Penulis: Rizki Maulana
Ini merupakan asas dalam berdakwah. Dasarnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ
وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ
بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang
baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabbmu,
Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya
dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
[An-Nahl/16:125]
Ibnu Katsîr berkata dalam tafsirnya: “Dalam ayat ini Allah Azza wa Jalla
memerintahkan Rasul-Nya, Muhammad n agar menyeru manusia kepada agama
Allah Azza wa Jalla dengan cara hikmah.”
Firman Allah Azza wa Jalla , “Dan bantahlah mereka dengan cara yang
baik” yakni, apabila perlu dilakukan dialog dan tukar pikiran, hendaklah
dilakukan dengan cara yang baik, lemah lembut dan dengan tutur kata
yang baik. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla dalam ayat yang lain:
وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ
“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara
yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zhalim di antara mereka.”
[al-Ankabût/29:46]
Ini merupakan landasan penting yang wajib dipegang oleh setiap juru
dakwah pada zaman sekarang ini dalam mengajak manusia kepada agama Allah
Azza wa Jalla . Sebab, lemah lembut dalam berdakwah disertai pengajaran
yang baik, jauh dari sikap congkak dan tidak mengklaim secara
serampangan orang yang berseberangan dengan vonis fasik atau kafir.
Al-Khalâl telah meriwayatkan dengan sanad yang shahîh dari Imam Ahmad
ketika beliau ditanya tentang masalah dakwah ini. Beliau menjawab:
"Sahabat-sahabat Abdullâh berkata : “berdakwahlah dengan berlemah
lembut, semoga Allah Azza wa Jalla merahmati kamu, berlemah lembutlah!"
[1]
Allah Azza wa Jalla berfirman:
قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا
وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Katakanlah: "Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang
mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha
Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik".
[Yûsuf/12:108]
Dakwah adalah tugas yang berat dan pekerjaan yang serius yang hanya bisa
dipikul oleh orang-orang yang mulia. Juru dakwah yang mengajak kepada
agama Allah Azza wa Jalla pasti menghadapi gangguan dalam dakwah
sebagaimana yang dihadapi oleh siapa saja yang mengemban tugas dakwah
ini, dari dahulu sampai sekarang. Itu sudah menjadi sunnatullâh pada
orang-orang terdahulu dan sekarang. Para nabi juga telah menghadapi
gangguan serupa berupa penentangan, penolakan, keengganan dan
kesombongan dari berbagai pihak dan tingkatan manusia.
Maka dalam mengemban tugas dakwah yang berat dan penuh resiko ini
seorang juru dakwah harus menghiasi dirinya dengan sikap santun dan
sabar, bijaksana dan arif.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ
أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan
barangsiapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang
banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang
yang berakal. [al-Baqarah/2:269]
Hikmah adalah sebuah ungkapan tentang bagaimana menyelesaikan setiap
masalah dengan ilmu yang benar. Hikmah identik dengan fiqh dan
pemahaman. Hikmah digunakan juga untuk berbagai makna, seperti
as-Sunnah, akal, kebijaksanaan dan lain-lainnya. Hikmah juga bisa
berarti meletakkan sesuatu pada tempatnya dan mengerjakan sesuatu pada
momentum yang tepat. Hikmah juga berarti menyelesaikan masalah tanpa
menimbulkan masalah baru. Menyelesaikan masalah dengan menimbulkan
masalah lain atau masalah yang lebih besar lagi merupakan bukti
ketiadaan hikmah.
Di antara perkara yang memperkeruh dakwah kepada agama Allah Subhanahu
wa Ta’ala adalah dakwah yang dilakukan dengan keras, kasar dan arogan.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ
“Sesungguhnya kelembutan tidaklah berada pada sesuatu melainkan akan
membuatnya lebih bagus, dan tidak akan tercabut sesuatu darinya kecuali
akan membuatnya jelek.” [HR. Muslim]
Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ يُحْرَمِ الرِّفْقَ يُحْرَمِ الْخَيْرَ
“Barangsiapa yang diharamkan baginya, maka ia diharamkan dari kebaikan”.[HR. Muslim]
Hendaklah seorang da’i (juru dakwah) meniru akhlak Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam dakwahnya, di antara akhlak yang paling agung
itu adalah kelembutan.
Syaikh Bin Bâz berkata, “Kewajiban kita adalah berdakwah kepada agama
Allah Azza wa Jalla . Memberi nasihat dan pengarahan kepada perkara yang
baik tanpa kekerasan. Sebab kekerasan hanya akan membuka pintu
keburukan terhadap kaum Muslimin dan akan mempersulit dakwah.” [2]
Syaikh al-Albâni berkata, “Tidak ragu lagi, ini merupakan perkara
pertama yang dituntut dari seorang da’i, yaitu bersikap lemah lembut dan
santun. Ia tidak boleh bersikap kasar terhadap orang-orang yang
berseberangan. Apalagi bila orang itu masih berada dalam satu ushûl
dakwah dengannya, yaitu dakwah kepada al-Qur'an dan Sunnah.” [3]
Sikap lemah lembut dan hikmah ini tidaklah meniadakan ketegasan dalam
memegang prinsip dan menyatakan sikap yang syar’i, misalnya ketika
melihat kehormatan Islam dilecehkan. Ada momen-momen tertentu yang mana
kita harus memperlihatkan ketegasan dalam bersikap. Maka dari itu kita
harus membedakan antara mudârât dan mudâhanah.
APA ITU MUDARAT DAN MUDHAHAH
Banyak orang yang tidak bisa membedakan antara mudârât dan mudâhanah.
Mudârât adalah salah satu sikap bijaksana dalam mu'amalah yang
menyampaikan kepada tujuan, dengan tetap menjaga kehormatan dan
martabat. Adapun mudâhanah adalah perilaku tercela yang dibungkus dengan
kebohongan dan memungkiri janji.
Ibnu Baththâl berkata: "Mudârât adalah akhlak mukmin, yaitu merendahkan
diri kepada orang lain, melunakkan perkataan dan meninggalkan sifat
kasar. Mudârât adalah sebab paling kuat terciptanya persatuan. Sebagian
orang mengira bahwa mudârât sama dengan mudâhanah. Itu sangat keliru!
Karena mudârât adalah sifat yang dianjurkan sementara mudâhanah adalah
sifat yang diharamkan. Bedanya, mudâhahah diambil dari kata ad-dahân,
yaitu menampakkan sesuatu secara lahiriyah tapi menyembunyikan batinnya.
Para ulama mengidentikkannya dengan pergaulan dengan orang fasiq,
menunjukkan persetujuan terhadap kefasikannya tanpa mengingkarinya
sedikitpun.
Al-Bukhâri telah membuat bab dalam shahîhnya, beliau berkata: "Bab:
Mudârât dalam bermu'amalah dengan orang lain. Kemudian beliau membawakan
hadits 'Aisyah Radhiyallahu anhuma bahwa seorang lelaki meminta izin
bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu beliau berkata:
"Berilah izin kepadanya, seburuk-buruk putera kabilah atau saudara
kabilah." Ketika ia masuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara
dengan lunak kepadanya. 'Aisyah bertanya-tanya: "Wahai Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, engkau tadi mengatakan begini dan begitu,
kemudian engkau berbicara lemah lembut kepadanya?"
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: "Hai 'Aisyah, seburuk-buruk
manusia di sisi Allah Azza wa Jalla adalah yang ditinggalkan atau
dijauhi orang lain karena menghindari kekejiannya." [Muttafaqun
'alaihi].
Mudârât adalah berlaku lembut terhadap orang jahil dalam memberikan
pengajaran dan terhadap orang fasik ketika melarang perbuatan fasiknya,
tidak bersikap kasar terhadapnya. Yang mana ia tidak menunjukkan
kemarahannya. Mengingkarinya dengan perkataan dan memperlakukannya
dengan lembut. [4]
DI ANTARA CONTOH HIKMAH DALAM DAKWAH
Berikut ini beberapa contoh hikmah dalam dakwah yang apabila diabaikan bisa memicu timbulnya konflik di tengah masyarakat.
1. Memperhatikan Kondisi Orang Yang Didakwahi.
Seorang da’i harus memperhatikan kondisi orang yang didakwahinya. Jangan
main pukul rata saja. Ia harus memperhatikan cara yang paling
bermanfaat dalam mendakwahi mereka. Cara yang bermanfaat untuk
masyarakat umum belum tentu cocok untuk mendakwahi raja atau penguasa
atau orang yang terpandang, seperti tokoh masyarakat misalnya. Allah
Azza wa Jalla telah berkata kepada Musa dan Harun ketika mengutus mereka
kepada Fir’aun:
فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ
Maka berbicalah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut mudah-mudahan ia ingat atau takut". [Thaha/20:44]
Cara dakwah yang bermanfaat bagi kaum pedagang keliling, belum tentu
bermanfaat jika digunakan untuk mendakwahi kaum intelektual dan
terpelajar. Salah satu bentuk hikmah adalah memperhatikan cara yang
paling bermanfaat yang dapat memperbaiki bermacam-macam jenis manusia
yang berasal dari berbagai tingkatan dan golongan.
2. Memperhatikan Waktu Dan Kondisi Dalam Berdakwah.
Tidak arif bila mendatangi seorang yang sedang tidur, lalu
membangunkannya untuk didakwahi. Dan tidak bijaksana bila mendatangi
seseorang yang sedang emosi untuk berceramah di hadapannya. Andaikata
dalam kondisi normal tentulah orang itu akan mau mendengar kata-kata
kita. Pilihlah waktu dan kondisi yang tepat untuk berdakwah. Ketika
suasana atau kondisi sedang tegang atau keruh hindarilah perdebatan
maupun dialog hingga ketegangan mereda. Sebab bila dipaksakan bisa
menimbulkan hasil yang kontra produktif (tidak menguntungkan). Dan kalau
seandainya kebenaran itu baru bisa diterima melalui lisan orang lain
mengapa harus memaksakannya melalui lisan kita?
3. Meletakkan Skala Prioritas Yang Tepat.
Seorang da’i harus bisa menempatkan skala prioritas yang benar dalam
dakwah. Hendaklah ia mendahulukan perkara yang paling penting, tidak
sepantasnya ia mendahulukan perkara-perkara yang kecil lalu ia
meninggalkan perkara yang lebih besar dan lebih berbahaya. Salah dalam
meletakkan skala prioritas bisa mengakibatkan penyimpangan dalam dakwah.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada kita contoh
dari skala prioritas tersebut. Ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengutus Muadz Radhiyallahu anhu ke negeri Yaman, beliau berkata
kepadanya:
إِنَّكَ تَقْدَمُ عَلَى قَوْمٍ أَهْلِ كِتَابٍ فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا
تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ عِبَادَةُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَإِذَا عَرَفُوا
اللَّهَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ
فِي يَوْمِهِمْ وَلَيْلَتِهِمْ فَإِذَا فَعَلُوا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ
اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ زَكَاةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ
فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ فَإِذَا أَطَاعُوا بِهَا فَخُذْ مِنْهُمْ
وَتَوَقَّ كَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ
“ Engkau bakal mendatangi suatu kaum dari kalangan ahli kitab, maka
jadikanlah awal dakwahmu kepada mereka adalah peribadatan kepada Allah
semata. Jika mereka telah mengenali Allah, sampaikanlah kepada mereka
bahwa Allah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu sehari semalam.
Jika mereka melakukannya maka sampaikan kepada mereka bahwa Allah
mewajibkan atas mereka zakat yang diambil dari orang-orang kaya mereka
dan diberikan kepada fakir miskin diantara mereka. Jika mereka
mentaatinya maka ambillah harta-harta itu dari mereka, dan hindarilah
harta-harta kesayangan mereka.” [5]
4. Tidak Memandang Rendah Orang Yang Didakwahi.
Sikap meremehkan ini dapat membuat orang yang didakwahi tidak mau
mendengar dakwah kita. Janganlah sekali-kali mengesankan dirimu lebih
baik daripadanya. Atau memandang dirimu lebih istimewa darinya. Atau
membuatnya marah pada kesan pertama. Mu’tamir bin Sulaiman meriwayatkan
bahwa ia mendengar ayahnya berkata, “Jangan harap orang yang telah
engkau buat marah mau mendengarkan kata-katamu.” [6] Namun beri kesan
bahwa engkau adalah saudara baginya. Hindarilah cepat-cepat menjatuhkan
vonis secara membabi buta dan serampangan karena cara itu sama sekali
tidak hikmah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan
bagaimana sikap seorang muslim kepada orang yang lebih tua dan yang
lebih muda darinya. Yaitu menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang
lebih muda. Sikap menghargai orang lain terutama dalam konteks dakwah
dapat mempermudah diterimanya dakwah kita.
5. Meninggalkan Perkara Mustahab (Sunat) Untuk Kekhawatiran Akan Menimbulkan Kemudharatan Yang Lebih Besar.
Al-Bukhâri telah membuat sebuah bab yang berjudul: “Meninggalkan perkara
mustahab karena khawatir orang-orang salah memahami sehingga jatuh
kepada kerusakan yang lebih parah lagi”. Kemudian beliau membawakan
hadits 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata kepadanya:
يَا عَائِشَةُ لَوْلاَ قَوْمُكِ حَدِيثٌ عَهْدُهُمْ قَالَ ابْنُ
الزُّبَيْرِ بِكُفْرٍ لَنَقَضْتُ الْكَعْبَةَ فَجَعَلْتُ لَهَا بَابَيْنِ
بَابٌ يَدْخُلُ النَّاسُ وَبَابٌ يَخْرُجُونَ.
"Wahai 'Aisyah, jika bukan karena menimbang kaummu yang baru – Ibnu
Az-Zubair berkata, "Yakni baru meninggalkan kekufuran,"- niscaya aku
sudah merombak Ka'bah, aku akan buat dua pintu, pintu masuk dan pintu
keluar."
Ibnu Hajar menyebutkan beberapa faedah dari hadits tersebut, di
antaranya: Dibolehkan meninggalkan sebuah maslahat demi mengindari
mudharat dan tidak mengingkari kemungkaran jika khawatir akan
menimbulkan kemungkaran yang lebih parah.
6. Berbicara Kepada Manusia Sesuai Dengan Daya Nalar Mereka Dalam Memahaminya.
Ini sangat penting diperhatikan untuk menghindari kesalahpahaman yang
berpotensi memicu konflik. Demikian pula dalam menyampaikan ilmu agama
kepada manusia, harus diperhatikan tingkat pemahaman mereka dalam
mencerna apa yang akan disampaikan, jangan sampai kata-kata kita
menimbulkan fitnah bagi masyarakat awam. Al-Bukhâri telah membuat bab
dalam shahîhnya, bab mengkhususkan sebuah ilmu kepada suatu kaum yang
tidak disampaikan kepada kaum yang lain karena khawatir mereka tidak
dapat memahaminya. Kemudian beliau membawakan perkataan Ali bin Abi
Thalib Radhiyallahu anhu , "Berbicaralah kepada orang banyak dengan apa
yang dapat mereka fahami, sukakah kalian bila mereka nanti mendustai
Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?" Ibnu
Hajar rahimahullah dalam Fathul Bâri mengatakan, “Hadits ini
menunjukkan, sesuatu perkara yang masih samar tidak layak disebarkan ke
tengah masyarakat awam. Perkataan Ali ini mirip seperti perkataan Ibnu
Mas'ûd, "Tidaklah kamu menyampaikan sesuatu yang tidak dapat dicerna
oleh akal suatu kaum, melainkan akan menimbulkan fitnah bagi sebahagian
mereka." Hadits tersebut diriwayatkan oleh Muslim. Diantara pembicaraan
yang menurut imam Ahmad makruh disampaikan kepada suatu kaum tetapi
boleh disampaikan kepada kaum yang lain adalah pembicaraan tentang
hadits yang makna tekstualnya membolehkan pemberontakan terhadap
penguasa. Menurut Imam Mâlik, hadits-hadits yang bercerita tentang sifat
Allah Azza wa Jalla . Menurut Abu Yusuf, hadits-hadits gharîb.
Sebelumnya Abu Hurairah juga berpendapat demikian, seperti yang
disebutkan sebelumnya tentang dua kantung hadits, satu kantung tidak
disampaikan oleh beliau karena khawatir akan membahayakan keselamatan
beliau. Demikian juga dari Hudzaifah dan dari al-Hasan bahwa mereka
berdua mengingkari tindakan Anas yang menceritakan kisah 'Uraniyîn
kepada semua jama'ah haji, karena hal akan dijadikan dalih untuk
berlebihan dalam menumpahkan darah seseorang. Secara tekstual hadits
tersebut terlihat seperti menguatkan kebid'ahan, padahal maksud hadits
tersebut tidak sebagaimana yang difahami secara tekstual. Oleh sebab
itu, jangan menyampaikan hal-hal seperti ini kepada orang-orang awam
yang hanya bisa memahaminya secara tekstual saja. Wallâhu a’lam.”
Pedoman ini sangat penting diperhatikan oleh setiap juru dakwah,
khususnya di Indonesia, agar bisa menekan potensi timbulnya fitnah di
tengah masyarakat yang mayoritas belum memahami agama dengan benar.
7. Menyebarkan Sunnah Tanpa Menimbulkan Konflik.
Imam Ibnu Muflih al-Maqdisi telah membuat sebuah bab dalam kitabnya,
al-Adab asy-Syar’iyyah, “Pasal, menyebarkan sunnah dengan perkataan dan
perbuatan, tanpa menimbulkan pertengkaran dan tanpa kekerasan”. Dalam
pasal ini beliau membawakan beberapa riwayat dari para ulama di
antaranya, “Seorang lelaki pernah bertanya kepada Imam Ahmad, ia
berkata, “Aku berada dalam sebuah forum yang disinggung perkara sunnah
di dalamnya, tak ada yang tahu mengenai sunnah itu selain diriku,
bolehkah aku membicarakannya?” Beliau menjawab, “Sampaikanlah sunnah dan
jangan bertengkar karenanya.”
Demikian pula Imam Mâlik, beliau menganjurkan agar menyampaikan sunnah, namun bila tidak diterima lebih baik diam. [7]
Kesimpulan:
1. Pada asalnya dakwah harus disampaikan dengan hikmah dan lemah lembut.
2. Lemah lembut ini tidaklah menafikan sikap tegas dalam memegang
prinsip, maka dari itu harus dibedakan antara mudaaraah dan mudaahanah.
3. Gangguan dan penentangan dari orang-orang jahil bisa saja muncul karena itu sudah menjadi sunnatullah.
4. Seorang da’i harus sabar dan berlapang dada menerima cobaan yang diterimanya dalam mengemban tugas dakwah.
5. Hikmah adalah meletakkan sesuatu sesuai pada tempatnya, menyelesaikan
masalah tanpa menimbulkan masalah baru dan berbicara sesuai situasi dan
kondisi.
6. Konflik dan kontroversi bisa ditekan dan dihindari bila setiap juru dakwah memperhatikan hikmah dalam berdakwah.
7. Sabar dan santun adalah bekal yang paling berharga dalam mengemban
tugas dakwah. Kesabaran akan melahirkan ketenangan dalam bertindak dan
tidak tergesa-gesa dalam memutuskan sesuatu. Ketenangan itu berasal dari
Allah Azza wa Jalla dan ketergesa-gesaan berasal dari setan. Dakwah
yang dibangun atas sikap sembrono dan tergesa-gesa tidak akan membuahkan
hasil yang positif. Bahkan sebaliknya, menimbulkan bencana demi
bencana.
8. Hindari melontarkan komentar-komentar yang provokatif yang bisa
memicu pertengkaran dan kerusuhan. Dan apabila muncul kesalahpahaman
masyarakat tentang suatu isu yang menyangkut dakwah hendaklah segera
dilakukan klarifikasi supaya fitnah tidak terlanjur menyebar dan
membesar sehingga sulit terkendali.
Referensi:
1-Tafsir al-Qur'an al-‘Azhim tulisan Ibnu Katsir.
2- Shahih al-Bukhaari.
3- Fathul Baari tulisan Ibnu Hajar al-Asqalaani.
4- Al-Adab asy-Syar’iyyah tulisan Ibnu Muflih.
5- Haditsun Nafsi wa Jaulaatul Khaathir tulisan Abdul Ilaah bin Sulaiman Ath-Thayyar.
6- At-Ta'liqaat As-Saniyah Syarh Ushulu Ad-Da'wah As-Salafiyah tulisan ‘Amru Abdul Mun'im.
7-al-Adab al-Islamiyyah tulisan Abdul Aziz Sayyid Nadaa.
8- Majalah al-Buhuut al-Islaamiyyah Edisi 40.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIII/Rabiul Tsani
1430/2011M]
_______
Footnote
[1]. Lihat kitab At-Ta'lîqâtus Saniyah Syarh Ushûlud Da'watis Salafiyah tulisan ‘Amru Abdul Mun'im.
[2]. Majalah al-Buhûtsul Islâmiyyah Edisi 40.
[3]. Dinukil dari kaset Silsilatul Hudâ wan Nûr nomor 620.
[4]. Lihat buku Hadîtsun Nafsi wa Jaulâtul Khâthir tulisan Abdul Ilâh bin Sulaiman Ath-Thayyâr.
[5]. Hadits riwayat al-Bukhâri (1458) dan Muslim (19) dari Ibnu Abbâs.
[6]. Al-Adab asy-Syar’iyyah tulisan Ibnu Muflih (I/368).
[7]. Al-Adabusy Syar’iyyah tulisan Ibnu Muflih (I/368).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar