Senin, 18 Agustus 2014

KAIDAH-KAIDAH MENGHUKUMI HADITS SHAHIH DAN HADITS DHA'IF

 Penulis: Rizki Maulana

Kaidah di dalam Menghukumi Suatu Hadits
الحمد لله رب العالمين ، والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين ، أما بعد:
Segala puji hanyalah milik Alloh Pemelihara Alam Semesta, Sholawat dan Salam semoga senantiasa terlimpahkan atas Nabi kita Muhammad, kepada keluarga dan seluruh sahabat beliau. Adapun setelah itu :
Berikut ini merupakan kaidah-kaidah yang mesti dilalui oleh seorang peneliti hadits atau pengkritik (nuqad) ketika menghukumi suatu hadits akan keshahihan atau kedha’ifannya.
Ketahuilah –semoga Alloh merohmatiku dan anda- bahwa menghukumi suatu hadits, baik itu keshahihan atau kedha’ifannya, melalui dua cara :
Cara Pertama : menghukumi sanad zhahirnya saja tanpa menilai matannya.
Cara kedua : menghukumi sanadnya secara bathin[1], dimana di sini matannya juga dihukumi (atau dengan kata lain, menghukumi hadits secara keseluruhan).

الخطوة الأولى: الحكم على السند ظاهراً
Cara Pertama : Menghukumi Sanad Secara Zhahir

Ada 5 hal di dalam menghukumi sanad secara zhahir :
Pertama : Membedakan seorang perawi dengan perawi lainnya.[2]
Untuk mengetahui seorang perawi ada beberapa jalan, diantaranya :
a.        Murid perawi tersebut yang menjelaskannya yang tidaklah terancukan (karena keserupaan) dengan perawi lainnya, seperti Abu Nu’aim al-Fadhl bin Dukain yang berkata : Menceritakan kepada kami Sufyan bin ’Uyainah,....
b.        Dari jalan riwayat murid-murid seorang perawi dan guru-gurunya di dalam sanad yang dapat diketahui secara galibnya.[3]
c.        Seorang perawi yang diketahui dengan mulazamah (menekuni) gurunya, maka apabila perawi itu memubhamkan (menyamarkan sebagian identitas) gurunya, dapat diketahui bahwa ia adalah guru perawi yang terbedakan (dengan lainnya), dan apabila tidak maka ia adalah orang lain.
Misalnya, Abu Nu’aim apabila meriwayatkan dari Sufyan ats-Tsauri tidaklah menasabkannya (kepada ats-Tsauri) namun apabila meriwayatkan dari Sufyan bin Uyainah, beliau menyebutkannya.[4]
Contoh berikutnya, Sulaiman bin Harb, apabila meriwayatkan dari Hammad bin Zaid tidak menasabkannya, namun apabila meriwayatkan dari Hammad bin Salamah beliau menasabkannya.[5]
d.        Dari jalan thobaqot[6] seorang perawi dan thobaqot guru-guru dan murid-muridnya.[7]
e.        Adanya seorang imam mu’tabar (terkenal) yang menegaskan bahwa perawi ini adalah Fulan, dari segi tidak ada orang lain yang serupa dengannya. Contohnya : apabila didapatkan di dalam isnad Abu Dawud –misalnya- ada perawi yang mirip dengan selainnya, imam ini[8] akan menunjukkan bahwa perawi yang mirip dengannya tidaklah dikeluarkan oleh Abu Dawud.
f.         Merujuk kepada kitab-kitab al-Muttafaq wal Muftariq[9], kitab-kitab al-Mu’talaf wal Mukhtalaf[10] dan kitab-kitab al-Musytabih[11].
g.        Apabila perawi itu adalah seorang sahabat atau diduga sebagai seorang sahabat, maka merujuk kepada kitab-kitab Shahabah[12]  dan kitab-kitab al-Maroosil[13]
h.        Apabila perawi tersebut berkunyah maka merujuk kepada kitab-kitab al-Kuna[14] dan apabila berlaqob maka merujuk kepada kitab-kitab al-Alqoob.[15]
i.          Apabila tidak memungkinkan untuk membedakan seorang perawi dengan selainnya, maka apabila para perawi ini –atau dua perawi yang serupa- adalah perawi tsiqoot maka sanadnya shahih dengan mempertimbangkan syarat-syarat lainnya di dalam penshahihan hadits dan apabila perawi ini dho’if maka sanadnya juga dha’if. Namun apabila sebagian perawi ini dha’if (dan sebagiannya tsiqot, pent) maka bertawaqquf (mendiamkan)[16] di dalam penshahihan sanad sampai diteliti apakah riwayat ini memiliki mutabi’ (penyerta) atau Syaahid? Akan datang perinciannya di dalam Cara Kedua –insya Allohu Ta’ala-.
Kedua : Mengetahui keadilan (’adalah) seorang perawi : yang demikian ini bisa dengan kemasyhuran perawi atas sifat ’adalah-nya atau bisa juga dengan penegasan seorang imam ”mu’tabar” atas sifat ’adalah-nya, dan yang demikian ini dengan syarat seorang perawi tidak memiliki sesuatupun yang dapat menghilangkan sifat ’adalah-nya.
Apabila seorang perawi tidak masyhur akan keadilannya dan tidak satupun dari ulama mu’tabar mentsiqohkannya, maka ada beberapa keadaan :
a.    Sejumlah perawi tsiqot meriwayatkan darinya dan tidak ada riwayat yang datang darinya diingkari maka ia tsiqoh, dan hal ini semakin diperkuat apabila ia termasuk thobaqot tabi’in senior atau pertengahan.
b.    Riwayat al-Bukhari dan Muslim pada seorang perawi (otomatis) adalah ta’dil atasnya.
c.    Terangkatnya status majhul ’ain-nya dengan riwayat seorang tsiqoh atau dua orang perawi darinya.[17]
d.    Apabila seorang majhul meriwayatkan hadits yang maudhu’ (palsu) atau munkar dan tidaklah ditemukan di dalam sanadnya adanya penyerta yang mengkonfrontasikannya, maka perawi ini dituduh al-Majhul biuhdatihi (tidak diketahui status kelemahannya). [Lihat Miizanul I’tidaal (II/103), (III/91) dan (IV/21).
e.    Apabila seorang imam –diketahui bahwa imam ini tidaklah meriwayatkan melainkah hanya dari tsiqoh- meriwayatkan dari seorang perawi, maka ini merupakan tautsiq (pentsiqohan)-nya terhadap perawi itu dan penghukuman akan ke-’adalah-annya menurut imam tersebut.
f.     Penshahihan seorang imam mu’tabar terhadap suatu sanad hadits dihitung sebagai pentsiqohan terhadap seluruh perawinya.
Ketiga : Mengetahui ke-dhabit-an seorang perawi.
Untuk mengetahui sifat dhabit seorang perawi ada dua cara, yaitu :
à Cara Pertama : Adanya tautsiq para imam terhadap seorang perawi.
à Cara kedua : Menelusuri riwayatnya dan menelitinya, lalu membandingkannya dengan riwayat para tsiqot huffazh. Apabila yang dominan adalah istiqomah (kesesuaian) dan muwafaqoh (keselarasan) maka perawi tersebut adalah tsiqoh dan apabila yang dominan adalah mukholafah (penyelisihan) dan munkaraat maka perawi tersebut adalah dha’if dan matruk (ditinggalkan). Namun apabila didapatkan bahwa riwayatnya ada yang mukholafah namun yang dominan adalah keselarasannya, maka ia adalah perawi yang shoduq dan husnul hadits (haditsnya hasan).[18]
Di sini ada 9 hal di dalam menghukumi seorang perawi, yaitu :
1.    Mengumpulkan pendapat-pendapat ulama yang membicarakan perawi tersebut.
2.    Menguatkan (Ta’akkud) keshahihan penisbatannya kepada mereka.[19]
3.    Mengetahui imam hadits yang dipandang pendapatnya (mu’tamad) dan yang tidak dipandang.[20]
4.    Mengetahui imam yang berbicara tentang seorang perawi, apakah ia seorang murid perawi, ataukah sesama penduduk negeri yang sama, atau seorang yang hidup semasanya (sahabat) ataukah orang yang belakangan darinya.
5.    Mengetahui derajat imam (yang membicarakan perawi), apakah termasuk mu’tadil (pertengahan di dalam menilai perawi), mutasaahil (terlalu lunak di dalam menilai perawi) atau mutasyaddid (terlalu ketat di dalam menilai perawi).
6.    Mengetahui sebab-sebab Jarh dan Ta’dil apabila ada.
7.    Perincian jarh atau naqdh-nya (bantahan yang menggugurkan penilaian) seorang mu’addil (ulama yang menta’dil).
8.    Mengetahui maksud-maksud para imam dari lafazh-lafazh, ungkapan-ungkapan dan harokaat mereka yang berkaitan dengan jarh wa ta’dil.[21]
9.    Menjama’ (mengkompromikan) dan mentarjih (menguatkan salah satunya) apabila pendapat para imam saling kontradiksi di dalam menilai seorang perawi (Kesimpulan pendapat terhadap perawi).
Keempat : Mengetahui hubungan seorang perawi dengan syaikhnya, hal ini memiliki beberapa gambaran :
a.    Apabila syaikhnya termasuk perawi yang mukhtalith (tercampur-baur hafalannya) atau taghoyar (berubah) dengan perubahan yang mempengaruhi riwayatnya, maka dilihat apakah perawi tersebut mendengar darinya sebelum ikhtilath atau taghoyar-nya ataukah setelahnya?
Apabila perawi ini mendengar darinya sebelum ikhtilath atau taghoyar-nya, dan syaikh ini asalnya maqbul (diterima) riwayatnya maka diterima riwayatnya.
Apabila perawi ini mendengar darinya setelah ikhtilath atau taghoyar-nya maka ditolak riwayatkan dan dihukumi sanadnya dha’if.
Apabila tidak diketahui apakah mendengarnya perawi dari syaikhnya ini sebelum ikhtilath ataukah setelahnya, atau mendengar darinya sebelum ikhtilath dan setelahnya dan tidaklah dapat dibedakan sima’ (mendengar)-nya dari syaikhnya, maka ditolak riwayatnya dan dihukumi sanadnya dha’if.[22]
Contohnya : ’Atho` bin as-Saa`ib perawi yang tsiqoh namun mukhtalith, meriwayatkan darinya Syu’bah, Sufyan ats-Tsauri dan Hammad bin Zaid sebelum ikhtilath-nya, dan meriwayatkan darinya Jarir, Khalid bin ‘Abdillah dan Ibnu ‘Aliyah setelah ikhtilath-nya, serta meriwayatkan darinya Hammad bin Salamah sebelum dan setelah ikhtilath-nya.
b.    Mengetahui perihal perawi beserta syaikhnya, apakah dia dha’if di dalam (periwayatan) gurunya ataukah tidak? Apabila ia dha’if maka sanadnya otomatis dha’if, seperti riwayat Sufyan bin Husain al-Wasithi dari az-Zuhri.[23]
c.    Mengetahui perihal perawi terhadap suatu penduduk negeri, apakah dia dha’if di dalam (periwayatan) mereka ataukah tidak?
Apabila ia dha’if di dalam periwayatan mereka sedangkan dia meriwayatkan dari mereka maka sanadnya dha’if, sebagaimana riwayat Isma’il bin ‘Iyasy dari penduduk Hijaz, maka riwayatnya dha’if.[24]
d.    Mengetahui periwayatan perawi terhadap suatu penduduk negeri apabila mereka mengambil periwayatan darinya, apakah mereka (penduduk negeri) adalah dhu’afa` di dalam (periwayatan) darinya ataukah tidak?[25]
Apabila mereka (penduduk suatu negeri) lemah di dalam (periwayatan) darinya sedangkan mereka meriwayatkan darinya maka sanadnya dha’if, sebagaimana riwayat penduduk Syam dari Zuhair bin Muhammad al-Khurosani, maka riwayatnya dha’if.
Kelima : Mengetahui ittishol (bersambungnya) sanad dari inqitho’ (keterputusan)-nya, dalam hal ini ada 7 keadaan :
1.      Apabila rijaal (para perawi) sanad adalah tsiqoot dan mereka menegaskan secara tegas akan sima’ (mendengar)-nya, atau dengan yang dihukumi dengannya maka sanadnya muttashil (bersambung).[26]
2.      Apabila sanadnya dengan ‘an’anah atau semisalnya, maka diperiksa apakah perawi itu sezaman dengan syaikhnya ataukah tidak, apabila tidak sezaman dengan syaikhnya maka sanadnya munqothi’ (terputus).
3.      Apabila seorang perawi sezaman dengan syaikhnya maka diperiksa, apakah ia bertemu dengannya ataukah tidak diketahui pernah bertemu? Apabila ia tidak bertemu syaikhnya maka sanadnya munqothi’.
Dan apabila tidak diketahui bertemunya, maka hukum asal dua perawi yang sezaman adalah bertemu dan mendengar selama tidak didapatkan adanya indikasi yang menunjukkan ketiadaan sima’ seperti ditegaskan oleh imam mu’tabar, atau tidak adanya kemungkinan bertemu dikarenakan usia belia seorang perawi yang tidak memungkinkannya menerima periwayatan, atau perbedaan negeri yang jauh dan tidak adanya rihlah (bepergian untuk mencari hadits).
4.      Apabila seorang perawi bertemu dengan syaikhnya, maka diperiksa apakah ia mendengar darinya ataukah tidak mendengar ataukah tidak diketahui akan sima’ (mendengarnya)? Apabila perawi itu belum pernah mendengar dari gurunya maka sanadnya munqothi’.
Apabila tidak diketahui maka hukum asalnya adalah bertemu dan mendengar selama tidak didapatkan adanya indikasi yang menunjukkan ketiadaan mendengar.
5.      Apabila seorang perawi mendengar dari gurunya, maka diperiksa apakah perawi itu termasuk mudallis ataukah tidak? Apabila bukan seorang mudallis maka sanadnya muttashil.
6.      Apabila perawi itu adalah mudallis dan meriwayatkan dengan ‘an’anah atau semisalnya dari syaikh yang ia mendengar darinya atau yang dihukumi perawi itu mendengar darinya, (diperiksa) :
Apabila perawi itu jarang melakukan tadlis seperti Abu Qilabah ‘Abdullah bin Zaid al-Jarmi atau tidak banyak (sedikit) melakukan tadlis seperti Qotadah, A’masy dan Abu Ishaq al-Subai’i maka dihukumi sanadnya muttashil selama tidak jelas adanya khilaf (pendapat yang menyelisihi)-nya.
Apabila perawi itu termasuk yang sering melakukan tadlis seperti Ibnu Juraij terhadap periwayatan selain ‘Atho`, atau seperti Baqiyah bin Walid, maka bertawaqquf (mendiamkan) atas status ittishal-nya sanad dan dihukumi dengan dha’if sampai menjadi jelas keadaan sanad dengan adanya jalan-jalan riwayat lainnya.
7.      Apabila perawi sezaman dengan syaikhnya dan memungkinkan bertemu dan mendengar darinya namun tidak diketahui ia mendengar darinya, dan ia mayshur (terkenal) dengan melakukan irsal maka sanadnya dihukumi dengan munqothi’. Namun apabila ia tidak masyhur melakukan irsal maka sanadnya muttashil lagi shahih selama tidak datang indikasi yang menjelaskan ketiadaan mendengarnya.
Hasil (Kesimpulan) Cara Pertama :
Apabila suatu sanad selamat dari keseluruhan ‘ilal (cacat/penyakit) yang zhahir (tampak), telah tsabat (tetap) akan sifat ’adalah dan dhabit para perawinya, dan telah shahih akan sima’ (mendengar)-nya perawi antara satu dengan lainnya, maka sanadnya shahih secara zhahir.
Apabila didapatkan sebuah ’illah (cacat) dari cacat-cacat zhahir (di atas) maka sanadnya ditolak tidak diterima.
Apabila kedha’ifan di dalam sanad lebih dekat dan memiliki kemungkinan (shahih) maka akan menjadi sholih (baik) dengan mutaba’at (penyerta) dan syawahid.


الخطوة الثانية: : الحكم على السند باطناً
Cara Kedua : Menghukumi Sanad secara bathin
Pertama : Cara pertama diaplikasikan terhadap sanad hadits yang dikehendaki penghukuman atasnya secara cermat.
Kedua : Dihimpun jalan-jalan hadits yang satu dari Mazhoonni (sumber perkiraan)-nya.
1.      Dari sahabat itu sendiri, akan diketahui al-Mutaba’ah dan al-Mukholafah, diketahui yang syadz dan illat.
2.      Dari sahabat yang meriwayatkan hadits itu sendiri –apabila ada pada mereka atau salah seorangnya- maka termasuk syawahid, dan dapat dihubungkan dengannya hadits-hadits mursal, mu’dhol, mauquf dan maqthu’ yang dihukumi marfu’ atasnya.
Untuk hadits yang dapat menjadi shalih karena syawahid memiliki syarat, yang penting diantaranya adalah : hendaknya hadits itu tidak terlalu dha’if (syadid), tidak syadz dan tidak munkar.
Dan diterapkan cara pertama untuk setiap sanad mutaba’aat dan syawaahid serta mukholafaat.
Peringatan : Takhrij itu memiliki jalan-jalan yang diketahui perinciannya dari sumber perkiraannya.[27]
Ketiga : Menghimpun pendapat-pendapat para imam ahli hadits dan illat hadits[28] seperti Imam Ahmad, Ibnul Madini, Ibnu Ma’in, Abu Hatim, Abu Zur’ah, Abu Dawud, al-Bukhari, at-Turmudzi, an-Nasa`i, ad-Daaruquthni, al-Khothib al-Baghdadi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim, Ibnu Rojab, al-Hafizh al-Iroqi, Ibnu Hajar, Ibnu Mulaqqin, Ahmad Syakir, al-Albani, dan selain mereka terhadap thuruq (metode-metode) yang dihimpun hingga menjadi mudah bagi anda untuk memahami metode para imam ahli hadits di dalam naqd (mengkritik hadits) dan kaifiyat (cara) di dalam menghukumi sanad-sanad hadits, dan hingga anda dapat memetik faidah dari pendapat-pendapat mereka mengenai masalah yang sulit atas anda, dan juga supaya anda dapat mengetahui kapasitas kelemahan diri anda di hadapan para imam yang ahli lagi mendalam ilmunya.
Keempat : Ini merupakan cara kedua yang global dan memerlukan tafshil (perincian) dan tahrir (penegasan istilah), mudah-mudahan masalah ini dapat dibahas dalam waktu dekat –insya Alloh Ta’ala-.
Kelima : Ketahuilah, bahwa menghukumi suatu hadits adalah perkara yang paling sulit dan rumit, tidak ada yang mampu melakukannya kecuali hanya ulama ahli hadits senior. Maka berhati-hatilah di dalam penghukuman hadits dan janganlah tergesa-gesa. Jadikanlah apa yang saya tulis ini adalah suatu pelatihan dan pembelajaran saja bagi anda sampai anda menjadi mantap di dalam ilmu hadits.
Perbanyaklah membaca buku-buku mushtholahul hadits, ilalul hadits, biografi para perawi dan biografi para imam, semoga Alloh memberikan taufiq-Nya atasku dan atas anda kepada apa yang Ia cintai dan Ridhai.
والله أعلم وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
Hanya Allohlah yang lebih tahu. Semoga Sholawat dan Salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarga dan sahabat beliau semuanya.
Ditulis oleh :
Abu Zaid dan Abu ’Umar Usamah bin ’Athaya al-’Utaibi.



[1]  Diantara yang dilontarkan oleh adz-Dzahabi dari hadits-hadits Mustadrak karya al-Hakim : ”Sesungguhnya di dalam kebanyakan hadits-hadits di dalam zhahirnya baik atas syarat salah satu atau kedua-duanya [Bukhari – Muslim], dan di dalam bathin-nya memiliki suatu illat (penyakit) yang khofiyah (samar/tersembunyi) yang mu’atstsaroh (dapat mempengaruhi)” Siyaru A’lamin Nubalaa’ (XVII/174)
[2]  Buku-buku Tarojim (biografi perawi) sangatlah banyak dan bermacam-macam :
a.     Diantaranya adalah biografi yang khusus membahas perawi tsiqoot (kredibel/terpercaya) seperti kitab ats-Tsiqoot karya Ibnu Hibban, dan ada pula yang khusus membahas perawi dhu’afaa` (plural dari dha’if/lemah) seperti kitab adh-Dhu’afaa` ash-Shoghir karya Imam Bukhari. Diantaranya pula ada yang mencakup dan menghimpun perawi tsiqot dan selainnya seperti at-Taarikh al-Kabir karya Imam al-Bukhari.
b.    Diantaranya adalah biografi yang umum tidak khusus hanya untuk rijal (perawi) suatu kitab atau kitab-kitab yang tertentu, seperti at-Taarikh al-Kabir karya Bukhari, Al-Jarh wat Ta’dil karya Ibnu Abi Hatim, dan adapula yang khusus membahas perawi suatu kitab tertentu seperti Tahdzibul Kamal karya al-Mizzi.
c.     Diantaranya adalah biografi yang khusus disusun menurut negeri tertentu seperti kitab Taarikh Jurjaan karya al-Jurjaani, dan adapula yang tidak dikhususkan seperti ini sebagaimana kitab-kitab lainnya yang banyak.
d.    Diantaranya adalah biografi yang disusun menurut tingkatan thobaqoot seperti Thobaqootul Kubroo karya Ibnu Sa’d, ada pula yang disusun berdasarkan nama-nama perawi sebagaimana  mayoritas buku biografi, sebagian lagi ada yang disusun berdasarkan al-Wafiyaat seperti kitab al-Wafiyaat karya ash-Shofadi.
e.    Diantaranya adalah biografi yang disusun khusus untuk syuyukh (guru-guru) sebagian imam (disebut Ma’aajim asy-Syuyukh), ada yang disusun berdasarkan keterangan perawi yang tidak meriwayatkan darinya kecuali hanya seorang perawi saja, seperti kitab al-Munfaridaat dan al-Wihdaan, ada pula yang disusun berdasarkan riwayat al-Akabir (perawi senior) dari al-Ashoghir (perawi junior), As-Sabiq wal Lahiq, ada juga buku-buku al-Ansaab (nasab-nasab perawi), buku-buku riwayat seorang anak dari bapaknya (al-Abnaa` minal Aaba`) atau sebaliknya, dan perawi yang meriwayatkan dari bapaknya dari kakeknya, serta buku-buku as-Su`alaat dan al-’Ilal.
Penyebutan contoh-contohnya akan sangat panjang
[3] Yang demikian ini dengan merujuk kepada buku-buku khusus yang membahas tentangnya, seperti Tahdzibul Kamal karya al-Mizzi, Tahdzibut Tahdzib karya al-Hafizh Ibnu Hajar, Taarikh ad-Dimasyqi karya Ibnu ’Asaakir, Taarikh Baghdad karya al-Khathib, at-Taqyid karya Ibnu Nuqthoh dan Dzailut Taqyid karya at-Taqi al-Faasi...
[4]  Lihat pembahasan anggun yang ditulis oleh adz-Dzahabi di dalam mengangkat keserupaan antara dua Sufyan dan dua Hammad, di Siyari A’laamin Nubalaa` (VII/44-466)
[5]  Lihat Fathul Baari (XIII/285) kitab al-I’tisham, bab Ma Yakrohu min Katsrotis Su`aal no. 7293
[6]  Diantara buku bermanfaat tentang pengenalan Thobaqot adalah : Thobaqot Khalifah bin Khayath, Thobaqot Ibnu Sa’d, ats-Tsiqqot karya Ibnu Hibban, al-Mu’ayyan fi Thobaqoot al-Muhadditsin karya adz-Dzahabi, Tadzkirotul Huffazh karya adz-Dzahabi, Taqriibut Tahdziib karya al-Hafizh Ibnu Hajar,...
[7] Misalnya : Tholq bin Mu’awiyah dari Sufyan ats-Tsauri... terdapat nama seperti ini pada dua orang, yaitu : Tholq bin Mu’awiyah an-Nakho’i seorang tabi’in senior Mukhodhrom*, dan Tholq bin Mu’awiyah bin Yazid dari thobaqoh ke-7. Maka perawi dari Sufyan tidaklah mungkin seorang tabi’in mukhodrom, maka perawi dari Sufyan bisa dipastikan adalah Ibnu Yazid. Lihat Taqribut Tahdzib (hal. 22 - ar-Risalah)
Keterangan : * Mukhodhrom memiliki 3 makna :
a.        Man Lam Yakhtatan (orang yang tidak berkhitan). Namun bukan ini yang dimaksud.
b.        Man Lam Yu’rof Abawaahu (orang yang tidak diketahui kedua orang tuanya), pengertian ini juga kurang tepat.
c.        Man Adrokal Jaahiliyah wal Islam (orang yang menemui zaman jahiliyah dan Islam), dan makna ini yang dituju. Wallohu a’lam. Pent
[8]  Diantara buku bermanfaat mengenai hal ini adalah Tahdzibul Kamal dan Furu’-nya serta Ta’jiilul Manfa’ah karya al-Hafizh Ibnu Hajar
[9]  Seperti : al-Muttafaq wal Muftariq karya al-Khathib al-Baghdadi, dan Muwadhdhoh Awhaam al-Jam’i wat Tafriiq karya al-Khathib juga,...
[10]  Seperti : al-Mu’talaf wal Mukhtalaf karya ’Abdul Ghoni bin Sa’id al-Azdi, al-Mu’talaf wal Mukhtalaf karya ad-Daaruquthni, al-Mu’talaf wal Mukhtalaf karya Ibnu Thohir al-Qoisarooni, dan yang paling lengkap dan luas adalah kitab al-Ikmaal karya al-Amiir Ibnu Makuulaa.
[11]  Seperti : Talkhishul Mutasyaabih karya al-Khathib, Taaliy Talkhish al-Mutasyaabih karya beliau juga, Musytabihun Nisbah karya al-Hafizh ’Abdul Ghoni al-Azdi, Kitab al-Musytabih karya al-Hafizh adz-Dzahabi, kitab Tabshiirul Mutanabbi bi Tahriiril Musytabih karya al-Hafizh Ibnu Hajar dan kitab Taudhihul Musytabih karya Ibnu Nashiruddin
[12]  Buku yang terkenal diantaranya adalah Ma’rifatu ash-Shohabah karya Ibu Nu’aim, Mu’jam ash-Shohabah karya Ibnu Qoni’, al-Istii’aab karya Ibnu ’Abdil Barr, Usudul Ghoobah karya Ibnu Katsir dan al-Ishobah  karya Ibnu Hajar.
[13]  Seperti kitab al-Maroosiil karya Abu Dawud, al-Maroosiil karya Ibnu Abi Hatim dan Tuhfatut Tahshil karya al-Allaa`i.
[14]  Misalnya : kitab al-Kunaa karya Imam al-Bukhari, al-Kunaa karya Imam Muslim, al-Kunaa wal Asmaa` karya ad-Daulaabi, kitab al-Kunaa karya Abu Ahmad al-Haakim dan al-Muntaqo fi Sardil Kunaa karya adz-Dzahabi.
[15]  Seperti : kitab Fathul Baab fil Kunaa wal Alqoob karya Ibnu Mandah, kitab Nuzhatul Albaab fil Alqoob karya al-Hafizh Ibnu Hajar, al-Mizzi telah mengkhususkannya di dalam kitabnya Tahdzibul Kamal sebuah pasal di akhir bukunya tentang alqoob, demikian pula dengan al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam Tahdzib dan Taqrib-nya
[16]  at-Tawaqquf itu bermakna : tidak menerima sanad, yaitu menghukumi kedhaifannya.
[17]  Demikian pula terangkat majhul ’ain-nya dengan pentsiqohan seorang ulama mu’tabar atau ta’dil dari imam mu’tabar.
[18]  Lihat : at-Tankil karya al-‘Allamah al-Mu’allimi (I/66-67), Siyaru A’laamin Nubalaa` (IX/429,95), Mizanul I’tidal (I/521,405), (II/415-41) dan (IV/188,103).
[19]  Menguatkan keshahihan nisbat Jarh dan Ta’dil oleh seorang imam yang berbicara tentangya baik secara sanad maupun matannya. Adapun secara matan, jatuhnya kesalahan di dalam menukil dari para imam, atau menukil secara makna yang diperhitungkan sebagai kekacauan makna, inilah yang dimaksudkan oleh imam yang membicarakannya.
[20]  Lihat kitab : ”Dzikru man Yu’tamadu qouluhu fil Jarhi wat Ta’dil karya al-Hafizh adz-Dzahabi dan risalah al-Hafizh as-Sakohwi yang berjudul al-Mutakallamuna fir Rijaal.
[21] Lihatlah di dalam masalah ini pasal-pasal yang berkaitan dengannya pada buku-buku mushtholah seperti Fathul Mughits karya as-Sakhowi, Syarh Alfaazhu Jarh an-Naadiroh dan Syarh Alfaazhut Ta’diil an-Naadiroh karya DR. Sa’di al-Hasyimi serta Dhowabith al-Jarh wat Ta’dil karya Syaikh ’Abdul ’Aziz al-’Abdul Lathif
[22]  Lihat macam semisal ini : al-Ightibath bi Ma’rifati man Ruwiya bil Ikhtilath karya Sabth Ibnu al-’Ajami, al-Kawaakibu an-Niiroot fi Ma’rifati man Ikhtalatho minar Ruwaat karya Ibnu al-Kiyaal dan Syarh al-’Ilal kara Ibnu Rojab (II/555-598 : DR. ’Itr).
[23]  Lihat macam semisal ini : ats-Tsiqoot alladziina Dho’afuu fii Ba’dhi Syaikhihim karya guru kami, DR. Shalih ar-Rifa’i dan Syarh ‘Ilalit Turmudzi karya Ibnu Rojab (II/621-672).
[24]  Isma’il bin ‘Iyasy dha’if di dalam periwayatan selain dari penduduk negerinya, seperti riwayat penduduk Hijaz, Mesir maupun Iraq.
[25]  Lihat macam semisal ini : Syarh al-‘Ilal karya Ibnu Rojab (II/614-612).
[26]  Inilah yang asal selama tidak jelas ada khilafnya, dan yang demikian ini dengan meneliti jalan-jalan hadits sebagaimana akan datang penjelasannya –insya Alloh- dalam cara kedua.
[27]  Diantara sumbernya adalah : Kitabut Takhriij karya DR. Bakr ’Abdush Shomad ’Aabid, at-Takhirj wa Diroosatul Asaaniid karya Mahmud ath-Thohhan dan Kitabu at-Ta`shil karya DR. Bakr Abu Zaid.
[28]  Diantara buku tersebut adalah : Kitab al-’Ilal karya Ibnul Madini, al-’Ilal wa Ma’rifatur Rijaal karya Imam Ahmad, al-’Ilal karya Ibnu Abi Hatim dan al-’Ilal karya ad-Daaruquthni. Sebagai tambahan juga buku-buku ar-Rijaal (perawi hadits) saja yang mencakup naqd (kritik) para imam terhadap riwayat-riwayat yang jumlahnya banyak sekali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar