Selasa, 15 Juli 2014

ARAB SAUDI BUKANLAH ANTEK AMERIKA SERIKAT

 Penulis: Rizki Maulana
Rasa-rasanya tak ada negara yang lebih menarik untuk dikupas melebihi Saudi Arabia. Sederet frase mungkin langsung terbayang dalam benak kita begitu mendengar nama Saudi. Negeri kelahiran Rasulullah , dua kota suci, Wahabi, minyak, dan sebagainya. Perspektif orang terhadap negara tersebut pun secara umum terbagi dalam dua kutub ekstrem. Mengagumi sedemikian rupa atau membenci sejadi-jadinya.


Bagi yang mengagumi Saudi, negeri yang kini dinakhodai oleh Raja Abdullah tersebut selalu dilihat dalam kaca mata putih sebagai pelindung utama dakwah tauhid, negeri yang sukses mendistribusikan kemakmuran terhadap segenap rakyatnya, negeri yang sukses menegakkan keamanan di segenap penjuru wilayahnya, serta negeri yang konsisten dengan hukum Islam di tengah moderenitas. 

Sementara bagi para pembenci Saudi, negara tersebut selalu dilihat dengan kaca mata hitam sebagai negeri yang lahir dari satu ‘paham’ yang sering dibilang ‘keras dan intoleran’, antek Amerika, pengusung diktatorisme, pembela feodalisme, pengekang hak-hak wanita, serta kehidupan glamour sebagian elitnya.

Namun justru adanya dua perspektif yang saling bertolak belakang itulah yang menyebabkan ‘pesona’ Saudi kian berbinar. Sejumlah karya kontroversi yang bertemakan Saudi selalu menggelitik untuk ditelisik. Sebut saja Dinasti Bush Dinasti Saud, The Girls of Riyadh hingga Kudeta Makkah.

Meski sederet buku tersebut cenderung mendiskreditkan Saudi, namun di sisi lain adanya karya-karya semacam itu justru menunjukkan pengakuan banyak pihak akan eksistensi Saudi. Bahkan sejak lahirnya cikal bakal kerajaan Saudi Arabia lewat dakwah tauhid Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan Imam Muhammad Ibnu Su’ud, gemanya pun langsung berasa di berbagai negeri Muslim. Di tanah air, pengaruh langsung dari dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menjelma dalam gerakan Paderi di tanah Minang.

Biografi memukau Raja Abdul Aziz Ibnu Saud yang dibesarkan di pengasingan dalam kondisi penuh keterbatasan sebelum sukses mendirikan kerajaan Arab Saudi moderen, tak pelak menghadirkan kekaguman pula bagi Bung Karno.
 
Dalam salah satu suratnya yang ditulis di Endeh dan ditujukan kepada Ustadz A. Hassan, Bung Karno menyatakan kekagumannya akan biografi Ibnu Saud dengan ungkapan, “Ia adalah menggambarkan kebesaran Ibnu Saud dan Wahabism begitu rupa, mengkobar-kobarkan element amal, perbuatan begitu rupa, hingga banyak kaum “tafakur” dan kaum pengeramat Husain c.s akan kehilangan akal nanti sama sekali.”

Eksistensi Saudi di mata internasional semakin diakui kala Raja Faisal memimpin embargo minyak terhadap negara-negara Barat pendukung zionis yang mengakibatkan dunia industri di Eropa dan Amerika kalang kabut. Meski kini Saudi menerapkan politik kooperatif terhadap Amerika Serikat dan sekutunya, bukan berarti peran Saudi dipandang sebelah mata.

Satu hal menarik ditulis Craig Unger dalam Dinasti Bush Dinasti Saud. Konon dua hari pasca tragedy 11 September 2001, di saat seluruh lalu lintas udara Amerika Serikat ditutup, Gedung Putih tetap mengizinkan kepergian 140 penumpang pesawat yang kebanyakan warga Saudi dan saudara dekat Osamah bin Laden. Dalam analisis Craig, semua itu tak lepas dari kuatnya lobi duta Saudi terhadap pemerintah Amerika Serikat.

Mencermati hubungan Amerika Serikat-Saudi Arabia memang sangat menarik bila dikaitkan dengan latar belakang kedua negara yang saling bertolak belakang. Amerika Serikat adalah satu negara sekuler yang begitu mendewakan kebebasan dalam segala bidang, sementara Saudi merupakan negara yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai ‘puritanisme’ dalam Islam. Amerika merupakan negara pendukung utama rezim zionis Yahudi, sedangkan Saudi tidak pernah mengakui eksistensi pemerintahan Yahudi di Palestina.

Politik luar negeri Saudi yang bagi banyak orang terlihat kontradiktif dengan ideologi negara yang dianutnya, tak pelak memantik minat banyak pengamat untuk melontarkan sejumlah teori. Secara umum, teori tersebut menyebutkan bahwa kedekatan hubungan Saudi-AS semata-mata didasari atas simbiosis mutualisme antara kedua negara. AS yang merupakan negara konsumen minyak terbesar dunia membutuhkan limpahan suplai minyak dari Saudi, sementara Saudi membutuhkan peralatan militer dari AS guna menjaga kedaulatan wilayahnya.
Apapun itu, identitas Saudi sebagai negara ‘Wahabi’ di satu sisi dan sebagai negara yang kerap diberikan stigma sekutu Amerika di sisi lain, menyebabkannya dimusuhi oleh beberapa kelompok yang sejatinya satu sama lain pun saling mengusung ideologi bertolak belakang. Beberapa kelompok dimaksud antara lain adalah kalangan liberal, Syi’ah, Al-Qaeda, dan tradisionalis.
Di mata kaum liberal, Saudi yang konsisten menegakkan hukum Islam di segenap lini merupakan ancaman nyata bagi proyek mereka yang mengusung kampanye “hukum Islam tak lagi relevan saat ini.” Tegaknya Islam di Saudi yang berefek pada pemerataan kemakmuran terhadap segenap rakyatnya merupakan satu bukti bahwa seluruh hukum yang termaktub dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah tetap relevan sampai kapanpun.

Bagi kalangan Syi’ah, Saudi dianggap sebagai batu sandungan utama dalam menyebarkan aliran menyimpang tersebut ke segenap penjuru dunia. Bahkan Saudi turut menggagalkan secara langsung revolusi Syi’ah di Bahrain dengan mengirimkan pasukan militer untuk melindungi pemerintah Sunni di negeri tersebut. Maka untuk menggaet simpati kaum Muslimin secara umum, orang-orang Syi’ah menyebarkan propaganda dengan membuat kebohongan bahwa Republik “Syi’ah” Iran merupakan negara yang berada di garda terdepan dalam menentang Amerika dan Israel. Namun faktanya, Iran yang dituding mengembangkan senjata nuklir tidak pernah sekalipun terlibat peperangan terbuka dengan Amerika maupun Israel.

Sedangkan di mata kelompok Al-Qaeda dan para pengusung ‘Islam radikal’, Saudi dianggap sebagai negara kafir lantaran sikap kooperatifnya dengan Amerika. Hal itu sebagaimana dinyatakan oleh Osama bin Laden yang menegaskan bahwa Saudi tidak layak disebut negara Islam karena dinilai sebagai antek Amerika. Konsekuensi dari stigma kafir terhadap pemerintah Saudi oleh Al-Qaeda, berimplikasi pada meletusnya teror bom Riyadh 2004.

Dan dalam pandangan kaum tradisionalis yang mencampuradukkan ajaran Islam dengan budaya lokal, eksistensi Saudi dianggap sebagai musuh karena merupakan pendukung utama dakwah pemurnian Islam. Setiap tahunnya pemerintah Saudi memberikan beasiswa kepada ribuan pelajar dari segala penjuru dunia untuk menimba ilmu di negeri tersebut. Sepulang dari Saudi, mereka yang lulus dari universitas Islam di negara itu menjadi penyeru dakwah tauhid yang mementang segala praktek bid’ah dan kemusyrikan. Saudi juga memiliki sejumlah Perguruan Tinggi Islam di berbagai negeri Muslim, seperti LIPIA di Indonesia dengan misi utama menebarkan dakwah tauhid. Maka tak heran, kaum tradisionalis yang praktek beragamanya masih lekat dengan kemusyrikan selalu menempatkan Saudi sebagai negara yang dimusuhi.
Menariknya, keempat kelompok di atas kerapkali menggunakan isu kedekatan Saudi dan Amerika sebagai senjata untuk mendiskreditkan negeri kerajaan tersebut. Satu pemandangan aneh, kalangan liberal dan tradisionalis merupakan kelompok yang paling alergi terhadap segala teori konspirasi Yahudi yang dilontarkan oleh kalangan ‘Islam pergerakan’ (baik Hizbut Tahrir, PKS, maupun Ikhwanul Muslimin). Namun bila konspirasi Yahudi itu menyangkut ‘hubungan rahasia Israel-Saudi’, mereka berada di garda terdepan dalam menyebarkan isu tersebut ke tengah umat.
Mencermati kebijakan luar negeri Saudi, sejatinya tidak melulu soal poros Riyadh-Washington. Ada banyak kebijakan luar negeri Saudi yang berdampak positif bagi solidaritas sesama Muslim. Di samping besarnya peran Saudi dalam bidang pendidikan, lewat kebijakan pemberian beasiswa besar-besaran kepada para pelajar Muslim untuk melanjutkan studi ke negeri tersebut serta pendirian universitas-universitas Islam di mancanegara maupun sumbangan dana kepada yayasan yang menaungi dakwah di berbagai penjuru dunia, Saudi merupakan satu-satunya negara di dunia yang sudah sejak lama membuka pintu lebar-lebar kepada para pengungsi Rohingya.

Bila kehidupan warga Muslim Rohingya di negara asalnya sangat memprihatinkan akibat kebijakan represif penguasa Buddhist, serta yang mengungsi ke negara lain pun nasibnya terkatung-katung, tidak demikian dengan warga Muslim Rohingya di Saudi. Semenjak Raja Abdul Aziz menawari perlindungan keamanan kepada pengungsi Rohingya di negaranya tahun 1968, saat ini terdapat ratusan ribu umat Muslim Rohingya yang tinggal di negeri kelahiran Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam itu.
 
Bahkan pada Maret lalu, pemerintah Saudi memberikan status kewarganegaraan kepada 250 ribu Muslim Rohingya. Itu artinya kini mereka berhak atas fasilitas kesehatan, pendidikan, dan hak mendapatkan pekerjaan yang setara dengan penduduk lokal. “Dunia baru menyadari penderitaan Rohingya di Burma kurang dari setahun lalu. Tapi Arab Saudi adalah negara satu-satunya yang peduli penderitaan mereka sejak lama,” kata Abdullah Marouf, sekretaris jenderal komunitas Burma dan kepala Global Rohingya Center di Jeddah, dilansir Arab News (selengkapnya lihat di sini).

Tak hanya terhadap Muslim Rohingya pemerintah Saudi memberikan uluran tangan. Tatkala terjadi tsunami Aceh penghujung tahun 2004, pemerintah dan rakyat Saudi juga menyumbang US$ 30 juta (Rp 4,8 triliun), di mana semua sumbangan itu berbentuk hibah.
 
Di kesempatan lain, pasca terjadinya serangan udara secara ofensif pasukan zionis terhadap jalur Gaza selama beberapa pekan di awal tahun 2009, pemerintah dan rakyat Arab Saudi juga memberikan bantuan senilai 1 miliar dollar untuk rehabilitasi kota Gaza. Sayangnya, besarnya sumbangan Saudi kepada dunia Islam memang jarang terekspose media lantaran berita yang semacam itu dianggap ‘kurang menjual’.

Dengan demikian, semenjak lahirnya cikal bakal kerajaan Arab Saudi hingga hari ini, tak ada yang mengingkari bahwa Saudi merupakan negara yang paling berpengaruh terhadap dunia Islam. Berkembangnya seruan revivalisasi (pemurnian) Islam yang bergema di berbagai negeri Muslim, termasuk Indonesia belakangan ini, tak lepas dari peran Saudi Arabia.

Meskipun bagi sebagian kalangan ‘Islam pergerakan’, eksistensi Saudi kerap diabaikan lantaran hubungan diplomatiknya dengan Amerika, namun sumbangan Saudi dalam bidang sosial dan pendidikan terhadap dunia Islam tetap tak terbantahkan.
Terkait hal ini, satu catatan yang seharusnya diingat oleh kelompok-kelompok ‘pejuang khilafah’ adalah, tatkala kondisi umat Islam tengah tercerai-berai bak buih di lautan, maka mendahulukan konsolidasi antara sesama negeri Muslim jauh lebih utama ketimbang sikap-sikap konfrotatif terhadap Amerika dan sekutunya!

1 komentar:

  1. Bagus sekali tulisan antum. Barokallahu fiyka wa jazakallahu khairon. Semoga umat islam tercerahkan dgn tulisan ini dan kembali beraislam tauhid.

    BalasHapus