Penulis: Rizki Maulana
Pembahasan
Ahlul-Bait menjadi pembahasan yang cukup penting untuk dikupas, karena
ada di antara kaum muslimin yang berlebih-lebihan dalam mencintai
seperti Syi’ah Rafidlah, dan di antara mereka ada yang berlebih-lebihan
dalam membenci dan memusuhi seperti Nawaashib. Adapun golongan
pertengahan di antara dua sisi ekstrim tersebut adalah Ahlus-Sunnah.
Ahlus-Sunnah adalah ahlul-wasath. Mereka mencintai Ahlul-Bait menurut apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya.
Siapakah Ahlul-Bait Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
Terjadi silang pendapat di kalangan ‘ulama dalam hal ini. Di antara pendapat-pendapat tersebut antara lain adalah :
1. Ahlul-Bait adalah istri-istri dan keturunan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Para ulama yang memegang pendapat ini membawakan dalil firman Allah ta’ala :
يَا
نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ
اتَّقَيْتُنَّ فَلا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي
قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلا مَعْرُوفًا * وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ
وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأولَى وَأَقِمْنَ الصَّلاةَ
وآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ
اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ
تَطْهِيرًا * وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَى فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ
اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا
“Hai
istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika
kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga
berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah
perkataan yang baik, dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah
kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang
dahulu dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan
Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari
kamu, wahai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. Dan
ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah
(sunah Nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha
Mengetahui” [QS. Al-Ahzaab : 32-34].
Ibnu Abi Haatim rahimahullah membawakan satu riwayat dalam tafsirnya :
من
طريق عكرمة رضي الله عنه عن ابن عباس رضي الله عنهما في قوله : { إِنَّمَا
يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ } قال :
نزلت في نساء النبي صلى الله عليه وسلم خاصة. وقال عكرمة رضي الله عنه : من
شاء بأهلته أنها نزلت في أزواج النبي صلى الله عليه وسلم.
Dari jalan ‘Ikrimah radliyallaahu ‘anhu, dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma, tentang firman Allah : “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlul bait” ; ia berkata : “Ayat ini turun kepada istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara khusus”. ‘Ikrimah berkata : “Barangsiapa yang mau, aku tantang dia mubahalah, ayat ini turun tentang istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (saja)” [Tafsir Ibni Abi Haatim hal. 3132 no. 17675; tahqiq : As’ad Muhammad Thayyib; Maktabah Nizaar Mushthafaa Al-Baaz, Cet. 1/1417 H].
Pada awal ayat, Allah ta’ala berfirman mengenai istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Begitu juga pada akhir ayat. Pada pertengahan ayat, Allah berfirman : “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”. Maka, tidak ada alasan bagi mereka yang mengatakan bahwa keluarga atau ahlul-bait yang dimaksudkan bukan istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Jika ada yang mengatakan istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bukan yang dimaksud oleh ayat, maka itu menyelisihi siyaq (susunan) ayat sebagaimana dhahirnya.
(-) Lantas bagaimana dengan kalimat yuthahhirakum dan ‘ankum pada ayat di atas yang menunjukkan jama’ mudzakkar (laki-laki) ?
(+) Maka dijawab : Sesungguhnya perkara yang disebutkan di awal ayat tertuju kepada para wanita secara khusus. Kemudian datang miim jama’ karena masuknya laki-laki bersama para wanita tersebut, yaitu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sebagai sayyidul-bait. Apabila laki-laki masuk pada kumpulan wanita, maka nun niswah berubah (kalah) menjadi miim jama’ (mudzakkar). Hal ini adalah sesuatu hal yang ma’lum (diketahui) dalam ilmu nahwu.
إذا اجتمع المذكر مع المؤنث غلب المذكر
“Apabila mudzakkar (laki-laki) dan muannats (wanita) berkumpul (dalam satu kalimat), maka dimenangkan mudzakkar”.
Selain itu, dalil yang dibawakan ulama yang merajihkan pendapat ini adalah hadits yang menyebutkan bacaan shalawat dalam tasyahud :
اللهم!
صل على محمد وعلى أزواجه وذريته. كما صليت على آل إبراهيم. وبارك على محمد
وعلى أزواجه وذريته. كما باركت على آل إبراهيم. إنك حميد مجيد
“Ya Allah, berikanlah kebahagiaan kepada Muhammad dan kepada istri-istrinya serta keturunannya, sebagaimana Engkau telah memberikan kebahagiaan kepada keluarga Ibrahim. Dan berikanlah barakah kepada Muhammad, dan kepada istri-istrinya serta keturunannya, sebagaimana Engkau telah memberikan barakah kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia” [HR. Al-Bukhari no. 3369 dan Muslim no. 407].
Lafadh “wa ‘alaa azwaajihi wa dzurriyyaatihi” (dan kepada istri-istrinya serta keturunannya) merupakan penafsir dari lafadh “wa ‘alaa aali Muhammad” (dan kepada keluarga Muhammad) sebagaimana terdapat dalam riwayat lain yang dibawakan oleh Al-Bukhari :
اللهم
صل على محمد وعلى آل محمد كما صليت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد
مجيد اللهم بارك على محمد وعلى آل محمد كما باركت على إبراهيم وعلى آل
إبراهيم إنك حميد مجيد
“Ya Allah, berikanlah kebahagiaan kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad,
sebagaimana Engkau telah memberikan kebahagiaan kepada keluarga
Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Dan
berikanlah barakah kepada Muhammad, dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberikan barakah kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia” [HR. Al-Bukhari no. 3370].
2. Ahlul-Bait adalah orang-orang yang diharamkan padanya menerima zakat.
Para ulama yang memegang pendapat ini membawakan dalil sebagai berikut :
عن
يزيد بن حيان. قال: قال زيد بن أرقم: قام رسول الله صلى الله عليه وسلم
يوما فينا خطيبا. بماء يدعى خما. بين مكة والمدينة. فحمد الله وأثنى عليه.
ووعظ وذكر. ثم قال "أما بعد. ألا أيها الناس! فإنما أنا بشر يوشك أن يأتي
رسول ربي فأجيب. وأنا تارك فيكم ثقلين: أولهما كتاب الله فيه الهدى والنور
فخذوا بكتاب الله. واستمسكوا به" فحث على كتاب الله ورغب فيه. ثم قال "وأهل
بيتي. أذكركم الله في أهل بيتي. أذكركم الله في أهل بيتي. أذكركم الله في
أهل بيتي". فقال له حصين: ومن أهل بيته؟ يا زيد! أليس نساؤه من أهل بيته؟
قال: نساؤه من أهل بيته. ولكن أهل بيته من حرم الصدقة بعده. قال: وهم؟ قال:
هم آل علي، وآل عقيل، وآل جعفر، وآل عباس. قال: كل هؤلاء حرم الصدقة؟ قال:
نعم.
Dari Yaziid bin Hayyaan ia berkata : Telah berkata Zaid bin Arqam : “Pada satu hari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah
berdiri dan berkhutbah di sebuah mata air yang disebut Khumm. Beliau
memuji Allah, kemudian menyampaikan nasihat dan peringatan kepada kami :
“Amma ba’du, ketahuilah
wahai sekalian manusia, bahwasannya aku hanyalah seorang manusia sama
seperti kalian. Sebentar lagi utusan Rabb-ku (yaitu malaikat maut) akan
datang dan dia diperkenankan. Aku akan meninggalkan kepada kalian dua
hal yang berat, yaitu : 1) Al-Qur’an yang berisi petunjuk dan cahaya,
karena itu laksanakanlah isi Al-Qur’an itu dan berpegangteguhlah
kepadanya – beliau mendorong dan menghimbau pengamalan Al-Qur’an - ; 2)
Ahlul-Baitku (keluargaku). Aku ingatkan kalian kepada Allah tentang
Ahlul-Bait-ku (beliau mengucapkan tiga kali)”. Hushain berkata kepada Zaid : “Wahai Zaid, siapakah ahlul-bait Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ? Bukankah istri-istri beliau adalah ahlul-baitnya ?”. Zaid bin Arqam menjawab : “Istri-istri beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memang
ahlul-baitnya. Namun ahlul-bait beliau adalah orang-orang yang
diharamkan menerima zakat sepeninggal beliau”. Hushain berkata :
“Siapakah mereka itu ?”. Zaid menjawab : “Mereka adalah keluarga ‘Ali,
keluarga ‘Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga ‘Abbas”. Hushain berkata :
“Apakah mereka semua itu diharamkan menerima zakat ?”. Zaid menjawab :
“Ya” [HR. Muslim no. 2408 dan Ibnu Khuzaimah no. 2357].
عن
أبي هريرة يقول: أخذ الحسن بن علي تمرة من تمر الصدقة. فجعلها في فيه.
فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : " كخ كخ. ارم بها. أما علمت أنا لا
نأكل الصدقة ؟ ".
وفي رواية البخاري : أما علمت أن آل محمد لا يأكلون الصدقة
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu
ia berkata : “Al-Hasan bin ‘Aliy pernah mengambil sebutir kurma dari
kurma shadaqah yang kemudian ia masukkan ke dalam mulutnya. Maka
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Kikh, kikh, muntahkan ! Tidakkah engkau tahu bahwa kita tidak boleh memakan harta shadaqah (zakat) ?”.
Dan pada riwayat Al-Bukhari : “Tidakkah engkau tahu bahwa keluarga Muhammad tidak memakan harta shadaqah (zakat) ?” [HR. Al-Bukhari no. 1485 dan Muslim no. 1069].
عن
ابن أبي مُلَيكة: ((أنَّ خالد بنَ سعيد بعث إلى عائشةَ ببقرةٍ من
الصَّدقةِ فردَّتْها، وقالت: إنَّا آلَ محمَّدٍ صلى الله عليه وسلم لا
تَحلُّ لنا الصَّدقة)).
Dari
Ibnu Abi Mulaikah : Bahwasannya Khaalid bin Sa’iid pernah diutus untuk
memberikan seekor sapi shadaqah (zakat) kepada ‘Aisyah, namun ia
menolaknya seraya berkata : “Sesungguhnya keluarga Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak dihalalkan menerima shadaqah (zakat)“ [HR. Ibnu Abi Syaibah3/214 dengan sanad shahih].
Juga
hadits ‘Abdul-Muthallib atau Muthallib bin Rabi’ah – terdapat perbedaan
pendapat atas namanya – dan Al-Fadhl bin Al-‘Abbas, bahwasannya mereka
berdua memohon kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam agar ditugasi menarik zakat. Ketika mereka meminta bagian dari harta zakat, maka beliau bersabda :
إن الصدقة لاتنبغي لآل محمد. إنما هي أوساخ الناس
“Sesungguhnya shadaqah itu tidak diperkenankan bagi keluarga Muhammad, sebab ia hanyalah kotoran manusia” [HR. Muslim no. 1072].
Dapat
dipahami dari larangan beliau di atas bahwa ‘Abdul-Muthallib bin
Rabi’ah dan Al-Fadhl bin Al-‘Abbas – keduanya berasal dari Bani Haasyim
bin ‘Abdil-Manaaf – termasuk keluarga Muhammad (Ahlul-Bait) yang
terlarang menerima harta shadaqah/zakat.
Selain Bani Haasyim, sebagian ulama (seperti Asy-Syafi’iy dan Ahmad rahimahumallah) juga menambahkan Bani Al-Muthallib bin ‘Abdil-Manaaf sebagai Ahlul-Bait, karena beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menganggap keduanya adalah satu :
عن
جبير بن مطعم قال: مشيت أنا وعثمان بن عفان إلى رسول الله صلى الله عليه
وسلم، فقلنا: يا رسول الله، أعطيت بني المطلب وتركتنا، ونحن وهم منك بمنزلة
واحدة؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (إنما بنو المطلب وبنو هاشم
شيء واحد).
Dari Jubair bin Muth’im ia berkata : “Aku dan ‘Utsman bin ‘Affaan berjalan menuju Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Kami berkata : “wahai Rasulullah, Anda memberi bagian khumus
kepada Bani Al-Muthallib, namun tidak memberikannya kepada kami.
Padahal kedudukan kami dan mereka terhadapmu adalah sama”. Maka beliau
menjawab : “Sesungguhnya Bani Al-Muthallib dan Bani Haasyim adalah satu (sama kedudukannya)” [HR. Al-Bukhari no. 3140].
Namun
yang shahih, Bani Al-Muthallib bukan termasuk orang-orang yang
diharamkan menerima zakat, karena hadits di atas hanyalah penyamaan
dalam masalah khumus saja. Wallaahu a’lam.
3. Ahlul Bait adalah ‘Ali, Fathimah, Al-Hasan, dan Al-Husain; tanpa selain mereka.
Dalil yang mereka bawakan adalah hadits kisaa’ :
عن
عمر بن أبي سلمة ربيب النبي صلى الله عليه وسلم قال نزلت هذه الآية على
النبي صلى الله عليه وسلم {إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت
ويطهركم تطهيرا} في بيت أم سلمة، فدعا النبي صلى الله عليه وسلم فاطمة
وحسنا وحسينا فجللهم بكساء وعلي خلف ظهره فجلله بكساء ثم قال: اللهم هؤلاء
أهل بيتي فأذهب عنهم الرجس وطهرهم تطهيرا. قالت أم سلمة وأنا معهم يا رسول
الله؟ قال أنت على مكانك وأنت الى خير".
Dari ‘Umar bin Abi Salamah, anak tiri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata : “Ayat ini (“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya) turun kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam” di rumah Ummu Salamah. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memanggil ‘Ali, Fathimah, Hasan, dan Al-Husain, lalu beliau menyelimuti mereka dengan kisaa’ (kain/baju), dan beliau pun menyelimuti ‘Ali yang berada di belakang punggungnya dengan kisaa’. Kemudian beliau bersabda : “Ya Allah, mereka semua adalah Ahlul-Bait-ku. Hilangkanlah dari mereka rijs dan bersihkanlah mereka sebersih-bersihnya”. Maka Ummu Salamah berkata : “Apakah aku bersama mereka wahai Rasulullah ?”. Beliau menjawab : “Tetaplah kamu di tempatmu, dan kamu di atas kebaikan” [HR. At-Tirmidzi no. 3205; shahih].
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah menjelaskan berkaitan hadits kisa’ di atas :
و
أهل بيته في الأصل هم " نساؤه صلى الله عليه وسلم و فيهن الصديقة عائشة
رضي الله عنهن جميعا كما هو صريح قوله تعالى في (الأحزاب ) : *( إنما يريد
الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت و يطهركم تطهيرا )*
بدليل
الآية التي قبلها و التي بعدها : *( يا نساء النبي لستن كأحد من النساء إن
اتقيتن فلا تخضعن بالقول فيطمع الذي في قلبه مرض و قلن قولا معروفا . و
قرن في بيوتكن و لا تبرجن تبرج الجاهلية الأولى و أقمن الصلاة و آتين
الزكاة و أطعن الله و رسوله إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت و
يطهركم تطهيرا . و
اذكرن
ما يتلى في بيوتكن من آيات الله و الحكمة إن الله كان لطيفا خبيرا )* , و
تخصيص الشيعة ( أهل البيت ) في الآية بعلي و فاطمة و الحسن و الحسين رضي
الله عنهم دون نسائه صلى الله عليه وسلم من تحريفهم لآيات الله تعالى
انتصارا لأهوائهم كما هو مشروح في موضعه , و حديث الكساء و ما في معناه
غاية ما فيه
توسيع دلالة الآية .
“Ahlul-Bait Nabi pada asalnya adalah istri-istri beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Termasuk pula di dalamnya Ash-Shiddiqah ‘Aisyah binti Abi Bakr Ash-Shiddiq radliyallaahu ‘anhum jamii’an sebagaimana yang jelas dinashkan dalam firman Allah ta’ala : “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”. Bukti bila Ahlul-Bait di sini adalah istri-istri Nabi adalah ayat sebelum dan sesudahnya : “Hai
istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika
kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga
berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah
perkataan yang baik, dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah
kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang
dahulu dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan
Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari
kamu, wahai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. Dan
ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah
(sunah Nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha
Mengetahui”. Sedangkan anggapan Syi’ah (Rafidlah) bahwa Ahlul-Bait dalam ayat ini hanyalah ‘Ali, Fathimah, Al-Hasan, dan Al-Husain radliyallaahu ‘anhum, tanpa mengikutsertakan istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka hal itu adalah bagian dari tahrif mereka
terhadap ayat-ayat Allah yang mereka lakukan untuk menolong, membantu,
serta membela hawa nafsu dan kebid’ahan mereka. Adapun hadits kisaa’ dan
yang semakna dengan itu, kemungkinan terbesar yang dimaksud adalah
penunjukan perluasan ayat (yaitu ayat ini umum mencakup istri-istri
Nabi, berikut ‘Ali, Fathimah, Al-Hasan, dan Al-Husain)” [Silsilah Ash-Shahiihah, 4/359-360 no. 1761].
Adapun
yang paling kuat di antara ketiga pendapat tersebut mengenai makna
Ahlul-Bait adalah orang-orang yang diharamkan menerima shadaqah/zakat,
yang terdiri dari : istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan
keturunannya serta seluruh muslim dan muslimah keturunan Bani Haasyim
(termasuk di dalamnya keluarga ‘Ali, keluarga ‘Aqil, keluarga Ja’far,
dan keluarga ‘Abbas). Ini adalah pendapat paling ‘adil yang mengambil
semua hadits shahih yang berkaitan dengan Ahlul-Bait Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Adapun klaim Syi’ah Rafidlah bahwa Ahlul-Bait itu hanyalah khusus pada
keluarga dan keturunan ‘Ali saja - itupun mengeluarkan keturunan
Al-Hasan bin ‘Ali dan sebagian keturunan Al-Husain - tentu saja ini
tidak benar. Mereka mengambil satu hadits yang sesuai dengan hawa nafsu
mereka, dan namun membuang hadits-hadits yang lain yang bertentangan
dengannya. Allaahul-Musta’aan.
‘Aqidah Ahlus-Sunnah terhadap Ahlul-Bait Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata ketika menjelaskan ‘aqidah Ahlus-Sunnah terhadap Ahlul-Bait :
ويحبون أهل بيت رسول الله ويتولونهم ويحفظون فيهم وصية رسول الله صلى الله عليه وسلم حيث قال يوم (غدير خم) : (أذكركم
الله في أهل بيتي)، وقال أيضاً للعباس عمه وقد اشتكى إليه أن بعض قريش
يجفو بني هاشم فقال : (والذي نفسي بيده لا يؤمنون حتى يحبوكم لله ولقرابتي
(وقال) إن الله اصطفى بني إسماعيل واصطفى من بني إسماعيل كنانة واصطفى من
كنانة قريشاً واصطفى من قريش بني هاشم واصطفاني من بني هاشم). ويتولون
أزواج رسول الله صلى الله عليه وسلم أمهات المؤمنين ويؤمنون بأنهن أزواجه
في الآخرة خصوصاً خديجة رضي الله عنها أم أكثر أولاده أول من آمن به وعاضده
على أمره وكان لها منه المنزلة العالية والصِّدّيقة بنت الصّدّيق رضي الله
عنها التي قال النبي صلى الله عليه وسلم : (فضل عائشة على النساء كفضل
الثريد على سائر الطعام).
“Dan mereka (Ahlus-Sunnah) mencintai Ahlul-Bait Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, setia kepada mereka, serta menjaga wasiat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang mereka, yaitu ketika beliau bersabda di satu hari (Ghaadir-Khum) : “Aku ingatkan kalian kepada Allah tentang Ahlul-Bait-ku”.
Beliau juga berkata kepada pamannya, Al-‘Abbas, dimana ketika itu ia
(Al-‘Abbas) mengeluh bahwa sebagian orang Quraisy membenci Bani Haasyim.
Beliau bersabda : “Demi Dzat
yang jiwaku ada di tangan-Nya, mereka itu tidak beriman sehingga mereka
mencintai kalian karena Allah, dank arena mereka itu sanak kerabatku”. Beliau juga bersabda : “Sesungguhnya
Allah telah memilih dari Bani Isma’il yaitu suku Kinaanah, dan dari
Bani Kinaanah, yaitu suku Quraisy, dari suku Quraisy, terpilih Bani
Haasyim. Dan Allah memilihku dari Bani Haasyim”. Dan Ahlus-Sunnah senantiasa setia dan cinta kepada istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, karena mereka adalah Ummahatul-Mukminin, serta meyakini bahwasannya mereka adalah istri-istri beliau di akhirat nanti, khususnya Khadijah radliyallaahu ‘anhaa, ibu dari sebagian besar anak-anak Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Ia adalah orang yang pertama kali beriman kepada beliau, mendukungnya,
serta mempunyai kedudukan yang tinggi. Dan juga Ash-Shiddiqah binti
Ash-Shiddiq radliyallaahu ‘anhaa dimana Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentangnya : “Keutamaan ‘Aisyah atas seluruh wanita adalah seperti keutamaan tsarid atas semua jenis makanan” [selesai - Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah].
Asy-Syaikh
Shaalih Al-Fauzan berkata : “…kita diperintahkan untuk mencintai mereka
(Ahlul-Bait), menghormati, dan memuliakan mereka selama mereka ber-ittiba’ kepada sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang shahihah, dan istiqamah di dalam memegang dan menjalankan syari’at agama. Adapun jika mereka menyelisihi sunnah-sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan tidak istiqamah
di dalam memegang dan menjalankan syari’at agama, maka kita tidak
diperbolehkan mencintai mereka, sekalipun mereka Ahlul-Bait Rasul…” [Syarh Al-‘Aqidah Al-Washithiyyah, hal. 148].
Oleh karena itu, orang-orang yang mengaku punya nasab dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam namun ternyata mereka termasuk golongan penyeru bid’ah dan penggalak kesyirikan (seperti banyak habaaib di
tanah air); kita tidak perlu mencintai mereka. Bahkan, mereka menjadi
‘musuh’ kita dalam agama, karena pada hakekatnya mereka merongrong dan
ingin merubuhkan sendi-sendi agama dari dalam.
Asy-Syaikh ‘Abdul-Muhsin Al-‘Abbad hafidhahullah berkata :
ويَرَون
أنَّ شرَفَ النَّسَب تابعٌ لشرَف الإيمان، ومَن جمع اللهُ له بينهما فقد
جمع له بين الحُسْنَيَيْن، ومَن لَم يُوَفَّق للإيمان، فإنَّ شرَفَ
النَّسَب لا يُفيدُه شيئاً، وقد قال الله عزَّ وجلَّ: {إِنَّ أَكْرَمَكُمْ
عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ}، وقال صلى الله عليه وسلم في آخر حديث طويلٍ رواه
مسلم في صحيحه (2699) عن أبي هريرة رضي الله عنه: ((ومَن بطَّأ به عملُه
لَم يُسرع به نسبُه)).
“Ahlus-Sunnah
berpendapat bahwa ketinggian nasab mengikuti ketinggian iman.
Barangsiapa yang Allah kumpulkan baginya dua hal tersebut, sungguh telah
terkumpul baginya dua kebaikan. Dan barangsiapa tidak
menetapi/konsekuen pada iman, maka ketinggian nasab tidak bermanfaat
sedikitpun. Allah ‘azza wa jalla telah berfirman : “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu adalah orang yang paling bertaqwa” (QS. Al-Hujuraat : 13). Dan juga berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam akhir satu hadits panjang yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya no. 2699 dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : ““Barangsiapa yang lambat amalnya, maka tidak akan bisa dipercepat oleh (kemuliaan) nasabnya” [Fadhlu Ahlil-Bait wal-‘Uluwwu Makaanatihim ‘inda Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah oleh ‘Abdul-Muhsin Al-‘Abbad – www.dorar.net].
Demikianlah tulisan singkat mengenai ahlul-bait Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Semoga ada manfaatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar