Penulis: Rizki Maulana
Islam telah menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagai hakim dalam setiap perkara syari’at. Oleh karena itu, para
Salafush Shalih dari kalangan Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in, dan
generasi setelahnya sepakat tentang wajibnya berpegang teguh pada Sunnah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meninggalkan semua perkataan
manusia yang menyelisihinya, tanpa kecuali. Maka orang-orang yang
sejalan dengan mereka inilah yang disebut dengan Ahlus Sunnah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendakwahkan Islam
kepada para Shahabat atas dasar ilmu dan wahyu dari Rabbul ‘Alamin. Oleh
karena itu, Islam mendasari segala sesuatu dengan ilmu dan keadilan.
Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,
قُلْ هَـذِهِ سَبِيْلِى أَدْعُواإِلَى اللهِۚ عَلَى بَصِيْرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِىۖ …
Artinya: “Katakanlah (Muhammad), ‘Inilah jalanku yang lurus, aku dan
orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan ilmu.’” (Qs. Yusuf: 108)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyeru manusia kepada agama Allah atas dasar ilmu (بَصِيْرَةٍ ),
keyakinan (يَقِيْن ), dalil syar’i (بُرْهَان شَرْعِي ), dan dalil aqli
(عَقْلِي ). [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (IV/422)]
Disisi lain, ada sekelompok manusia yang dengan kelemahan mereka
terhadap syari’at telah mengangkat para kyai, para imam, atau
tokoh-tokoh mereka menjadi hakim dalam perkara syari’at dan menempatkan
mereka dalam kedudukan yang lebih tinggi daripada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka berkata, “Kami mengambil apa yang telah diputuskan Imam kami dan kami tidak mempedulikan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Imam kami adalah orang yang kami percaya dan orang yang paling mengerti tentang Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada kami.” [Lihat Muqaddimah Shifat Shalatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (hal. 72)]
Itulah ciri khas mereka yang mengakibatkan pengetahuan mereka tentang Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjadi terbatas dan pemahaman mereka tentang syari’at menjadi sempit.
Mereka itulah orang-orang yang telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pada kesempatan kali ini –dengan memohon Taufiq dari Allah, penulis akan
mencoba mengetengahkan sebuah pembahasan tentang taqlid dalam tinjauan
syari’at. Semoga tulisan ini dapat menjadi referensi tersendiri bagi
para pembaca untuk memahami pentingnya berpegang teguh kepada Sunnah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
PENGERTIAN TAQLID
Taqlid secara bahasa adalah meletakkan kalung ke leher. Dan
terkadang kata ini digunakan meng-istilahkan: menyerahkan sesuatu
perkara kepada seseorang, seakan-akan perkara tersebut diletakkan di
lehernya, seperti kalung. [Lihat Misbahul Munir (hal. 512), Lisanul ‘Arab (III/367), Mudzakkirah Ushul Fiqh (hal. 314), Syarah Ushul min ‘Ilmil Ushul (hal. 593) dan Mulia dengan Manhaj Salaf (hal. 296)]
Taqlid menurut istilah adalah mengambil pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya. [Lihat Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (II/173), I’lamul Muwaqqi’in (III/464), Mudzakkirah Ushul Fiqh (hal. 314), Majmu’ Fatawa (XXXV/233), Syarah Ushul min ‘Ilmil Ushul (hal. 593), dan Mulia dengan Manhaj Salaf (hal. 296)]
CELAAN TERHADAP TAQLID
Kesesatan merupakan buah dari taqlidnya seseorang terhadap ajaran nenek
moyangnya, keterbatasan akalnya, dan atau hawa nafsunya yang mengajaknya
ke dalam kedurhakaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Inilah yang
menjadi sebab suatu kaum menolak dakwah Rasul mereka. Inilah juga yang
menjadi sebab kekufuran kaum Yahudi dan Nashara, karena telah taqlid
kepada pendeta-pendeta dan rahib-rahib mereka. Dan inilah juga yang
menjadi sebab kesesatan para ahli bid’ah akibat memperturutkan kemauan
hawa nafsu mereka.
Allah Jalla wa ‘Ala berfirman dalam kitab-Nya yang mulia,
وَكَذَ لِكَ مَآ أَرْ سَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ
نَّذِيْرٍ إِلاَّ قَالَ مُتْرَ فُوهَآ إِنَّا وَجَدْنَآ ءَابَآءَنَا عَلَى
أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى ءَاثَرِهِمْ مُّقْتَدُوْنَ قَـلَ أَوَلَوْ
جِئْتُكُمْ بِأَهْـدَى مِمَّا وَجَدْتُّمْ عَلَيْهِ ءَابَآءَكُمْۖ قَالُوا
إِنَّا بِمَآ أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَفِرُونَ
Artinya: “Dan demikian juga ketika Kami mengutus seorang pemberi
peringatan sebelum engkau (Muhammad) dalam suatu negeri, orang-orang
yang hidup mewah (di negeri itu) selalu berkata, ‘Sesungguhnya kami
mendapati nenek moyang kami menganut suatu (agama) dan sesungguhnya kami
sekadar pengikut jejak-jejak mereka.’ Rasul itu berkata, ‘Apakah (kamu
akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih
baik daripada apa yang kamu peroleh dari (agama) yang dianut nenek
moyangmu?’ Mereka menjawab, ‘Sungguh kami mengingkari (agama) yang kamu
diperintahkan untuk menyampaikannya.” (Qs. Az-Zukhruf: 23-24)
Imam lbnu ‘Abdil Barr rahimahullah berkata, “Hal itu disebabkan
taqlidnya mereka terhadap (agama) nenek moyang mereka, sehingga mereka
tidak mau mengikuti petunjuk Rasul.” [Lihat Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (II/160)]
Allah juga berfirman,
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِيْنَ يَزْعُمُوْنَ أَنَّهُمْ اَمَنُوْا بِمَآ
أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَآ أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيْدُوْنَ أَنْ
يَّتَحَا كَمُوْا إِلَى الطَّاغُوْتِ وَقَدْ أُمِرُوْا أَنْ يَّكْـفُرُوْا
بِهِۗ وَيُرِيْدُ الشَّيْطَنُ أَنْ يُّضِلَّهُمْ ضَلَـلاً بَعِيْدًا
وَإِذَ قِيْلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَآأَنْزَلَ اللهُ وَإِلَى
الرَّسُوْلِ رَأَيْتَ الْمُنَـفِقِيْنَ يَصُدُّوْنَ عَنْكَ صُدُوْدًا
Artinya: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku
dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa
yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut,
padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu, dan setan
bermaksud menyesatkan mereka (dengan) kesesatan yang sejauh-jauhnya.
Apabila dikatakan kepada mereka: ‘Marilah kamu (tunduk) kepada hukum
yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul, niscaya kamu lihat
orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari
(mendekati)mu.” (Qs. An-Nisa: 60-61)
Mujahid rahimahullah berkata tentang pengertian thaghut: “Thaghut
adalah setan dalam bentuk manusia, dimana banyak orang berhukum
kepadanya dan dialah yang mengatur urusan mereka.” [Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim dalam surat An-Nisa’ ayat 51]
Dan firman-Nya yang lain,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَّلاَمُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ
وَرَسُوْلُهُ أَمْرًا أَنْ يَّكُوْنَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْۗ
وَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ ضَلَّى ضَلَلاً مُّبِيْنًا
Artinya: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki mukmin dan tidak (pula)
bagi perempuan mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka
sungguhlah ia telah sesat dalam kesesatan yang nyata.” (Qs. Al-Ahzab: 36)
Seorang awam yang taqlid akan mengambil seorang alim sebagai rujukannya.
Dan dia menjadikan orang alim tersebut sebagai satu-satunya pedoman
dalam menentukan hukum syari’at, padahal orang alim yang diambilnya itu
bukanlah seorang yang ma’shum (terpelihara dari dosa). Selain
itu, para ulama yang dijadikan pedoman oleh orang-orang yang taqlid
tadi, telah berlepas diri dari sikap mereka yang jumud (kaku) dan ta’ashshub (fanatik). Sebagaimana telah disebutkan dalam firman Allah berikut ini,
إِذْ تَبَرَّاَ الَّذِيْنَ اتُّبِعُوْا مِنَ الَّذِيْنَ التَّبَعُوْا وَرَاَوُاالْعَـذَابَ وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ الْأَسْبَابُ
Artinya: “Ketika orang-orang yang diikuti (itu) berlepas diri dari
orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa, dan (ketika)
segala hubungan antara mereka terputus.” (Qs. Al-Baqarah: 166)
Imam Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah berkata, “Para ulama berpendapat dengan (menggunakan) ayat ini (sebagai hujjah) untuk menyalahkan taqlid.” [Lihat Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (II/160)]
‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu pernah berkata,
“Ketahuilah, janganlah kalian taqlid kepada seseorang dalam agamanya.
Jika orang itu beriman, maka beriman (juga orang yang taqlid padanya).
Dan jika orang itu kafir, maka kafir (juga orang yang taqlid padanya).
Karena itu, tidak ada teladan dalam hal keburukan.” [Lihat Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (II/168)]
Itulah dampak buruk dari sikap taqlid seorang yang awam dan senantiasa
menerima segala hal yang diberikan kepadanya tanpa dikritisi terlebih
dahulu. Semakin lama dia taqlid, semakin dia akan terbiasa untuk
menerima segala sesuatunya ‘bulat-bulat’, entah yang diterimanya itu
adalah ‘madu’ ataukah ‘racun’.
PARA IMAM MADZHAB TELAH MELARANG TAQLID
Di Indonesia, kita mengenal empat madzhab besar dalam Islam, yaitu:
1. Madzhab Hanafi, yang dinisbatkan pada Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit rahimahullah.
Beliau adalah imamnya penduduk Irak, yang lahir pada tahun 80 Hijriyah
dan wafat pada tahun 150 Hijriyah. Beliau pernah berkata,
إِذَا قُلْتُ قَوْلاً يُخُالِفُ كِتَابَ اللهِ تَعَالَى وَخَبَرَ الرَّسُوْلِ صلى الله عليه وسلم، فَاتْرُكُوْا قَوْلِيْ!
Artinya: “Jika aku mengatakan suatu pendapat yang menyelisihi Kitabullah dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah pendapatku.”
[Diriwayatkan oleh Imam Al-Fullani dalam Iqazhul Himam (hal. 50). Lihat juga Muqaddimah Shifat Shalatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, (hal. 48)]
2. Madzhab Maliki, yang dinisbatkan pada Imam Abu ‘Abdillah Malik bin Anas rahimahullah.
Beliau adalah imam Darul Hijrah Madinah, yang lahir pada tahun 93
Hijriyah dan wafat pada tahun 179 Hijriyah. Beliau pernah berkata,
إِنَّمَا أَنَا بَشْرٌ، أُخْطِئُ وَأُصِيْبُ، فَانْظُرُوْا فِي
رَأْيِيْ؛ فَـكُلُّ مَا وَافَقَ الْكِتَابَ وَ السُّنَّةَ فَخُذُوْهُ، وَ
كُلُّ مَا لَمْ يُوَافِقِ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ فَاتْرُكُوْهُ!
Artinya: “Sesungguhnya aku hanya seorang manusia yang bisa salah dan
bisa benar, maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapatku yang
sejalan dengan Al-Kitab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah, maka ambillah. Dan
setiap pendapatku yang tidak sejalan (menyelisihi) Al-Kitab dan
As-Sunnah, maka tinggalkanlah dia.”
[Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil ‘Ilmi (I/622), Ibnu Hazm dalam Ushulul Ahkam (VI/149), dan Imam Al-Fullani dalam Iqazhul Himam (hal. 72). Lihat juga Muqaddimah Shifat Shalatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, (hal. 48)]
3. Madzhab Syafi’i, yang dinisbatkan pada Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rahimahullah. Beliau dilahirkan pada tahun 150 Hijriyah dan wafat pada tahun 204 Hijriyah. Beliau pernah berkata,
كُلُّ مَا قُلْتُ فَكَانَ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم خِلاَفُ
قَوْلِيْ مِمَّا يَصِحُّ فَحَدِيْثُ النَّبِيِّ أَوْلَى، فَلاَ
تُقَلِّدُوْنِيْ .
Artinya: “Setiap dari perkataanku, kemudian ada riwayat yang shahih
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyelisihi perkataanku,
maka hadits Nabi (harus) diutamakan. Maka janganlah kalian taqlid kepadaku.”
[Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam Adab Asy-Syafi’i (hal. 93), Ibnu Qayyim dalam I’lamul Muwaqqi’in (IV/45-46), Abu Nu’aim dan Ibnu ‘Asakir (XV/9/2) dengan sanad yang shahih. Lihat juga Muqaddimah Shifat Shalatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, (hal. 52)]
4. Madzhab Hanbali, yang dinisbatkan kepada Imam Abu ‘Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal rahimahullah. Beliau dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah dan wafat pada tahun 241 Hijriyah. Beliau pernah berkata,
لاَ تُـقَـلِّـدْنِيْ وَلاَ تُـقَـلِّـدْ مَالِكًا وَلاَ الشَّافِعِيَّ
وَلاَ الْأَوْزَاعِيَّ وَلاَ الثَّوْرِيَّ؛ وَخُذْ مِنْ حَيْثُ أَخَذُوْا!
Artinya: “Janganlah kalian taqlid kepadaku, jangan pula taqlid
kepada Malik, Asy-Syafi’i, Al-Auza’i, dan Ats-Tsauri, tetapi ambillah
dari mana mereka mengambil (yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah).”
[Diriwayatkan oleh Imam Al-Fullani dalam Iqazhul Himam (hal. 113) dan Ibnu Qayyim dalam I’lamul Muwaqqi’in (III/469). Lihat juga Muqaddimah Shifat Shalatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, (hal. 53)]
Demikianlah pernyataan al-Aimmah al-Arba’ah (imam madzhab yang
empat) tentang pentingnya berpegang teguh kepada Sunnah dan larangan
mengikuti mereka tanpa didasari ilmu. Perkara ini sudah jelas, tidak
bisa dipungkiri dan dipalingkan maknanya. Sikap ini timbul karena
keutamaan ilmu dan ketakwaan yang mereka miliki, dimana mereka telah
menyatakan bahwa mereka tidak mengetahui semua Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga bisa saja mereka melakukan suatu hal yang menyelisihi Sunnah karena belum sampainya hadis yang shahih kepada mereka.
Oleh karena itu, barang siapa berpegang teguh pada Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang shahih, meskipun dia harus menyelisihi para Imam Madzhab maka dia
tidak dikatakan meninggalkan madzhab tersebut atau keluar dari jalan
mereka, bahkan dia telah mengikuti mereka dan berpegang teguh pada buhul
tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Sedangkan orang yang
meninggalkan Sunnah yang shahih dengan alasan bahwa Sunnah tersebut
menyelisihi pendapat para imam maka sesungguhnya dia telah meninggalkan
perkataan para imam tersebut.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ جَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيْمَا شَجَرَ
بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِـدُوا فِى أَنْفُسِـهِـمْ حَرَجًا مِّمَّا
قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيْمًا
Artinya: “Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman
sehingga mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara
yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam
hati mereka terhadap keputusan yang engkau berikan, dan mereka tunduk
dengan ketundukan yang sebenar-benarnya.” (Qs. An-Nisa’: 65)
KEGELAPAN TAQLID BUTA
Sebagian manusia telah terjebak dalam tipuan setan yang mengakibatkan
mereka bercerai berai dan bermusuhan. Beberapa golongan orang yang
taqlid terhadap suatu madzhab memusuhi golongan lainnya yang berada di
luar madzhab mereka. Ada pula golongan orang yang taqlid terhadap imam
mereka, tidak mau kembali kepada Al Quran dan As Sunnah dan mereka
menganggap bahwa perbedaan pendapat diantara para imam madzhab adalah
rahmat dari Allah Ta’ala yang menjadikan mereka bebas untuk memilih siapa yang akan mereka ikuti tanpa didasari ilmu sama sekali.
Dalil yang mereka bawakan untuk melegalkan hal ini adalah sebuah riwayat yang batil, namun cukup populer, yang bunyinya,
إِخْـتِـلاَفُ أُمَّـتِيْ رَحْمَةٌ .
Artinya: “Perselisihan ummatku adalah rahmat.”
Riwayat ini batil, bahkan riwayat ini tidak ada sumbernya. Oleh karena
itu, riwayat ini jelas tidak dapat digunakan sebagai hujjah. [Lihat
penjelasan Syaikh Al-Albani dalam kitab Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah (no. 57, 58, 59, dan 61) dan Muqaddimah Shifat Shalatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, (hal. 58-60)]
Adapun mengenai perbedaan pendapat diantara para ulama, hal ini
disebabkan oleh perbedaan tingkat keilmuan yang dimiliki seseorang. Dan
Allah tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya, sehingga
apabila mereka berijtihad dan ijtihad mereka itu benar, mereka akan
mendapatkan dua pahala, untuk kebenaran ijtihad mereka dan untuk usaha
yang telah mereka tempuh dalam mencapai kebenaran ijtihad tersebut.
Namun sekalipun ijtihad mereka itu salah, mereka tetap mendapatkan satu
pahala untuk usaha yang telah mereka kerahkan dalam upaya mencapai
kebenaran dalam ijtihad mereka. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَـدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجِتَهَـدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ .
Artinya: “Apabila seorang hakim berijtihad dan ijtihadnya benar, maka
ia mendapatkan dua pahala. Dan apabila dia berijtihad dan ijtihadnya
salah/keliru maka dia mendapatkan satu pahala.” [Hadits shahih,
diriwayatkan oleh Bukhari (no. 7342), Muslim (no. 1716), Abu Dawud (no.
3574), Ibnu Majah (no. 2314), Al-Baihaqi (X/118-119), dan Ahmad (IV/198,
204), dari ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu’anhu]
Para muqallidun (orang-orang yang taqlid) menganggap bahwa
perbedaan pendapat antar-madzhab bukan untuk di-tarjih (dibandingkan
untuk diketahui pendapat mana yang lebih dekat dengan kebenaran),
melainkan untuk ditetapkan sebagai kebenaran menurut versi mereka.
Hanya saja, para imam mujtahid akan tetap mendapatkan pahala untuk
ijtihad mereka, sekalipun ijtihad mereka itu salah. Berbeda dengan
orang-orang yang taqlid kepada mereka tanpa didasari ilmu, mereka tidak
akan mendapatkan pahala apapun juga. Mereka senantiasa tenggelam dalam
sikap jumud dan ta’ashshub madzhabiyyah. Itulah
orang-orang yang melakukan taqlid buta, dikarenakan mata hati mereka
telah buta sehingga mereka enggan menerima kebenaran.
Sikap seperti inilah yang digambarkan oleh Imam Ath-Thahawi rahimahullah dalam keterangannya, “Tidaklah taqlid kecuali orang yang fanatik atau bodoh.” [Ucapan ini dibawakan oleh Ibnu ‘Abidin dalam Rasmul Mufti (I/23). Lihat Muqaddimah Shifat Shalatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, (hal. 45)]
Orang-orang yang taqlid itu enggan menerima kebenaran karena mereka
khawatir jika mereka meninggalkan pendapat imamnya maka mereka tidak
lagi dikatakan sebagai pengikut imamnya atau bahkan mereka dianggap
telah mencela imamnya, padahal dalam sebuah hadits disebutkan,
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ .
Artinya: “Mencela seorang Muslim adalah (perbuatan) fasik.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (no. 48) dan Muslim (no. 64), dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu]
Ketika membawakan hadits tersebut, mereka tidak memahami betul makna
sesungguhnya yang terkandung dalam hadits itu. Dan bagaimana mereka
dapat lebih mengkhawatirkan sikap celaan terhadap imamnya, tetapi mereka
tidak mengkhawatirkan perbuatan durhaka yang telah mereka lakukan
terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi rujukan imam mereka juga…???
Karena alasan itulah, mereka tetap teguh untuk mengikuti seluruh
pendapat imam mereka, tanpa adanya upaya untuk mencari kebenaran. Dengan
demikian, mereka tidak hanya berhukum dengan pendapat yang benar dari
imamnya, tapi mereka juga mengambil pendapat yang salah dan berhukum
dengannya. [Lihat Muqaddimah Shifat Shalatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, (hal. 70-73)]
‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu’anhuma pernah berkata:
“Celakalah orang-orang yang mengikuti kesalahan seorang alim. Si alim
berpendapat dengan ra’yu-nya (akalnya), lalu dia bertemu dengan orang
yang lebih alim darinya tentang (Sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, kemudian orang tersebut memberitahukannya (pendapat yang
lebih benar dari pendapatnya) maka si alim tersebut mengikuti pendapat
yang benar dan meninggalkan pendapatnya yang salah. Sedangkan para
pengikutnya (tetap) berhukum dengan pendapat si alim yang salah
tersebut.” [Lihat Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (II/165-166) dan I’lamul Muwaqqi’in (III/455)]
Taqlid buta amat berbahaya bagi kehidupan ummat karena dapat menimbulkan sikap jumud yang dapat membekukan peran akal sebagai aset untuk berpikir. Selain itu, taqlid buta juga menciptakan sikap ta’ashshub madzhabiyyah
yang dapat memecah belah ummat dan menimbulkan perselisihan yang
dilandasi oleh hawa nafsu. Sikap seperti ini tidak jauh berbeda dengan
sikap para penganut firqah (golongan) sesat, seperti Syi’ah Rafidhah dan
Khawarij.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah berkata,
“Barang siapa yang ta’ashshub (fanatik) kepada seseorang, maka
kedudukannya seperti orang-orang Rafidhah (Syi’ah) yang ta’ashshub
kepada salah seorang Shahabat, dan seperti orang-orang Khawarij. Ini
adalah jalannya ahli bid’ah dan pengikut hawa nafsu yang mereka telah
keluar dari syari’at dengan kesepakatan ummat dan berdasarkan al-Quran
dan Sunnah.” [Lihat Mukhtashar Fatawa Mishniyyah hal. 46-47]
Senada dengan Syaikhul Islam diatas, Imam Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafy rahimahullah pun pernah berkata,
“Barang siapa yang ta’ashshub (fanatik) kepada salah seorang imam dan
mengesampingkan imam yang lainnya, maka dia seperti orang yang
ta’ashshub kepada seorang Shahabat dan mengesampingkan Shahabat yang
lainnya. Seperti orang-orang Rafidhah (Syi’ah) yang ta’ashub kepada ‘Ali
dan mengesampingkan tiga khalifah yang lainnya. Ini adalah jalannya
para pengikut hawa nafsu.” [Lihat Al-Ittiba’ (hal. 80)]
Demikianlah, apabila seseorang telah mencapai derajat taqlid buta maka
sesungguhnya dia telah menyimpang dari jalan keselamatan dan cenderung
kepada jalan kesesatan yang juga dipilih oleh para ahli bid’ah dan ahli
ahwa’ (pengikut hawa nafsu).
WAJIBNYA ITTIBA’ KEPADA NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Allah Subhanahu wa Ta‘ala telah mewajibkan kepada setiap orang yang beriman agar mentaati dan mengikuti (ittiba‘) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
serta menjadikan beliau sebagai satu-satunya hakim, taslim (tunduk)
pada keputusan beliau dan tidak menyalahi perintah beliau baik ketika
beliau masih hidup maupun telah wafat. Dan ketaatan itu menjadi bagian
yang tidak dapat dipisahkan dari ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta‘ala.
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Taat kepada Allah adalah dengan mengikuti Kitab-Nya dan taat kepada Rasul adalah dengan mengikuti Sunnah.” [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (I/568)]
Allah Jalla Dzikruhu telah berfirman,
وَأَطِيْعُوْااللهَ وَأَطِيْعُوْاالرَّسُوْلَ وَاحْذَرُوْاۚ فَإِنْ
تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُواأَنَّمَاعَلَى رَسُوْلِنَاالْبَلَغُ الْمُبِيْنُ
Artinya: “Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada
Rasul(Nya) serta berhati-hatilah. Jika kamu berpaling maka ketahuilah
bahwa kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan
terang.” (Qs. Al-Ma’idah: 92)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى قَالُوا يَا
رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ
وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى .
Artinya: “Setiap ummatku akan masuk Surga, kecuali yang enggan.”
Mereka (para Shahabat) bertanya: “Siapa yang enggan itu?” Jawab beliau:
“Barang siapa yang mentaatiku pasti akan masuk Surga, dan barang siapa
yang mendurhakaiku, maka sungguh ia telah enggan.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (no. 7280) dan Ahmad (II/361), dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]
Wajib bagi setiap mukallaf (orang terbebani kewajiban syar’i) untuk senantiasa mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak boleh mengikuti orang selain beliau. Sampai-sampai, kalau saja Nabi Musa ‘alaihis salam berada diantara manusia, kemudian manusia mengikuti syari’atnya dan meninggalkan syari’at yang telah dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pastilah dia akan tersesat. Sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini,
وَالَّذِي نَفْسِي مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوْأَصْبَحَ فِيْكُمْ مُوْسَى ثُـمَّ اتَّبَعْتُمُوْهُ وَتَرَكْتُمُوْنِيْ لَضَلَلْتُـمْ
Artinya: “Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya,
seandainya Musa berada diantara kalian, kemudian kalian mengikuti
(ajaran)nya dan meninggalkan (ajaran)ku, niscaya kalian akan tersesat.” [Hadits shahih lighairihi, diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya (III/470-471 dan IV/265-266)]
Jika seorang Musa ‘alaihis salam saja tidak boleh untuk diikuti setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyampaikan risalahnya, maka bagaimana orang selain beliau boleh untuk
diikuti, padahal ajarannya bertolak belakang dengan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam …?!
Dengan demikian, wajib bagi setiap jiwa yang mengaku sebagai seorang
muslim untuk menerima segala ketetapan Allah dan Rasul-Nya, secara lahir
dan batin tanpa penolakan sedikit pun dan dalam bentuk apa pun. Itulah
yang menjadi ‘aqidah seorang Muslim.
KAPANKAH HARUS TAQLID?
Taqlid tidaklah tercela dan terlarang secara mutlak. Ada bentuk taqlid
yang memang terlarang secara mutlak, ada juga bentuk taqlid yang malah
diwajibkan, dan ada pula bentuk taqlid yang boleh untuk dilakukan karena
beberapa sebab.
Imam lbnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah membagi taqlid menjadi tiga macam, yaitu: [Lihat I’lamul Muwaqqi’in (III/447)]
Pertama, Taqlid yang diharamkan,
Ada tiga jenis taqlid yang diharamkan, yaitu:
1. Taqlid kepada perkataan nenek moyang sehingga manusia berpaling dari
apa yang telah diturunkan Allah. Contohnya: Kaum Jahiliyyah yang taqlid
kepada ajaran nenek moyang mereka untuk menyembah berhala. Sebagaimana
disebutkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam firman-Nya,
وَكَذَ لِكَ مَآ أَرْ سَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ
نَّذِيْرٍ إِلاَّ قَالَ مُتْرَ فُوهَآ إِنَّا وَجَدْنَآ ءَابَآءَنَا عَلَى
أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى ءَاثَرِهِمْ مُّقْتَدُوْنَ قَـلَ أَوَلَوْ
جِئْتُكُمْ بِأَهْـدَى مِمَّا وَجَدْتُّمْ عَلَيْهِ ءَابَآءَكُمْۖ قَالُوا
إِنَّا بِمَآ أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَفِرُونَ
Artinya: “Dan demikian juga ketika Kami mengutus seorang pemberi
peringatan sebelum engkau (Muhammad) dalam suatu negeri, orang-orang
yang hidup mewah (di negeri itu) selalu berkata, ‘Sesungguhnya kami
mendapati nenek moyang kami menganut suatu (agama) dan sesungguhnya kami
sekadar pengikut jejak-jejak mereka.’ Rasul itu berkata, ‘Apakah (kamu
akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih
baik daripada apa yang kamu peroleh dari (agama) yang dianut nenek
moyangmu?’ Mereka menjawab, ‘Sungguh kami mengingkari (agama) yang kamu
diperintahkan untuk menyampaikannya.” (Qs. Az-Zukhruf: 23-24)
2. Taqlid kepada orang yang tidak diketahui apakah dia pantas diambil
perkataannya ataukah tidak. Contohnya: Taqlidnya seseorang kepada orang
lain yang tidak diketahui asal usulnya. Sebagaimana disebutkan dalam
firman Allah ‘Azza wa Jalla,
يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا إِنْ جَآءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبِإٍ
فَتَبَـيَّنُوا أَنْ تُصِيْبُوا قَوْمًا بِجَهَلَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا
فَعَلْتُمْ نَدِمِيْنَ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jika seorang fasik datang
kepadamu dengan membawa berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu
tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang nanti
akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.” (Qs. Al-Hujurat: 6)
3. Taqlid kepada perkataan seseorang, padahal dia mengetahui adanya
hujjah (bukti) dan dalil yang bertentangan dengan pendapat orang
tersebut. Contohnya: Taqlid yang dilakukan kaum Yahudi dan Nashara
kepada para pendeta dan rahib mereka, sehingga mereka berpaling dari
dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla,
إِتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُـمْ أَرْبَابًا مِّنْ دُوْنِ اللهِ …
Artinya: “Mereka menjadikan orang-orang alim (Yahudi) dan rahib-rahibnya (Nasrani) sebagai rabb selain Allah…” (Qs. At-Taubah: 31)
Kedua, Taqlid yang diwajibkan,
Taqlid yang diwajibkan adalah taqlid kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang
shahih. Ini bukanlah taqlid dalam arti yang sebenarnya, melainkan dia
bermakna kepada ittiba’. Dan ini merupakan kewajiban bagi setiap
muslim. Karena Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan wahyu dari Rabbul
‘Izzati yang terpelihara, sehingga manusia yang berpegang kepada
keduanya tidak akan sesat selama-lamanya.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
قُلْ أَطِيْعُوا اللهَ وَالرَّسُوْلَۚ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْكَفِرِيْنَ
Artinya: “Katakanlah (Muhammad): ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya. Jika
kamu berpaling, ketahuilah sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
kafir.’” (Qs. Ali ‘Imran: 32)
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَلَّفْتُ فِيكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُمَا كِتَابَ
اللَّهِ وَسُنَّتِى وَلَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَىَّ الْحَوْضَ
Artinya: “Aku tinggalkan (untuk kalian) dua perkara yang kalian tidak
akan sesat selama kalian berpegang teguh kepada keduanya yaitu
Kitabullah dan Sunnahku, serta keduanya tidak akan berpisah sampai
keduanya mendapatiku di Al-Haudh (telaga di Surga).” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al-Hakim (I/93), Al-Baihaqi (X/114) dan Malik (hal. 686), dari Abu Hurairah radhiyallahu‘anhu]
Ketiga, Taqlid yang dibolehkan.
Taqlid yang dibolehkan adalah taqlid yang dilakukan oleh seorang awam
kepada orang yang lebih ‘alim dan memiliki kemampuan untuk berijtihad,
karena orang tersebut tidak mampu untuk melakukan tahqiq (penelitian dalil) dan tarjih
(menyimpulkan hukum yang paling dekat kebenarannya dengan dalil) dalam
menentukan hukum syari’at. Para ulama bersepakat bahwa seorang awam
boleh taqlid kepada ulama yang berjalan di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah,
sebagai perwujudan firman Allah Ta’ala,
فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
Artinya: “Maka bertanyalah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui."(Qs. Al-Anbiya’: 7)
Akan tetapi, ada beberapa syarat yang harus diperhatikan berkaitan
dengan dibolehkannya taqlid dalam kondisi semacam ini, antara lain:
1. Seorang yang taqlid adalah seorang yang benar-benar awam terhadap
perkara syari’at dan tidak memiliki kemampuan untuk mengetahui hukum
Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Hendaknya orang yang menjadi sasaran taqlid adalah orang yang baik
agamanya, dan ilmunya mendalam, serta memiliki kemampuan untuk
berijtihad.
3. Orang yang taqlid itu belum mengetahui adanya pendapat lain yang
lebih baik dan lebih dekat kepada kebenaran dari pada pendapat yang dia
pegangi secara taqlid.
4. Tidak boleh untuk taqlid pada permasalahan yang menyelisihi nash syari’at atau ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin.
5. Orang yang taqlid tidak boleh mewajibkan dirinya untuk mengambil satu
madzhab saja dalam semua perkara syari’at. Hendaknya dia berusaha untuk
mencari kebenaran dan berpegang pada pendapat yang lebih mendekati
kebenaran. Meskipun pendapat tesebut ada di berbagai madzhab.
6. Tidak boleh berpindah-pindah dari satu madzhab ke madzhab yang lainnya dengan tujuan mencari rukhshah
(keringanan) dan mencari kemudahan dalam menjalankan syari’at. Sehingga
dia hanya mengambil yang dia anggap paling ringan dan paling sesuai
dengan nafsunya.
[Lihat Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (II/170), I’lamul Muwaqqi’in (III/462), Al-Mukhtasharul Hatsits (hal. 197), Syarah Ushul min ‘Ilmil Ushul (hal. 594-597), dan Mulia dengan Manhaj Salaf (hal. 300-301)]
BOLEHKAH BERMADZHAB?
Diperbolehkan bagi seseorang untuk mengikuti madzhab tertentu karena dua hal:
Pertama, ketidakmampuannya dalam memahami nash-nash agama,
Kedua, dengan mengikuti madzhab tertentu, dapat
mencegahnya dari dampak buruk yang timbul akibat ketidaktahuannya
terhadap perkara syari’at. Misalnya, membuat pendapat baru yang sama
sekali tidak pernah disampaikan oleh ulama.
[Lihat Majmu’ Fatawa (XI/514 dan XX/209), Al-Mukhtasharul Hatsits (hal. 195), dan Mulia dengan Manhaj Salaf (hal. 302)]
Meskipun demikian, orang tersebut harus tetap berusaha menuntut ilmu
syar’i dan tidak boleh merasa cukup dengan apa yang diperolehnya dari
madzhab yang dia ikuti. Sehingga apabila dia mendapati pendapat lain
yang lebih benar dari pendapat madzhab yang dia ikuti, wajib baginya
untuk meninggalkan pendapat yang salah dan mengambil pendapat yang benar
tersebut.
***
Islam ditegakkan di atas ilmu. Oleh karena itu dalam setiap pelaksanaan
syari’at haruslah dilandasi dengan ilmu. Adapun taqlid, itu bukanlah ilmu,
sehingga orang-orang yang taqlid tidak boleh mengatakan bahwa pendapat
orang yang dia ikuti itu adalah pendapat yang paling benar, sampai dia
mampu untuk melakukan pembuktian secara ilmiyah bahwa pendapat tersebut
adalah benar.
Dengan demikian, wajib bagi seluruh manusia yang menginginkan
keselamatan di dunia maupun di akhirat untuk senantiasa berpegang teguh
kepada Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak menyelisihinya karena perkataan atau perbuatan manusia. Sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling utama untuk diikuti dan petunjuknya adalah sebaik-baik petunjuk.
Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,
اتَّبِعُوا مَآأُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلاَتَتَّبِعُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَآءَۗ قَلِيلاً مَاتَذَكَّرُونَ
Artinya: “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu dan
janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainNya. Amat sedikitlah
kamu mengambil pelajaran (dari padanya).” (Qs. Al-A’raf: 3)
Pada ayat di atas, Allah telah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk
mengikuti apa yang telah diturunkan-Nya melalui perantara hamba-Nya,
yakni Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Allah melarang kita untuk mengikuti perintah selain dari perintah-Nya.
Hendaknya orang-orang yang taqlid itu mengetahui sumber pengambilan
hukum dari orang yang ditaqlidinya dalam rangka mengikuti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menghormati para ulama rahimahumullah.
Dan barang siapa yang menganggap bahwa taqlid tanpa ilmu itu sebagai
perbuatan baik maka ketahuilah, bahwa tidak ada kebaikan sama sekali
dalam taqlidnya itu. Karena para ulama ber-Islam atas dasar ilmu dan ittiba’, bukan atas dasar ra’yu (pemikiran/persangkaan dengan akal) dan hawa nafsu semata.
والله تعالى أعلم
سبحانك اللهم وبحمدك أشهـد أن لا إله إلا أنت، استغـفـرك وأتوب إليك
***
Penyusun: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad
Editor: Sofyan bin Isma'il al-Muhajirin
Muraja'ah: Ustadz Ammi Nur Baits
Maraji’:
1. Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam, Imam Abu Muhammad ‘Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm Azh-Zhahiri, cetakan Maktabah Athif, Kairo.
2. Al-Masa’il Jilid 3, Abdul Hakim bin Amir Abdat, cetakan Darus Sunnah, Jakarta.
3. Antara Taqlid dan Ittiba’, Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah, dimuat dalam Majalah Al-Furqon Edisi 2 Tahun V, Gresik.
4. I’lamul Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin Jilid 3 dan 4, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, cetakan Daar Ibnul Jauzi, Riyadh.
5. Jami Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi Jilid 1 dan 2, Abu ‘Umar Yusuf bin ‘Abdil Barr, cetakan Daar Ibnul Jauzi, Riyadh.
6. Kitabul ‘Ilmi, Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, cetakan Daar Tsuraya, Riyadh.
7. Mulia dengan Manhaj Salaf, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, cetakan Pustaka At-Taqwa, Bogor.
8. Shifat Shalatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minat Takbir ilat Taslim Ka-annaka Taraha, Muhammad Nashiruddin Al-Albani, cetakan Maktabah Al-Ma’arif, Riyadh.
9. Syarah Ushul min ‘Ilmil Ushul, Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, cetakan Daar Ibnu Haitsam, Kairo.
10. Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim, Imam Al-Hafizh Imaduddin Abul Fida’ Isma’il bin Katsir Al-Qurasyi Ad-Dimasyqi, cetakan Daar Thayyibah, Riyadh.
11. Tegar di Atas Sunnah, Kumpulan Para Ulama, cetakan Media Tarbiyah, Bogor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar