Penulis: Rizki Maulana
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albaany rahimahullah adalah salah
seorang ulama’ Ahlussunnah. Beliau memiliki kapasitas keilmuan dalam
ilmu hadits yang tidak diragukan lagi. Karya-karya beliau banyak
dijadikan rujukan. Sebagai salah satu bentuk nikmat yang Allah berikan
kepada kaum muslimin adalah hasil-hasil penelitian/ kajian beliau
terhadap hadits-hadits Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam.
Begitu bermanfaatnya tulisan-tulisan kajian hadits Syaikh alAlbaany
tersebut, sampai-sampai Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i menyatakan:
“Suatu perpustakaan (Islam) yang tidak memiliki karya Syaikh al-Albaany
adalah perpustakaan yang miskin”. Karya tulis beliau memang benar-benar
dijadikan referensi kaum muslimin. Baik Ahlussunnah yang mengambil
faidah dari kajian ilmiyah tersebut, maupun musuh-musuh beliau yang
dengki terhadap beliau, tidak sedikit yang juga menyimpan karya tulis
beliau dalam bagian koleksi pribadinya, kemudian secara diam-diam
menjadikannya sebagai salah satu rujukan.
Para penentang dakwah Ahlussunnah menganggap Syaikh alAlbany sebagai
Imam Salafy yang secara fanatik diikuti secara membabi buta. Padahal
tidak demikian. Beliau adalah salah satu dari sekian banyak Ulama’
Ahlussunnah, yang semua Ulama’ tersebut diperlakukan sama oleh
Ahlussunnah dalam hal: dihormati karena keilmuannya tanpa melampaui
batas, diikuti nasehat dan bimbingannya selama sesuai dengan Sunnah
Nabi, dan dijelaskan ketergelinciran atau kesalahan ijtihadnya –jika
diperlukan- dalam beberapa hal dengan tetap memperhatikan adab dan
mendoakan rahmat bagi beliau. Sebagai manusia, beliau tidaklah luput
dari kesalahan.
Sebagaimana ucapan Imam Malik:
كل أحد يؤخذ من قوله، ويترك، إلا صاحب هذا القبر صلى الله عليه وسلم
“Setiap orang ucapannya bisa diambil atau ditinggalkan, kecuali orang
yang ada di dalam kubur ini (sambil mengisyaratkan pada kuburan Nabi)
shollallaahu ‘alaihi wasallam (Lihat Siyaar A’laamin Nubalaa’ karya
al-Hafidz Adz-Dzahaby juz 8 halaman 93).
Ya, setiap orang selain Nabi Shollallaahu ‘alaihi wasallam tidaklah
ma’shum (terjaga) dari kesalahan. Hanya Nabi Muhammad shollallaahu
‘alaihi wasallam sajalah yang petunjuknya dalam masalah Dien tidak bisa
tidak harus diikuti. Sabda beliau tidak bisa ditolak. Beda dengan
manusia lain. Manusia lain, siapapun orangnya, setinggi apapun tingkat
keilmuannya, ada kalanya benar, ada kalanya salah.
Demikian juga Syaikh al-Albany. Ahlussunnah tidaklah fanatik secara
membabi buta terhadap hasil telaah hadits yang beliau lakukan. Jika
hasil penelitian Syaikh al-Albany terhadap suatu hadits ternyata
bertentangan dengan kajian Ulama’ Ahlussunnah lain yang pendapatnya
lebih kuat, ditopang hujjah yang lebih kokoh, maka pendapat Ulama’
Ahlussunnah itulah yang harus diikuti.
Lajnah ad-Daimah pada saat masih diketuai Syaikh Bin Baz beberapa kali
pernah menjadikan hasil penelitian Syaikh al-Albany sebagai rujukan.
Silakan disimak tanya jawab berikut dalam Fatwa Lajnah ad-Daaimah:
س: « صنفان من الناس إذا صلحا صلح الناس… » إلخ، هل هو حديث أو من كلام عمر ؟
ج: رواه أبو نعيم في [الحلية] عن ابن عباس ، وقد ذكره السيوطي في الجامع
الصغير بهذا اللفظ: « صنفان من الناس إذا صلحا صلح الناس وإذا فسدا فسد
الناس: العلماء والأمراء » ورمز له السيوطي بالضعف، ونقل المناوي في شرحه
[الجامع الصغير] عن الحافظ العراقي أنه ضعيف، وذكر أخونا العلامة الشيخ
ناصر الدين الألباني في كتاب [سلسلة الأحاديث الضعيفة] أنه موضوع؛ لأن في
إسناده محمد بن زياد اليشكري ، وهو كذاب، قاله أحمد وابن معين .
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
Pertanyaan: “Ada 2 kelompok orang yang jika mereka berdua baik, maka
akan baiklah keadaan manusia…”. Apakah (lafadz) itu adalah hadits atau
ucapan Umar?
Jawaban: (Ucapan) itu diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam ‘al-Hilyah’
dari Ibnu Abbas. As-Suyuthy menyebutkannya dalam al-Jami’us Shaghir
dengan lafadz: “ Dua kelompok orang yang jika baik keduanya, maka
manusia akan baik, yaitu Ulama’ dan Umara’ (pemimpin)”. As-Suyuthy
mengisyaratkan kelemahannya. Dan alMunawy menukil perkataan alHafidz
al-‘Iraqy dalam Syarahnya terhadap alJami’us Shaghir bahwasanya itu
lemah(dhaif). Dan saudara kita asy-Syaikh Nashiruddin al-Albaany dalam
kitabnya Silsilah al-Ahaadits ad-Dhaifah (menyatakan) bahwa itu palsu.
Karena pada sanadnya terdapat Muhammad bin Ziyaad al-Yasykary, yang dia
adalah pendusta, sebagaimana dikatakan oleh Ahmad dan(Yahya) Ibnu Ma’in.
(Fatwa al-Lajnah adDaaimah juz 6 halaman 336).
Demikian juga pada fatwa no 7586, ketika ada yang menanyakan derajat
suatu hadits: “Allah mewahyukan kepada Dawud: Tidaklah hambaku
menyandarkan diri padaKu…..”
alLajnah ad-Daaimah menyatakan:
الحديث الذي ذكرت: موضوع، كما ذكر الشيخ محمد ناصر الألباني ؛ لأن في سنده يوسف بن السفر ، وهو ممن يضع الأحاديث
“Hadits yang anda sebutkan adalah palsu, sebagaimana dinyatakan oleh
asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany, karena pada sanadnya ada
Yusuf bin as-Safar, yang dia termasuk pemalsu hadits” (Fatwa al-Lajnah
ad-Daaimah juz 6 halaman 404).
Ketika ada penanya yang menanyakan bagaimana dengan kitab ‘Silsilah
al-Ahaadits ad-Dhaifah’ karya Syaikh al-Albany, apakah bisa dijadikan
rujukan? Lajnah ad-Daimah menjelaskan:
أما كتاب [سلسلة الأحاديث الضعيفة والموضوعة] فمؤلفه واسع الاطلاع في الحديث، قوي في نقدها والحكم عليها بالصحة أو الضعف، وقد يخطئ
“Sedangkan kitab Silsilah al-Ahaadits ad-Dhaifah wal maudlu’ah,
penulisnya memiliki wawasan yang luas dalam ilmu hadits, kuat dalam hal
mengkritik dan menentukan shahih atau lemahnya (hadits), (walaupun)
kadang-kadang ia juga salah”(Fatwa al-Lajnah ad-Daaimah juz 6 halaman
404)
Di lain kesempatan, Lajnah ad-Daimah juga berbeda pendapat dengan Syaikh
Muhammad Nashiruddin al-Albaany ketika ada penanya yang menanyakan
kedudukan hadits tentang sholat tasbih. Lajnah ad-Daimah cenderung pada
pendapat bahwa hadits-hadits tentang itu tidak ada yang shahih,
sedangkan Syaikh alAlbany cenderung pada pendapat Ulama sebelumnya yang
menshahihkan salah satu riwayat (Fatwa al-Lajnah adDaimah juz 6 halaman
401). Hal itu menunjukkan keadilan sikap Ulama’ Ahlussunnah terhadap
Ulama’ lainnya, mereka menghormatinya dan mencintainya karena Allah,
kadangkala menukil ucapannya untuk menguatkan pendapat, namun mereka
tidak pernah mengkultuskan dan menganggap bahwa orang itu tidak pernah
salah sehingga semua ucapannya harus selalu diikuti.
Di lain sisi, para penentang dakwah Ahlussunnah sangat membenci Syaikh
alAlbany. Mereka berusaha menebarkan tuduhan-tuduhan dusta terhadap
beliau. Di antaranya tuduhan bahwa Syaikh Muhammad Nashiruddin
al-Albaany telah mengkafirkan Imam al-Bukhari.
Pada salah satu blog penentang dakwah Ahlussunnah, terdapat tulisan
berjudul: “AL-ALBANY MENGKAFIRKAN IMAM BUKHARY”. Berikut akan kami
nukilkan tulisan dari blog tersebut. Kutipan di antara tanda “[[
.........]]” adalah isi tulisan dari blog penentang Ahlussunnah
tersebut.
[[
Antara Fatwanya lagi, mengingkari takwilan Imam Bukhari. Sesungguhnya Imam Bukhari telah mentakwilkan Firman Allah :
كل سيء هالك إلا وجهه
قال البخاري بعد هذه الأية : أي ملكه
Tetapi Al-Albaany mengkritik keras takwilan ini lalu berkata :
(( هذا لا يقوله مسلم مؤمن ))
” Ini sepatutnya tidak dituturkan oleh seorang Muslim yang beriman “.
Lihatlah kitab (( Fatawa Al-Albaany )) m/s 523. Tentang takwilan Imam
Bukhari ini adalah suatu yang diketahui ramai kerana jika dilihat pada
naskhah yang ada pada hari ini tidak ada yang lain melainkan termaktub
di sana takwilan Imam Bukhari terhadap ayat Mutasyabihat tadi. Di
samping itu juga, ini adalah antara salah satu dalil konsep penakwilan
nusush sudah pun wujud pada zaman salaf (pendetailan pada pegertian
makna). Bagaimana Beliau berani melontarkan pengkafiran terhadap Imam
Bukhary As-Salafi dan mendakwa Imam Bukhary tiada iman dalam masa yang
sama beriya-riya mengaku dirinya sebagai Muhaddits??!! memalukan ..]]
Jika kita cermati, nukilan dari blog tersebut mengandung beberapa arti:
1. Imam al-Bukhari dianggap telah melakukan takwil terhadap Sifat
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala, beliau menakwilkan ‘Wajah’ Allah pada Qur’an
surat al-Qoshosh ayat 88 dengan ‘Kekuasaan’/ ‘milik’Nya.
2. Syaikh Al-Albany dalam kitab ‘Fataawa al-Albaany’ dianggap telah mengkafirkan Imam Al-Bukhari karena telah menyatakan:
هذا لا يقوله مسلم مؤمن
“ Ini tidaklah (pantas) diucapkan seorang muslim yang beriman”
Sehingga, secara garis besar bisa disimpulkan 2 pertanyaan mendasar,
sekaligus syubhat yang perlu dijawab dan diluruskan. Benarkah Imam
al-Bukhari telah mentakwilkan ‘Wajah’ Allah dengan ‘Kekuasaan’/’Milik’ ?
Kemudian, benarkah Syaikh al-Albany mengkafirkan Imam al-Bukhari?
Berikut ini kami sebutkan masing-masing syubhat tersebut berikut
bantahannya. Semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’ala memberikan taufiqNya
kepada kita semua…
Syubhat ke-1: Imam al-Bukhari telah Mentakwilkan ‘Wajah’ yang
Merupakan Sifat Allah dengan ‘Kekuasaan’/’milik’. Itu Menunjukkan Imam
al-Bukhari berpemahaman Al-‘Asyaairoh.
Bantahan:
Al-Imam al-Bukhari memahami ‘Asma’ WasSifat Allah sesuai dengan
pemahaman Salafus Sholih. Beliau tidaklah mentakwil dengan takwil yang
batil. Mari kita simak penjelasan al-Imam al-Bukhari dalam Shahihnya:
{ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ } إِلَّا مُلْكَهُ وَيُقَالُ إِلَّا مَا أُرِيدَ بِهِ وَجْهُ اللَّهِ
“ { Segala sesuatu binasa kecuali WajahNya} yaitu KekuasaanNya, dan
dinyatakan juga : ‘kecuali segala yang diinginkan dengannya Wajah Allah “
(Shahih al-Bukhari juz 14 halaman 437).
Ini adalah pernyataan beliau yang bisa didapati pada sebagian naskah
Shahih al-Bukhari, dan pada naskah yang lain tidak ada. Pernyataan Imam
al-Bukhari ini bisa dijelaskan dalam beberapa hal penting:
Pertama, Imam al-Bukhari menukilkan beberapa tafsiran yang masyhur
terhadap ayat tersebut. Dalam hal ini beliau menyebutkan makna : “Segala
sesuatu binasa kecuali WajahNya, dalam 2 penafsiran :
a. إلا ملكه : kecuali ‘Kekuasaan’ / ‘milik’Nya.
b. إلا ما أريد به وجه الله : kecuali segala yang diinginkan dengannya
Wajah Allah. Artinya, segala sesuatu yang dilakukan ikhlas karena
Allah.
Imam al-Bukhari menukilkan 2 penafsiran ini, namun sebenarnya beliau
lebih cenderung memilih pendapat yang kedua. Maknanya, segala sesuatu
akan binasa/lenyap kecuali amalan yang dilakukan ikhlas hanya untuk
Allah.
Bagaimana kita bisa tahu bahwa Imam al-Bukhari lebih cenderung pada pendapat yang kedua, bukan yang pertama?
Mudah sekali. Hal itu dijelaskan oleh alHafidz Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Beliau menyatakan:
وقال مجاهد والثوري في قوله: { كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلا وَجْهَهُ } أي: إلا ما أريد به وجهه، وحكاه البخاري في صحيحه كالمقرر له
“ Mujahid dan ats-Tsaury berkata tentang firman Allah : ‘Segala sesuatu
akan binasa, kecuali WajahNya’, yaitu: kecuali segala sesuatu yang
diharapkan dengannya WajahNya. AlBukhari menghikayatkan dalam Shahihnya
sebagai pendapatnya” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir dalam menafsirkan Quran
Surat al-Qoshosh ayat 88 juz 6 halaman 135 cetakan alMaktabah
atTaufiqiyyah ta’liq dari Haani al-Haj).
Kedua, penukilan penafsiran ‘Wajah’ Allah dengan ‘Kekuasaan’ / ‘milik’ Allah ini perlu ditinjau ulang.
AlHafidz Ibnu Hajar al-‘Asqolaany menjelaskan dalam Fathul Baari:
قَوْله : ( إِلَّا وَجْهه : إِلَّا مُلْكه ) فِي رِوَايَة النَّسَفِيِّ ”
وَقَالَ مَعْمَر ” : فَذَكَرَهُ . وَمَعْمَر هَذَا هُوَ أَبُو عُبَيْدَة
بْن الْمُثَنَّى ، وَهَذَا كَلَامه فِي كِتَابه ” مَجَاز الْقُرْآن ”
لَكِنْ بِلَفْظِ ” إِلَّا هُوَ ” وَكَذَا نَقَلَهُ الطَّبَرِيُّ عَنْ بَعْض
أَهْل الْعَرَبِيَّة ، وَكَذَا ذَكَرَهُ الْفَرَّاء
Ucapan al-Bukhari {kecuali WajahNya : kecuali Kekuasaan/milikNya} ada
pada riwayat anNasafiy dengan menyatakan : ‘Ma’mar berkata….’kemudian
disebutkan ucapan tersebut. Ma’mar ini adalah Abu Ubaidah bin
alMutsanna. Ucapan tersebut terdapat dalam kitabnya “Majaazul Qur’aan”,
akan tetapi dengan lafadz ‘kecuali Dia’. Demikian juga dinukil oleh
atThobary dari sebagian ahli bahasa Arab, dan disebutkan juga oleh
al-Farra’ (Lihat Fathul Baari syarh Shahih alBukhari juz 13 halaman
292).
Dari penjelasan alHafidz di atas bisa disimpulkan bahwa Imam alBukhari
menukilkan tafsiran ‘Wajah’ Allah dengan ‘Kekuasaan’/’Milik’ Allah
berdasarkan riwayat anNasafiy dari perkataan Ma’mar. Namun, perkataan
Ma’mar dalam kitabnya Majaazul Qur’an bukanlah menafsirkan kalimat
‘kecuali Wajah Allah’ dengan ‘kecuali Kekuasaan Allah’, tapi dengan
‘kecuali Dia’. Dari sini nampak jelas bahwa penukilan tafsir ‘Wajah
Allah’ dengan ‘Kekuasaan’/’Milik’ Allah sebagai ucapan Ma’mar adalah
penukilan yang tidak benar. Atas dasar inilah, maka Syaikh Muhammad
Nashiruddin alAlbaany ketika ditanya tentang hal ini beliau meragukan
tafsiran itu sebagai tafsiran dari Imam alBukhari sendiri, dan tidak
mungkin Imam alBukhari menyatakan demikian (InsyaAllah nanti akan
diperjelas pada bantahan syubhat ke-2).
Ketiga, Imam alBukhari menetapkan ‘Wajah’ Allah.
Tidak seperti al-‘Asya-iroh yang menakwilkan Sifat Allah dengan Sifat
yang batil, Imam alBukhari menakwilkannya dengan takwilan yang benar.
Takwilan yang benar adalah takwilan yang merupakan penjelas dari maksud
suatu kalimat. Penakwilan tersebut tidaklah keluar dari kaidah bahasa
Arab. Sedangkan takwilan yang batil adalah penakwilan yang pada dasarnya
mengingkari adanya Sifat itu, kemudian dia palingkan maknanya pada
makna yang lain. Intinya, seseorang yang menakwil dengan takwil yang
batil mengingkari makna hakiki dari Sifat tersebut. Dia tidak menolaknya
secara terang-terangan seperti para Mu’aththilah (Jahmiyyah), namun dia
palingkan maknanya kepada makna yang lain.
Sebagai contoh, takwilan yang batil adalah menakwilkan ‘Tangan’ Allah
dengan ‘Kekuasaan’. Seseorang yang menakwilkan ini tidaklah menetapkan
bahwa Allah memiliki Tangan. Padahal Ahlussunnah tidaklah menetapkan
kecuali yang Allah tetapkan untuk dirinya sendiri, sesuai dengan
Kesempurnaan Sifat yang ada pada Allah tanpa memalingkannya pada makna
yang lain.
Imam al-Bukhari menetapkan Wajah Allah sesuai dengan Kesempurnaan Sifat
Allah, tanpa beliau palingkan pada makna lain. Bagaimana kita tahu bahwa
beliau menetapkan ‘Wajah’ bagi Allah? Bisa kita simak dalam kitab
Shahih beliau sendiri pada bagian yang lain. Beliau menempatkan bab
tersendiri dalam penafsiran ayat itu, kemudian menyebutkan riwayat
hadits yang menjelaskan kandungan bab itu sendiri.
Imam alBukhari menyatakan dalam kitab Shahihnya:
بَاب قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى { كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ }
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ
عَمْرٍو عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ
الْآيَةُ { قُلْ هُوَ الْقَادِرُ عَلَى أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عَذَابًا
مِنْ فَوْقِكُمْ } قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَعُوذُ بِوَجْهِكَ فَقَالَ{ أَوْ مِنْ تَحْتِ أَرْجُلِكُمْ } فَقَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعُوذُ بِوَجْهِكَ قَالَ {
أَوْ يَلْبِسَكُمْ شِيَعًا } فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ هَذَا أَيْسَرُ
“Bab firman Allah Ta’ala : ‘Segala sesuatu binasa kecuali WajahNya’
Telah memberitahukan kepada kami Qutaibah bin Sa’id (ia berkata) telah
memberitahukan pada kami Hammad bin Zaid dari ‘Amr dari Jabir bin
Abdillah beliau berkata: ketika turun ayat ini : ‘Katakan: Dialah
(Allah) Yang mampu untuk mengirim adzab dari atas kalian’, Nabi
shollallahu ‘alaihi wasallam berkata: ‘Aku berlindung kepada WajahMu’,
kemudian firman Allah : ‘atau dari bawah kaki kalian’, Nabi shollallaahu
‘alaihi wasallam berkata: ‘aku berlindung kepada WajahMu’, kemudian
firman Allah: atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang
saling bertentangan), Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam berkata: ‘Ini
lebih ringan’(Lihat Shahih alBukhari juz 22 halaman 410).
Telah dimaklumi di kalangan para Ulama’ Ahlul hadits bahwa pemilihan
riwayat hadits dalam suatu bab merupakan representasi pemahaman Imam
alBukhari terhadap makna yang ada pada bab tersebut. Ketika Imam
alBukhari menyebutkan hadits perkataan/ doa Nabi: ‘Aku berlindung kepada
WajahMu’, beliau tidaklah mentakwilkan ucapan Nabi tersebut pada
makna-makna lain. Beliau sekedar menyebutkan riwayat itu saja. Ini
menunjukkan bahwa Imam alBukhari menetapkan Sifat ‘Wajah’ bagi Allah
tanpa mentahrif (memalingkan) pada makna yang lain.
Mungkin masih tersisa pertanyaan: ‘Jika benar Imam alBukhari memilih
pendapat yang kedua dalam menafsirkan ayat itu, bukankah juga berarti
beliau menakwilkan ayat tersebut. Kalimat: ‘Segala sesuatu akan binasa,
kecuali Wajah Allah’ ditakwilkan sebagai ‘Segala sesuatu akan binasa
kecuali yang mengharapkan Wajah Allah’. Benar, itu adalah takwil yang
beliau lakukan sebagaimana penakwilan atTsaury. Penakwilan tersebut
tidaklah batil, karena memang dipahami dari ucapan lafadz Arab.
Al-Imam atThobary menyatakan dalam tafsir atThobary juz 19 halaman 643 bahwa penafsiran tersebut sesuai dengan perkataan syair:
أَسْتَغْفِرُ اللهَ ذَنْبًا لَسْتُ مُحْصِيهُ… رَبُّ العِبادِ إلَيْهِ الوَجْهُ والعَمَلُ
“Aku memohon ampun kepada Allah dari dosa yang aku tak mampu menghitungnya…
(Dialah) Rabb hamba-hamba, yang kepadaNya wajah (kehendak) dan amalan
Lafadz الوجه (wajah) dalam kalimat syair tersebut berarti kehendak dan keinginan.
Takwil yang demikian bukanlah takwil yang batil, karena merupakan salah
satu penjelasan terhadap makna kalimat yang sesuai dengan konteks bahasa
Arab yang biasa dipahami. Selain itu, penakwilan ini tidaklah menafikan
penetapan ‘Wajah’ bagi Allah sesuai dengan Keagungan, Kemulyaan, dan
Kesempurnaan Allah, yang tidak sama dengan makhlukNya, dan tidak
diketahui kaifiyatnya kecuali Allah.
Syubhat ke-2: Syaikh alAlbany Mengkafirkan Imam alBukhari
Bantahan:
Ini adalah kedustaan yang besar. Syaikh alAlbany tidaklah mengkafirkan
Imam alBukhari. Jika yang dimaksud adalah ucapan Syaikh alAlbany dalam
Fataawa alAlbaany, maka mari kita simak nukilan percakapan tanya jawab
tersebut:
السؤال
لي عدة أسئلة، ولكن قبل أن أبدأ أقول: أنا غفلت بالأمس عن ذكر هذه المسألة،
وهي عندما قلت: إن الإمام البخاري ترجم في صحيحه في معنى قوله تعالى: {
كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ } [القصص:88] قال: إلا ملكه.
صراحة أنا نقلت هذا الكلام عن كتاب اسمه: دراسة تحليلية لعقيدة ابن حجر ،
كتبه أحمد عصام الكاتب ، وكنت معتقداً أن نقل هذا الرجل إن شاء الله صحيح،
ولازلت أقول: يمكن أن يكون نقله صحيحاً، ولكن أقرأ عليك كلامه في هذا
الكتاب.
إذ يقول: قد تقدم ترجمة البخاري لسورة القصص في قوله تعالى: { كُلُّ
شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ } [القصص:88]، أي: إلا ملكه، ويقال: (إلا)
ما أريد به وجه الله، وقوله: إلا ملكه، قال الحافظ في رواية النسفي وقال
معمر فذكره، و معمر هذا هو أبو عبيدة بن المثنى ، وهذا كلامه في كتابه مجاز
القرآن ، لكن بلفظ (إلا هو)، فأنا رجعت اليوم إلى الفتح نفسه فلم أجد
ترجمة للبخاري بهذا الشيء، ورجعت لـ صحيح البخاري دون الفتح ، فلم أجد هذا
الكلام للإمام البخاري ، ولكنه هنا كأنه يشير إلى أن هذا الشيء موجود
برواية النسفي عن الإمام البخاري ، فما جوابكم؟
الجواب
جوابي تقدم سلفاً.
السائل: أنا أردت أن أبين هذا مخافة أن أقع في كلام على الإمام البخاري .
الشيخ: أنت سمعت مني التشكيك في أن يقول البخاري هذه الكلمة؛ لأن تفسير
قوله تعالى: { وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلالِ وَالْأِكْرَامِ }
[الرحمن:27] أي: ملكه، يا أخي! هذا لا يقوله مسلم مؤمن، وقلت أيضاً: إن كان
هذا موجوداً فقد يكون في بعض النسخ، فإذاً الجواب تقدم سلفاً، وأنت جزاك
الله خيراً الآن بهذا الكلام الذي ذكرته تؤكد أنه ليس في البخاري مثل هذا
التأويل الذي هو عين التعطيل
.
السائل: يا شيخنا! على هذا كأن مثل هذا القول موجود في الفتح ، وأنا أذكر
أني مرة راجعت هذه العبارة باستدلال أحدهم، فكأني وجدت مثل نوع هذا
الاستدلال، أي: أنه موجود وهو في بعض النسخ، لكن أنا قلت له: إنه لا يوجد
إلا الله عز وجل، وإلا مخلوقات الله عز وجل، ولا شيء غيرها، فإذا كان كل
شيء هالك إلا وجهه، أي: إلا ملكه، إذاً ما هو الشيء الهالك؟!! الشيخ: هذا
يا أخي! لا يحتاج إلى تدليل على بطلانه، لكن المهم أن ننزه الإمام البخاري
عن أن يؤول هذه الآية وهو إمام في الحديث وفي الصفات، وهو سلفي العقيدة والحمد لله
Pertanyaan:’Saya memiliki beberapa pertanyaan, akan tetapi sebelum
saya mulai, saya katakan: Saya lupa kemarin untuk menyebutkan masalah
ini, yaitu: Sesungguhnya al-Imam alBukhari menjelaskan dalam Shahihnya
tentang firman Allah Ta’ala:’ Segala sesuatu binasa kecuali WajahNya’
(Q.S alQoshosh: 88), beliau berkata: ‘kecuali kekuasaan/milikNya’.
‘Secara jelas saya menukil ucapan ini dari kitab yang berjudul:
‘Diraasah Tahliiliyah li ‘aqiidati Ibni Hajar’, ditulis oleh Ahmad
‘Ishaam al-Kaatib. Dan saya yakin bahwa nukilan penulis ini Insya Allah
benar. Aku terus menerus berkata: mungkin nukilannya benar. Akan tetapi
saya bacakan di hadapan anda ucapan beliau di dalam kitab ini.
Telah berlalu penjelasan alBukhari dalam surat alQoshosh tentang
firman Allah Ta’ala : ‘Segala sesuatu akan binasa kecuali WajahNya’ (Q.S
alQoshosh:88): Segala yang diharapkan dengannya Wajah Allah. Dan ucapan
beliau: ‘Kecuali kekuasaanNya/ milikNya. AlHafidz Ibnu Hajar berkata
dalam riwayat anNasafiy dan berkata Ma’mar, kemudian disebutkan ucapan
tersebut. Ma’mar ini adalah Abu Ubaidah bin alMutsanna. Ini adalah
ucapannya dalam kitabnya Majaazul Qur’an. Akan tetapi dengan lafadz
‘kecuali Dia’. Aku pada hari ini berusaha melihat kembalai Fathul Baari
tetapi tidak aku temui penjelasan alBukhari tentang itu. Kemudian aku
juga melihat kembali kitab Shahih alBukhari yang tanpa syarh Fathul
Baari, aku juga tidak mendapati ucapan ini dari alBukhari. Akan tetapi,
seakan-akan itu mengisyaratkan bahwa kalimat itu ada pada riwayat
anNasafiy dari al-Imam al-Bukhari. Bagaimana jawaban anda?
Jawaban: “Jawaban saya adalah seperti yang tersebutkan lalu”.
Penanya bertanya lagi: “Saya ingin menjelaskan ini karena khawatir terjatuh dalam kesalahan terhadap ucapan al-Imam al-Bukhari.
Syaikh alBany berkata lagi: Anda telah mendengar dari saya keraguan
bahwa alBukhari mengucapkan kalimat tersebut. Karena sesungguhnya tafsir
firman Allah Ta’ala: ‘Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai
kebesaran dan kemuliaan’ (ArRahman:27), (Wajah) yaitu
Kekuasaan/MilikNya. Wahai saudaraku, ucapan ini tidak sepantasnya
diucapkan seorang muslim yang beriman. Aku juga katakan bahwa: Jika
(perkataan) tersebut ada, mungkin terdapat pada sebagian naskah. Kalau
demikian, maka jawabannya adalah pada yang telah lalu. Kepada anda,
Jazaakallah khairan (semoga Allah membalas anda dengan kebaikan),
sekarang dengan ucapan yang telah anda sebutkan itu memperjelas bahwa
tidak ada dalam alBukhari semisal takwil tersebut yang merupakan bentuk
peniadaan.
Penanya bertanya lagi: Wahai Syaikh kami, sepertinya ucapan semacam ini
terdapat dalam Fathul Baari. Saya telah menyebutkan bahwa saya
berkali-kali mengecek kembali kalimat ini dengan pendalilan salah satu
dari mereka. Sepertinya saya menemukan sebagian bentuk pendalilan ini,
bahwasanya itu terdapat dalam sebagian naskah. Akan tetapi saya katakan
kepadanya: Sesungguhnya tidak ada kecuali Allah dan kecuali
makhluk-makhluk Allah. Tidak ada selain keduanya. Jika tidak ada yang
binasa kecuali WajahNya artinya miliknya, maka apa lagi yang binasa?
Syaikh alAlbany berkata: ‘ Wahai saudaraku, ini tidak membutuhkan lagi
dalil untuk menunjukkan kebatilannya. Akan tetapi yang penting adalah
membersihkan persangkaan bahwa al-Imam alBukhari telah menakwilkan ayat
(seperti itu), dalam keadaan beliau adalah Imam dalam masalah hadits dan
Sifat Allah. Beliau adalah seorang Salafy dalam aqidahnya,
alhamdulillah (Fataawa alAlbaany halaman 522-523).
Saudaraku kaum muslimin….
Kalau dialog tanya jawab dengan Syaikh alAlbaany tersebut kita baca
dengan baik niscaya kita akan dengan mudah memahami bahwa sungguh dusta
tuduhan tersebut. Sama sekali Syaikh alAlbany tidak mengkafirkan Imam
alBukhari.
Ada seorang penanya yang dalam suatu kesempatan menanyakan kepada Syaikh
AlBany, apakah benar Imam alBukhary telah menakwilkan ‘Wajah Allah’
dengan ‘Kekuasaan/’Milik’Nya. Awalnya Syaikh tidaklah menanggapi terlalu
banyak. Cukuplah penjelasan dalam pertemuan-pertemuan majelis beliau
sebelumnya bahwa Imam alBukhari menafsirkan surat alQoshosh ayat 88,
dengan ‘Segala sesuatu akan binasa, kecuali yang diharapkan dengannya
Wajah Allah’. Penjelasan Syaikh alAlbany ini sama dengan ucapan Ibnu
Katsir dalam tafsirnya yang menukil juga pendapat Imam alBukhari (telah
kami sebutkan di atas).
Penanya tersebut mengatakan sendiri bahwa ia telah berulang kali
berusaha cross check ulang pada naskah Shahih alBukhari yang ada pada
dirinya, namun ia tidak mendapati perkataan Imam alBukhari yang
menakwilkan demikian. Hal ini menunjukkan bahwa penafsiran ‘Wajah’
dengan ‘Kekuasaan’/’Milik’ ada pada sebagian naskah (manuskrip), dan
penukilan pada naskah tersebut tidak benar, sebagaimana dijelaskan oleh
alHafidz Ibnu Hajar bahwa kalau yang dimaksud adalah ucapan Ma’mar maka
seharusnya penafsirannya adalah : ‘segala sesuatu akan binasa, kecuali
Dia’.
Penanya juga dapat menarik kesimpulan sendiri bahwa penafsiran tersebut
terlihat tidak benar. Kalau diartikan bahwa ‘segala sesuatu akan binasa,
kecuali milik Allah’, maka berarti tidak akan ada yang binasa. Karena
yang ada hanyalah Allah dan makhlukNya, sedangkan makhluk Allah adalah
milik Allah. Itulah yang dimaksud dengan ucapan Syaikh alAlbany bahwa
tidak mungkin seorang muslim yang beriman akan mengucapkan demikian,
karena berarti dia akan berkeyakinan bahwa semua akan kekal.
Di sini nampak jelas kedustaan tuduhan itu, karena sama sekali Syaikh
alAlbany tidak menyatakan bahwa Imam alBukhari adalah bukan seorang
muslim dan mukmin, justru Syaikh meragukan kalimat itu sebagai ucapan
Imam al-Bukhari. Syaikh menyatakan: “Anda telah mendengar dari saya
keraguan bahwa alBukhari mengucapkan kalimat tersebut”…kemudian beliau
juga menyatakan: …”Akan tetapi yang penting adalah membersihkan
persangkaan bahwa al-Imam alBukhari telah menakwilkan ayat (seperti
itu)”.
Kemudian, sebagai bantahan telak bahwa Syaikh alAlbany sama sekali tidak
mengkafirkan Imam alBukhari, bahkan justru memujinya sebagai salah
seorang Imam kaum muslimin, di akhir dialog Syaikh alAlbany menyatakan:
“…dalam keadaan beliau adalah Imam dalam masalah hadits dan Sifat Allah.
Beliau adalah seorang Salafy dalam aqidahnya, Alhamdulillah”.
Sedemikian jelasnya masalah ini jika dipandang secara adil. Namun, musuh
dakwah Ahlussunnah bersikap tidak amanah, dan memang yang dicarinya
adalah fitnah untuk menjauhkan Ulama’ Ahlussunnah dari kaum muslimin.
Kami menasehatkan pengelola blog tersebut ataupun seluruh situs/blog
yang banyak menukil tulisan tersebut untuk bertaubat kepada Allah
Subhaanahu Wa Ta’ala karena mereka telah menyebarkan tuduhan dusta di
tengah kaum muslimin. Jika kepada sesama muslim yang awam saja merupakan
dosa besar jika kita memberikan tuduhan yang keji padanya, maka
bagaimana jika tuduhan itu disematkan kepada seorang Ulama’ Ahlussunnah.
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat
tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah
memikul kebohongan dan dosa yang nyata” (Q.S al-Ahzaab: 58).
Allahu Musta'an
Tidak ada komentar:
Posting Komentar