Prolog : Beberapa
tulisan yang beredar (termasuk yang ada di internet), bacaan celaan yang telah
dialamatkan secara tidak proporsional kepada Muhammad bin Ishaq (Ibnu Ishaq).
Hampir semua muara pembahasan itu berakhir pada kesimpulan untuk meragukan
riwayat yang dibawakan oleh Ibnu Ishaq, baik dalam riwayat hadits ataupun
sirah. Sebagaimana biasa,.... tulisan ini akan sedikit membahas tentang hal itu
dengan mengambil satu bagian pembahasan dari buku As-Sirah An-Nabawiyyah
Ash-Shahiihah karya Prof. Dr. Akram Dliyaa’ Al-’Umariy, 1/ 56 – 60, Maktabah
Al-’Uluum wal-Hikam, Al-Madinah Al-Munawarah, Cet. 6/1415.
Muhammad bin Ishaq atau lebih
dikenal dengan nama Ibnu Ishaq (wafat tahun 151 H) merupakan salah satu murid
dari Az-Zuhri. Selain penulis kitab Sirah, ia pun dikenal sebagai penulis kitab
Maghazi (kisah-kisah peperangan).
Kitab Sirah yang ditulis oleh
Ibnu Ishaq yang sampai pada kita adalah berjudul Sirah Ibnu Hisyam yang merupakan mukhtashar/ringkasan dari Sirah Ibnu Ishaq.
Menurut para ulama muhaqqiq,
riwayat-riwayat yang ada dalam kitab Sirah Ibnu Ishaq, berisi hadits-hadits
hasan yang bercampur dengan hadits-hadits dla’if. Riwayat-riwayat yang ia
bawakan tidaklah sampai pada derajat shahih, namun hanya sampai pada derajat
hasan saja dengan syarat ia menyatakan secara terang (sharih) penyimakan
haditsnya [1]
karena ia seorang perawi mudallis.
Ibnu ‘Ady berkata :
وقد فتشت أحاديثه فلم أجد في
أحاديثيه ما يتهيأ أن يقطع عليه بالضعف، وربما أخطأ أو يهم، كما يخطيء غيره، ولم
يتخلف في الرواية عنه الثقات والأئمة وهو لا بأس به
”Saya telah meneliti
hadits-haditsnya, dan saya tidak melihat ada hadits-hadits yang pasti kedla’ifannya.
Terkadang ia melakukan kesalahan, sebagaimana yang juga dilakukan oleh orang
lain; selama tidak ada penyelisihan riwayat darinya dari kalangan perawi yang
terpercaya dan para imam, maka riwayatnya tidak masalah (dapat diterima)”.
Hal ini adalah kesaksian yang
sangat penting. Bukan karena kedudukan dan sikap keras Ibnu ‘Ady dalam pen-tausiq-an ini saja, tetapi hal itu berdasarkan pada proses pengujian
riwayat. Bukan sekedar penukilan perkataan para ahli naqd sebelumnya yang menuduh Ibnu Ishaq seputar masalah qadar
(yaitu fitnah Qadariyyah), tasyayu’ (kecenderungan
pada pemikiran Syi’ah), tadlis,[2]
dan tashhif (salah tulis). Hal itu
sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Yahya bin Sa’id Al-Umawi :
ابن إسحاق يصحف في الأسماء
لأنه إنما أخذها من الديوان
”Ibnu Ishaq sering melakukan tahshhif (kesalahan dalam penulisan)
tentang nama-nama karena ia mengambilnya dari kitab-kitab diwan”. [3]
Bahkan ia pernah dituduh
melakukan kebohongan terhadap sebuah riwayat dari Fathimah istri Hisyam bin
‘Urwah bin Zubair. Akan tetapi, tuduhan tersebut tidak terbukti. Beberapa imam yang menyanggah kecurigaan yang
dilontarkan oleh para kritikus tersebut terhadap Ibnu Ishaq, diantaranya adalah
Al-Imam Ahmad bin Hanbal. Al-Hafidh Adz-Dzahabi berkata :
لا ريب أن ابن إسحق كثَّر
وطوَّل بأنساب مستوفاة، اختصارها أملح، وبأشعار غير طائلة حذفها أرجح، وبأثار لم
تصحح، مع أنه فاته شيء كثير من الصحيح لم يكن عنده، فكتابه محتاج إلى تنقيح وتصحيح
ورواية ما فاته
”Tidak ragu lagi bahwa Ibnu
Ishaq itu sering memperbanyak dan memperpanjang silsilah-silsilah nasab para
perawi yang sebenarnya tidak perlu, menyisipkan syair-syair pendek yang
seharusnya dibuang, dan menyebutkan atsar-atsar yang tidak shahih. Namun di
sisi lain, ia melewatkan banyak hal dari riwayat-riwayat shahih yang tidak ada
padanya. Jadi, kitabnya perlu diteliti kembali, dan riwayat-riwayatnya harus
di-tashhih lagi”.[4]
Beliau berkata lagi :
ابن إسحق حجة في المغازي وله
مناكير وعجائب
”Ibnu Ishaq adalah hujjah
bagi karya Maghazi. Akan tetapi ia punya
kelebihan dan kekurangan”.[5]
Al-Hafidh Adz-Dzahabi telah
berusaha keras untuk menerangkan tingkatan hadits Ibnu Ishaq. Ia pun mengatakan
:
وله ارتفاع بحسبه، ولا سيما
في السيرة، وإما في أحاديث الأحكام فينحط حديثه فيها عن رتبة الصحة، إلا فيما شذّ
فيه فإنه يعد منكرا
”Hadits-haditsnya tentang
sirah cukup bagus. Sementara hadits-haditsnya tentang hukum berada di bawah
tingkatan hadits shahih. Kecuali hadits yang terdapat keganjilan (syadz) di dalamnya, maka ia dihitung
sebagai hadits munkar”.[6]
Al-Hafidh Al-‘Iraqi
mengatakan :
المشهور قبول حديث ابن إسحق
إلا أنه مدلس فإذا صرّح بالتحديث كان حديثه مقبولا
”Menurut pendapat yang masyhur
bahwa hadits riwayat Ibnu Ishaq dapat diterima, meskipun ia seorang perawi yang
mudallis. Apabila telah ada penegasan
yang jelas (tentang penyimakannya), maka haditsnya dapat diterima”.[7]
Al-Hafidh Adz-Dzahabi
mengatakan :
والذي يظهر لي أن ابن إسحق
حسن الحديث صالح الحال صدوق، وما تفرّد ففيه نكارة، فإن في حفظه شيئا، وقد احتج به
الأئمة
”Dan yang jelas menurut saya,
Ibnu Ishaq adalah hasanul-hadits, perilakunya
baik, dan jujur (shaduq). Dan apa-apa
yang ia bersendirian (dalam meriwayatkan hadits), maka terdapat pengingkaran di
dalamnya. Meskipun ada sedikit masalah dalam hafalannya, namun para ulama
menjadikannya sebagai hujjah”.[8]
Adz-Dzahabi juga mengatakan :
كان أحد أوعية العلم حبرا في
معرفة المغازي والسيرة، وليس بذلك المتقن، فانحط حديثه عن رتبة الصحة، وهو صدوق في
نفسه مرضي
”Ibnu Ishaq adalah salah seorang
yang sangat menguasai riwayat-riwayat tentang peperangan-peperangan dan sirah.
Sayang ia tidak mutqin (teliti)
sehingga peringkat haditsnya di bawah tingkat shahih. Ia adalah orang yang
sangat jujur terhadap dirinya sendiri dan disukai”.[9]
Al-Hafidh Ibnu Hajar
mengatakan :
ما ينفرد به وإن لم يبلغ
الصحيح فهو في درجة الحسن إذا صرح بالتحديث....وإنما يصحح له من لا يفرق بين
الصحيح والحسن، ويجعل كل ما يصلح للحجة صحيحا، وهذه طريقة ابن حبان ومن ذكر معه
”Selama ia tidak bersendirian
(dalam meriwayatkan hadits), meskipun tidak sampai pada derajat hadits shahih,
namun merupakan hadits yang berderajat hasan dengan syarat ada penegasan
penyimakan haditsnya........ Dan yang menganggap shahih haditsnya hanyalah
orang yang tidak bisa membedakan antara hadits shahih dan hadits hasan, dan orang
yang menganggap semua hal yang baik untuk hujjah disebut hadits shahih. Itulah
anggapan Ibnu Hibban dan kawan-kawannya”.[10]
Ini tidak berarti menguatkan semua
riwayatnya yang terdapat dalam kitabnya tentang sirah. Ada beberapa riwayat di
dalamnya riwayat-riwayat munkar dan
munqathi’. Al-Hafidh Adz-Dzahabi berkata :
صالح الحديث ما له عندي ذنب
إلا ما قد حشاه في السيرة من الأشياء المنكرة والمنقطعة
”Shaalihul-hadiits. Tidak ada padanya satu cacat menurutku, kecuali
apa-apa yang telah ia masukkan dalam sirah riwayat-riwayat munkar dan munqathi’ .[11]
Al-Hafidh Ibnu Hajar telah
berhasil men-takhrij hadits-hadits
munqathi’ dalam Sirah Ibnu Hisyam
pada sebuah catatan tersendiri. Sayang sekali, catatan itu hilang.[12]
Para perawi sirah yang biasa
meriwayatkan dari Ibnu Ishaq adalah :
a.
Ziyad bin Abdillah
Al-Baka’i.
Ibnu Hisyam meriwayatkan dari
jalur sanadnya.
b.
Bakr bin Sulaiman.
Khalifah bin Khayyath
meriwayatkan dari jalur sanadnya dalam kitabnya At-Tarikh.
c.
Salmah bin Al-Fadhl
Al-Abrasy.
Mengomentari Ath-Thabari berkomentar
tentangnya :
ليس من لدن بغداد إلى إن يبلغ خراسان إثبت في ابن إسحق من سلمة بن الفضل
”Mulai dari Baghdad hingga
ujung Khurasan, tidak ada orang yang paling memahami Ibnu Ishaq dengan baik
selain Salmah bin Al-Fadhl”.[13]
d.
Yunus bin Bakir (wafat tahun
195 H).
Menurut Ibnu Hajar, ia adalah
seorang perawi yang jujur (shaduuq),
tetapi sering melakukan kesalahan.[14]
Menurut Adz-Dzahabi, Yunus adalah orang yang hasan haditsnya (hasanul-hadits). Imam Muslim
mengetengahkan riwayat-riwayatnya dalam syawaahid,
bukan dalam ushul. Demikian pula yang
dilakukan oleh Al-Bukhari.[15] Sementara itu, secara tegas Abu Dawud
As-Sijistani mengatakan bahwa Yunus bin Bakir bukanlah hujjah. Ia hanya
mengambil ucapan Ibnu Ishaq, yang kemudian ia sambungkan begitu saja dengan
hadits-hadits.[16]
e.
Ibrahim bin Sa’d Az-Zuhri
(wafat tahun 185 H).
Ahmad bin Muhammad bin Ayyub
– pengarang kitab Al-Maghaaziy -
meriwayatkan dari jalur sanadnya. Dan itu adalah riwayat yang biasa dijadikan
perantara oleh Al-Hakim An-Naisabury untuk mengutip dalam Al-Mustadrak.[17]
f.
Harun bin Abi ‘Isa, yang
riwayatnya dijadikan pegangan oleh Ibnu Sa’ad.
g.
Abdullah bin Idris Al-Audi.
Ibnu Sa’ad juga biasa
meriwayatkan darinya.
h.
Yahya bin Sa’ad Al-Umawi,
yang berhasil menulis kitab tentang Maghazi
setelah banyak mendengar dari Ibnu Ishaq, dan ia juga memberikan
keterangan-keterangan tambahan.[18]
Terdapat beberapa perbedaan
di antara riwayat-riwayat tentang sirah tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa
Ibnu Ishaq selama beberapa waktu pernah melakukan pembetulan atau perbaikan
pada kitab sirahnya.
Nampak jelas bahwa riwayat
Yunus bin Bakir adalah riwayat yang paling dahulu, dan bahwa Al-Baka’i membawa
naskah yang pernah dibetulkan dan diperbaiki oleh Ibnu Ishaq. Sebagai contoh,
adanya perbedaan riwayat tersebut bahwa dalam riwayat Al-Baka’i, Ibnu Ishaq
menyebutkan nama Abdullah bin Mas’ud dalam rombongan hijrah ke Habasyah yang
kedua.[19]
Sementara dalam riwayat Yunus bin Bakir, nama Abdullan bin Mas’ud disebut-sebut
dalam rombongan ke Habasyah yang pertama.[20]
Contoh lain, disebutkan dalam
riwayat Al-Baka’i bahwa Ja’far bin Abi Thalib adalah orang yang berbicara
kepada An-Najasyi atas nama kaum muslimin. Akan tetapi dalam riwayat Yunus bin
Bakir disebutkan bahwa ‘Utsman bin ‘Affan lah yang berbicara kepada An-Najasyi,
sementara Ja’far bin Abi Thalib hanya sebagai penerjemah saja. Akan tetapi,
Ibnu Ishaq tetap mengomentari riwayat ini dengan berbagai alasan dalam rangka menafikkan
kebenarannya.[21]
Contoh yang lain lagi, adalah
apa yang dituturkan sendiri oleh Ibnu Ishaq dalam riwayat Yunus bin Bakir bahwa
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam ketika
rajin mengirimi surat kepada para penguasa di muka bumi, beliau juga tidak
ketinggalan mengirimkan sepucuk surat kepada An-Najasyi Al-Ashham yang berisi
ajakan agar ia bersedia masuk Islam.[22]
Sementara dalam riwayat Al-Baka’i, tidak
disinggung-singgung nama Al-Ashham.[23]
Hal itu membuktikan bahwa Ibnu Ishaq telah mengadakan perbaikan atau pembetulan
pada sirahnya. Disebabkan pada saat itu An-Najasyi Al-Ashham sudah masuk Islam.
Jadi surat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tadi pasti ditujukan kepada
An-Najasyi generasi yang berikutnya, seperti yang ditegaskan oleh Al-Imam
Muslim.[24]
Kesimpulannya : Ibnu Ishaq adalah perawi mudallis yang kedudukannya tidak sampai
pada tingkat shahih. Haditsnya diterima dan berkedudukan pada tingkatan hadits
hasan jika ia tidak bersendirian dan menegaskan tentang penyimakannya terhadap
hadits yang ia terima.
Wallaahu a’lam.
[1] Yaitu dengan perkataan tegas yang menunjukkan kebersambungan
sanad : haddatsanaa (telah
menceritakan kepada kami), akhbaranaa (telah
mengkhabarkan kepada kami), dan yang sejenisnya.
[2] Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 7/139.
[3] Tashhiifaatul-Muhadditsiin oleh ‘Askariy
1/26.
[4] Idem, 6/116
[5] Al-‘Ulluw lil-’Aliyyil-Ghaffar hal. 39
[6] Siyaru A’lamin-Nubalaa’ 7/141
[7] Tharhut-Tatsrib Syarah At-Taqrib oleh
Al-‘Iraqi, 8/72
[8] Mizaanul-I’tidal oleh Adz-Dzahabi, 3/475
[9] Tadzkiratul-Huffadh oleh Adz-Dzahabi,
1/173
[11] Mizaanul-I’tidal oleh Adz-Dzahabi 11/469
[13] Tahdzibut-Tahdzib oleh Ibnu Hajar 4/154
[14] Tahdzibut-Tahdzib 2/384 dan Siyaru A’lamin-Nubalaa’ 9/340
[17] Al-Mustadrak oleh
Al-Hakim 3/128
[18] Tarikh Baghdad oleh
Al-Khathib 14/133
Tidak ada komentar:
Posting Komentar