Penulis: Rizki Maulana
Shalahuddin
Al-Ayyubi dilahirkan pada tahun 532 H/ 1138 M di Tikrit, sebuah wilayah
Kurdi di utara Iraq. Shalahuddin adalah gelarnya, sedangkan al-Ayyubi
nisbah keluarganya. Adapun nama sebenarnya ialah Yusuf bin Najmuddin.
Pada
usia 14 tahun Shalahuddin ikut kaum kerabatnya ke Damaskus, menjadi
tentara Sultan Nuruddin, penguasa Suriah waktu itu. Pangkatnya naik
setelah tentara Zangi yang dipimpin oleh pamannya sendiri, Shirkuh,
berhasil memukul mundur pasukan Salib (crusaders) dari perbatasan Mesir
dalam serangkaian pertempuran. Pada tahun 1169 Shalahuddin diangkat
menjadi Panglima dan Gubernur (wazir) menggantikan pamannya yang wafat.
Setelah berhasil mengadakan pemulihan dan penataan kembali sistem
perekonomian dan pertahanan Mesir, Shalahuddin mulai menyusun
strateginya untuk membebaskan Baitul Maqdis dari cengkeraman tentara
Salib.
Pada
bulan September 1174, Shalahuddin menekan penguasa Dinasti Fatimiyyah
supaya tunduk dan patuh pada Khalifah Daulat Abbasiyyah di Baghdad. Tiga
tahun kemudian, sesudah kematian Sultan Nuruddin, Shalahuddin
melebarkan sayap kekuasaannya ke Suriah dan utara Mesopotamia. Satu
persatu wilayah penting berhasil dikuasinya: Damaskus (pada tahun 1174),
Aleppo atau Halb (1138) dan Mosul (1186).
Sebagaimana diketahui, berkat perjanjian yang ditandatangani oleh
Khalifah Umar bin Khattab dan Uskup Sophronius menyusul jatuhnya
Antioch, Damascus, dan Yerusalem pada tahun 636 M, orang-orang Islam,
Yahudi dan Nasrani hidup rukun dan damai di Suriah dan Palestina. Mereka
bebas dan aman menjalankan ajaran agama masing-masing di kota suci
tersebut.
Perang Salib
Namun
kerukunan yang telah berlangsung selama lebih 460 tahun itu kemudian
porak-poranda akibat berbagai hasutan dan fitnah yang digembar-gemborkan
oleh seorang patriarch bernama Ermite. Provokator ini berhasil
mengobarkan semangat Paus Urbanus yang lantas mengirim ratusan ribu
orang ke Yerusalem untuk Perang Salib Pertama. Kota suci ini berhasil
mereka rebut pada tahun 1099. Ratusan ribu orang Islam dibunuh dengan
kejam dan biadab, sebagaimana mereka akui sendiri: “In Solomon’s Porch
and in his temple, our men rode in the blood of the Saracens up to the
knees of their horses”.
Menyadari betapa pentingnya kedudukan Baitul Maqdis bagi ummat Islam dan mendengar kezaliman orang-orang Kristen di sana, maka pada tahun 1187 Shalahuddin memimpin serangan ke Yerusalem. Orang Kristen mencatatnya sebagai Perang Salib ke-2. Pasukan Shalahuddin berhasil mengalahkan tentara Kristen dalam sebuah pertempuran sengit di Hittin, Galilee pada 4 July 1187. Dua bulan kemudian (Oktober tahun yang sama), Baitul Maqdis berhasil direbut kembali.
Berita
jatuhnya Yerusalem menggegerkan seluruh dunia Kristen dan Eropa
khususnya. Pada tahun 1189 tentara Kristen melancarkan serangan balik
(Perang Salib ke-3), dipimpin langsung oleh Kaisar Jerman Frederick
Barbarossa, Raja Perancis Philip Augustus dan Raja Inggris Richard ‘the
Lion Heart’.
Perang
berlangsung cukup lama. Baitul Maqdis berhasil dipertahankan, dan
gencatan senjata akhirnya disepakati oleh kedua-belah pihak. Pada tahun
1192 Shalahuddin dan Raja Richard menandatangani perjanjian damai yang
isinya membagi wilayah Palestina menjadi dua: daerah pesisir Laut Tengah
bagi orang Kristen, sedangkan daerah perkotaan untuk orang Islam; namun
demikian kedua-belah pihak boleh berkunjung ke daerah lain dengan aman.
Setahun
kemudian, tepatnya pada 4 Maret 1193, Shalahuddin menghembuskan
nafasnya yang terakhir. Ketika meninggal dunia di Damaskus, Shalahuddin
tidak memiliki harta benda yang berarti, namun namanya harum terukir
dalam sejarah dan jasanya dikenang sepanjang zaman.
Parcel untuk Musuh
Banyak
kisah-kisah unik dan menarik seputar Shalahuddin al-Ayyubi yang layak
dijadikan teladan, terutama sikap ksatria dan kemuliaan hatinya. Di
tengah suasana perang, ia berkali-kali mengirimkan es dan buah-buahan
untuk Raja Richard yang saat itu jatuh sakit.
Ketika
menaklukkan Kairo, ia tidak serta-merta mengusir keluarga Dinasti
Fatimiyyah dari istana-istana mereka. Ia menunggu sampai raja mereka
wafat, baru kemudian anggota keluarganya diantar ke tempat pengasingan
mereka. Gerbang kota tempat benteng istana dibuka untuk umum. Rakyat
dibolehkan tinggal di kawasan yang dahulunya khusus untuk para bangsawan
Bani Fatimiyyah. Di Kairo, ia bukan hanya membangun masjid dan benteng,
tapi juga sekolah, rumah-sakit dan bahkan gereja.
Shalahuddin
juga dikenal sebagai orang yang saleh dan wara‘. Ia tidak pernah
meninggalkan shalat fardu dan gemar shalat berjamaah. Bahkan ketika
sakit keras pun ia tetap berpuasa, walaupun dokter menasihatinya supaya
berbuka. “Aku tidak tahu bila ajal akan menemuiku,” katanya.
Shalahuddin
amat dekat dan sangat dicintai oleh rakyatnya. Ia menetapkan hari Senin
dan Selasa sebagai waktu tatap muka dan menerima siapa saja yang
memerlukan bantuannya. Ia tidak nepotis atau pilih kasih. Pernah seorang
lelaki mengadukan perihal keponakannya, Taqiyyuddin. Shalahuddin
langsung memanggil anak saudaranya itu untuk dimintai keterangan.
Pernah
juga suatu kali ada yang membuat tuduhan kepadanya. Walaupun tuduhan
tersebut terbukti tidak berasas sama sekali, Shalahuddin tidak marah. Ia
bahkan menghadiahkan orang yang menuduhnya itu sehelai jubah dan
beberapa pemberian lain. Ia memang gemar menyedekahkan apa saja yang
dimilikinya dan memberikan hadiah kepada orang lain, khususnya
tamu-tamunya.
Ia
juga dikenal sangat lembut hati, bahkan kepada pelayannya sekalipun.
Pernah ketika ia sangat kehausan dan minta dibawakan segelas air,
pembantunya menyuguhkan air yang agak panas. Tanpa menunjukkan kemarahan
ia terus meminumnya. Kezuhudan Shalahuddin tertuang dalam ucapannya
yang selalu dikenang: “Ada orang yang baginya uang dan debu sama saja.”
Sumber lainnya dibawah ini :
Sultan Salahuddin Al-Ayyubi,
namanya telah terpateri di hati sanubari pejuang Muslim yang memiliki
jiwa patriotik dan heroik, telah terlanjur terpahat dalam sejarah
perjuangan umat Islam karena telah mampu menyapu bersih,
menghancurleburkan tentara salib yang merupakan gabungan pilihan dari
seluruh benua Eropa.
Konon guna
membangkitkan kembali ruh jihad atau semangat di kalangan Islam yang
saat itu telah tidur nyenyak dan telah lupa akan tongkat estafet yang
telah diwariskan oleh Nabi Muhammad saw., maka Salahuddinlah yang
mencetuskan ide dirayakannya kelahiran Nabi Muhammad saw. Melalui media
peringatan itu dibeberkanlah sikap ksatria dan kepahlawanan pantang
menyerah yang ditunjukkan melalui “Siratun Nabawiyah”. Hingga kini
peringatan itu menjadi tradisi dan membudaya di kalangan umat Islam.
Jarang
sekali dunia menyaksikan sikap patriotik dan heroik bergabung menyatu
dengan sifat perikemanusian seperti yang terdapat dalam diri pejuang
besar itu. Rasa tanggung jawab terhadap agama (Islam) telah ia baktikan
dan buktikan dalam menghadapi serbuan tentara ke tanah suci Palestina
selama dua puluh tahun, dan akhirnya dengan kegigihan, keampuhan dan
kemampuannya dapat memukul mundur tentara Eropa di bawah pimpinan
Richard Lionheart dari Inggris.
Hendaklah
diingat, bahwa Perang Salib adalah peperangan yang paling panjang dan
dahsyat penuh kekejaman dan kebuasan dalam sejarah umat manusia, memakan
korban ratusan ribu jiwa, di mana topan kefanatikan membabi buta dari
Kristen Eropa menyerbu secara menggebu-gebu ke daerah Asia Barat yang
Islam.
Seorang
penulis Barat berkata, “Perang Salib merupakan salah satu bagian sejarah
yang paling gila dalam riwayat kemanusiaan. Umat Nasrani menyerbu kaum
Muslimin dalam ekspedisi bergelombang selama hampir tiga ratus tahun
sehingga akhirnya berkat kegigihan umat Islam mereka mengalami
kegagalan, berakibat kelelahan dan keputusasaan. Seluruh Eropa sering
kehabisan manusia, daya dan dana serta mengalami kebangkrutan sosial,
bila bukan kehancuran total. Berjuta-juta manusia yang tewas dalam medan
perang, sedangkan bahaya kelaparan, penyakit dan segala bentuk
malapetaka yang dapat dibayangkan berkecamuk sebagai noda yang melekat
pada muka tentara Salib. Dunia Nasrani Barat saat itu memang dirangsang
ke arah rasa fanatik agama yang membabi buta oleh Peter The Hermit dan
para pengikutnya guna membebaskan tanah suci Palestina dari tangan kaum
Muslimin”.
“Setiap
cara dan jalan ditempuh”, kata Hallam guna membangkitkan kefanatikan
itu. Selagi seorang tentara Salib masih menyandang lambang Salib, mereka
berada di bawah lindungan gereja serta dibebaskan dari segala macam
pajak dan juga untuk berbuat dosa.
Peter The
Hermit sendiri memimpin gelombang serbuan yang kedua terdiri dari empat
puluh ribu orang. Setelah mereka sampai ke kota Malleville mereka
menebus kekalahan gelombang serbuan pertama dengan menghancurkan kota
itu, membunuh tujuh ribu orang penduduknya yang tak bersalah, dan
melampiaskan nafsu angkaranya dengan segala macam kekejaman yang tak
terkendali. Gerombolan manusia fanatik yang menamakan dirinya tentara
Salib itu mengubah tanah Hongaria dan Bulgaria menjadi daerah-daerah
yang tandus.
“Bilamana
mereka telah sampai ke Asia Kecil, mereka melakukan kejahatan-kejahatan
dan kebuasan-kebuasan yang membuat alam semesta menggeletar” demikian
tulis pengarang Perancis Michaud.
Gelombang
serbuan tentara Salib ketiga yang dipimpin oeh seorang Rahib Jerman,
menurut pengarang Gibbon terdiri dari sampah masyarakat Eropa yang
paling rendah dan paling dungu. Bercampur dengan kefanatikan dan
kedunguan mereka itu izin diberikan guna melakukan perampokan, perzinaan
dan bermabuk-mabukan. Mereka melupakan Konstantin dan Darussalam dalam
kemeriahan pesta cara gila-gilaan dan perampokan, pengrusakan dan
pembunuhan yang merupakan peninggalan jelek dari mereka atas setiap
daerah yang mereka lalui” kata Marbaid.
Gelombang
serbuan tentara Salib keempat yang diambil dari Eropa Barat, menurut
keterangan penulis Mill “terdiri dari gerombolan yang nekat dan ganas.
Massa yang membabi buta itu menyerbu dengan segala keganasannya
menjalankan pekerjaan rutinnya merampok dan membunuh. Tetapi akhirnya
mereka dapat dihancurkan oleh tentara Hongaria yang naik pitam dan telah
mengenal kegila-gilaan tentara Salib sebelumnya.
Tentara
Salib telah mendapat sukses sementara dengan menguasai sebagian besar
daerah Syria dan Palestina termasuk kota suci Yerusalem. Tetapi
Kemenangan-kemenangan mereka ini telah disusul dengan keganasan dan
pembunuhan terhadap kaum Muslimin yang tak bersalah yang melebihi
kekejaman Jengis Khan dan Hulagu Khan.
John Stuart
Mill ahli sejarah Inggris kenamaan, mengakui pembunuhan-pembunuhan
massal penduduk Muslim ini pada waktu jatuhnya kota Antioch. Mill
menulis: “Keluruhan usia lanjut, ketidakberdayaan anak-anak dan
kelemahan kaum wanita tidak dihiraukan sama sekali oleh tentara Latin
yang fanatik itu. Rumah kediaman tidak diakui sebagai tempat berlindung
dan pandangan sebuah masjid merupakan pembangkit nafsu angkara untuk
melakukan kekejaman. Tentara Salib menghancurleburkan kota-kota Syria,
membunuh penduduknya dengan tangan dingin, dan membakar habis
perbendaharaan kesenian dan ilmu pengetahuan yang sangat berharga,
termasuk “Kutub Khanah” (Perpustakaan) Tripolis yang termasyhur itu.
“Jalan raya penuh aliran darah, sehingga keganasan itu kehabisan
tenaga,” kata Stuart Mill. Mereka yang cantik rupawan disisihkan untuk
pasaran budak belian di Antioch. Tetapi yang tua dan yang lemah
dikorbankan di atas panggung pembunuhan.
Lewat
pertengahan abad ke-12 Masehi ketika tentara Salib mencapai puncak
kemenangannya dan Kaisar Jerman, Perancis serta Richard Lionheart Raja
Inggris telah turun ke medan pertempuran untuk turut merebut tanah suci
Baitul Maqdis, gabungan tentara Salib ini disambut oleh Sultan
Shalahuddin al Ayyubi (biasa disebut Saladin), seorang Panglima Besar
Muslim yang menghalau kembali gelombang serbuan umat Nasrani yang datang
untuk maksud menguasai tanah suci. Dia tidak saja sanggup untuk
menghalau serbuan tentara Salib itu, akan tetapi yang dihadapi mereka
sekarang ialah seorang yang berkemauan baja serta keberanian yang luar
biasa yang sanggup menerima tantangan dari Nasrani Eropa.
Siapakah Shalahuddin? Bagaimana latar belakang kehidupannya?
Shalahuddin
dilahirkan pada tahun 1137 Masehi. Pendidikan pertama diterimanya dari
ayahnya sendiri yang namanya cukup tersohor, yakni Najamuddin al-Ayyubi.
Di samping itu pamannya yang terkenal gagah berani juga memberi andil
yang tidak kecil dalam membentuk kepribadian Shalahuddin, yakni
Asaduddin Sherkoh. Kedua-duanya adalah pembantu dekat Raja Syria
Nuruddin Mahmud.
Asaduddin
Sherkoh, seorang jenderal yang gagah berani, adalah komandan Angkatan
Perang Syria yang telah memukul mundur tentara Salib baik di Syria
maupun di Mesir. Sherkoh memasuki Mesir dalam bulan Februari 1167 Masehi
untuk menghadapi perlawanan Shawer seorang menteri khalifah Fathimiyah
yang menggabungkan diri dengan tentara Perancis. Serbuan Sherkoh yang
gagah berani itu serta kemenangan akhir yang direbutnya dari Babain atas
gabungan tentara Perancis dan Mesir itu menurut Michaud “memperlihatkan
kehebatan strategi tentara yang bernilai ringgi.”
Ibnu Aziz AI Athir
menulis tentang serbuan panglima Sherkoh ini sebagai berikut: “Belum
pernah sejarah mencatat suatu peristiwa yang lebih dahsyat dari
penghancuran tentara gabungan Mesir dan Perancis dari pantai Mesir, oleh
hanya seribu pasukan berkuda”.
Pada
tanggal 8 Januari 1169 M Sherkoh sampai di Kairo dan diangkat oleh
Khalifah Fathimiyah sebagai Menteri dan Panglima Angkatan Perang Mesir.
Tetapi sayang, Sherkoh tidak ditakdirkan untuk lama menikmati hasil
perjuangannya. Dua bulan setelah pengangkatannya itu, dia berpulang ke
rahmatullah.
Sepeninggal
Sherkoh, keponakannya Shalahuddin al-Ayyubi diangkat jadi Perdana
Menteri Mesir. Tak seberapa lama ia telah disenangi oleh rakyat Mesir
karena sifat-sifatnya yang pemurah dan adil bijaksana itu. Pada saat
khalifah berpulang ke rahmatullah, Shalahuddin telah menjadi penguasa
yang sesungguhnya di Mesir.
Di Syria,
Nuruddin Mahmud yang termasyhur itu meninggal dunia pada tahun 1174
Masehi dan digantikan oleh putranya yang berumur 11 tahun bernama
Malikus Saleh. Sultan muda ini diperalat oleh pejabat tinggi yang
mengelilinginya terutama (khususnya) Gumushtagin. Shalahuddin
mengirimkan utusan kepada Malikus Saleh dengan menawarkan jasa baktinya
dan ketaatannya. Shalahuddin bahkan melanjutkan untuk menyebutkan nama
raja itu dalam khotbah-khotbah Jumatnya dan mata uangnya. Tetapi segala
macam bentuk perhatian ini tidak mendapat tanggapan dari raja muda itu
berserta segenap pejabat di sekelilingnya yang penuh ambisi itu. Suasana
yang meliputi kerajaan ini sekali lagi memberi angin kepada tentara
Salib, yang selama ini dapat ditahan oleh Nuruddin Mahmud dan
panglimanya yang gagah berani, Jenderal Sherkoh.
Atas
nasihat Gumushtagin, Malikus Saleh mengundurkan diri ke kota Aleppo,
dengan meninggalkan Damaskus diserbu oleh tentara Perancis. Tentara
Salib dengan segera menduduki ibukota kerajaan itu, dan hanya bersedia
untuk menghancurkan kota itu setelah menerima uang tebusan yang sangat
besar. Peristiwa itu menimbulkan amarah Shalahuddin al-Ayyubi yang
segera ke Damaskus dengan suatu pasukan yang kecil dan merebut kembali
kota itu.
Setelah ia
berhasil menduduki Damaskus dia tidak terus memasuki istana rajanya
Nuruddin Mahmud, melainkan bertempat di rumah orang tuanya. Umat Islam
sebaliknya sangat kecewa akan tingkah laku Malikus Saleh. dan mengajukan
tuntutan kepada Shalahuddin untuk memerintah daerah mereka. Tetapi
Shalahuddin hanya mau memerintah atas nama raja muda Malikus Saleh.
Ketika Malikus Saleh meninggal dunia pada tahun 1182 Masehi, kekuasaan
Shalahuddin telah diakui oleh semua raja-raja di Asia Barat.
Diadakanlah
gencatan senjata antara Sultan Shalahuddin dan tentara Perancis di
Palestina, tetapi menurut ahli sejarah Perancis Michaud: “Kaum Muslimin
memegang teguh perjanjiannya, sedangkan golongan Nasrani memberi isyarat
untuk memulai lagi peperangan.” Berlawanan dengan syarat-syarat
gencatan senjata, penguasa Nasrani Renanud atau Reginald dari Castillon
menyerang suatu kafilah Muslim yang lewat di dekat istananya, membunuh
sejumlah anggotanya dan merampas harta bendanya.
Lantaran
peristiwa itu Sultan sekarang bebas untuk bertindak. Dengan siasat
perang yang tangkas Sultan Shalahuddin mengurung pasukan musuh yang kuat
itu di dekat bukit Hittin pada tahun 1187 M serta menghancurkannya
dengan kerugian yang amat besar. Sultan tidak memberikan kesempatan lagi
kepada tentara Nasrani untuk menyusun kekuatan kembali dan melanjutkan
serangannya setelah kemenangan di bukit Hittin. Dalam waktu yang sangat
singkat dia telah dapat merebut kembali sejumlah kota yang diduduki kaum
Nasrani, termasuk kota-kota Naplus, Jericho, Ramlah, Caosorea, Arsuf,
Jaffa dan Beirut. Demikian juga Ascalon telah dapat diduduki Shalahuddin
sehabis pertempuran yang singkat yang diselesaikan dengan syarat-syarat
yang sangat ringan oleh Sultan yang berhati mulia itu.
Sekarang
Shalahuddin menghadapkan perhatian sepenuhnya terhadap kota Jerusalem
yang diduduki tentara Salib dengan kekuatan melebihi enam puluh ribu
prajurit. Ternyata tentara salib ini tidak sanggup menahan serbuan
pasukan Sultan dan menyerah pada tahun 1193. Sikap penuh perikemanusiaan
Sultan Shalahuddin dalam memperlakukan tentara Nasrani itu merupakan
suatu gambaran yang berbeda seperti langit dan bumi, dengan perlakuan
dan pembunuhan secara besar-besaran yang dialami kaum Muslimin ketika
dikalahkan oleh tentara Salib sekitar satu abad sebelumnya.
Menurut
penuturan ahli sejarah Michaud, pada waktu Jerusalem direbut oleh
tentara Salib pada tahun 1099 Masehi, kaum Muslimin dibunuh secara
besar-besaran di jalan-jalan raya dan di rumah-rumah kediaman. Jerusalem
tidak memiliki tempat berlindung bagi umat Islam yang menderita
kekalahan itu. Ada yang melarikan diri dari cengkeraman musuh dengan
menjatuhkan diri dari tembok-tembok yang tinggi, ada yang lari masuk
istana, menara-menara, dan tak kurang pula yang masuk masjid. Tetapi
mereka tidak terlepas dari kejaran tentara Salib. Tentara Salib yang
menduduki masjid Umar di mana kaum Muslimin dapat bertahan untuk waktu
yang singkat. mengulangl lagi tindakan-tindakan yang penuh kekejaman.
Pasukan infanteri dan kavaleri menyerbu kaum pengungsi yang lari
tunggang langgang. Di tengah-tengah kekacaubalauan kaum peenyerbu itu
yang terdengar hanyalah erangan dan teriakan maut. Pahlawan Salib yang
berjasa itu berjalan menginjak-injak tumpukan mayat Muslimin, mengejar
mereka yang masih berusaha dengan sia-sia melarikan diri. Raymond d’
Angiles yang menyaksikan peristiwa itu mengatakan bahwa “di serambi
masjid mengalir darah sampai setinggi lutut, dan sampai ke tali tukang
kuda prajurit.”
Penyembelihan
manusia biadab ini berhenti sejenak, ketika tentara Salib berkumpul
untuk melakukan misa syukur atas kemenangan yang telah mereka peroleh.
Tetapi setelah beribadah itu, mereka melanjutkan kebiadaban dengan
keganasan. “Semua tawanan” kata Michaud, “yang tertolong nasibnya karena
kelelahan tentara Salib yang semula tertolong karena mengharapkan
diganti dengan uang tebusan yang besar, semua dibunuh dengan tanpa
ampun. Kaum Muslimin terpaksa menjatuhkan diri mereka dari menara dan
rumah kediaman; mereka dibakar hidup-hidup, mereka diseret dari tempat
persembunyiannya di bawah tanah; mereka dipancing dari tempat
perlindungannya agar keluar untuk dibunuh di atas timbunan mayat.”
Cucuran air
mata kaum wanita, pekikan anak-anak yang tak bersalah, bahkan juga
kenangan dari tempat di mana Nabi lsa memaafkan algojo-algojonya, tidak
dapat meredakan nafsu angkara tentara yang menang itu. Penyembelihan
kejam itu berlangsung selama seminggu. Dan sejumlah kecil yang dapat
melarikan diri dari pembunuhan jatuh menjadi budak yang hina dina.
Seorang
ahli sejarah Barat, Mill menambahkan pula: “Telah diputuskan, bahwa kaum
Muslimin tidak boleh diberi ampun. Rakyat yang ditaklukkan oleh karena
itu harus diseret ke tempat-tempat umum untuk dibunuh hidup-hidup.
Ibu-ibu dengan anak yang melengket pada buah dadanya, anak-anak
laki-laki dan perempuan, seluruhnya disembelih. Lapangan-Iapangan kota,
jalan-jalan raya, bahkan pelosok-pelosok Jerusalem yang sepi telah
dipenuhi oleh bangkai-bangkai mayat laki-laki dan perempuan, dan anggota
tubuh anak-anak. Tiada hati yang menaruh belas kasih atau teringat
untuk berbuat kebajikan.”
Demikianlah
rangkaian riwayat pembantaian secara masal kaum Muslimin di Jerusalem
sekira satu abad sebelum Sultan Shalahuddin merebut kembali kota suci,
di mana lebih dari tujuh puluh ribu umat Islam yang tewas.
Sebaliknya,
ketika Sultan Shalahuddin merebut kembali kota Jerusalem pada tahun
1193 M, dia memberi pengampunan umum kepada penduduk Nasrani untuk
tinggal di kota itu. Hanya para prajurit Salib yang diharuskan
meninggalkan kota dengan pembayaran uang tebusan yang ringan. Bahkan
sering terjadi bahwa Sultan Shalahuddin yang mengeluarkan uang tebusan
itu dari kantongnya sendiri dan diberikannya pula kemudian alat
pengangkutan. Sejumlah kaum wanita Nasrani dengan mendukung anak-anak
mereka datang menjumpai Sultan dengan penuh tangis seraya berkata: “Tuan
saksikan kami berjalan kaki, para istri serta anak-anak perempuan para
prajurit yang telah menjadi tawanan Tuan, kami ingin meninggalkan negeri
ini untuk selama-lamanya. Para prajurit itu adalah tumpuan hidup kami.
Bila kami kehilangan mereka akan hilang pulalah harapan kami. Bilamana
Tuan serahkan mereka kepada kami mereka akan dapat meringankan
penderitaan kami dan kami akan mempunyai sandaran hidup.”
Sultan
Shalahuddin sangat tergerak hatinya dengan permohonan mereka itu dan
dibebaskannya para suami kaum wanita Nasrani itu. Mereka yang berangkat
meninggalkan kota, diperkenankan membawa seluruh harta bendanya. Sikap
dan tindakan Sultan Shalahuddin yang penuh kemanusiaan serta dari jiwa
yang mulia ini memperlihatkan suasana kontras yang sangat mencolok
dengan penyembelihan kaum Muslimin di kota Jerusalem dalam tangan
tentara Salib satu abad sebe1umnya. Para komandan pasukan tentara
Shalahuddin saling berlomba dalam memberikan pertolongan kepada tentara
Salib yang telah dikalahkan itu.
Para
pelarian Nasrani dari kota Jerusalem itu tidaklah mendapat perlindungan
oleh kota-kota yang dikuasai kaum Nasrani. “Banyak kaum Nasrani yang
meninggalkan Jerusalem,” kata Mill, pergi menuju Antioch, tetapi
panglima Nasrani Bohcmond tidak saja menolak memberikan perlindungan
kepada mcreka, bahkan merampasi harta benda mereka. Maka pergilah mereka
menuju ke tanah kaum Muslimin dan diterima di sana dengan baik. Michaud
mcmberikan keterangan yang panjang lebar tentang sikap kaum Nasrani
yang tak berperikemanusiaan ini terhadap para pelarian Nasrani dari
Jerusalem. Tripoli menutup pintu kotanya dari pengungsi ini, kata
Michaud. “Seorang wanita karena putus asa melemparkan anak bayinya ke
dalam laut sambil menyumpahi kaum Nasrani yang menolak untuk memberikan
pertolongan kepadanya,” kata Michaud. Sebaliknya Sultan Shalahuddin
bersikap penuh timbang rasa terhadap kaum Nasrani yang ditaklukkan itu.
Sebagai pertimbangan terhadap perasaan mereka, dia tidak memasuki
Jerusalem sebelum mereka meninggalkannya.
Dari
Jerusalem Sultan Shalahuddin mengarahkan pasukannya ke kota Tyre, di
mana tentara Salib yang tidak tahu berterima kasih terhadap Sultan
Shalahuddin yang telah mengampuninya di Jerusalem, menyusun kekuatan
kembali untuk melawan Sultan. Sultan Shalahuddin menaklukkan sejumlah
kota yang diduduki oleh tentara Salib di pinggir pantai, termasuk kota
Laodicea, Jabala, Saihun, Becas, dan Debersak. Sultan telah melepas hulu
balang Perancis bernama Guy de Lusignan dengan perjanjian, bahwa dia
harus segera pulang ke Eropa. Tetapi tidak lama setelah pangeran Nasrani
yang tak tahu berterima kasih ini mendapatkan kebebasannya, dia
mengingkari janjinya dan mengumpulkan suatu pasukan yang cukup besar dan
mengepung kota Ptolemais.
Jatuhnya
Jerusalem ke tangan kaum Muslimin menimbulkan kegusaran besar di
kalangan dunia Nasrani. Sehingga mereka segera mengirimkan bala bantuan
dari seluruh pelosok Eropa. Kaisar Jerman dan Perancis serta raja
Inggris Richard Lion Heart segera berangkat dengan pasukan yang besar
untuk merebut tanah suci dari tangan kaum Muslimin. Mereka mengepung
kota Akkra yang tidak dapat direbut selama berapa bulan. Dalam sejumlah
pertempuran terbuka, tentara Salib mengalami kekalahan dengan
meninggalkan korban yang cukup besar.
Sekarang
yang harus dihadapi Sultan Shalahuddin ialah berupa pasukan gabungan
dari Eropa. Bala bantuan tentara Salib mengalir ke arah kota suci tanpa
putus-putusnya, dan sungguh pun kekalahan dialami mereka secara
bertubi-tubi, namun demikian tentara Salib ini jumlah semakin besar
juga. Kota Akkra yang dibela tentara Islam berbulan-bulan lamanya
menghadapi tentara pilihan dari Eropa, akhirnya karena kehabisan bahan
makanan terpaksa menyerah kepada musuh dengan syarat yang disetujui
bersama secara khidmat, bahwa tidak akan dilakukan pembunuhan-pembunuhan
dan bahwa mereka diharuskan membayar uang tebusan sejumlah 200.000 emas
kepada pimpinan pasukan Salib. Karena kelambatan dalam suatu
penyelesaian uang tebusan ini, Raja Richard Lionheart menyuruh membunuh
kaum Muslimin yang tak berdaya itu dengan dan hati yang dingin di
hadapan pandangan mata saudara sesama kaum Muslimin.
Perilaku
Raja Inggris ini tentu saja sangat menusuk perasaan hati Sultan
Shalahuddin. Dia bernadzar untuk menuntut bela atas darah kaum Muslimin
yang tak bersalah itu. Dalam pertempuran yang berkecamuk sepanjang 150
mil garis pantai, Sultan Shalahuddin memberikan pukulan-pukulan yang
berat terhadap tentara Salib.
Akhirnya
Raja Inggris yang berhati singa itu mengajukan permintaan damai yang
diterima oleh Sultan. Raja itu merasakan bahwa yang dihadapinya adalah
seorang yang berkemauan baja dan tenaga yang tak terbatas serta
menyadari betapa sia-sianya melanjutkan perjuangan terhadap orang yang
demikian itu. Dalam bulan September 1192 Masehi dibuatlah perjanjian
perdamaian. Tentara Salib itu meninggalkan tanah suci dengan ransel
dengan barang-barangnya kembali menuju Eropa.
“Berakhirlah
dengan demikian serbuan tentara Salib itu” tulis Michaud “di mana
gabungan pasukan pilihan dari Barat merebut kemenangan tidak lebih
daripada kejatuhan kota Akkra dan kehancuran kota Askalon. Dalam
pertempuran itu Jerman kehilangan seorang kaisarnya yang besar beserta
kehancuran tentara pilihannya. Lebih dari enam ratus ribu orang pasukan
Salib mendarat di depan kota Akkra dan yang kembali pulang ke negerinya
tidak lebih dari seratus ribu orang. Dapatlah dipahami mengapa Eropa
dengan penuh kesedihan menerima hasil perjuangan tentara Salib itu, oleh
karena yang turut dalam pertempuran terakhir adalah tentara pilihan.
Bunga kesatria Barat yang menjadi kebanggaan Eropa telah turut dalam
pertempuran ini.
Sultan
Shalahuddin mengakhiri sisa-sisa hidupnya dengan kegiatan-kegiatan bagi
kesejahteraan masyarakat dengan membangun rumah sakit, sekolah-sekolah,
perguruan-perguruan tinggi serta masjid-masjid di seluruh daerah yang
diperintahnya.
Tetapi
sayang, dia tidaklah ditakdirkan untuk lama merasakan nikmat perdamaian.
Beberapa bulan kemudian dia pulang ke rahmatullah pada tanggal 4 Maret
tahun 1193. “Hari itu merupakan hari musibah besar, yang belum pernah
dirasakan oleh dunia Islam dan kaum Muslimin, semenjak mereka kehilangan
Khulafa Ar-Rasyidin” demikian tulis seorang penulis Islam. Kalangan
Istana seluruh daerah kerajaan berikut seluruh umat Islam tenggelam
dalam lautan duka nestapa. Seluruh isi kota mengikuti usungan jenazahnya
ke kuburan dengan penuh kesedihan dan tangisan.
Demikianlah
berakhirnya kehidupan Sultan Shalahuddin, seorang raja yang sangat
dalam perikemanusiaannya dan tak ada tolok bandingannya, jiwa
kepahlawanan yang dimilikinya dalam sejarah kemanusiaan. Dalam
pribadinya, Allah telah melimpahkan hati seorang Muslim yang penuh kasih
sayang terhadap kemanusiaan dicampur dengan sangat harmonis dengan
keperkasaan seorang genius dalam medan pertempuran. Utusan yang
menyampaikan berita kematiannnya itu ke Baghdad membawa serta baju
perangnya, kudanya, uang sebanyak satu dinar dan 36 dirham sebagai milik
pribadinya yang masih ketinggalan. Orang yang hidup satu zaman
dengannya, serta segenap ahli sejarah sama sependapat bahwa Sultan
Shalahuddin adalah seorang yang sangat lemah lembut hatinya, ramah
tamah, sabar, seorang sahabat yang baik dari kaum cendekiawan dan
golongan ulama yang diperlakukannya dengan rasa hormat yang mendalam
serta dengan penuh kebajikan. “Di Eropa” tulis Philip K Hitti, dia telah
menyentuh alam khayalan para penyanyi maupun para penulis novel zaman
sekarang, dan masih tetap dinilai sebagai suri teladan kaum kesatria.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar