Imam al-Ghazali di
dalam al-Mustashfa I/426, Imam asy-Syathibi di dalam al-I’tishom II/358,
Ibnu Abidin dalam Hasyiyah Ibnu Abidin II/336-337, dan selainnya.
Di antara dalil-dalil syar’i yang melandasi pendapat ini adalah sebagaimana berikut:
1) Firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Baqarah ayat 177, dimana pada ayat ini Allah mengajarkan tentang kebaikan hakiki dan agama yang benar dengan mensejajarkan antara:
(a) Pemberian harta yang dicintai kepada
kerabat, anak-anak yatim, orang miskin, musafir, orang yang
meminta-minta dan memerdekakan hamba sahaya, dengan (b) Iman kepada
Allah, hari kemudian, malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, mendirikan
sholat, menunaikan zakat, dan menepati janji, dan lain-lainnya.
Point-point dalam group (a) di atas,
bukannya hal yang sunnah, tapi termasuk pokok-pokok yang hukumnya
fardhu, karena disejajarkan dengan hal-hal yang fardhu, dan bukan
termasuk zakat, karena zakat disebutkan tersendiri juga.
2) Hadits-hadits shahih mengenai hak tamu
atas tuan rumah. Perintah menghormati tamu menunjukkan wajib karena
perintah itu dikaitkan dengan iman kepada Allah dan hari Kiamat, dan
setelah tiga hari dianggap sebagai sedekah.
3) Ayat Al-Quran yang mengancam orang
yang menolak memberi pertolongan kepada mereka yang memerlukan, seperti
halnya dalam surat Al-Ma’un, dimana Allah mangaggap celaka bagi orang
yang enggan menolong dengan barang yang berguna bersamaan dengan orang
yang berbuat riya’.
4) Adanya kaidah-kaidah umum hukum syara’
yang memperbolehkan. Misalnya kaidah “Mashalih Mursalah” (atas dasar
kepentingan), atau kaidah ‘mencegah mafsadat itu lebih diutamakan
daripada mendatangkan maslahat’, atau kaidah ‘lebih memilih mudharat
yang menimpa individu atau kelompok tertentu daripada mudharat yang
menimpa manusia secara umum’.
Kas Negara yang kosong akan sangat
membahayakan kelangsungan negara, baik adanya ancaman dari luar maupun
dari dalam. Rakyat pun akan memilih kehilangan harta yang sedikit karena
pajak dibandingkan kehilangan harta keseluruhan karena negara jatuh ke
tangan musuh.
5) Adanya perintah Jihad dengan harta.
Islam telah mewajibkan ummatnya untuk berjihad dengan harta dan jiwa
sebagaimana difirmankan Allah dalam Al-Quran (QS. 9:41, 49:51, 61:11,
dll). Maka tidak diragukan lagi bahwa jihad dengan harta itu adalah
kewajiban lain di luar zakat. Di antara hak pemerintah (ulilamri) dari
kaum Muslimin adalah menentukan bagian tiap orang yang sanggup memikul
beban jihad dengan harta ini.
6) Syaikh Izzuddin memberikan fatwa
kepada raja al-Muzhaffar dalam hal mewajibkan pajak kepada rakyat dalam
rangka mempersiapkan pasukan untuk memerangi Tatar, seraya berkata:
“Apabila musuh memasuki Negeri Islam,
maka wajib bagi kaum muslimin menahan serangan mereka, dan diperbolehkan
bagi kalian (para penguasa) mengambil dari rakyat apa yang dapat
menolong kalian dalam berjihad melawan mereka, namun dengan syarat tidak
ada kas sedikitpun di dalam baitul mal, dan hendaknya kalian (penguasa
dan para pejabatnya, pent) menjual (menginfakkan) barang-barang berharga
milik kalian. Setiap tentara dicukupkan dengan kendaraan dan senjata
perangnya saja, dan mereka itu diperlakukan sama dengan rakyat pada
umumnya. Adapun memungut harta (pajak) dari rakyat padahal masih ada
harta benda dan peralatan berharga di tangan para tentara, maka itu
dilarang.” (An-Nujum Az-Zahirah fi Muluki Mishr wa Al-Qahirah, karya
Abul Mahasin Yusuf bin Taghri VII/73).
Kesimpulan Hukum Pajak dalam Fiqih Islam:
Setelah memaparkan dua pendapat para ulama di atas beserta dalil-dalilnya, maka jalan tengah dari dua perbedaan pendapat ini adalah bahwa tidak ada kewajiban atas harta kekayaan yang dimiliki seorang muslim selain zakat, namun jika datang kondisi yang menuntut adanya keperluan tambahan (darurat), maka akan ada kewajiban tambahan lain berupa pajak (dharibah). Pendapat ini sebagaimana dikemukakan oleh al-Qadhi Abu Bakar Ibnu al-Arabi, Imam Malik, Imam Qurtubi, Imam asy-Syathibi, Mahmud Syaltut, dan lain-lain. (Lihat Al-Fatawa Al-Kubra, Syaikh Mahmud Syaltut hal.116-118 cetakan Al-Azhar).
Diperbolehkannya memungut pajak menurut
para ulama tersebut di atas, alasan utamanya adalah untuk mewujudkan
kemaslahatan umat, karena dana pemerintah tidak mencukupi untuk
membiayai berbagai “pengeluaran”, yang jika pengeluaran itu tidak
dibiayai, maka akan timbul kemadharatan. Sedangkan mencegah kemudaratan
adalah juga suatu kewajiban. Sebagaimana kaidah ushul fiqh: Ma layatimmu
al-wajibu illa bihi fahuwa wajibun (Suatu kewajiban jika tidak sempurna
kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib).
Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani berkata,
“Jika sekiranya seorang penguasa (pemerintahan muslim) hendak menyiapkan
sebuah pasukan perang, maka sepantasnya dia menyiapkannya dengan harta
yang diambil dari baitul mal kaum muslimin (kas Negara) jika di dalamnya
memang ada harta kekayaan yang mencukupinya, dan tidak boleh baginya
mengambil harta sedikitpun dari rakyat. Akan tetapi jika di dalam baitul
mal tidak ada harta yang mencukupi penyiapan pasukan perang, maka
dibolehkan bagi penguasa/pemerintah muslim menetapkan kebijakan kepada
mereka (orang-orang kaya agar membayar pajak, pent) sehingga pasukan
perang yang akan berjihad menjadi kuat.” (Lihat As-Sair Al-Kabir beserta
syarahnya I/139).
D. SYARAT-SYARAT PEMUNGUTAN PAJAK:
Para ulama yang membolehkan Pemerintahan Islam memungut pajak dari kaum muslimin, meletakkan beberapa syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu, diantaranya adalah sebagai berikut :
Pertama: Negara komitmen dalam penerapan syariat Islam.
Kedua: Negara sangat membutuhkan dana untuk keperluan dan maslahat umum, seperti pembelian alat-alat perang untuk menjaga perbatasan Negara yang sedang dirongrong oleh musuh.
Ketiga: Tidak ada sumber lain yang bisa diandalkan oleh Negara, baik dari zakat, jizyah, al ‘usyur, kecuali dari pajak.
Keempat: Harus ada persetujuan dari para ulama dan tokoh masyarakat.
Kelima: Pemungutannya harus adil, yaitu dipungut dari –orang kaya saja-, dan tidak boleh dipungut dari orang-orang miskin. Distribusinya juga harus adil dan merata, tidak boleh terfokus pada tempat-tempat tertentu, apalagi yang mengandung unsur dosa dan maksiat.
Keenam: Pajak ini sifatnya sementara dan tidak diterapkan secara terus menerus, tetapi pada saat-saat tertentu saja, ketika Negara dalam keadaan genting atau ada kebutuhan yang sangat mendesak saja.
Ketujuh: Harus dihilangkan dulu pendanaan yang berlebih-lebihan dan hanya menghambur-hamburkan uang saja.
Kedelapan: Besarnya pajak harus sesuai dengan kebutuhan yang mendesak pada waktu itu saja. (Lihat syarat-syarat ini secara lengkap dalam Abhats Fiqhiyyah Fi Qadhaya Az-Zakat Al-Mu’ashirah II/621-623)
E. APAKAH PAJAK DI ZAMAN INI SESUAI DENGAN SYARIAH ISLAM?
Apakah pajak hari ini sudah sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan para ulama di atas? maka jawabannya adalah tidak sesuai, hal itu dikarenakan beberapa sebab:
1. Negara belum komitmen untuk menerapkan syariat Islam.
2. Pajak hari ini dikenakan juga pada barang dagangan dan barang-barang yang menjadi kebutuhan sehari-hari yang secara tidak langsung akan membebani rakyat kecil.
3. Hasil pajak hari ini dipergunakan untuk hal-hal yang bukan termasuk kebutuhan darurat, tetapi justru malah digunakan untuk membiayai tempat-tempat maksiat dan rekreasi, pengembangan budaya yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dan sejenisnya, bahkan yang lebih ironisnya lagi sebagian besar pajak yang diambil dari rakyat itu hanya untuk dihambur-hamburkan saja, seperti untuk pembiayaan pemilu, renovasi rumah, pembelian mobil mewah untuk anggota dewan dan pejabat, dan lain-lainnya.
4. Pajak hari ini diwajibkan terus menerus secara mutlak dan tidak terbatas.
5. Pajak hari ini diwajibkan kepada rakyat, padahal zakat sendiri belum diterapkan secara serius.
6. Pajak yang diwajibkan hari ini belum dimusyawarahkan dengan para ulama dan tokoh masyarakat.
7. Pajak hari ini diwajibkan kepada rakyat kecil, padahal sumber-sumber pendapat Negara yang lain, seperti kekayaan alam tidak diolah dengan baik, malah diberikan kepada perusahaan asing, yang sebenarnya kalau dikelola dengan baik, akan bisa mencukupi kebutuhan Negara dan rakyat.
Dari keterangan di atas, menjadi jelas, bahwa
pajak yang diterapkan hari ini di banyak negara-negara yang mayoritas
penduduknya Islam, termasuk di dalamnya Indonesia adalah perbuatan
zhalim yang merugikan rakyat kecil, apalagi hasilnya
sebagian besar dihambur-hamburkan untuk sesuatu yang kurang bermanfaat,
atau mengandung dosa dan maksiat, dan bahkan terbukti sebagiannya telah
dikorupsi, hanya sebagian kecil yang digunakan untuk kepentingan umum
dan kesejahteraan masyarakat.
Wallahu A’lam bish-Showab.
F. BAGAIMANA SIKAP KAUM MUSLIMIN TERHADAP PAJAK?
Berdasarkan dalil-dalil syar’i dari Al-Qur’an dan As-Sunnah bahwa setiap muslim wajib mentaati pemimpinnya selama pemimpin itu masih dalam kategori muslim dan selama pemimpinnya tidak memerintahkan dengan suatu kemaksiatan. Adapun jika penguasa memerintahkan rakyatnya dengan suatu kemaksiatan maka rakyat (kaum muslimin) dilarang keras oleh Allah dan Rasul-Nya untuk mentaatinya.
Termasuk dalam hal ini adalah kewajiban
membayar pajak dengan berbagai jenisnya yang telah disebutkan di atas.
Di dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةِ اللَّهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada ketaatan dalam melakukan kemaksiatan kepada Allah, karena sesungguhnya kewajiban taat itu hanya dalam hal yang ma’ruf (baik) saja.” (HR. Bukhari no.6830, dan Muslim III/1469 no.1840).
Akan tetapi, bagaimana sikap kaum muslimin jika penguasa memaksa atau menggunakan kekuatannya untuk memungut pajak dari mereka, bolehkah melakukan perlawanan atau pemberontakan?
Dalam keadaan demikian kaum muslimin tidak boleh melakukan perlawanan atau pemberontakan demi untuk menghindari kemudharatan yang lebih besar. Dan jika harta mereka diambil penguasa secara paksa sebagai pajak, maka berlaku bagi mereka hukum orang yang terpaksa melakukan sesuatu yang haram dan tidak dianggap sebagai dosa. Di dalam hadits yang shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah berwasiat kepada umatnya:
يَكُونُ بَعْدِى أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُونَ
بِهُدَاىَ وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ
قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِى جُثْمَانِ إِنْسٍ . قَالَ قُلْتُ
كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ
تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ
فَاسْمَعْ وَأَطِعْ
“Akan datang sesudahku para pemimpin,
mereka tidak mengambil petunjukku dan juga tidak melaksanakan
tuntunanku. Dan kelak akan ada para pemimpin yang hatinya seperti hati
setan dalam jasad manusia.” Maka aku (Hudzaifah) bertanya:
“Wahai Rasulullah, apa yang aku perbuat jika aku mendapati hal ini?”
Beliau bersabda: “Hendaklah
engkau mendengar dan taat kepada pemimpinmu walaupun punggungmu dipukul
dan hartamu dirampas, tetaplah dengar dan taat kepadanya.” (HR. Muslim III/1475 no.1847 dari Hudzaifah Ibnul Yaman radliyallahu’anhu)
Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidzahullah
memberi alasan yang sangat tepat dalam masalah ini. Beliau mengatakan:
“Melawan pemimpin pada saat itu lebih jelek akibatnya daripada sekedar
sabar atas kezhaliman mereka. Bersabar atas kezhaliman mereka (memukul
dan mengambil harta kita) memang suatu madharat, tetapi melawan mereka
jelas lebih besar madharatnya, seperti akan berakibat terpecahnya
persatuan kaum muslimin, dan memudahkan kaum kafir menguasai kaum
muslimin (yang sedang berpecah dan tidak bersatu).” (Lihat Al-Fatawa
As-Syar’iyah Fi Al-Qodhoya Al-Ashriyyah halaman.93)
Demikian penjelasan kami tentang hukum
pajak dalam pandangan Islam. Jika ada kesalahan dan kekurangan maka itu
datangnya dari diri kami pribadi dan setan. Dan jika benar, maka ini
datangnya dari Allah Ta’ala semata. Semoga bermanfaat bagi kita semua.
Amin.
[Sumber: Majalah PENGUSAHA MUSLIM Edisi 17 Volume 2 / Juni 2011]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar