Penulis: Rizki Maulana
Rasa-rasanya tak ada negara yang lebih
menarik untuk dikupas melebihi Saudi Arabia. Sederet frase mungkin
langsung terbayang dalam benak kita begitu mendengar nama Saudi. Negeri
kelahiran Rasulullah , dua kota suci, Wahabi, minyak, dan sebagainya.
Perspektif orang terhadap negara tersebut pun secara umum terbagi dalam
dua kutub ekstrem. Mengagumi sedemikian rupa atau membenci sejadi-jadinya.
Bagi yang mengagumi Saudi, negeri yang
kini dinakhodai oleh Raja Abdullah tersebut selalu dilihat dalam kaca
mata putih sebagai pelindung utama dakwah tauhid, negeri yang sukses
mendistribusikan kemakmuran terhadap segenap rakyatnya, negeri yang
sukses menegakkan keamanan di segenap penjuru wilayahnya, serta negeri
yang konsisten dengan hukum Islam di tengah moderenitas.
Sementara bagi para pembenci Saudi, negara tersebut selalu dilihat dengan kaca mata hitam sebagai negeri yang lahir dari satu ‘paham’ yang sering dibilang ‘keras dan intoleran’, antek Amerika, pengusung diktatorisme, pembela feodalisme, pengekang hak-hak wanita, serta kehidupan glamour sebagian elitnya.
Namun justru adanya dua perspektif yang
saling bertolak belakang itulah yang menyebabkan ‘pesona’ Saudi kian
berbinar. Sejumlah karya kontroversi yang bertemakan Saudi selalu
menggelitik untuk ditelisik. Sebut saja Dinasti Bush Dinasti Saud, The Girls of Riyadh hingga Kudeta Makkah.
Meski sederet buku tersebut cenderung
mendiskreditkan Saudi, namun di sisi lain adanya karya-karya semacam itu
justru menunjukkan pengakuan banyak pihak akan eksistensi Saudi. Bahkan
sejak lahirnya cikal bakal kerajaan Saudi Arabia lewat dakwah tauhid
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan Imam Muhammad Ibnu Su’ud, gemanya
pun langsung berasa di berbagai negeri Muslim. Di tanah air, pengaruh langsung dari dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menjelma dalam gerakan Paderi di tanah Minang.
Biografi memukau Raja Abdul Aziz Ibnu
Saud yang dibesarkan di pengasingan dalam kondisi penuh keterbatasan
sebelum sukses mendirikan kerajaan Arab Saudi moderen, tak pelak menghadirkan kekaguman pula bagi Bung Karno.
Dalam salah satu suratnya yang ditulis di
Endeh dan ditujukan kepada Ustadz A. Hassan, Bung Karno menyatakan
kekagumannya akan biografi Ibnu Saud dengan ungkapan, “Ia
adalah menggambarkan kebesaran Ibnu Saud dan Wahabism begitu rupa,
mengkobar-kobarkan element amal, perbuatan begitu rupa, hingga banyak
kaum “tafakur” dan kaum pengeramat Husain c.s akan kehilangan akal nanti
sama sekali.”
Eksistensi Saudi di mata internasional semakin diakui kala
Raja Faisal memimpin embargo minyak terhadap negara-negara Barat
pendukung zionis yang mengakibatkan dunia industri di Eropa dan Amerika
kalang kabut. Meski kini Saudi menerapkan politik kooperatif
terhadap Amerika Serikat dan sekutunya, bukan berarti peran Saudi
dipandang sebelah mata.
Satu hal menarik ditulis Craig Unger dalam Dinasti Bush Dinasti Saud.
Konon dua hari pasca tragedy 11 September 2001, di saat seluruh lalu
lintas udara Amerika Serikat ditutup, Gedung Putih tetap mengizinkan
kepergian 140 penumpang pesawat yang kebanyakan warga Saudi dan saudara
dekat Osamah bin Laden. Dalam analisis Craig, semua itu tak lepas dari kuatnya lobi duta Saudi terhadap pemerintah Amerika Serikat.
Mencermati hubungan Amerika Serikat-Saudi
Arabia memang sangat menarik bila dikaitkan dengan latar belakang kedua
negara yang saling bertolak belakang. Amerika Serikat adalah satu negara sekuler yang begitu mendewakan kebebasan dalam segala bidang, sementara Saudi merupakan negara yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai ‘puritanisme’ dalam Islam. Amerika merupakan negara pendukung utama rezim zionis Yahudi, sedangkan Saudi tidak pernah mengakui eksistensi pemerintahan Yahudi di Palestina.
Politik luar negeri Saudi yang bagi
banyak orang terlihat kontradiktif dengan ideologi negara yang
dianutnya, tak pelak memantik minat banyak pengamat untuk melontarkan
sejumlah teori. Secara umum, teori
tersebut menyebutkan bahwa kedekatan hubungan Saudi-AS semata-mata
didasari atas simbiosis mutualisme antara kedua negara. AS yang merupakan negara konsumen minyak terbesar dunia membutuhkan limpahan suplai minyak dari Saudi, sementara Saudi membutuhkan peralatan militer dari AS guna menjaga kedaulatan wilayahnya.
Apapun itu, identitas Saudi sebagai negara ‘Wahabi’ di satu sisi dan sebagai negara yang kerap diberikan stigma sekutu Amerika di sisi lain, menyebabkannya dimusuhi oleh beberapa kelompok yang sejatinya satu sama lain pun saling mengusung ideologi bertolak belakang. Beberapa kelompok dimaksud antara lain adalah kalangan liberal, Syi’ah, Al-Qaeda, dan tradisionalis.
Di mata kaum liberal, Saudi yang konsisten menegakkan hukum Islam di segenap lini merupakan ancaman nyata bagi proyek mereka yang mengusung kampanye “hukum Islam tak lagi relevan saat ini.” Tegaknya
Islam di Saudi yang berefek pada pemerataan kemakmuran terhadap segenap
rakyatnya merupakan satu bukti bahwa seluruh hukum yang termaktub dalam
Al-Qur’an dan Al-Sunnah tetap relevan sampai kapanpun.
Bagi kalangan Syi’ah, Saudi dianggap sebagai batu sandungan utama dalam menyebarkan aliran menyimpang tersebut ke segenap penjuru dunia. Bahkan
Saudi turut menggagalkan secara langsung revolusi Syi’ah di Bahrain
dengan mengirimkan pasukan militer untuk melindungi pemerintah Sunni di
negeri tersebut. Maka untuk menggaet simpati kaum Muslimin secara umum, orang-orang
Syi’ah menyebarkan propaganda dengan membuat kebohongan bahwa Republik
“Syi’ah” Iran merupakan negara yang berada di garda terdepan dalam
menentang Amerika dan Israel. Namun
faktanya, Iran yang dituding mengembangkan senjata nuklir tidak pernah
sekalipun terlibat peperangan terbuka dengan Amerika maupun Israel.
Sedangkan di mata kelompok Al-Qaeda dan para pengusung ‘Islam radikal’, Saudi dianggap sebagai negara kafir lantaran sikap kooperatifnya dengan Amerika. Hal
itu sebagaimana dinyatakan oleh Osama bin Laden yang menegaskan bahwa
Saudi tidak layak disebut negara Islam karena dinilai sebagai antek
Amerika. Konsekuensi dari stigma kafir terhadap pemerintah Saudi oleh Al-Qaeda, berimplikasi pada meletusnya teror bom Riyadh 2004.
Dan dalam pandangan kaum tradisionalis yang mencampuradukkan ajaran Islam dengan budaya lokal, eksistensi Saudi dianggap sebagai musuh karena merupakan pendukung utama dakwah pemurnian Islam. Setiap
tahunnya pemerintah Saudi memberikan beasiswa kepada ribuan pelajar
dari segala penjuru dunia untuk menimba ilmu di negeri tersebut. Sepulang
dari Saudi, mereka yang lulus dari universitas Islam di negara itu
menjadi penyeru dakwah tauhid yang mementang segala praktek bid’ah dan
kemusyrikan. Saudi juga memiliki sejumlah Perguruan Tinggi Islam
di berbagai negeri Muslim, seperti LIPIA di Indonesia dengan misi utama
menebarkan dakwah tauhid. Maka tak
heran, kaum tradisionalis yang praktek beragamanya masih lekat dengan
kemusyrikan selalu menempatkan Saudi sebagai negara yang dimusuhi.
Menariknya, keempat kelompok di atas kerapkali menggunakan isu kedekatan Saudi dan Amerika sebagai senjata untuk mendiskreditkan negeri kerajaan tersebut. Satu pemandangan aneh, kalangan liberal dan tradisionalis merupakan kelompok yang paling alergi terhadap segala teori konspirasi Yahudi yang dilontarkan oleh kalangan ‘Islam pergerakan’ (baik Hizbut Tahrir, PKS, maupun Ikhwanul Muslimin). Namun bila konspirasi Yahudi itu menyangkut ‘hubungan rahasia Israel-Saudi’, mereka berada di garda terdepan dalam menyebarkan isu tersebut ke tengah umat.
Mencermati kebijakan luar negeri Saudi,
sejatinya tidak melulu soal poros Riyadh-Washington. Ada banyak
kebijakan luar negeri Saudi yang berdampak positif bagi solidaritas
sesama Muslim. Di samping besarnya peran Saudi dalam bidang pendidikan,
lewat kebijakan pemberian beasiswa besar-besaran kepada para pelajar
Muslim untuk melanjutkan studi ke negeri tersebut serta pendirian
universitas-universitas Islam di mancanegara maupun sumbangan dana
kepada yayasan yang menaungi dakwah di berbagai penjuru dunia, Saudi merupakan satu-satunya negara di dunia yang sudah sejak lama membuka pintu lebar-lebar kepada para pengungsi Rohingya.
Bila kehidupan warga Muslim Rohingya di
negara asalnya sangat memprihatinkan akibat kebijakan represif penguasa
Buddhist, serta yang mengungsi ke negara lain pun nasibnya
terkatung-katung, tidak demikian dengan warga Muslim Rohingya di Saudi. Semenjak
Raja Abdul Aziz menawari perlindungan keamanan kepada pengungsi
Rohingya di negaranya tahun 1968, saat ini terdapat ratusan ribu umat
Muslim Rohingya yang tinggal di negeri kelahiran Nabi Shalallahu ‘alaihi
wasallam itu.
Bahkan pada Maret lalu, pemerintah Saudi
memberikan status kewarganegaraan kepada 250 ribu Muslim Rohingya. Itu
artinya kini mereka berhak atas fasilitas kesehatan, pendidikan, dan hak
mendapatkan pekerjaan yang setara dengan penduduk lokal. “Dunia
baru menyadari penderitaan Rohingya di Burma kurang dari setahun lalu.
Tapi Arab Saudi adalah negara satu-satunya yang peduli penderitaan
mereka sejak lama,” kata Abdullah Marouf, sekretaris
jenderal komunitas Burma dan kepala Global Rohingya Center di Jeddah,
dilansir Arab News (selengkapnya lihat di sini).
Tak hanya terhadap Muslim Rohingya pemerintah Saudi memberikan uluran tangan. Tatkala
terjadi tsunami Aceh penghujung tahun 2004, pemerintah dan rakyat Saudi
juga menyumbang US$ 30 juta (Rp 4,8 triliun), di mana semua sumbangan
itu berbentuk hibah.
Di kesempatan lain, pasca terjadinya
serangan udara secara ofensif pasukan zionis terhadap jalur Gaza selama
beberapa pekan di awal tahun 2009, pemerintah dan rakyat Arab Saudi juga memberikan bantuan senilai 1 miliar dollar untuk rehabilitasi kota Gaza. Sayangnya,
besarnya sumbangan Saudi kepada dunia Islam memang jarang terekspose
media lantaran berita yang semacam itu dianggap ‘kurang menjual’.
Dengan
demikian, semenjak lahirnya cikal bakal kerajaan Arab Saudi hingga hari
ini, tak ada yang mengingkari bahwa Saudi merupakan negara yang paling
berpengaruh terhadap dunia Islam. Berkembangnya seruan
revivalisasi (pemurnian) Islam yang bergema di berbagai negeri Muslim,
termasuk Indonesia belakangan ini, tak lepas dari peran Saudi Arabia.
Meskipun
bagi sebagian kalangan ‘Islam pergerakan’, eksistensi Saudi kerap
diabaikan lantaran hubungan diplomatiknya dengan Amerika, namun sumbangan Saudi dalam bidang sosial dan pendidikan terhadap dunia Islam tetap tak terbantahkan.
Terkait hal ini, satu catatan yang seharusnya diingat oleh kelompok-kelompok ‘pejuang khilafah’ adalah, tatkala kondisi umat Islam tengah tercerai-berai bak buih di lautan, maka mendahulukan konsolidasi antara sesama negeri Muslim jauh lebih utama ketimbang sikap-sikap konfrotatif terhadap Amerika dan sekutunya!
Bagus sekali tulisan antum. Barokallahu fiyka wa jazakallahu khairon. Semoga umat islam tercerahkan dgn tulisan ini dan kembali beraislam tauhid.
BalasHapus