Rabu, 13 Agustus 2014

BIOGRAFI AL-HUSAIN BIN ALI BIN ABI THALIB

Penulis: Rizki Maulana
Biografi ini ditulis secara ringkas dan bebas dari kitab-kitab : Siyaru A’laamin-Nubalaa’ karya Al-Imam Adz-Dzahabi juz 3, penerbit Muassasah Ar-Risaalah, tahqiq : Muhammad Na’im Al-Arqasusy dan Ma’mun Shagharji, cet. XI – 1422 H/2001 M; Al-Bidaayah wan-Nihaayah karya Al-Imam Ibnu Katsir, juz 8, Maktabah Al-Ma’aarif – Beirut, tanpa tahun; Tahdziibut-Tahdziib karya Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalaniy, cet. I – Mathba’ah Majlis Daairah Al-Ma’aarif An-Nidhaamiyyah, India – Haidar Abad; dan Majmu’ Al-Fataawaa karya Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahumullah ta’ala.

Nama dan Nasab
Beliau adalah Al-Husain bin Amiirul-Mukminiin ‘Ali bin Abi Thaalib bin ‘Abdil-Manaf bin Qushay Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy. Kun-yah-nya Abu ‘Abdillah. Seorang imam yang mulia, cucu yang merupakan salah satu bunga kehidupan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di dunia dan kesayangannya disamping Al-Hasan radliyallaahu ‘anhuma. Kedua orang tuanya adalah ‘Ali bin Abi Thaalib dan Faathimah Az-Zahraa’ binti Rasulillah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Kelahirannya
Dilahirkan pada tanggal 5 Sya’ban tahun keempat Hijriyah, dan jarak umur antara beliau dengan Al-Hasan, kakaknya, menurut sebagian ulama adalah satu kali masa suci ditambah masa kehamilan.[1]
Kedudukan Husain radliyallaahu ‘anhu
Beliau adalah seorang imam di antara imam-imam Ahlus-Sunnah, memiliki kedudukan mulia di sisi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan sangat dicintainya. Dari Ibnu Abi Nu’miy, ia berkata : “Aku mendengar ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma ketika ditanya oleh seseorang (yang datang dari ‘Iraq) tentang hukum orang yang berihram – (kata Syu’bah : Saya menduga ia bertanya tentang hukum) membunuh lalat –. Maka ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma berkata : “(Lihatlah) orang-orang ‘Iraq yang bertanya tentang hukum membunuh seekor lalat, padahal mereka telah membunuh putra dan putri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
هُمَا رَيْحَانَتَايَ مِنَ الدُّنْيَا. رواه البخاري
“Keduanya (Al-Hasan dan Al-Husain) adalah dua buah tangkai bungaku di dunia” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan lainnya, Fathul-Bari VII/95, no. 3753].
Adz-Dzahabi rahimahullah dalam Siyaru A’laamin-Nubalaa’[2] membawakan riwayat dari Jaabir radliyallaahu ‘anhu yang ketika melihat Al-Husain bin ‘Ali masuk ke dalam masjid mengatakan :
من أحب أن ينظر إلى سيد شباب أهل الجنة، فلينظر إلى هذا. سمعته من رسول الله صلى الله عليه وسلم
“Barangsiapa yang ingin melihat seorang sayyid (pemuka) dari para pemuda ahli surga, maka lihatlah Al-Husain radliyallaahu ‘anhu ini. Saya mendengar hal itu dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam”.[3]
Dalam kitab yang sama Adz-Dzahabi rahimahullah juga membawakan riwayat dari Ummu Salamah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata :
إن النبي صلى الله عليه وسلم جلل عليا وفاطمة وابنيهما بكساء، ثم قال: اَللَّهُمَّ هَؤُلَاءِ أَهْلُ بَيْتِ بِنْتِي وَحَامَتِي، اَللَّهُمَّ أَذْهِبْ عنْهُمُ الرِّجْسَ وَطَهِّرْهُمْ تَطْهِيْراً. فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ الله، أَنَا مِنْهُمْ ؟ قَالَ : إِنَّكِ إِلَى خَيْرٍ
“Sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyelimuti ’Ali, Faathimah, serta kedua anaknya (Al-Hasan dan Al-Husain) dengan sebuah selimut, kemudian beliau berdoa : “Ya Allah, mereka adalah ahlui bait putriku dan kesayanganku. Ya Allah, hilangkanlah kotoran dari mereka, dan sucikanlah mereka dengan sesuci-sucinya”. Aku (Ummu Salamah) bertanya : “Apakah aku termasuk mereka ?”. Beliau menjawab : “Sesungguhnya engkau menuju kebaikan”.
Hadits ini dikatakan oleh Adz-Dzahabi rahimahullah bahwa isnad-nya jayyid (baik), diriwayatkan dari beberapa jalan dari Syahr. Sementara pen-tahqiq mengatakan, hadits itu shahih dengan syawaahid-nya.[4]
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
حُسَيْنٌ مِنِّيْ وَأَنَا مِنْ حُسَيْنٍ، أَحَبَّ اللهُ مَنْ أَحَبَّ حُسَيْناً، حُسَيْنٌ سِبْطٌ مِنَ الْأَسْبَاطِ.
”Husain termasuk bagian dariku dan aku termasuk bagian darinya. Allah akan mencintai siapa saja yang mencintai Husain. Dan Husain adalah satu umat di antara umat-umat yang lain dalam kebaikannya”.[5]
Demikianlah kedudukan Al-Husain bin ’Ali radliyallaahu ’anhuma, beliau sempat hidup bersama Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam selama sekitar lima tahun. Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam sangat menyayangi dan memuliakan Al-Husain hingga beliau wafat. Sepeninggal Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam; Abu Bakr, ’Umar, dan ’Utsman pun radliyallaahu ’anhum sangat mencintai, memuliakan, dan mengagungkannya. Dan Al-Husain selalu menyertai ayahnya, ’Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ’anhu sampai wafatnya.
Ketika Mu’awiyyah radliyallaahu ’anhu resmi menjadi khalifah, maka Mu’awiyyah radliyallaahu ’anhu juga sangat memuliakannya. Bahkan sangat memperhatikan kehidupan Al-Husain radliyallaahu ’anhu dan saudaranya, sehingga sering memberikan hadiah kepada keduanya. Tetapi ketika Yazid bin Mu’awiyyah diangkat menjadi khalifah, Al-Husain bersama Ibnuz-Zubair radliyallaahu ’anhuma termasuk orang yang tidak mau berbaiat. Bahkan penolakan itu terjadi sebelum Mu’awiyyah radliyallaahu ’anhu wafat, ketika Yazid sudah ditetapkan sebagai calon khalifah pengganti Mu’awiyyah.
Oleh karena itu, beliau berdua keluar dari Madinah dan lari menuju Makkah. Kemudian keduanya menetap di Makkah. Ibnuz-Zubair radliyallaahu ’anhuma menetap di tempat shalatnya di dekat Ka’bah, sedangkan Al-Husain radliyallaahu ’anhu di tempat yang lebih terbuka karena dikelilingi banyak orang.
Selanjutnya, banyak surat yang datang kepada Al-Husain radliyallaahu ’anhu dari penduduk ’Iraq membujuk beliau supaya memimpin mereka. Menurut isi surat, mereka siap membaiat Al-Husain. Dan surat-surat itu diantaranya berisi pernyataan gembira atas kematian Mu’awiyyah radliyallaahu ’anhu.[6] Karena penduduk ’Iraq memang banyak diwarnai oleh pemikiran Raafidlah (Syi’ah) dan Khawarij.
Adz-Dzahabi rahimahullah membawakan riwayat dari Ibnu Al-Muhazzim rahimahullah yang mengatakan :
كنا في جنازة، فأقبل أبو هريرة ينفض بثوبه التراب عن قدم الحسين
”Pernah kami sedang menghadiri suatu jenazah. Lalu datanglah Abu Hurairah radliyallaahu ’anhu yang dengan bajunya mengibaskan debu-debu yang ada pada kaki Al-Husain”.[7]
Beberapa Sifat Al-Husain radliyalaahu ’anhu
Secara fisik, Al-Husain radliyallaahu ’anhu lebih mirip dengan Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam pada bagian dada sampai kaki, sementara Al-Hasan radliyallaahu ’anhu lebih mirip dengan Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam pada wajahnya.[8] Ketika kepala Al-Husain didatangkan di hadapan ’Ubaidullah bin Ziyaad, maka sambil memegang sebilah pedang ia mengkorek-korek hidung (sebagian riwayat : gigi seri) Al-Husain, dan ia pun berkata :
ما رأت مثل هذا حسنا، فقلت له: إنه كان من أشبههم برسول الله صلى الله عليه وسلم
”Aku belum pernah melihat orang setampan ini”. Anas bin Malik (yang ketika itu ada di hadapannya) mengatakan kepada ’Ubaidullah bin Ziyaad : ”Husain radliyallaahu ’anhu termasuk orang yang paling mirip dengan Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam”.[9]
’Ubaidullah bin Ziyaad adalah amir (gubernur) Bashrah pada masa pemerintahan Yazid bin Mu’awiyyah dan yang kemudian oleh Yazid diangkat pula sebagai amir Kuffah menggantikan An-Nu’man bin Basyiir radliyallaahu ’anhu.[10] ’Ubaidullah bin Ziyaad inilah yang memobilisasi perang melawan Al-Husain radliyallaahu ’anhu, dan bahkan menekan dengan ancaman kepada ’Umar bin Sa’d bin Abi Waqqash rahimahullah untuk memeranginya.[11]
Tentang sifat Al-Husain lainnya, antara lain sebagaimana yang dibawakan oleh Adz-Dzahabi rahimahullah dari riwayat Sa’d bin ’Amr, ia berkata :
أن الحسن قال للحسين: وددت أن لي بعض شدة قلبك، فيقول الحسين: وأنا وددت أن لي بعض ما بسط من لسانك
”Bahwasannya Al-Hasan pernah berkata kepada Al-Husain : ’Betapa ingin ingin aku memiliki sebagian keteguhan hatimu’. Llau Al-Husain menjawab : ’Dan betapa ingin aku memiliki sebagian kelembutan lidahmu”.[12]
Wafatnya
Para ulama berselisih pendapat tentang kapan Al-Husain radliyallaahu ’anhu wafat. Tetapi Adz-Dzahabi, Ibnu Katsir, dan Ibnu Hajar Al-’Asqalani lebih menguatkan bahwa wafatnya pada hari ’Asyura bulan Muharram tahun 61 H.[13] Sedangkan umurnya juga diperselisihkan. Ada yang mengatakan 58 tahun, 55 tahun, dan 60 tahun. Tetapi Ibnu Hajar rahimahullah menguatkan bahwa umur beliau adalah 56 tahun.[14]
Jauh hari sebelum Al-Husain terbunuh, Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam pernah menceritakan bahwa Al-Husain akan wafat dalam keadaan terbunuh. Adz-Dzahabi rahimahullah membawakan beberapa riwayat tentang itu, diantaranya dari ’Ali, ia berkata :
دخلت على النبي صلى الله عليه وسلم ذات يوم، وعيناه تفيضان، فقال: " قام من عندي جبريل، فحدثني أن الحسين يقتل، وقال: هل لك أن أشمك من تربته ؟ قلت: نعم. فمد يده، فقبض قبضة من تراب. قال: فأعطانيها، فلم أملك عيني
”Aku datang kepada Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam ketika kedua mata beliau bercucuran air mata. Lalu beliau bersabda : ’Jibril baru saja datang, ia menceritakan kepadaku bahwa Al-Husain kelak akan mati dibunuh. Kemudian Jibril berkata : ’Apakah engkau ingin aku ciumkan kepadamu bau tanahnya ?’. Aku menjawab : ’Ya’. Jibril pun lalu menjulurkan tangannya, ia menggenggam tanah satu genggaman. Lalu ia memberikannya kepadaku. Oleh karena itulah aku tidak kuasa menahan air mataku”.[15]
Intinya, banyak riwayat yang menceritakan tentang itu.
Pada hari-hari menjelang wafatnya, saat hendak berangkat dari Makkah menuju ’Iraq, di negeri tempat beliau terbunuh; Al-Husain meminta nasihat kepada Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhum.
Maka Ibnu ’Abbas berkata : ”Kalaulah tidak dipandang tidak pantas, tentu aku kalungkan tanganku pada kepalamu (maksudnya : hendak mencegah kepergiannya)”.
Al-Husain menjawab : ”Sungguh jika aku terbunuh di tempat demikian dan demikian, tentu lebih aku sukai daripada aku mengorbankan kemuliaan negeri Makkah ini”.[16]
Al-Husain akhirnya tetap berangkat menuju ’Iraq setelah sebelumnya mengutus Muslim bin ’Aqil bin Abi Thaalib ke ’Iraq. Mengingat betapa bahayanya ’Iraq bagi Al-Husain radliyallaahu ’anhu, maka Ibnu ’Umar pun menyusulnya untuk menyarankan agar Al-Husain mengurungkan niatnya. Tetapi, karena harapan-harapan yang diberikan oleh orang-orang ’Iraq, maka Al-Husain tetap pada pendiriannya untuk berangkat ke ’Iraq. Maka Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma pun dengan berat hati melepaskannya setelah sebelumnya memeluk Al-Husain radliyallaahu ’anhu dan mengucapkan kata perpisahan. Ibnu ’Umar berkata :
أستودعك الله من قتيل
”Aku titipkan engkau kepada Allah dari kejahatan seorang pembunuh”.[17]
Demikianlah, akhirnya Al-Husain bin ’Ali radliyallaahu ’anhuma tetap berangkat ke ’Iraq dan kemudian terbunuh secara dhalim di tangan orang-orang aniaya.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah memberikan komentar tentang terbunuhnya Al-Husain radliyallaahu ’anhu sebagai berikut :
فلما قُتِل الحسين بن علي ـ رضي الله عنهما ـ يوم عاشوراء قتلته الطائفة الظالمة الباغية، وأكرم اللّه الحسين بالشهادة، كما أكرم بها من أكرم من أهل بيته، أكرم بها حمزة وجعفر، وأباه عليا وغيرهم، وكانت شهادته مما رفع اللّه بها منزلته، وأعلى درجته، فإنه هو وأخوه الحسن سيدا شباب أهل الجنة
”Ketika Al-Husain bin ’Ali radliyalaahu ’anhuma terbunuh pada hari ’Asyura, yang dilakukan oleh sekelompok orang dhalim yang melampaui batas batas, dan dengan demikian berarti Allah ta’ala telah memuliakan Al-Husain untuk memperoleh kematian sebagai syahid, sebagaimana Allah ta’ala juga telah memuliakan Ahlul-Bait-nya yang lain dengan mati syahid, seperti halnya Allah ta’ala telah memuliakan Hamzah, Ja’far, ayahnya yaitu ’Ali, dan lain-lain dengan mati syahid. Dan mati syahid inilah salah satu cara Allah ta’ala untuk meninggikan kedudukan serta derajat Al-Husain radliyallaahu ’anhu dan saudaranya, yaitu Al-Hasan radliyallaahu ’anhu, menjadi pemuka para pemuda ahli surga”.[18]
Di sisi lain Syaikhul-Islam juga mengatakan :
والحسين ـ رضي اللّه عنه ـ أكرمه اللّه ـ تعالى ـ بالشهادة في هذا اليوم، وأهان بذلك من قتله، أو أعان على قتله، أو رضى بقتله، وله أسوة حسنة بمن سبقه من الشهداء، فإنه وأخاه سيدا شباب أهل الجنة، وكانا قد تربيا في عز الإسلام، لم ينالا من الهجرة والجهاد والصبر على الأذى في اللّه ما ناله أهل بيته، فأكرمهما اللّه ـ تعالى ـ بالشهادة؛ تكميلًا لكرامتهما، ورفعا لدرجاتهما، وقتله مصيبة عظيمة، واللّه ـ سبحانه ـ قد شرع الاسترجاع عند المصيبة بقوله تعالى‏:‏وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ * الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ * أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ
”Dan Al-Husain radliyallaahu ’anhu telah dimuliakan oleh Allah ta’ala dengan mati syahid pada hari (’Asyuraa’) ini. Dengan peristiwa ini, Allah ta’ala juga telah menghinakan pembunuhnya serta orang-orang yang membantu pembunuhan terhadapnya atau orang-orang yang senang dengan pembunuhan itu. Al-Husain radliyallaahu ’anhu memiliki contoh yang baik dari para syuhadaa’ yang mendahuluinya. Sesungguhnya Al-Husain radliyallaahu ’anhu dan saudaranya (yaitu Al-Hasan radliyallaahu ’anhu) merupakan dua orang pemuka dari para pemuda ahli surga. Keduanya merupakan orang-orang yang dibesarkan dalam suasana kejayaan Islam. Mereka berdua tidak sempat mendapatkan keutamaan berhijrah, berjihad, dan bersabar menghadapi beratnya gangguan orang kafir sebagaimana dialami oleh para ahli baitnya yang lain. Karena itu, Allah ta’ala memuliakan keduanya dengan mati syahid sebagai penyempurna bagi kemuliaannya dan sebagai pengangkatan bagi derajatnya agar semakin tinggi. Pembunuhan terhadap Al-Husain radliyallaahu ’anhu merupakan musibah yang besar. Dan Allah ta’ala mensyari’atkan agar hamba-Nya ber-istirja’ (mengucapkan innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun) ketika mendapatkan musibah dengan firman-Nya : Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun". Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk (QS. Al-Baqarah : 155-157).[19]
Demikianlah biografi Al-Husain bin ’Ali radliyallaahu ’anhuma secara ringkas. Adapun tempat yang selama ini dianggap sebagai kuburan Al-Husain atau kuburan kepala Al-Husain di Syam, di ’Asqalan, di Mesir, atau di tempat lain; maka itu adalah dusta, tidak ada bukti sama sekali. Karena semua ulama dan sejarawan yang dapat dipercaya tidak pernah memberikan kesaksian tentang hal itu. Bahkan, mereka menyebutkan bahwa kepala Al-Husain dibawa ke Madinah dan dikuburkan di sebelah kuburan Al-Hasan.[20] Radliyallaahu ’anhuma wa ’an jamii’ish-shahaabah ajma’iin.  
Wallaahul-Musta’an.


[1]     Lihat Al-Bidaayah wan-Nihaayah (VIII/149).
[2]     Lihat Siyaru A’laamin-Nubalaa’ (III/282-283).
[3]     Dikatakan oleh pen-tahqiq Siyaru A’laamin-Nubalaa’ bahwa para perawinya adalah para perawi yang dipakai dalam kitab Shahih, kecuali Ar-Rabi’ bin Sa’d, akan tetapi ia tsiqah (terpercaya).
[4]     Lihat Siyaru A’laamin-Nubalaa’ (III/283).
[5]     Hadits ini hasan, diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi dan Al-Imam Ibnu Majah. Lihat Shahih Sunan At-Tirmidzi, karya Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah – juz III/539 no. 3775 – Maktabah Al-Ma’arif – Riyadl, cet. I dari terbitan baru, th. 1420 H/2000 M. Dan Shahih Sunan Ibni Majah karya Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah – juz I/64-65 no. 118/143 – Maktabah Al-Ma’aarif – Riyadl, cet. I dari terbitan baru, th. 1417 H/1997 M.
[6]     Lihat Al-Bidaayah wan-Nihaayah (VIII/150).
[7]     Lihat Siyaru A’-laamin-Nubalaa’ (III/287).
[8]     Lihat Al-Bidaayah wan-Nihaayah (VIII/150).
[9]     Ibid. Lihat pula Shahih Sunan At-Tirmidzi (III/540 no. 3778).
[10]    Ibid.
[11]    Lihat misalnya : Siyaru A’laamin-Nubalaa’ (III/300 dll.). Meskipun sesungguhnya ’Umar bin Sa’ sangat tidak menyukai tugas ini. Bahkan akhirnya beliau menyesal dan mengatakan :
ما رجع إلى أهله بشر مما رجعت به، أطعت ابن زياد، وعصيت الله، وقطعت الرحم
”Tidak ada seorang pun yang pulang kepada keluarganya dengan membawa suatu keburukan sebagaimana yang aku bawa. Aku menaati ’Ubaidullah bin Ziyaad, tetapi aku telah durhaka kepada Allah ta’ala, dan telah memutuskan silaturahim”. Lihat Siyaru A’laamin-Nubalaa’ (III/303).
[12]    Lihat Siyaru A’laamin-Nubalaa’ (III/287).
[13]    Lihat Siyaru A’laamin-Nubalaa’ (III/318), Al-Bidaayah wan-Nihaayah (VIII/172), dan Tahdziibut-Tahdziib (II/356).
[14]    Tahdziibut-Tahdziib (II/356).
[15]    Lihat Siyaru A’laamin-Nubalaa’ (III/288-289). Pen-tahqiq kitab ini (Muhammad Na’im Al-’Arqasus dan Ma’muun Sharghaji) mengatakan, hadits itu dan yang senada diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad, Ath-Thabarani, dan lain-lain; sedangkan para perawinya oleh Al-Haitsami dikatakan sebagai para perawi yang tsiqah.
[16]    Lihat Siyaru A’laamin-Nubalaa’ (III/292). Pen-tahqiq kitab ini (Muhammad Na’im Al-’Arqasus dan Ma’muun Sharghaji) mengatakan, riwayat ini diriwayatkan oleh Ath-Thabarani, sedangkan para perawinya oleh Al-Haitsami dikatakan sebagai para perawi yang dipakai dalam kitab Ash-Shahih.
[17]    Lihat Siyaru A’laamin-Nubalaa’ (III/292).
[18]    Lihat Majmu’ Al-Fataawaa (XXV/302).
[19]    Lihat Majmu’ Al-Fataawaa (IV/511).
[20]    Lihat Majmu’ Al-Fataawaa (XXVII/465).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar