Penulis: Rizki Maulana
SEJARAH IKHWANUL MUSLIMIN
Ikhwanul Muslimin adalah pergerakan Islam – yang didirikan oleh Hasan Al-Banna (1906-1949 M) di Mesir pada tahun 1941 M. Diantara tokoh-tokoh pergerakan itu ialah : Said Hawwa, Sayyid Quthub, Muhammad Al-Ghazali, Umar Tilimsani, Musthafa As-Siba`i, dan lain sebagainya.
Sejak awal mula didirikan pergerakan ini
banyak dipengaruhi oleh pemikiran Jamaludin Al-Afghani, seorang penganut
Syi`ah Babiyah, yang berkeyakinan wihdatul wujud. Dan keyakinan bahwa kenabian dan kerasulan diperoleh lewat usaha, sebagaimana halnya menulis dan mengarang.
Dia (Jamaludin Al-Afghani) kerap mengajak kepada pendekatan Sunni-Syiah
[Tidak,..Demi Allah . Hal ini tidak akan terwujud. Semua ini hanyalah
khayalan biasa laksana menanam di lautan.Bagaimana tidak , dapatkah api
bersatu dengan air ??-cat kaki], bahkan juga mengajak kepada persatuan antar agama [lihat dakwah Ikhwanul Muslimin fi Mizanil Islam. Oleh Farid bin Ahmad bin Manshur hal. 36)]
Gerakan itu lalu bergabung ke banyak
negara seperti: Syiria, Yordania, Iraq, Libanon, Yaman, Sudan dan lain
sebagainya. (lihat Al-Mausu`ah Al-Muyassarah hal. 19-25). Ia
(Jamaludin Al-Afghani) telah dihukumi /dinyatakan oleh para ulama
negeri Turki, dan sebagian masyayikh Mesir sebagai orang Mulhid, kafir,
zindiq, dan keluar dari Islam.
Farid bin Ahmad bin Manshur menyatakan
bahwa Ikhwanul Muslimin banyak dipengaruhi oleh pemikiran Jamaludin
Al-Afghani pada beberapa hal, diantaranya:
[1]. Menempatkan politik sebagai prioritas utama
[2]. Mengorganisasikan secara rahasia
[3]. Menyerukan peraturan hukum demokrasi
[4]. Menghidupkan dan menyebarkan seruan nasionalisme
[5]. Mengadakan peleburan dan pendekatan dengan Syiah Rafidhah, berbagai kelompok sesat, bahkan kaum Yahudi dan Nashrani. [Lihat Ad-Dakwah hal 47}
[2]. Mengorganisasikan secara rahasia
[3]. Menyerukan peraturan hukum demokrasi
[4]. Menghidupkan dan menyebarkan seruan nasionalisme
[5]. Mengadakan peleburan dan pendekatan dengan Syiah Rafidhah, berbagai kelompok sesat, bahkan kaum Yahudi dan Nashrani. [Lihat Ad-Dakwah hal 47}
Oleh sebab itu, jamaah Ikhwanul Muslimin
banyak memiliki penyimpangan dari kaidah-kaidah Islam yang dipahami
As-Salaf As-Shalih. Di antara penyimpangan tersebut misalnya:
TIDAK MEMPERHATIKAN MASALAH AQIDAH DENGAN BENAR
(Syaikh Abdul Aziz bin Bazz berkata sebagaimana dalam majalah Al-Majalah edisi 806 tanggal 25/2/1416 H halaman 24 :.."Harokah Ikhwanul Muslimin telah dikritik oleh para ahlul 'ilmi yang mu'tabar ? terkenal-.
Salah satunya (karena) mereka tidak
memperhatikan masalah da'wah kepada tauhid dan memberantas syirik serta
bid'ah. Maka sewajibnya bagi Ikhwanul Muslimin untuk memperhatikan
da'wah Salafiyah da'wah kepada tauhid, mengingkari ibadah kepada
kubur-kubur dan meinta pertolongan kepada orang-orang yang sudah mati
seperti Hasan, Husein, Badawi dan sebagainya.
Wajib bagi mereka untuk mempunyai
perhatian khusus dengan makna Laa Ilaaha Illallah Karena inilah pokok
agama dan suatu yang pertama kali didakwahkan oleh Rasulullah Shalallahu
'Alaihi wa Sallam yang mulia di kota Mekkah!!) Bukti
nyata bahwa jama'ah Ikhwanul Muslimin tidak memperhatikan perkara
aqidah dengan benar, adalah banyaknya anggota-anggota yang jatuh dalam
kesyirikan dan kesesatan, serta tidak memiliki konsep aqidah yang jelas.
Hal itu juga bahkan terjadi pada para pemimpin dan tokoh-tokohnya, yang menjadi ikutan bagi anggota-anggotanya seperti: Hasan Al-Banna, Said Hawwa, Sayyid Quthub, Muhammad Al-Ghazali, Umar Tilimsani, Musthafa As-Siba`i dan lain sebagainya.
Seorang tokoh Islam (Muhammad bin Saif
Al-A`jami) menceritakan bahwa Umar Tilimsani yang menjabat Al-Mursyidu
Al-`Am dalam organisasi Ikhwanul Muslimin dalam jangka waktu yang lama,
pernah menulis buku yang berjudul "Syahidu Al-Mihrab Umar bin Al-Khattab
(Umar bin Al-Khattab yang wafat syahid dalam mihrab) "Buku
ini penuh dengan ajakan kepada syirik, menyembah kuburan, membolehkan
beristighatsah kepada kuburan dan berdoa kepada Allah Azza wa Jalla di
samping kubur. Tilimsani juga menyatakan bahwa kita TIidak Boleh melarang dengan keras penziarah kubur yang melakukan amalan seperti itu.
Coba simak teks perkataannya pada hal
225-226: "Sebagian orang menyatakan bahwa Rasulullah memohonkan ampun
untuk mereka (penziarah kubur) tatkala beliau masih hidup saja. Tetapi
saya tidak mendapatkan alasan pembatasan itu pada masa hidup beliau
saja. Dan di dalam Al-Quran, tidak ada yang menunjukkan adanya
pembatasan tersebut".
Di sini, dia menganggap bahwa memohon
kepada Rasulullah sesudah kematian beliau, beristighatsah dan
beristghfar dengan perantaraannya, hukumnya boleh-boleh saja. Pada hal
226 dia juga menyatakan: "Oleh karena itu saya cenderung kepada pendapat
yang menyatakan bahwa beliau telah memohonkan ampunan dikala beliau
masih hidup, maupun sesudah matinya - bagi siapa yang mendatangi kuburan
yang mulia".
Pada halaman yang sama dia juga
menyebutkan :"Oleh karena itu, kita tidak perlu berlaku keras dalam
mengingkari orang yang meyakini karamah para wali, sambil berlindung
kepada mereka di kuburan-kuburan mereka yang disucikan, berdoa kepada
mereka tatkala tertimpa kesusahan. Yang juga mereka yakini bahwa karamah
para wali tersebut termasuk kemu`jizatan para nabi."
Kemudian pada halaman 231 ia menyatakan: "Maka
kita tidak perlu memerangi wali-wali Allah Azza wa Jalla dan
orang-orang yang menziarahi serta berdoa disamping kuburan-kuburan
mereka".
Demikianlah, tidak ada satupun bentuk
syirik terhadap kuburan yang tidak dibolehkan sebagaimana yang dikatakan
oleh ``Al-Mursyidu Al-`Am dari Ikhwanul Muslimin itu. Karena
kegandrungannya dan kecintaannya yang mendalam terhadap bentuk-bentuk
perbuatan syirik dan kufur semacam inilah, sehingga Tilimsani
menyatakan: "Maka kita tidak perlu memerangi (orang yang mereka anggap)
wali-wali Allah Azza wa Jalla dan orang-orang yang menziarahi serta
berdoa disamping kuburan-kuburan mereka".
Tilimsani
sendiri juga hidup di Mesir yang terdapat banyak kuburan-kuburan dimana
dilakukan syirik terbesar, bahkan lebih besar dari syirik ummat
jahiliyah pertama. Kuburan-kuburan dijadikan tempat berthawaf dan tempat memohon segala sesuatu yang seharusnya hanya ditujukan kepada Allah .
Di antara yang mereka anggap wali,
kebanyakannya adalah kumpulan orang-orang zindiq dan mulhid, seperti:
Sayyid Da`iyyah fathimi yang tak pernah melakukan shalat. Diantaranya
juga ada Kaum Sufi yang "keblinger", seperti: Syadzili, Dasuki, Qonawi
dan lain sebagainya, yang ada disetiap kota dan pedesaan. Orang-orang
itulah yang jadi wali-wali mereka. Dan kuburan-kuburan mereka itulah
yang dipublikasikan oleh ''Al-Mursyidu Al-`Am/pemimpin umum'' dari
Ikhwanul Muslimin itu.
Dia kembali menyatakan pada halaman 231
sebagai berikut: ''Meskipun hati saya sudah demikian cinta, suka dan
bergantung kepada wali-wali Allah itu, meskipun saya amat gembira dan
senang menziarahi mereka di tempat-tempat kediaman abadi mereka dengan
melakukan hal-hal merusak aqidah tauhid - menurut anggapannya - akan
tetapi saya tidak berorientasi penuh untuk mempropagandakannya. Hal itu
hanya sebatas soal intuisi/perasaan.
Dan saya katakan kepada mereka yang
bersikap ekstrim dalam mengingkarinya: "Tenanglah, di dalam masalah ini
tidak ada perbuatan syirik, penyembahan berhala, maupun
ilhad/kekufuran.''
Maka apalagi yang bisa diharapkan dari
keyakinan yang merancukan aqidah dan tauhid, sehingga berdoa kepada
orang yang sudah mati disamping kuburan-kuburan mereka kala ditimpa
kesusahan dianggap hanya soal perasaan yang tidak mengandung syirik dan
penyembahan berhala, seperti yang diungkapkan Al-Mursyidu Al-`Am dari
Ikhwanul Muslimun tersebut ?
Mushthafa As-Siba`i, Al-Mursyidu Al-`Am
dari Ikhwanul Muslimin dari Syiria pernah menggubah qashidah yang
dibacakannya di kuburan Nabi. Yang di antara bait-baitnya adalah: ''Wahai
tuanku, wahai kekasih Allah. Aku datang diambang pintu kediamanmu
mengadukan kesusahanku karena sakit. Wahai tuanku, telah berlarut rasa
sakit dibadanku. Karena sangat sakitnya, akupun tak dapat mengantuk maupun tidur.....'' [Lihat Al-Waqafat hal. 21-22]
Dari kedua bait diatas, kita dapat
memahami bahwa dia telah melakukan istighatsah kepada Rasulullah yang
jelas merupakan perbuatan syirik yang dilarang oleh Allah dan
Rasulullah-Nya Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam .
Hasan Al-Banna juga mengambil aqidah dari thariqot sufiah quburiah yang bernama Al-Hashofiah.
Dia berkata dalam kitabnya Mudzakkirot Ad-Dakwah Ad-Adalah’iah hal-27
:”Aku bersahabat dengan para anggota kelompok hasafiah di Damanhur. Dan
aku selalu hadir setiap malam (bersama mereka) di mesjid At-Taubah.”
Berkata Jabir Rozaq dalam kitabnya “Hasan
Al-Banna bi Aqlami talamidzatihi wa ma’asirihi” hal-8 :”Dan di Damanhur
mejadi kokohlah hubungan Hasan Al-bana dengan anggota-anggota
al-Hashofiah,dan beliau selalu hadir setiap malam bersama mereka di
masjid at-Taubah. Dia ingin mengambil (pelajaran) thariqot mereka
sehingga berpindah dari tingkatan mahabbah ke tingkatan at-taabi’
al-mubaya” [Lihat Da'wah al-Ikhwan al-Muslimin hal-63]
Bahkan
Hasan Al-Banna sendiripun sebagai pendiri jamaah Ikhwanul Muslimin,
nampak sebagai orang yang awam dalam perkara aqidah tauhid.
Disebutkan dalam buku Al-Waqafat hal. 21-22, bahkan dia pernah berkata:
”Dan doa kepada Allah ababila disertai tawassul/mengambil perantaraan
salah satu makhluknya adalah perselisihan furu` dalam cara berdoa, dan
bukan termasuuk perkara aqidah.”
Dalam masalah asma` dan sifat Allah, dia
termasuk pengikut madzhab Tafwidh, yaitu madzhab yang tidak mau tahu dan
meyerahkan begitu saja perkara asma` dan sifat Allah, tanpa meyakini
apa-apa. Itu adalah madzhab sesat,
bukan sebagaimana madzhab As-Salaf As-Shalih yang meyakini makna-makna
asma` dan sifat Allah, namun menyerahkan hakikat/bagaimana asma` dan
sifat tersebut kepada-Nya.
Hasan Al-Banna menyatakan dalam buku
Al-Aqaid hal. 74: ”Sesungguhnya pembahasan dalam masalah ini (asma` dan
sifat), meski dikaji secara panjang lebar, akhirnya akan menghasilkan
kesimpulan yang sama, yaitu tafwidh (tersebut di atas) [Syaikhul Islam
berkata dalam kitabnya "Daaru ta'arubil aqli wa naqli ,Juz 1 hal 201-205
:"Adapun tafwidh, maka sudah merupakan hal yang maklum, bahwa Allah
memerintahkan kita semuanya untuk merenungi Al Qur'an, memahaminya, dan
menghayatinya, maka bagaimanakah kita akan berpaling dari memahaminya
dan mendalaminya,...hingga beliau berkata : "Dari sini jelaslah bahwa
perkataan ahlu tafwidh yang mengaku mengikuti Sunnah dan Salaf termasuk
sejelek-jelek perkataan ahlu bid'ah dan ilhad (lih pula qowaidhul mutsla
hal 44 oleh Syaikh Sholeh Utsaimin)].
Tokoh besar mereka yang lain yang serupa keadaannya adalah Sa`id Hawwa.
Dia beranggapan bahwa umat Islam pada setiap masanya, (lebih banyak
-red) yang beraqidah Asy-`Ariyyah-Maturidiyyah (termasuk golongan
pentakwil sifat). Sehingga dengan itu beliau berangapan bahwa itulah
aqidah yang sah dalam Islam. [Lihat jaulah fil fiqhain - Sa`id Hawwa].
Sayyid Quthub pun memiliki aqidah wihdatul wujud. Dia berkata dalam kitabnya Dzilalu Al-Qur’an jilid 6 hal-4002 : “Hakekat
yang ada adalah wujud yang satu. Maka di alam ini tidak ada yang
hakekat kecuali hakekat Allah. Dan di sana tidak ada wujud yang hakiki
kecuali wujud-Nya. Perwujudan selain Allah hanyalah sebagai perwujudan yang bersumber dari perwujudan yang hakiki itu”.
[Tentang Sayyid Qutb, maka sungguh Syaikh
Robi' Ibnu Hadi Al-Madkhali telah mewakili segenap para 'ulama dan para
penuntut ilmu dalam mengungkap kesesatan dan penyimpangannya (Sayyid
Qutb), yaitu dalam 4 buah kitabnya :
[1]. Adzwa’ Islamiyyah ‘alaa Aqidati Sayyid Quthub,
[2]. Mathoin Sayyid Quthub fii Ash-Shahabah
[3]. Al-awaashim minma fii kutubi sayyid Quthub min Al-Qawasim
[4]. Al-Haddul faashil bainal haqqi wal bathil.
[2]. Mathoin Sayyid Quthub fii Ash-Shahabah
[3]. Al-awaashim minma fii kutubi sayyid Quthub min Al-Qawasim
[4]. Al-Haddul faashil bainal haqqi wal bathil.
Ringkasnya “celaannya (Sayyid Qutb)
kepada Musa Alaihi Salam, celaannya kepada para shahabat Radhiallahu
anhum, khususnya Ustaman bin Affan Radhiallahu anhu , perkataannya
bahqwa Al-Qur’an adalah Mahluk, dan Wihadtul Wujud, Menta’thil
(mengingkari) sifat-sifat Allah sebagaimana Jahmiyyah, tidak menerima
hadits-hadits ahad yang shahih dalam aqidah,..dsb- lebih jelasnya
bacalah kitab-kitab diatas dan sudah tercetak]
Selain itu dia juga tidak bisa membedakan
antara tauhid rububiah dan tauhid uluhiah. Dan dia menyangka bahwa yang
menjadi perselisihan antara para Nabi dengan umat mereka adalah dalam
masalah tauhid rububiah bukan uluhiah.
Dia berkata dalam Dziilalu Al-Qur’an
4/1847 : ” Bukanlah perselisihan seputar sejarah antara jahiliah dan
Islam, dan bukan pula peperangan antara kebenaran dan thogut pada
masalah uluhiah Allah ….” dan juga perkataannya dalam hal-1852: “Hanya
saja perselisihan dan permusuhan adalah pada masalah siapakah Rob
manusia yang menghukumi manusia dengan syari’at-Nya dan mengatur mereka
dengan perintah-Nya dan memerintahkan mereka untuk beragama dan taat
kepada-Nya” [Lihat Adwa'un Islahiah karya Syaikh Robi' pada hal-65]
MENGHIDUPKAN BID’AH
Jamaah Ikhwanul Muslimin juga banyak sekali menghidupkan bidah. Sa`id Hawwa menyatakan dalam bukunya At-Tarbiyyah Ar-Ruhiyyah (pembinaan mental): ”Ustadz Al-Banna beranggapan bahwa menghidupkan hari-hari besar Islam (selain dua hari `ied), adalah termasuk tugas harakah-harakah (gerakan) Islam. Beliau juga menganggap bahwa suatu hal yang aksiomatik alias pasti, kalau dikatakan bahwa pada zaman modern ini memperingati hari besar semacam maulid nabi dan yang sejenisnya, dapat diterima secara fiqih dan harus mendapat prioritas tersendiri.
Dikisahkan juga oleh Mahmud Abdul Halim
dalam bukunya Ahdats Shana`atha At-Tarikh (1/109) bahwa ia sering
bersama-sama Hasan Al-Banna menghadiri maulid nabi. Ia (Hasan Al-Banna)
sendiri terkadang maju kepentas untuk menyanyikan nasyid (nyanyian)
maulid nabi dengan suara keras dan nyaring. Setelah menukil banyak kisah
Al-Banna tersebut, Syaikh Farid berkomentar:
”Semoga Allah memerangi pelaku-pelaku bidah. Alangkah bodohnya mereka, alangkah lemahnya akal mereka. Sesungguhnya mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak pantas dilakukan bahkan oleh anak kecil sekalipun.”
Dalam lembaran-lembaran majalah
Ad-Dakwah, yang dipimpin oleh Umar At-Tilimsani tatkala dia masih
menjabat salah satu Mursyid partai Ikhwanul Muslimin (nomor 21 hal
16/Rabi`ul Awwal 1398 H), tercetus banyak ungkapan yang penuh dengan
kebidahan dan ghuluw (pengkhutusan/berlebih-lebihan) terhadap Nabi.
Di antaranya dalam makalah di bawah judul
: Fi dzikra maulidika ya dhiya` Al-Alamin (dalam memperingati hari
kelahiranmu, wahai sinar alam semesta)
TA’ASHUB / FANATIK TERHADAP PENDAPAT ULAMANYA
Syaikh Muqbil menyatakan dalam Al-Makhraj Minal Fitan hal. 86: ”(banyak) dari kalangan pengikut Ikhwanul Muslimin yang mengetahui bahwa mereka bodoh dalam masalah dien.
Apabila kita menyatakan kepadanya : ini
halal, atau ini haram adalah sudah kita tegakkan dalil-dalilnya, ia akan
mengelak sambil menjawab: Yusuf Qordhawi di dalam al-halal wal haram
bilang begini, Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah, atau Hasan Al-Banna di
dalam Ar-Rasail atau Sayid Quthub dalam tafsir Fi Dzi lalil Quran bilang
begini! Bolehkah dalil-dalil yang jelas dipatahkan dengan ucapan-ucapan
mereka?”
Karena itulah banyak diantara mereka yang
masih meremehkan hukum ”merokok” misalnya, yang telah ditegaskan
keharamannya oleh ulama ahlul hadits, lewat berbagai tinjauan, karena mengikuti fatwa syaikh mereka Yusuf Qordhawi yang tidak jelas dalam menerangkan hukumnya.
MANHAJ DAKWAH YANG MELENCENG DARI SYARIAH
Kerusakan manhaj dakwah mereka diawali oleh propaganda “Tauhidu As-Sufuf” (menyatukan barisan) kaum muslimin yang mereka dengung-dengungkan. Dimana propaganda itu berkonotasi mengabaikan adanya berbagai penyimpangan aqidah yang membaluti tubuh umat Islam. Menurut mereka, cukup kita meneriakan : wa Islamah (wahai Islam), maka kita pun bersatu.
Hasan Albana pernah berkata :
“Dakwah Ikhwanul Muslimin tidaklah ditujukan untuk melawan satu aqidah, agama, ataupun golongan, karena faktor pendorong perasaan jiwa para pengemban dakwah jama’ah ini adalah berkeyakinan fundamental bahwa semua agama samawi berhadapan dengan musuh yang sama, yaitu atheisme [Lihat Qofilah Al-Ikhwan As-siisi 1/211].
Utsman Abdus Salam Nuh mengomentari
ucapan itu dalam bukunya At-Thoriq ila Jama’ati Al-Umm halaman 173:
“Bagaimana bisa disebut dakwah Islamiah, kalau tidak sudi memerangi
aqidah-aqidah yang menyimpang, sedangkan Islam sendiri diturunkan untuk
memberantas berbagai penyimpangan keyakinan dan membersihkan hati
manusia dari keyakinan-keyakinan itu.
Inti pemahaman inilah yang akhirnya
melahirkan gerakan yang disebut Pan Islamisme, yang menyatukan umat
Islam dengan berbagai keyakinannya dibawah satu panji. Ikhwanul Muslimin
juga banyak mempergunakan berbagai sarana yang tidak sesuai dengan
syari’at untuk mengembangkan dakwahnya.
Diantaranya : Mengadakan pertunjukan
sandiwara. Dalam hal ini, Syaikh Muqbil memberikan tanggapan
:”Sesungguhnya pertunjukan sandiwara itu, kalaupun tidak dikatakan
dusta, amatlah dekat dengan kedustaan. Kita meyakini keharamannya,
selain itu juga bukan merupakan sarana dakwah yang dipergunakan ulama
kita terdahulu.”
Imam Ahmad meriwayatkan satu hadits dari
Ibnu Mas’ud , bahwasanya Rosulullah bersabda : Manusia yang paling keras
disikda hari kiamat nanti ada tiga : Orang yang membunuh seorang nabi
atau dibunuh olehnya, seorang pemimipin yang sesat dan menyesatkan, dan
pemain lakon (mumatsil). [Dalam musnadnya I/407, berkata Ahmad Syakir
dalam ta'liknya IV/65 :Sanadnya shahih , dan di shahihkan pula oleh
Syaikh Al Bany dalam Ash Shohihah no. 281]
Beliau melanjutkan :“Yang dimaksud
mumatsil disitu adalah pelukis atau orang yang melakonkan perbuatannya
di hadapan orang lain. Sebagaimana ditegaskan dalam kamus“. (lihat
Al-Makhroj ? Minal Fitan halaman 90). Para ulama juga lebih mengharamkan
(sandiwara) lagi, tatkala sering terjadi dalam sandiwara seseorang
harus memerankan diri sebagai orang kafir, bahkan penyembah berhala yang
mempraktekkan ibadahnya di hadapan patung. Dan banyak lagi yang
lainnya.
[Syaikh Dr. Sholeh Al Fauzan menjelaskan :"Pendapat saya , bahwa sandiwara (itu) Tidak Boleh!! Karena bebarapa sebab :
[1]. Tujuan sandiwara adalah membuat para hadirin tertawa
[2]. Tasyabuh dengan orang-orang yang tidak baik
[3]. Cara da’wah seperti ini bukanlah cara da’wah yang dicontohkan nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para Salafusholih. Sandiwara-sandiwara tersebut tidaklah dikenal kecuali dari orang-orang kafir yang menular kepada kaum muslimin dengan alasan da’wh.dpun menjdikn sandiwara sebagai wasilah da’wah “ini Juga Tidak Benar, karena wasilah da’wah adalah Taufiqiyah/ sudah tetap diatur.lih. Al Ajwibatu mufidah hal :62-63]
[2]. Tasyabuh dengan orang-orang yang tidak baik
[3]. Cara da’wah seperti ini bukanlah cara da’wah yang dicontohkan nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para Salafusholih. Sandiwara-sandiwara tersebut tidaklah dikenal kecuali dari orang-orang kafir yang menular kepada kaum muslimin dengan alasan da’wh.dpun menjdikn sandiwara sebagai wasilah da’wah “ini Juga Tidak Benar, karena wasilah da’wah adalah Taufiqiyah/ sudah tetap diatur.lih. Al Ajwibatu mufidah hal :62-63]
[Syaikh Bakar Abu Zaid berkata dalam
bukunya :At-Tamstil" hal 18: "Akhirnya para ulama peneliti mengetahui
bahwa bibit sandiwara ini dari syiar ibadah orang-orang Yunani." .Syaikh
Hamud ibnu Abdillah at-Tuwajiri juga menegaskan :"Sesungguhnya
menjadikan sandiwara sebagai sarana da'wah kepada Allah bukanlah
termasuk Sunnah Rasul dan Sunnah Khulafaur Rasyidin.Akan tetapi ini
adalah cara da'wah yang diada-adakan di jaman kita. Lihat Al Hujjatul
Qowiyyah hal :64-64 oleh Syaikh Abdussalam Ibnu Barjas, cet Daarussalaf]
MENDAHULUKAN URUSAN POLITIK DARIPADA SYARI’AT
Meski secara lahir, jama’ah Ikhwanul Muslimin selalu menggembar-gemborkan harus tegaknya kekuasaan Islam, namun secara mengenaskan mereka hanya menjadikan itu sebagai slogan umum yang aplikasinya meninggalkan dakwah tauhid dan menjejali orang awam hanya dengan propaganda politik mereka.
Kita sudah bosan dengan dengungan politik
yang membuat manusia jahil dengan agamanya, mereka hidup terpecah belah
dengan tidak mengenal agamanya, tidak mengenal bagaimana shalat yang
sesuai dengan sunnah RasulNya Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam .
Apakah kita akan menyibukkan manusia dengan politik ???
Padahal keadaan umat seperti ini ???
Mengapa manusia tertipu dengan slogan ini
, padahal jika mansuia belajar dien, maka dengan sendirinya manusia
akan menolak yang berasal dari luar agamanya.
Contohnya, ketika mereka mengakui bahwa
syarat pemimpin Islam yang ideal adalah ilmu dan taqwa, mereka justru
mengangkat Mujadidi sebagai pemimpin Afghanistan, hanya demi
menyenangkan banyak pihak termasuk dunia barat.
Hal itu diungkapkan oleh Abdullah
Al-Azham dalam majalah Al-Jihad nomor 52 maret 1989 : “Mujadidi adalah
profil pemimpin ideal menurut dunia Internasional khususnya barat. Hal
itu akan memuluskan jalan Afghanistan untuk menjadi negara yang diakui
di dunia secara formal…..” (At-Thoriq 214) juga akan kita dapati, bahwa
para pengikut gerakan Ikhwanul Muslimin lebih banyak berbicara dan
mengulas tentang politik daripada aqidah, dalam majalah, buku-buku
bahkan di podium-podium, sampai-sampai dikala menyampaikan khotbah
jum’at.”
Masih banyak lagi penyimpangan dakwah Ikhwanul Muslimin yang tak mungkin dirinci disini satu persatu. Semuanya
sudah banyak diulas ulang oleh para ulama ahlul Hadits. Yang jelas,
gerakan ini turut membidani kelahiran berbagai gerakan sejenis di
berbagai negara.
Di Libanon seperti At-Tauhid, di
Palestina Hammas, di Mesir Jama’ah Islamiah, di Aljazair FIS, di
Malaysia Darul Arqom, di Indonesia seperti NII (Negara Islam Indonesia)
yang sebelumnya dikenal dengan Darul Islam atau DI TII, Al-Usroh,
Komando Jihad, JAMUS (Jama’ah Muslimin), dan lain-lain.
Allahu Musta'an
Tidak ada komentar:
Posting Komentar