Penulis: Rizki Maulana
Manusia di berbagai negeri sangat
antusias menyambut perhelatan yang hanya setahun sekali ini. Hingga
walaupun sampai lembur pun, mereka dengan rela dan sabar menunggu
pergantian tahun. Namun bagaimanakah pandangan Islam -agama yang hanif-
mengenai perayaan tersebut? Apakah mengikuti dan merayakannya
diperbolehkan? Semoga artikel yang singkat ini bisa menjawabnya.
Sejarah Tahun Baru Masehi
Tahun Baru pertama kali dirayakan pada
tanggal 1 Januari 45 SM (sebelum masehi). Tidak lama setelah Julius
Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti
penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh
SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh
Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan
agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari,
sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir. Satu tahun dalam
penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar
menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1
Januari.
Caesar juga memerintahkan agar setiap
empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara
teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak
lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan
Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan
Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus,
menjadi bulan Agustus.[1]
Dari sini kita dapat menyaksikan bahwa
perayaan tahun baru dimulai dari orang-orang kafir dan sama sekali bukan
dari Islam. Perayaan tahun baru ini terjadi pada pergantian tahun
kalender Gregorian yang sejak dulu telah dirayakan oleh orang-orang
kafir.
Berikut adalah beberapa kerusakan akibat seorang muslim merayakan tahun baru.
Kerusakan Pertama: Merayakan Tahun Baru Berarti Merayakan ‘Ied (Perayaan) yang Haram
Perlu diketahui bahwa perayaan (’ied) kaum muslimin ada dua yaitu ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha. Anas bin Malik mengatakan,
كَانَ لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ
فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ قَالَ كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ
تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا
مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى
“Orang-orang Jahiliyah dahulu
memiliki dua hari (hari Nairuz dan Mihrojan) di setiap tahun yang mereka
senang-senang ketika itu. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tiba di Madinah, beliau mengatakan, ‘Dulu kalian memiliki dua hari untuk
senang-senang di dalamnya. Sekarang Allah telah menggantikan bagi
kalian dua hari yang lebih baik yaitu hari Idul Fithri dan Idul Adha.’”[2]
Namun setelah itu muncul berbagai
perayaan (’ied) di tengah kaum muslimin. Ada perayaan yang dimaksudkan
untuk ibadah atau sekedar meniru-niru orang kafir. Di antara perayaan
yang kami maksudkan di sini adalah perayaan tahun baru Masehi. Perayaan
semacam ini berarti di luar perayaan yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maksudkan
sebagai perayaan yang lebih baik yang Allah ganti. Karena perayaan kaum
muslimin hanyalah dua yang dikatakan baik yaitu Idul Fithri dan Idul
Adha.
Perhatikan penjelasan Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’, komisi fatwa di Saudi Arabia berikut ini:
Al Lajnah Ad Da-imah mengatakan, “Yang disebut ‘ied atau hari perayaan secara istilah adalah semua bentuk perkumpulan yang berulang secara periodik boleh jadi tahunan, bulanan, mingguan atau semisalnya. Jadi dalam ied terkumpul beberapa hal:
- Hari yang berulang semisal idul fitri dan hari Jumat.
- Berkumpulnya banyak orang pada hari tersebut.
- Berbagai aktivitas yang dilakukan pada hari itu baik berupa ritual ibadah ataupun non ibadah.
Hukum ied (perayaan) terbagi menjadi dua:
- Ied yang tujuannya adalah beribadah, mendekatkan diri kepada Allah dan mengagungkan hari tersebut dalam rangka mendapat pahala, atau
- Ied yang mengandung unsur menyerupai orang-orang jahiliah atau
golongan-golongan orang kafir yang lain maka hukumnya adalah bid’ah yang
terlarang karena tercakup dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ“Barang siapa yang mengada-adakan amal dalam agama kami ini padahal bukanlah bagian dari agama maka amal tersebut tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Misalnya adalah peringatan maulid nabi,
hari ibu dan hari kemerdekaan. Peringatan maulid nabi itu terlarang
karena hal itu termasuk mengada-adakan ritual yang tidak pernah Allah
izinkan di samping menyerupai orang-orang Nasrani dan golongan orang
kafir yang lain. Sedangkan hari ibu dan hari kemerdekaan terlarang
karena menyerupai orang kafir.”[3] -Demikian penjelasan Lajnah-
Begitu pula perayaan tahun baru termasuk perayaan yang terlarang karena menyerupai perayaan orang kafir.
Kerusakan Kedua: Merayakan Tahun Baru Berarti Tasyabbuh (Meniru-niru) Orang Kafir
Merayakan tahun baru termasuk meniru-niru orang kafir. Dan sejak dulu Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam
sudah mewanti-wanti bahwa umat ini memang akan mengikuti jejak orang
Persia, Romawi, Yahudi dan Nashrani. Kaum muslimin mengikuti mereka baik
dalam berpakaian atau pun berhari raya.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ
أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا
بِذِرَاعٍ » . فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ . فَقَالَ
« وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَئِكَ »
“Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?“[4]
Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ
قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا
فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ . قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ
آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ
“Sungguh kalian akan mengikuti jalan
orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi
sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang
dhob (yang penuh lika-liku, pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, Apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” [5]
An Nawawi -rahimahullah- ketika menjelaskan hadits di atas menjelaskan, “Yang dimaksud dengan syibr (sejengkal) dan dziro’ (hasta) serta lubang dhob
(lubang hewan tanah yang penuh lika-liku), adalah permisalan bahwa
tingkah laku kaum muslimin sangat mirip sekali dengan tingkah Yahudi dan
Nashroni. Yaitu kaum muslimin mencocoki mereka dalam kemaksiatan dan
berbagai penyimpangan, bukan dalam hal kekufuran. Perkataan beliau ini
adalah suatu mukjizat bagi beliau karena apa yang beliau katakan telah
terjadi saat-saat ini.”[6]
Lihatlah apa yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Apa yang beliau katakan memang benar-benar terjadi saat ini. Berbagai
model pakaian orang barat diikuti oleh kaum muslimin, sampai pun yang
setengah telanjang. Begitu pula berbagai perayaan pun diikuti, termasuk
pula perayaan tahun baru ini.
Ingatlah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara tegas telah melarang kita meniru-niru orang kafir (tasyabbuh).
Beliau bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” [7]
Menyerupai orang kafir (tasyabbuh) ini
terjadi dalam hal pakaian, penampilan dan kebiasaan. Tasyabbuh di sini
diharamkan berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah dan kesepakatan para
ulama (ijma’).[8]
Kerusakan Ketiga: Merekayasa Amalan yang Tanpa Tuntunan di Malam Tahun Baru
Kita sudah ketahui bahwa perayaan tahun
baru ini berasal dari orang kafir dan merupakan tradisi mereka.
Namun
sayangnya di antara orang-orang jahil ada yang mensyari’atkan
amalan-amalan tertentu pada malam pergantian tahun. “Daripada waktu
kaum muslimin sia-sia, mending malam tahun baru kita isi dengan dzikir
berjama’ah di masjid. Itu tentu lebih manfaat daripada menunggu
pergantian tahun tanpa ada manfaatnya”, demikian ungkapan sebagian
orang. Ini sungguh aneh. Pensyariatan semacam ini berarti melakukan
suatu amalan yang tanpa tuntunan. Perayaan tahun baru sendiri adalah
bukan perayaan atau ritual kaum muslimin, lantas kenapa harus
disyari’atkan amalan tertentu ketika itu? Apalagi menunggu pergantian
tahun pun akan mengakibatkan meninggalkan berbagai kewajiban sebagaimana
nanti akan kami utarakan.
Jika ada yang mengatakan, “Daripada
menunggu tahun baru diisi dengan hal yang tidak bermanfaat, mending
diisi dengan dzikir. Yang penting kan niat kita baik.”
Maka cukup kami sanggah niat baik semacam
ini dengan perkataan Ibnu Mas’ud ketika dia melihat orang-orang yang
berdzikir, namun tidak sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang melakukan dzikir yang tidak ada tuntunannya ini mengatakan pada Ibnu Mas’ud,
وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ.
“Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”
Ibnu Mas’ud lantas berkata,
وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ
“Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun mereka tidak mendapatkannya.” [9]
Jadi dalam melakukan suatu amalan, niat baik semata tidaklah cukup. Kita harus juga mengikuti contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baru amalan tersebut bisa diterima di sisi Allah.
Kerusakan Keempat: Terjerumus dalam Keharaman dengan Mengucapkan Selamat Tahun Baru
Kita telah ketahui bersama bahwa tahun
baru adalah syiar orang kafir dan bukanlah syiar kaum muslimin. Jadi,
tidak pantas seorang muslim memberi selamat dalam syiar orang kafir
seperti ini. Bahkan hal ini tidak dibolehkan berdasarkan kesepakatan
para ulama (ijma’).
Ibnul Qoyyim dalam Ahkam Ahli Dzimmah
mengatakan, “Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran
yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal,
pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para
ulama. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa
mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah
bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan
semacamnya.” Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat
dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan.
Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita
mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan
perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat
semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan
selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina,
atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.
Banyak orang yang kurang paham agama
terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini tidak mengetahui
kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa
memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau
kekufuran, maka dia pantas mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.”[10]
Kerusakan Kelima: Meninggalkan Perkara Wajib yaitu Shalat Lima Waktu
Betapa banyak kita saksikan, karena
begadang semalam suntuk untuk menunggu detik-detik pergantian tahun,
bahkan begadang seperti ini diteruskan lagi hingga jam 1, jam 2 malam
atau bahkan hingga pagi hari, kebanyakan orang yang begadang seperti ini
luput dari shalat Shubuh yang kita sudah sepakat tentang wajibnya. Di
antara mereka ada yang tidak mengerjakan shalat Shubuh sama sekali
karena sudah kelelahan di pagi hari. Akhirnya, mereka tidur hingga
pertengahan siang dan berlalulah kewajiban tadi tanpa ditunaikan sama
sekali. Na’udzu billahi min dzalik.
Ketahuilah bahwa meninggalkan satu saja
dari shalat lima waktu bukanlah perkara sepele. Bahkan meningalkannya
para ulama sepakat bahwa itu termasuk dosa besar.
Ibnul Qoyyim -rahimahullah-
mengatakan, “Kaum muslimin tidaklah berselisih pendapat (sepakat) bahwa
meninggalkan shalat wajib (shalat lima waktu) dengan sengaja termasuk
dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh,
merampas harta orang lain, zina, mencuri, dan minum minuman keras.
Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah
serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.”[11]
Adz Dzahabi –rahimahullah- juga
mengatakan, “Orang yang mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya
termasuk pelaku dosa besar. Dan yang meninggalkan shalat -yaitu satu
shalat saja- dianggap seperti orang yang berzina dan mencuri. Karena
meninggalkan shalat atau luput darinya termasuk dosa besar. Oleh karena
itu, orang yang meninggalkannya sampai berkali-kali termasuk pelaku dosa
besar sampai dia bertaubat. Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat
termasuk orang yang merugi, celaka dan termasuk orang mujrim (yang
berbuat dosa).”[12]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
mengancam dengan kekafiran bagi orang yang sengaja meninggalkan shalat
lima waktu. Buraidah bin Al Hushoib Al Aslamiy berkata, “Aku mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
“Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.”[13]
Oleh karenanya, seorang muslim tidak sepantasnya merayakan tahun baru
sehingga membuat dirinya terjerumus dalam dosa besar.
Dengan merayakan tahun baru, seseorang
dapat pula terluput dari amalan yang utama yaitu shalat malam.
Dari Abu
Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
“Sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam.”[14]
Shalat malam adalah sebaik-baik shalat dan shalat yang biasa digemari
oleh orang-orang sholih. Seseorang pun bisa mendapatkan keutamaan karena
bertemu dengan waktu yang mustajab untuk berdo’a yaitu ketika sepertiga
malam terakhir. Sungguh sia-sia jika seseorang mendapati malam tersebut
namun ia menyia-nyiakannya. Melalaikan shalat malam disebabkan
mengikuti budaya orang barat, sungguh adalah kerugian yang sangat besar.
Kerusakan Keenam: Begadang Tanpa Ada Hajat
Begadang tanpa ada kepentingan yang syar’i dibenci oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Termasuk di sini adalah menunggu detik-detik pergantian tahun yang
tidak ada manfaatnya sama sekali. Diriwayatkan dari Abi Barzah, beliau
berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat ‘Isya dan ngobrol-ngobrol setelahnya.”[15]
Ibnu Baththol menjelaskan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
suka begadang setelah shalat ‘Isya karena beliau sangat ingin
melaksanakan shalat malam dan khawatir jika sampai luput dari shalat
shubuh berjama’ah. ‘Umar bin Al Khottob sampai-sampai pernah memukul
orang yang begadang setelah shalat Isya, beliau mengatakan, “Apakah
kalian sekarang begadang di awal malam, nanti di akhir malam tertidur
lelap?!”[16] Apalagi dengan begadang, ini sampai melalaikan dari sesuatu
yang lebih wajib (yaitu shalat Shubuh)?!
Kerusakan Ketujuh: Terjerumus dalam Zina
Jika kita lihat pada tingkah laku muda-mudi saat ini, perayaan tahun baru pada mereka tidaklah lepas dari ikhtilath (campur
baur antara pria dan wanita) dan berkholwat (berdua-duan), bahkan
mungkin lebih parah dari itu yaitu sampai terjerumus dalam zina dengan
kemaluan. Inilah yang sering terjadi di malam tersebut dengan menerjang
berbagai larangan Allah dalam bergaul dengan lawan jenis. Inilah yang
terjadi di malam pergantian tahun dan ini riil terjadi di kalangan
muda-mudi. Padahal dengan melakukan seperti pandangan, tangan dan bahkan
kemaluan telah berzina. Ini berarti melakukan suatu yang haram.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ
الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا
النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ
الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا
وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ
وَيُكَذِّبُهُ
“Setiap anak Adam telah ditakdirkan
bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak.
Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan
mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan
meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah
dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti
akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.”[17]
Kerusakan Kedelapan: Mengganggu Kaum Muslimin
Merayakan tahun baru banyak diramaikan
dengan suara mercon, petasan, terompet atau suara bising lainnya.
Ketahuilah ini semua adalah suatu kemungkaran karena mengganggu muslim
lainnya, bahkan sangat mengganggu orang-orang yang butuh istirahat
seperti orang yang lagi sakit. Padahal mengganggu muslim lainnya adalah
terlarang sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang muslim adalah seseorang yang lisan dan tangannya tidak mengganggu orang lain.”[18]
Ibnu Baththol mengatakan, “Yang dimaksud
dengan hadits ini adalah dorongan agar seorang muslim tidak menyakiti
kaum muslimin lainnya dengan lisan, tangan dan seluruh bentuk menyakiti
lainnya. Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Orang yang baik adalah orang
yang tidak menyakiti walaupun itu hanya menyakiti seekor semut”.”[19]
Perhatikanlah perkataan yang sangat bagus dari Al Hasan Al Basri. Seekor
semut yang kecil saja dilarang disakiti, lantas bagaimana dengan
manusia yang punya akal dan perasaan disakiti dengan suara bising atau
mungkin lebih dari itu?!
Kerusakan Kesembilan: Meniru Perbuatan Setan dengan Melakukan Pemborosan
Perayaan malam tahun baru adalah
pemborosan besar-besaran hanya dalam waktu satu malam.
Jika kita
perkirakan setiap orang menghabiskan uang pada malam tahun baru sebesar
Rp.1000 untuk membeli mercon dan segala hal yang memeriahkan perayaan
tersebut, lalu yang merayakan tahun baru sekitar 10 juta penduduk
Indonesia, maka hitunglah berapa jumlah uang yang dihambur-hamburkan
dalam waktu semalam? Itu baru perkiraan setiap orang menghabiskan Rp.
1000, bagaimana jika lebih dari itu?!
Masya Allah sangat banyak sekali
jumlah uang yang dibuang sia-sia. Itulah harta yang dihamburkan sia-sia
dalam waktu semalam untuk membeli petasan, kembang api, mercon, atau
untuk menyelenggarakan pentas musik, dsb. Padahal Allah Ta’ala telah berfirman,
وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ
“Dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya
pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (Qs. Al Isro’: 26-27)
Ibnu Katsir mengatakan, “Allah ingin membuat manusia menjauh sikap boros dengan mengatakan: “Dan
janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” Dikatakan demikian karena orang yang bersikap boros menyerupai setan dalam hal ini.
Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas mengatakan,
“Tabdzir (pemborosan) adalah menginfakkan sesuatu bukan pada jalan yang
benar.” Mujahid mengatakan, “Seandainya seseorang menginfakkan seluruh
hartanya dalam jalan yang benar, itu bukanlah tabdzir (pemborosan).
Namun jika seseorang menginfakkan satu mud saja (ukuran telapak tangan)
pada jalan yang keliru, itulah yang dinamakan tabdzir (pemborosan).”
Qotadah mengatakan, “Yang namanya tabdzir (pemborosan) adalah
mengeluarkan nafkah dalam berbuat maksiat pada Allah, pada jalan yang
keliru dan pada jalan untuk berbuat kerusakan.”[20]
Kerusakan Kesepuluh: Menyia-nyiakan Waktu yang Begitu Berharga
Merayakan tahun baru termasuk
membuang-buang waktu. Padahal waktu sangatlah kita butuhkan untuk hal
yang bermanfaat dan bukan untuk hal yang sia-sia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi nasehat mengenai tanda kebaikan Islam seseorang,
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ
“Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya.” [21]
Ingatlah bahwa membuang-buang waktu itu
hampir sama dengan kematian yaitu sama-sama memiliki sesuatu yang
hilang. Namun sebenarnya membuang-buang waktu masih lebih jelek dari
kematian.
Semoga kita merenungkan perkataan Ibnul Qoyyim, “(Ketahuilah
bahwa) menyia-nyiakan waktu lebih jelek dari kematian. Menyia-nyiakan
waktu akan memutuskanmu (membuatmu lalai) dari Allah dan negeri akhirat.
Sedangkan kematian hanyalah memutuskanmu dari dunia dan penghuninya.”[22]
Seharusnya seseorang bersyukur kepada
Allah dengan nikmat waktu yang telah Dia berikan. Mensyukuri nikmat
waktu bukanlah dengan merayakan tahun baru. Namun mensyukuri nikmat
waktu adalah dengan melakukan ketaatan dan ibadah kepada Allah. Itulah
hakekat syukur yang sebenarnya. Orang-orang yang menyia-nyiakan nikmat
waktu seperti inilah yang Allah cela. Allah Ta’ala berfirman,
أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُم مَّا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَن تَذَكَّرَ وَجَاءكُمُ النَّذِيرُ
“Dan apakah Kami tidak memanjangkan
umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau
berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan?”
(Qs. Fathir: 37).
Qotadah mengatakan, “Beramallah karena umur yang
panjang itu akan sebagai dalil yang bisa menjatuhkanmu. Marilah kita
berlindung kepada Allah dari menyia-nyiakan umur yang panjang untuk hal
yang sia-sia.”[23]
Inilah di antara beberapa kerusakan dalam
perayaan tahun baru. Sebenarnya masih banyak kerusakan lainnya yang
tidak bisa kami sebutkan satu per satu dalam tulisan ini karena saking
banyaknya. Seorang muslim tentu akan berpikir seribu kali sebelum
melangkah karena sia-sianya merayakan tahun baru. Jika ingin menjadi
baik di tahun mendatang bukanlah dengan merayakannya. Seseorang menjadi
baik tentulah dengan banyak bersyukur atas nikmat waktu yang Allah
berikan. Bersyukur yang sebenarnya adalah dengan melakukan ketaatan
kepada Allah, bukan dengan berbuat maksiat dan bukan dengan
membuang-buang waktu dengan sia-sia. Lalu yang harus kita pikirkan lagi
adalah apakah hari ini kita lebih baik dari hari kemarin? Pikirkanlah
apakah hari ini iman kita sudah semakin meningkat ataukah semakin
anjlok! Itulah yang harus direnungkan seorang muslim setiap kali
bergulirnya waktu.
Ya Allah, perbaikilah keadaan umat
Islam saat ini. Perbaikilah keadaan saudara-saudara kami yang jauh dari
aqidah Islam. Berilah petunjuk pada mereka agar mengenal agama Islam ini
dengan benar.
“Aku tidak bermaksud kecuali
(mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada
taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah
aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (Qs. Hud: 88)
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi
tatimmush sholihat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi
wa shohbihi wa sallam.
FOOTNOTE:
[1] Sumber bacaan: http://id.wikipedia.org/wiki/Tahun_baru
[2] HR. An Nasa-i no. 1556. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[3] Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta‘, 3/88-89, Fatwa no. 9403, Mawqi’ Al Ifta’.
[4] HR. Bukhari no. 7319, dari Abu Hurairah.
[5] HR. Muslim no. 2669, dari Abu Sa’id Al Khudri.
[6] Al Minhaj Syarh Shohih Muslim, Abu Zakariya Yahya bin Syarf An Nawawi, 16/220, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobiy, cetakan kedua, 1392.
[7] HR. Ahmad dan Abu Daud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho‘ (1/269) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no. 1269.
[8] Lihat penukilan ijma’ (kesepakatan ulama) yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidho’ Ash Shirotil Mustaqim, 1/363, Wazarotu Asy Syu-un Al Islamiyah, cetakan ketujuh, tahun 1417 H.
[9] HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid (bagus).
[10] Ahkam Ahli Dzimmah, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, 1/441, Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama, tahun 1418 H.
[11] Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, hal. 7, Dar Al Imam Ahmad
[12] Al Kaba’ir, hal. 26-27, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah.
[13] HR. Ahmad, Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani. Lihat Misykatul Mashobih no. 574
[14] HR. Muslim no. 1163
[15] HR. Bukhari no. 568
[16] Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, 3/278, Asy Syamilah.
[17] HR. Muslim no. 6925
[18] HR. Bukhari no. 10 dan Muslim no. 41
[19] Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, 1/38, Asy Syamilah
[20] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 5/69, pada tafsir surat Al Isro’ ayat 26-27
[21] HR. Tirmidzi. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini shohih.
[22] Al Fawa’id, hal. 33
[23] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6/553, pada tafsir surat Fathir ayat 37.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar