Penulis: Rizki Maulana
Ittiba’ (mengikuti) kebenaran
adalah kewajiban setiap manusia sebagaimana Alloh wajibkan setiap
manusia agar selalu ittiba’ kepada wahyu yang diturunkan oleh Alloh
kepada Rasul-Nya. Alloh jadikan wahyu tersebut sebagai petunjuk bagi
manusia di dalam kehidupannya.
Tidak ada yang membangkang kepada
perintah Alloh tersebut kecuali orang-orang yang taqlid kepada nenek
moyangnya atau kebiasaan yang berlaku di sekelilingnya atau hawa
nafsunya yang mengajak untuk membangkang dari perintah AlIoh. Mereka
tolak datangnya kebenaran karena taqlid.
Tidak ada satu pun kesesatan kecuali
disebabkan taqlid kepada kebatilan yang diperindah oleh iblis sehingga
tampak sebagai kebenaran. Inilah sebab kesesatan setiap kaum para rasul
yang menolak dakwah para rasul. Inilah sebab kesesatan orang-orang
Nashara yang taqlid kepada pendeta-pendeta dan rahib-rahib mereka.
Inilah sebab kesesatan setiap kelompok ahli bid’ah yang taqlid kepada
pemikiran-pemikiran sesat dan gembong-gembong mereka.
Para pengikut kesesatan ini menggunakan
segala cara untuk mempertahankan kesesatan mereka sekaligus mengajak
orang-orang selain mereka kepada jalan mereka. Mereka sebarkan syubhat
bahwa orang yang ittiba’ kepada manhaj para ulama adalah taqlid kepada
ulama. Mereka campur adukkan antara taqlid dan ittiba’.
Jika mereka diseru untuk meninggalkan taqlid kepada pemikiran para pemimpin kesesatan mereka, mereka balik membantah, “Wahai para Salafiyyun kalian juga taqlid kepada para ulama kalian!”
Inilah jalan setiap pemilik kesesatan
dari masa ke masa, mereka gabungkan antara kebatilan dengan kebenaran,
mereka kaburkan garis pemisah antara keduanya.
Dengan memhon Taufiq dari Alloh pada
pembahasan kali ini kami ketengahkan kepada pembaca beberapa perbedaan
yang mendasar antara taqlid dan ittiba’ agar kita bisa memahaminya
dengan benar, dan sekaligus -bi’idznillah-bisa menepis syubhat para
pemilik kebatilan dalam masalah ini.
DEFINISI TAQLID
Taqlid secara bahasa adalah meletakkan
“al-qiladatun” (kalung) ke leher. Dipakai juga dalam hal menyerahkan
perkara kepada seseorang seakan-akan perkara tersebut diletakkan di
lehernya seperti kalung. [Lisanul Arab 3/367 dan Mudzakkirah Ushul Fiqh hal.3 14]
Adapun taqlid menurut istilah adalah
mengikuti perkataan yang tidak ada hujjahnya sebagaimana dikatakan oleh
Al-Imam Abu Abdillah bin Khuwaiz Mindad [Jami’ Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/993 dan l’lamul Muwaqqi’in 2/178]
Ada juga yang mengatakan bahwa taqlid adalah mengikuti perkataan orang lain tanpa mengetahui dalilnya. [Mudzakkirah Ushul Fiqh hal. 3 14]
CELAAN TERHADAP TAQLID
Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah mencela taqlid dalam Kitab-Nya, Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb selain Allah” [At-Taubah : 31]
Ketika Adi bin Hatim Radhiyallahu ‘anhu
mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam membaca ayat ini
maka dia mengatakan, “Wahai Rasulullah, kami dulu tidak menjadikan
mereka sebagai rabb rabb.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Ya, Bukankah jika mereka halalkan kepada kalian apa yang
diharamkan atas kalian maka kalian juga menghalalkannya, dan jika
mereka haramkan apa yang dihalalkan atas kalian maka kalian juga
mengharamkannya?” Adi Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ya.” Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ltulah peribadatan kepada
mereka” [Diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Jami’ nya 3095 dan
Baihaqidalam Sunan Kubra 10/116 dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani
dalam Ghayatul Maram hal.20]
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Dan demikianlah, Kami
tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu
negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata:
“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan
sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.” (Rasul itu)
berkata: ‘Apakah (kamu akan mengikutinyajuga) sekalipun aku membawa
untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang
kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya
kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya” [Az-Zukhruf : 23-24]
Al-Imam lbnu Abdil Barr rahimahullahu
berkata, “Karena mereka taqlid kepada bapak-bapak mereka maka mereka
tidak mau mengikuti petunjuk para Rasul” [Jami’ Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/977]
Alloh menyifati orang-orang yang taqlid dengan firman-Nya.
“Artinya : Sesungguhnya binatang
(makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-arang yang
pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa pun” [Al-Anfal : 22]
“Artinya : Ketika orang-orang yang
diikuti itu berlepas diri dan orang-orang yang mengikutinya, dan mereka
melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus
sama sekali” [Al-Baqarah : 166]
Al-Imam Ibnu Abdil Barr berkata, “Para ulama berargumen dengan ayat-ayat mi untuk membatalkan taqlid” [Jami’ Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/978]
WAJIBNYA ITTIBA’
Ittiba’ adalah menempuh jalan orang yang (wajib) diikuti dan melakukan apa yang dia lakukan. [I’lamul Muwaqqi’in 2/171]
Seorang muslim wajib ittiba’ kepada
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dengan menempuh jalan yang
beliau tempuh dan melakukan apa yang beliau lakukan. Begitu banyak ayat
Al-Qur’an yang memerintahkan setiap muslim agar selalu ittiba’ kepada
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam di antaranya firman Alloh.
“Artinya : Katakanlah: “Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, makasesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir” [Ali lmran : 32]
“Artinya : Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” [Al-Hujurat : 1]
“Artinya : Hai orang-arang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah Ia kepoda Allah (AlQur ‘an) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian
itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” [An-Nisa :59].
“Artinya : Katakanlah: “Jika kamu
(benar-benar) mencintal Alloh, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi
dan mengampuni dosa-dosamu. “Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [Ali lmran :31]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya seandainya Musa hidup maka tidak boleh baginya kecuali mengikutiku” [Dikeluarkan
oleh Abdur Razzaq dalamMushannafnya 6/Fl 3, lbnu Abi Syaibah dalam
Mushannafnya 9/47, Ahmad dalam Musnadnya 3/387, dan lbnu Abdil Barr
dalam Jami’ Bayan Ilmi 2/805, Syaikh Al-Albani berkata dalam Irwa’
6/34, “Hasan”]
Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata,
“Jika Musa Kalimullah tidak boleh ittiba’ kecuali kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaimana dengan yang lainnya? Hadits ini
merupakan dalil yang qath‘i atas wajibnya mengesakan Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam dalam hal ittiba’, dan ini merupakan konsekuensi
syahadat ‘anna Muhammadan rasulullah”, karena itulah Alloh sebutkan
dalam ayat di atas (Ali lmran : 31) bahwa ittiba’ kepada Rasulullah
bukan kepada yang lainnya adalah dalil kecintaan Alloh kepadanya” [Muqaddimah Bidayatus Sul fi Tafdhili Rasul hal.5-6]
Demikian juga Alloh memerintahkan setiap muslim agar ittiba’ kepada sabilil mukminin
yaitu jalan para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
mengancam dengan hukuman yang berat kepada siapa saja yang menyeleweng
darinya:
“Artinya : Dan barangsiapa yang
menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan
yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam
jahanam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. [An-Nisa’: 115]
Pengertian lain dari ittiba’ adalah jika
engkau mengikuti suatu perkataan seseorang yang nampak bagimu
keshahihannya sebagaimana diktakan oleh Al-Imam Ibnu Abdil Barr dalam
kitabnya Jami’ Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/787.
Al-Imam Asy-Syafi’i berkata, “Aku tidak
pernah mendebat seorang pun kecuali aku katakan: Ya Alloh jalankan
kebenaran pada hati dan lisannya, jika kebenaran bersamaku maka dia
ittiba’ kepadaku dan jika kebenaran bersamanya maka aku ittiba’
padanya” [Qawa’idul Ahkam fi Mashalihil Anam oleh Al-’Izz bin Abdis Salam 2/I 36]
TAQLID BUKANLAH ITTIBA’
Al-Imam lbnu Abdil Barr berkata, “Taqlid
menurut para ulama bukan ittiba, karena ittiba’ adalah jika engkau
mengikuti perkataan seseorang yang nampak bagimu keshahihan
perkataannya, dan taqlid adalah jika engkau mengikuti perkataan
seseorang dalam keadaan engkau tidak tahu segi dan makna perkataannya” [Jami’ Bayanil Ilmi waAhlihi 2/787]
Abu Abdillah bin Khuwaiz Mindad berkata,
“Taqlid maknanya dalam syari‘at adalah merujuk kepada suatu perkataan
yang tidak ada argumennya, ini adalah dilarang dalam syari’at, adapun
ittiba maka adalah yang kokoh argumennya”.
Beliau juga berkata, “Setiap orang yang
engkau ikuti perkataannya tanpa ada dalil yang mewajibkanmu untuk
mengikutinya maka engkau telah taqlid kepadanya, dan taqlid dalam agama
tidak shahih. Setiap orang yang dalil mewajibkanmu untuk mengikuti
perkataannya maka engkau ittiba’ kepadanya. Ittiba’ dalam agama
dibolehkan dan taqlid dilarang” [Dinukil oleh Ibnu Abdil Barr dalam kmtabnya Jami’ Bayanil Ilmi waAhlihi 2/993]
PARA IMAM MELARANG TAQLID DAN MEWAJIBKAN ITTIBA’
Diantara hal lain yang menunjukkan
perbedaan yang mendasar antara taqlid dan ittiba’ adalah larangan para
imam kepada para pengikutnya dan taqlid dan perintah mereka kepada para
pengikutnya agar selalu ittiba’:
Al-Imam Abu Hanifah berkata, “Tidak halal
atas seorangpun mengambil perkataan kami selama dia tidak tahu dari
mana kami mengambilnya” Dalam riwayat lain beliau berkata, “Orang yang
tidak tahu dalilku, haram atasnya berfatwa dengan perkataanku” [Dinukil oleh Ibnu Abidin dalam Hasyiyahnya atas Bahru Raiq 6/293 dan Sya’ rany dalam Al-Mizan 1/55]
Al-Imam Malik berkata : “Sesungguhnya aku
adalah manusia yang bisa benar dan keliru. Lihatlah pendapatku, setiap
yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah maka ambillah, dan setiap yang
tidak sesual dengan Kitab dan Sunnah maka tinggalkanlah” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam Al-Jami’ 2/32]
Al-Imam Asy-Syafi’i berkata, “Jika kalian
menjumpai sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam , ittiba’lah
kepadanya, janganlah kalian menoleh kepada perkataan siapapun” [Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’ 9/107 dengan sanad yang shahih]
Beliau juga berkata, “Setiap yang aku
katakan, kemudian ada hadits shahih yang menyelisihinya, maka hadits
Nabi , lebih utama untuk diikuti. Janganlah kalian taqlid kepadaku”. [Diriwayatkan olehAbu Hatim dalamAdab Syafi’i hal.93 dengan sanad yang shahih]
Al-Imam Ahmad berkata, “Janganlah.engkau
taqlid dalam agamamu kepada seorangpun dari mereka, apa yang datang
dari Nabi dan para sahabatnya ambillah” Beliau juga berkata, “Ittiba’
adalah jika seseorang mengikuti apa yang datang dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya” [Masa’iI Al-Imam Ahmad oleh Abu Dawud hal.276- 277]
ITTIBA ADALAH JALAN AHLI SUNNAH DAN TAQLID ADALAH JALAN AHLI BID’AH
Al-Imam Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafy berkata,
“Umat ini telah sepakat bahwa tidak wajib taat kepada seorangpun dalam
segala sesuatu kecuali kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
…makà barangsiapa yang ta’ashub (fanatik) kepada salah seorang imam
dan mengesampingkan yang lainnya seperti orang yang ta’ashub kepada
seorang sahabat dan mengesampingkan yang lainnya, seperti orang-orang
Rafidhah yang ta’ashub kepada Ali dan mengesampingkan tiga khalifah
yang lainnya. ini jalannya ahlul ahwa” [Al-Ittiba’ cet. kedua hal. 80]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
“Barangsiapa yang ta’ ashub kepada seseorang, dia kedudukannya seperti
orang-orang Rafidhah yang ta’ashub kepada salah seorang sahabat, dan
seperti orang-orang Khawarij. ini adalah jalan ahli bid’ ah dan ahwa’
yang mereka keluar dan syari’at dengan kesepakatan umat dan menurut
Kitab dan Sunnah … yang wajib kepada semua makhluk adalah ittiba’
kepada seorang yang ma’shum (yaitu Rasulullah Shallallahu alaihi wa
sallam) yang tidak mengucap dan hawa nafsunya, yang dia ucapkan adalah
wahyu yang diturunkan kepadanya” [Mukhtashar Fatawa Mishniyyah hal.46-47]
BANTAHAN PARA ULAMA KEPADA PEMBELA TAQLID
Al-Imam Al-Muzani berkata, “Dikatakan
kepada orang yang berhukum dengan taqlid, Apakah kamu punya hujjah pada
apa yang kamu hukumi?’ Jika dia mengatakan,‘Ya’, secara otomatis dia
membatalkan taqlidnya, karena hujjah yang mewajibkan dia menghukumi itu
bukan taqlidnya”.
Jika dia mengatakan, “Aku menghukumi
tanpa memakai hujjah.” Dikatakan kepadanya, “Kalau begitu mengapa
engkau tumpahkan darah, engkau halalkan kemaluan, dan engkau musnahkan
harta padahal Alloh mengharamkan semua itu kecuali dengan hujjah, Alloh
berfirman:
“Artinya : Kamu tidak mempunyai hujjah tentang ini”. [Yunus : 68]
Kalau dia mengatakan, “Aku tahu kalau aku
menepati kebenaran walaupun aku tidak mengetahui hujjah, karena aku
telah taqlid kepada seorang ulama besar yang dia tidak berkata kecuali
dengan hujjah yang tersembunyi dariku” Dikatakan kepadanya, “Jika
dibolehkan taqlid kepada gurumu karena dia tidak berkata kecuali dengan
hujjah yang tersembunyi darimu, maka taqlid kepada guru dan gurumu
lebih utama karena dia tidak berkata kecuali dengan hujjah yang
tersembunyi dari gurumu sebagaimana gurumu tidak berkata kecuali dengan
hujjah yang tersembunyi darimu.” Kalau dia mengatakan, “Ya”, maka dia
harus meninggalkan taqlid kepada guru dari gurunya dan yang di atasnya
hingga berhenti kepada para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Kalau dia enggan melakukan itu berarti
dia telah membatalkan ucapannya dan dikatakan kepadanya, “Bagaimana
dibolehkan taqlid kepada orang yang lebih kecil dan lebih sedikit
ilmunya dan tidak boleh taqlid kepada orang yang lebih besar dan lebih
banyak ilmunya? ini jelas menupakan kontradiksi.”
Kalau dia mengatakan, “Karena guruku
-meskipun dia lebih kecil- dia telah menggabungkan ilmu orang-orang
yang di atasnya kepada ilmunya, karena itu dia lebih paham apa yang dia
ambil dan lebih tahu apa yang dia tinggalkan” Dikatakan kepadanya,
“Demikian juga orang yang belajar dari gurumu maka dia sungguh telah
menggabungkan ilmu gurumu dan ilmu orang-orang yang di atasnya kepada
ilmunya, maka engkau harus taqlid kepada orang ini dan meninggalkan
taqlid kepada gurumu. Demikian juga engkau lebih berhak untuk taqlid
kepada dirimu sendiri daripada taqlid kepada gurumu!” Jika dia tetap
pada perkataannya ini berarti dia menjadikan orang yang lebih kecil dan
orang yang berbicara dari para ulama yunior lebih pantas ditaqlidi
daripada para sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Demikian
juga menurut dia seorang sahabat harus taq lid kepada seorang tabi’in,
dalam keadaan seorang tabi’ in di bawäh sahabat menurut analogi
perkataannya, maka yang lebih tinggi selamanya lebih rendah, maka
cukuplah ini merupakan kejelekan dan kerusakan” [Diriwayatkan
oleh Al-Khathib Al-Baghdady dalam Al-Faqih wal Mutafaqqih 2/69-70 dan
dinukil oleh lbnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil Ilmi wa Ahlihi
2/992-993]
Al-Imam Ibnu Abdil Barr berkata,
“Dikatakan kepada orang yang taqlid: Mengapa engkau taqlid dan
menyelisihi salaf dalam masalah ini, karena salaf tidak melakukan
taqlid?” Kalau dia mengatakan, “Aku taqlid karena aku tidak paham
tafsir Kitabullah dan aku belum menguasai hadits Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam . Sedangkan yang aku taqlidi telah mengetahui
semuanya itu maka berarti aku taqlid kepada orang yang lebih berilmu
daripadaku”
Dikatakan kepadanya, “Adapun para ulama,
jika mereka sepakat pada sesuatu dan tafsir Kitabullah atau periwayatan
Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau sepakat pada
sesuatu maka itu adalah al-haq yang tidak ada satu pun keraguan di
dalamnya. Akan tetapi mereka telah berselisih dalam hal yang kamu
taqlidi, lalu apa argumenmu di dalam taqild kepada sebagian mereka
tidak kepadã yang lainnya, padahal mereka semua berilmu. Bisa jadi
orang yang tidak kamu pakai perkataanya lebih berilmu daripada orang
yang engkau taqlidi?”
Jika dia mengatakan, “Aku taqlid
kepadanya karena aku tahu dia di atas kebenaran.” Dikatakan kepadanya,
“Apakah kamu tahu hal itu dengan dalil dari Al-Kitab, Sunnah, dan
ijma’?”Jika dia mengatakan, “Ya”, maka dia telah membatalkan taqlidnya
dan dituntut untuk mendatangkan dalil dan perkataannya” [Jami’ Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/994]
HUKUM TAQLID
Taqlid terbagi menjadi tiga macam
sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam lbnul Qayyim dalam kitabnya i’lamul
Muwaqqi’in 2/187: (1) Taqlid yang diharamkan, (2) Taqlid yang
diwajibkan, dan (3) Taqlid yang dibolehkan.
- Macam yang pertama yaitu taqlid yang diharamkan terbagi menjadi tiga jenis:[a]. Taqlid kepada perkataan nenek moyang sehingga berpaling dari apa yang diturunkan Alloh.
[b]. Taqlid kepada orang yang tidak diketahui bahwa dia pantas diambil perkataannya.
[c]. Taqlid kepada perkataan seseorang setelah tegak argumen dan dalil yang menyelisihi perkataannya. Alloh Subhanahu wa Ta’ala‘telah mencela tiga macam taqlid ini di dalam ayat-ayat yang banyak sekali dalam Kitab-Nya sebagaimana telah kita sebutkan pada uraian di atas. - Macam yang kedua yaitu taqlid yang diwajibkan adalah
yang dikatakan oleh Al-Imam lbnul Qayyim, “Sesungguhnya Alloh telah
memerintahkan agar bertanya kepada Ahlu Dzikr, dan Adz-Dzikr adalah
Al-Qur’an dan Al-Hadits yang Alloh perintahkan agar para istri Nabi-Nya
selalu mengingatnya sebagaimana dalam finman-Nya :“Artinya : Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dan ayat-ayat Alloh dan hikmah (Sunnah Nabimu)”[Al-Ahzab:34]lnilah
Adz-Dzikr yang Alloh penintahkan agar kita selalu ittiba’ kepadanya,
dan Alloh perintahkan orang yang tidak memiliki ilmu agar bertanya
kepada ahlinya. Inilah yang wajib atas setiap orang agar bertanya
kepada ahli ilmu tentang Adz-Dzikr yang Alloh turunkan kepada Rasul-Nya
agar ahli ilmu ini memberitahukan kepadanya. Kalau dia sudah
diberitahu tentang Adz-Dzikr ini maka tidak boleh baginya kecuali
ittiba’ kepadanya” [l’lamul Muwaqqi’in 2/241]
- Macam yang ketiga yaitu taqlid yang dibolehkan adalah yang dikatakan oleh Al-Imam lbnul Qayyim, “Adapun taqlidnya seorang yang sudah mengerahkan usahanya untuk ittiba’ kepada apa yang diturunkan Alloh. Hanya saja sebagian darinya tensembunyi bagi orang tersebut sehingga dia taqlid kepada orang yang lebih berilmu darinya, maka yang seperti ini adalah terpuji dan tidak tencela, dia mendapat pahala dan tidak berdosa….” [I’lamul Muwaqqi’ in 2/169]Syaikhul Islam lbnu Taimiyah berkata, “Adapun orang yang mampu ijtihad apakah dibolehkan baginya taqlid? ini adalah hal yang diperselisihkan, dan yang shahih adalah dibolehkan ketika dia dalam keadaan tidak mampu berijtihad entah karena dalil-dalil (dan pendapat yang berbeda) sama-sama kuat atau karena sempitnya waktu untuk berijtihad atau karena tidak nampak dalil baginya” [Majmu’ Fatawa 20/203-204]
MENGIKUTI MANHAJ PARA ULAMA BUKAN BERARTI TAKLID KEPADA MEREKA
Al-Imam lbnul Qayyim berkata, “Jika ada
yang mengatakan: Kalian semua mengakui bahwa para imam yang ditaqlidi
dalam agama mereka berada di atas petunjuk, karena itu maka orang-orang
yang taqlid kepada mereka pasti di atas petunjuk juga, karena mereka
mengikuti langkah para imam tersebut.
Dikatakan kepadanya, “Mengikuti langkah para imam ini secara otomatis membatalkan sikap taqlid kepada mereka, karena jalan para imam ini adalah ittiba’
kepada hujjah dan melarang umat dan taqlid kepada mereka sebagaimana
akan kami sebutkan hal ini dan mereka lnsya Alloh . Maka barangsiapa
yang meninggalkan hujjah dan melanggar larangan para imam ini (dan
sikap taqlid) yang juga dilarang oleh Alloh dan Rasul-Nya, maka jelas
orang ini tidak berada di atas jalan para imam ini, bahkan termasuk
orang-orang yang menyelisihi mereka.
Yang menempuh jalan para imam ini adalah
orang yang mengikuti hujjah, tunduk kepada dalil, dan tidak menjadikan
seorang pun yang dijadikan perkataannya sebagal timbangan terhadap
Kitab dan Sunnah kecuali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari sini nampaklah kebatilan pemahaman
orang yang menjadikan taqlid sebagai ittiba’, mengaburkannya dan
mencampuradukkan antara keduanya, bahkan taqlid menyelisihi ittiba’. Alloh dan Rasul-Nya telah memilahkan antara keduanya demikian juga para ulama.
Karena sesungguhnya ittiba’ adalah menempuh jalan orang yang diikuti dan melakukan apa yang dia lakukan”. [I’lamul Muwaqqi’in 2/170-l71]
[Pembabasan ini banyak mengambil faedah
dan risalah Syaikhuna Al-Fadhil Muhammad bin Hadi Al-Madkhaly yang
berjudul Al Iqna’ bi Maja’a ‘an A’immati Da ‘wah minal Aqwal fil
Ittiba’]
KESIMPULAN
Taqlid menurut istilah adalah mengikuti
perkataan yang tidak ada hujjahnya atau mengikuti perkataan orang lain
tanpa mengetahui dalilnya.
Taqlid terbagi menjadi tiga macam.
[1]. Taqlid yang diharamkan, yaitu taqlid
kepada perkataan nenek moyang sehingga berpaling dan apa yang
diturunkan oleh Alloh, taqlid kepada orang yang tidak diketahui bahwa
dia pantas diambil perkataannya, dan taqlid kepada perkataan seseorang
setelah tegak argumen dan dalil yang menyelisihi perkataannya. lnilah
taqlid yang dicela Alloh dalam Kitab-Nya.
[2].Taqlid yang diwajibkan, yaitu orang
yang tidak memiliki ilmu agar bertanya kepada ahlinya tentang Adz-Dzikr
yaitu apa yang Alloh turunkan kepada Rasul-Nya. Kalau dia sudah
diberitahu tentang Adz-Dzikr ini maka tidak boleh baginya kecuali
ittiba’ kepadanya.
[3].Taqlid yang dibolehkan, yaitu
taqlidnya seorang yang sudah mengerahkan usahanya untuk ittiba’ kepada
apa yang diturunkan oleh Alloh dalam suatu permasalahan. Hanya saja
sebagian dari hujjahnya tersembunyi bagi orang tersebut sehingga dia
taqlid kepada orang yang lebih berilmu darinya dalam permasalahan
tersebut.
Ittiba’ adalah menempuh jalan orang yang
(wajib) diikuti dan melakukan apa yang dia lakukan atau jika engkau
mengikuti suatu perkataan seseorang yang nampak bagimu keshahihannya.
Taqlid bukanlah ittiba’, karena ittiba’
adalah jika engkau mengikuti perkataan seseorang yang nampak bagimu
keshahihan perkataannya, dan taqlid adalah jika engkau mengikuti
perkataan seseorang dalam keadaan engkau tidak tahu segi dari makna
penkataannya.
Para imam melarang para pengikutnya dan taqlid dan memerintahkan mereka agar selalu ittiba’.
Ittiba’ adalah jalan Ahlu Sunnah dan taqlid adalah jalan ahli bid’ah.
Mengikuti manhaj para ulama bukanlah
taqlid kepada mereka, karena manhaj para ulama ini adalah ittiba’
kepada hujjah dan melarang umat dan taqlid kepada mereka, maka orang
yang menempuh manhaj mereka juga ittiba’ sebagaimana mereka.
Wallahu 'alam bishawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar