Penulis: Rizki Maulana
Akal dalam pandangan Islam
diletakkan pada tempat yang layak, tidak meninggikannya hingga menjadi sesuatu
yang dipertuhankan, tetapi juga tidak direndahkan atau dihinakan hingga
penyandangnya tidak ubahnya seperti hewan.[1]
Menurut Syaikh Ali bin Hasan
Al-Halaby Al-Atsary, Islam telah menunjukkan beberapa fenomena penghormatan
terhadap akal; diantaranya dalam menegakkan dakwah kepada iman berdasrkan
kepuasan akal. Dalam hal ini Islam mengarahkan untuk berpikir dan mengamati.
Maka, perhatikanlah firman Allah berikut :
أَفَلاَ يَتَدَبّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ
مِنْ عِندِ غَيْرِ اللّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ اخْتِلاَفاً كَثِيراً
“Maka
apakah mereka tidak memeperhatikan Al-Qur’an? Kalau sekiranya Al-Qur’an itu
bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang banyak di
dalamnya” (QS. An-Nisaa’ : 82).
Islam juga menantang akal
manusia agar mendatangkan kitab semisal Al-Qur’an. Diharapkan dengan
ketidakmampuan akal manusia untuk mendatangkan kitab semisal Al-Qur’an, manusia
mau mengakui bahwa Al-Qur’an benar-benar datang dari sisi Allah.
فَلْيَأْتُواْ بِحَدِيثٍ مّثْلِهِ إِن كَانُواْ
صَادِقِينَ
“Maka
hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al-Qur’an itu jika mereka
orang-orang yang benar” (QS. Ath-Thuur : 34).
Selain itu, akal juga
diarahkan untuk memikirkan makhluk-makhluk Allah (QS. Aali Imarn : 191; Ar-Ruum
: 8), untuk memikirkan syari’at Allah (QS. Al-Baqarah : 179, 184; dan
Al-Jumu’ah : 9), untuk mengamati umat-umat terdahulu dan mengapa mereka durhaka
(QS. Al-An’am : 6 dan 11); dan juga diarahkan agar akal manusia mau memikirkan
kejadian-kejadian alam dan kehidupan sekitarnya (QS. Al-Kahfi : 45).[2]
Allah ta’ala berfirman :
أَوَلَمْ يَتَفَكّرُواْ فِيَ أَنفُسِهِمْ مّا
خَلَقَ اللّهُ السّمَاوَاتِ وَالأرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَآ إِلاّ بِالْحَقّ وَأَجَلٍ
مّسَمّى وَإِنّ كَثِيراً مّنَ النّاسِ بِلِقَآءِ رَبّهِمْ لَكَافِرُونَ
“Dan
mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak
menjadikan langit dan bumi dan apa yang diantara keduanya melainkan dengan
(tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di
antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Rabb-nya” QS. Ar-Ruum : 8).
Fenomena lainnya dalam
menghormati akal, Islam tidak pernah memaksakan kehendak, tidak memaksakan
rasio seseorang untuk beriman. Namun diberikan kebebasan kepadanya untuk
memilih iman atau kufur (QS. Al-Baqarah : 256, Al-Kahfi : 29, Al-Ghasyiyyah :
21-22).[3] Bukti lain penghormatan
kepada akal adalah adanya celaan kepada Muqallidiin (orang-orang yang
taqlid), adanya perintah untuk senantiasa belajar, adanya ijtihad,
adanya perintah untuk memelihara akal dan larangan untuk merusaknya.[4] Semua itu menunjukkan betapa
Islam begitu menghormati akal.
Meski penghormatan Islam
terhadap akal sedemikian besar, bukan berarti seseorang lantas semaunya
menggunakan akalnya. Islam tidak menghendaki, karena semaunya mempergunakan
akal, seseorang lantas diperbudak oleh akalnya sendiri. Hingga, tiap masalah
dihadapi hanya dengan kekuatan akalnya. Terlebih dalam masalah yang berkaitan
dengan agama. Contoh kasuistik yang telah begitu lekat dalam perjalanan sejarah
Islam dalam masalah dominasi akal adalah aliran Mu’tazillah dan Neo-Mu’tazillah
sebagai pewaris leluhurnya di masa sekarang. Kelompok satu ini berprinsip,
bahwa naql (wahyu/nash) tidak boleh bertentangan dengan akal.
Oleh karena itu, setiap masalah syari’at bisa dicerna oleh akal. Dan jika ada
suatu nash yang nampak (menurut mereka) bertentangan dengan akal, niscaya
mereka akan menolaknya atau mena’wilkannya (dengan ta’wil-ta’wil bathil) sehingga
selaras dengan akalnya. Pola pikir semacam inilah yang akhirnya
menjungkir-balikkan nash-nash yang telah dipahami dan diyakini oleh para
salaful-ummah dulu. Dari pola pemahaman demikian, lantas lahir beragam ta’wil,
yang pada hakikatnya menafikkan sifat-sifat Allah, nikmat dan adzab qunur,
surga dan neraka, qadar Allah, dan sebagainya.
Khusus berkenaan dengan
pertentangan antara wahyu dan akal, dinyatakan oleh Syaikh Ali Al-Halaby, bahwa
mereka yang mempertentangkan keduanya adalah akibat dari dua kebodohan yang
besar. Yaitu, kebodohan terhadap wahyu dan kebodohan terhadap rasio. Tentang
kebodohan terhadap wahyu, karena sang penentang tidak memahami kandungan wahyu
dan apa yang ditunjukkannya. Dia memahami wahyu dengan pemahaman yang berbeda
dengan kebenaran yang ditunjukkan atau dikehendaki oleh wahyu itu sendiri.
Lalu, dia menentang terhadap apa yang ditunjukkan oleh wahyu dengan berdasar
hanya kepada akalnya semata. Sedangkan
tentang bodohnya dia terhadap akal/rasio, hal demikian tidak bosa digambarkan,
bahwasannya akal yang shalih menentang wahyu. Namun, orang-orang jahil (bodoh)
mengira bahwa hal itu merupakan syubuhaat ‘aqliyyah.[5]
Adapun ahlu salaf,
dalam menyikapi masalah nash dan akal, akan senantiasa mendahulukan
nash. Menurut Syaikh Ali Al-Halaby, As-Salafush-Shalih berpegang pada
pegangan yang kokoh, bahwa agama merupakan inqiyaad (ketundukan) dan taslim
(kepasrahan), tanpa menolak yang sifatnya dipaksa akal. Sebenarnya, akallah
yang mendorong seseorang untuk menerima As-Sunnah. Sedangkan yang mendorong
untuk mengingkari As-Sunnah adalah kebodohan, bukan akal.[6]
As-Salafush-Shalih menghadapi suatu nash,
khususnya yang berkenaan dengan masalah aqidah, tanpa melalui perbincangan
panjang lebar atau menggunakan akal yang dipaksakan. Tetapi cukup dengan
mengimaninya dan membenarkannya. Memperbincangkan dengan tanpa landasan yang
benar, apalagi hanya sekedar dengan akal, tak akan membawa faedah. Maka tatkala
Imam Malik ditanya tentang kaifiyah (cara) istiwaa’ Allah dalam ayat : الرّحْمَـَنُ عَلَى
الْعَرْشِ اسْتَوَىَ (”(Yaitu)Allah Yang Maha
Pemurah Yang bersemayam di atas ‘Arsy” – QS. Thhahaa : 4), maka beliau
menjawab :
الإستواء غير مجهول والكيف غير معقول والإيمان به
واجب والسؤال عنه بدعة
”Istiwa’
itu tidak asing lagi, dan kaifiyahnya tidak diketahui oleh akal. Beriman
kepadanya adalah wajib, dan bertanya tentangnya adalah bid’ah”.[7]
Demikianlah sikap As-Salafush-Shalih yang patut menjadi teladan dalam
mengimani ayat-ayat Allah dan hadits shahih dari Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam. Mudah-mudahan Allah ta’ala memberikan petunjuk
kepada kita semua. Dan hanya kepada Allah-lah segala urusan dikembalikan.
[Ditulis kembali
oleh Abu Al-Jauzaa’ in Rain City (1427 H) dari Majalah As-Sunnah versi jadoel].
[1]
Majalah Al-Bayan nomor 6 halaman 38 dari
judul makalah : Majaal Al-‘Aql Al-Basyari wa Haajah Al-Basyar ila
Ar-Risaalah oleh Dr. Sulaiman Al-‘Ayad. Dinukil dari ‘Aqlaniyyuun Afrakh
Al-Mu’tazillah Al-‘Ashriyyun oleh Syaikh Ali bin Hasan Al-Halaby Al-Atsary
halaman 22.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar