Penulis: Rizki Maulana
Istilah “jilbab gaul”, “jilbab modis”
atau “jilbab keren”…tentu tidak asing di telinga kita, karena nama-nama
ini sangat populer dan ngetrend di kalangan para wanita muslimah. Bahkan
kebanyakan dari mereka merasa bangga dengan mengenakan jilbab model ini
dan beranggapan ini lebih sesuai dengan situasi dan kondisi di jaman
sekarang. Ironisnya lagi, sebagian dari mereka justru menganggap jilbab
yang sesuai dengan syariat adalah kuno, kaku dan tidak sesuai dengan
tuntutan jaman.
Padahal, bukankah Allah Subhanahu wa
Ta’ala yang mensyariatkan hukum-hukum dalam Islam lebih mengetahui
segala sesuatu yang mendatangkan kebaikan bagi hamba-hamba-Nya dan
Dialah yang mensyariatkan bagi mereka hukum-hukum agama yang sangat
sesuai dengan kondisi mereka di setiap jaman dan tempat? Allah Azza wa
Jalla berfirman:
أَلا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
“Bukankah Allah yang menciptakan (alam
semesta beserta isinya) maha mengetahui (segala sesuatu)? Dan Dia Maha
Halus lagi Maha Mengetahui” [al-Mulk:14]
Dan bukankah Allah Jalaa Jalaaluh maha
sempurna pengetahuan-Nya sehingga tidak ada satu kebaikanpun yang luput
dari pengetahuan-Nya dan tidak mungkin ada satu keutamaanpun yang lupa
disyariatkan-Nya dalam agama-Nya?
لا يَضِلُّ رَبِّي وَلا يَنْسَى
“Rabb-ku (Allah Azza wa Jalla) tidak akan salah dan tidak (pula) lupa” [Thaahaa: 52].
Dalam ayat lain, Dia Jalaa Jalaaluh berfirman:
وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا
“Dan Rabb-mu (Allah Subhanahu wa Ta’ala) tidak mungkin lupa” [Maryam: 64].
Dan maha benar Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Sesungguhnya Allah memerintahkan
(kepadamu) untuk berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil
pelajaran” [an-Nahl:90].
Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa
semua perkara yang dilarang oleh Allah Azza wa Jalla dalam Islam pasti
membawa kepada keburukan dan kerusakan, sebagaimana semua perkara yang
diperintahkan-Nya pasti membawa kepada kebaikan dan kemaslahatan [1]
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala
merahmati imam ‘Izzuddin ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdis Salam yang memaparkan
keindahan agama Islam ini dalam ucapan beliau: “…Maka Allah Subhanahu wa
Ta’ala memerintahkan kepada para hamba-Nya melalui lisan Rasul-Nya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan segala kebaikan dan kemaslahatan,
serta melarang mereka dari segala dosa dan permusuhan…
Demikian pula Dia Jalaa Jalaaluh
memerintahkan kepada mereka untuk meraih segala kebaikan (dengan)
memenuhi (perintah) dan mentaati-Nya, serta menjauhi segala keburukan
(dengan) berbuat maksiat dan mendurhakai-Nya, sebagai kebaikan dan
anugerah (dari-Nya) kepada mereka, karena Dia maha kaya (dan tidak
butuh) kepada ketaatan dan ibadah mereka.
Maka Dia Azza wa Jalla menyampaikan
kepada mereka (dalam Islam) hal-hal yang membawa segala kebaikan dan
petunjuk bagi mereka agar mereka mengerjakannya, serta hal-hal yang
membawa segala keburukan dan kesesatan bagi mereka agar mereka
menjauhinya.
Dan Dia Subhanahu wa Ta’ala menyampaikan
kepada mereka bahwa Syaithan adalah musuh bagi mereka agar mereka
memusuhi dan tidak menurutinya. Maka Dia Jalaa Jalaaluh menjadikan
segala kebaikan di dunia dan akhirat hanya dicapai dengan mentaati
perintah(-Nya) dan menjauhi perbuatan maksiat (kepada)-Nya” [2]
Antara Jilbab Syar’i Dan Jilbab Gaul
Berdasarkan keterangan di atas, maka setiap muslim yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kebenaran agama-Nya wajib meyakini bahwa semua aturan yang Allah Jalaa Jalaaluh tetapkan dalam Islam tentang pakaian dan perhiasan bagi wanita muslimah adalah untuk kemaslahatan/kebaikan serta penjagaan bagi kesucian diri dan kehormatan mereka.
Lihatlah misalnya pensyariatan jilbab
(pakaian yang menutupi semua aurat secara sempurna [3]) bagi wanita
ketika berada di luar rumah dan hijab/tabir untuk melindungi perempuan
dari pandangan laki-laki yang bukan mahramnya. Keduanya bertujuan sangat
mulia, yaitu untuk kebaikan dan menjaga kesucian bagi kaum perempuan.
Allah Jalaa Jalaaluh berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ
وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ
جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ
اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi, katakanlah kepada
istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin agar
hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka ke seluruh tubuh
mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal,
sehingga mereka tidak diganggu/disakiti. Dan Allah adalah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang” [al-Ahzaab: 59]
Dalam ayat ini Allah menjelaskan
kewajiban memakai jilbab bagi wanita dan hikmah dari hukum syariat ini,
yaitu: “supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, sehingga mereka tidak
diganggu/disakiti”.
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata: “Ini
menunjukkan bahwa gangguan (bagi wanita dari orang-orang yang berakhlak
buruk) akan timbul jika wanita itu tidak mengenakan jilbab (yang sesuai
dengan syariat). Hal ini dikarenakan jika wanita tidak memakai jilbab,
boleh jadi orang akan menyangka bahwa dia bukan wanita yang ‘afifah
(terjaga kehormatannya), sehingga orang yang ada penyakit (syahwat)
dalam hatiya akan mengganggu dan menyakiti wanita tersebut, atau bahkan
merendahkan/melecehkannya… Maka dengan memakai jilbab (yang sesuai
dengan syariat) akan mencegah (timbulnya) keinginan-keinginan (buruk)
terhadap diri wanita dari orang-orang yang mempunyai niat buruk” [4]
Dalam ayat lain, Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ
“Dan apabila kamu meminta sesuatu
(keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari
belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati
mereka” [al-Ahzaab:53]
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu
asy-Syaikh berkata: “(Dalam ayat ini) Allah menyifati hijab/tabir
sebagai kesucian bagi hati orang-orang yang beriman, laki-laki maupun
perempuan, karena mata manusia kalau tidak melihat (sesuatu yang
mengundang syahwat, karena terhalangi hijab/tabir) maka hatinya tidak
akan berhasrat (buruk). Oleh karena itu, dalam kondisi ini hati manusia
akan lebih suci, sehingga (peluang) tidak timbulnya fitnah (kerusakan)
pun lebih besar, karena hijab/tabir benar-benar mencegah (timbulnya)
keinginan-keinginan (buruk) dari orang-orang yang ada penyakit (dalam)
hatinya” [5]
Sebagaimana wajib diyakini bahwa semua
perbuatan yang menyelisihi ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala ini akan
menimbulkan berbagai kerusakan dan keburukan bagi kaum perempuan bahkan
kaum muslimin secara keseluruhan.
Oleh karena itulah, Allah Subhanahu wa
Ta’ala melarang keras perbuatan tabarruj (menampakkan kecantikan dan
perhiasan ketika berada di luar rumah [6]) bagi kaum perempuan dan
menyerupakannya dengan perbuatan wanita di jaman Jahiliyah. Allah Azza
wa Jalla berfirman:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan hendaklah kalian (wahai istri-istri
Nabi) menetap di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian bertabarruj
(sering keluar rumah dengan berhias dan bertingkah laku) seperti
(kebiasaan) wanita-wanita Jahiliyah yang dahulu” [al-Ahzaab:33].
Arti Tabarruj Dan Penjabarannya
Secara bahasa tabarruj berarti menampakkan perhiasan bagi orang-orang asing (yang bukan mahram). [7]
Imam asy-Syaukani berkata: “at-Tabarruj
adalah dengan seorang wanita menampakkan sebagian dari perhiasan dan
kecantikannya yang (seharusnya) wajib untuk ditutupinya, yang ini dapat
memancing syahwat (hasrat) laki-laki” [8]
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di ketika
menafsirkan ayat di atas, beliau berkata: “Arti ayat ini: Janganlah
kalian (wahai para wanita) sering keluar rumah dengan berhias atau
memakai wewangian, sebagaimana kebiasaan wanita-wanita Jahiliyah yang
dahulu, mereka tidak memiliki pengetahuan (agama) dan iman. Semua ini
dalam rangka mencegah keburukan (bagi kaum wanita) dan sebab-sebabnya”.
[9]
Syaikh Bakr Abu Zaid berkata: “Ketika
Allah Azza wa Jalla memerintahkan kaum perempuan untuk menetap di
rumah-rumah mereka maka Allah Azza wa Jalla melarang mereka dari
(perbuatan) tabarruj wanita-wanita Jahiliyah, (yaitu) dengan sering
keluar rumah atau keluar rumah dengan berhias, memakai wewangian,
menampakkan wajah serta memperlihatkan kecantikan dan perhiasan mereka
yang Allah perintahkan untuk disembunyikan.
Tabarruj (secara bahasa) diambil dari
(kata) al-burj (bintang, sesuatu yang terang dan tampak), di antara
(makna)nya adalah berlebihan dalam menampakkan perhiasan dan kecantikan,
seperti kepala, wajah, leher, dada, lengan, betis dan anggota tubuh
lainnya, atau menampakkan perhiasan tambahan.
Hal ini dikarenakan seringnya (para
wanita) keluar rumah atau keluar dengan menampakkan (perhiasan dan
kecantikan mereka) akan menimbulkan fitnah dan kerusakan yang besar
(bagi diri mereka dan masyarakat)” [10]
Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa penjabaran makna tabarruj meliputi dua hal, yaitu:
1. Seringnya seorang wanita keluar rumah,
karena ini merupakan sebab terjadinya fitnah dan kerusakan. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya wanita adalah
aurat, maka jika dia keluar (rumah) Syaithan akan mengikutinya
(menghiasainya agar menjadi fitnah bagi laki-laki), dan keadaanya yang
paling dekat dengan Rabbnya (Allah Azza wa Jalla) adalah ketika dia
berada di dalam rumahnya”. [11]
Imam al-Qurthubi, ketika menafsirkan ayat
di atas, beliau berkata: “Makna ayat ini adalah perintah (bagi kaum
perempuan) untuk menetapi rumah-rumah mereka. Meskipun (asalnya) ini
ditujukan kepada istri-istri Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, akan tetapi secara makna (wanita-wanita) selain mereka (juga)
termasuk dalam perintah tersebut. Ini seandainya tidak ada dalil yang
khusus (mencakup) semua wanita. Padahal (dalil-dalil dalam) syariat
Islam penuh dengan (perintah) bagi kaum wanita untuk menetapi
rumah-rumah mereka dan tidak keluar rumah kecuali karena darurat
(terpaksa)” [12]
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz berkata:
“Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan bagi seorang wanita untuk
menetap di rumahnya dan tidak keluar rumah kecuali untuk kebutuhan yang
mubah (diperbolehkan dalm Islam) dengan menetapi adab-adab yang
disyariatkan (dalam Islam). Sungguh Allah telah menamakan (perbuatan)
menetapnya seorang wanita di rumahnya dengan “qaraar” (tetap, stabil,
tenang), ini mengandung arti yang sangat tinggi dan mulia. Karena dengan
ini jiwanya akan tenang, hatinya akan damai dan dadanya akan lapang.
Maka dengan keluar rumah akan menyebabkan keguncangan jiwanya, kegalauan
hatinya dan kesempitan dadanya, serta membawanya kepada keadaan yang
akan berakibat keburukan baginya” [13]
Di tempat lain, beliau berkata: “Allah
Azza wa Jalla memerintahkan para wanita untuk menetapi rumah-rumah
mereka, karena keluarnya mereka dari rumah sering menjadi sebab
(timbulnya) fitnah. Dan sungguh dalil-dalil syariat menunjukkan bolehnya
mereka keluar rumah jika ada keperluan (yang sesuai syariat), dengan
memakai hijab (yang benar) dan menghindari memakai perhiasan, akan
tetapi menetapnya mereka di rumah adalah (hukum) asal dan itu lebih baik
bagi mereka serta lebih jauh dari fitnah” [14]
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani
berkata: “(Hukum) asalnya seorang wanita tidak boleh keluar dari
rumahnya kecuali kalau ada keperluan (yang sesuai dengan syariat),
sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih (riwayat) imam
al-Bukhari (no. 4517) ketika turun firman Allah Azza wa Jalla:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan hendaklah kalian (wahai istri-istri
Nabi) menetap di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian bertabarruj
(sering keluar rumah dengan berhias dan bertingkah laku) seperti
(kebiasaan) wanita-wanita Jahiliyah yang dahulu” [al-Ahzaab:33]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Sungguh Allah telah mengizinkan kalian (para wanita) untuk
keluar (rumah) jika (ada) keperluan kalian (yang dibolehkan dalam
syariat)” [15]
Bahkan menetapnya wanita di rumah
merupakan ‘aziimatun syar’iyyah (hukum asal yang dikuatkan dalam syariat
Islam), sehingga kebolehan mereka keluar rumah merupakan rukhshah
(keringanan) yang hanya diperbolehkan dalam keadaan darurat atau jika
ada keperluan. Oleh karena itulah, Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam tiga
ayat al-Qur’an [16] menisbatkan/menggandengkan rumah-rumah kepada para
wanita, padahal jelas rumah-rumah yang mereka tempati adalah milik para
suami atau wali mereka, ini semua menunjukkan bahwa selalu menetap dan
berada di rumah adalah keadaan yang sesuai dan pantas bagi mereka. [17]
2. Keluar rumah dengan menampakkan
kecantikan dan perhiasan yang seharusnya disembunyikan di hadapan
laki-laki yang bukan mahramnya..
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz berkata:
“Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kaum perempuan untuk menetapi
rumah-rumah mereka dan melarang mereka dari perbuatan tabarruj (ala)
jahiliyyah, yaitu menampakkan perhiasan dan kecantikan, seperti kepala,
wajah, leher, dada, lengan, betis dan perhiasan (keindahan wanita)
lainnya, karena ini akan (menimbulkan) fitnah dan kerusakan yang besar,
serta mengundang diri kaum lelaki untuk melakukan sebab-sebab (yang
membawa kepada) perbuatan zina…” .[18]
Allah Azza wa Jalla memerintahkan kaum wanita untuk menyembunyikan perhiasan dan kecantikan mereka dalam firman-Nya:
وَلاَ يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ ما يُخْفِيْنَ مِنْ زِيْنَتِهِنَّ
“Dan janganlah mereka (para wanita)
memukulkan kaki mereka agar orang mengetahui perhiasan yang mereka
sembunyikan”. [an-Nuur: 31]
.
Perhiasan yang dilarang untuk ditampakkan dalam ayat ini mencakup semua jenis perhiasan, baik yang berupa anggota badan mereka maupun perhiasan tambahan yang menghiasi fisik mereka.
.
Perhiasan yang dilarang untuk ditampakkan dalam ayat ini mencakup semua jenis perhiasan, baik yang berupa anggota badan mereka maupun perhiasan tambahan yang menghiasi fisik mereka.
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz berkata:
“Perhiasan wanita yang dilarang untuk ditampakkan adalah segala sesuatu
yang disukai oleh laki-laki dari seorang wanita dan mengundangnya untuk
melihat kepadanya, baik itu perhiasan/keindahan asal (anggota badan
mereka) ataupun perhiasan yang bisa diusahakan (perhiasan tambahan yang
menghiasi fisik mereka), yaitu semua yang ditambahkan pada fisik wanita
untuk mempercantik dan menghiasi dirinya” [19].
Ancaman Keras Dan Keburukan Tabarruj
Dari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Akan ada di akhir umatku (nanti) wanita-wanita yang berpakaian (tapi) telanjang, di atas kepala mereka (ada perhiasan) seperti punuk unta, laknatlah mereka karena (memang) mereka itu terlaknat (dijauhkan dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala)”.
Dalam hadits lain ada tambahan: “Mereka
tidak akan masuk Surga dan tidak dapat mencium bau (wangi)nya, padahal
sungguh wanginya dapat dicium dari jarak sekian dan sekian” [20]
Dalam hadits ini terdapat ancaman keras
yang menunjukkan bahwa perbuatan tabarruj termasuk dosa besar, karena
dosa besar adalah semua dosa yang diancam oleh Allah dengan Neraka,
kemurkaan-Nya, laknat-Nya, azab-Nya, atau terhalang masuk Surga. Oleh
karena itu, seluruh kaum muslimin bersepakat menyatakan haramnya
tabarruj, sebagaimana penjelasan imam ash-Shan’ani [21].
Imam al-Qadhi ‘Iyadh al-Yahshubi
memasukkan perbuatan tabarruj ke dalam dosa-dosa besar berdasarkan
hadits di atas, dalam kitab beliau “al-Mu’lim syarhu shahiihi Muslim”
(1/243).
Ancaman dan keburukan tabarruj lainnya yang disebutkan dalam dalil-dalil yang shahih adalah sebagai berikut [22]:
1. Tabarruj adalah sunnah Jahiliyah, sebagaimana dalam firman Allah:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan hendaklah kalian (wahai istri-istri
Nabi) menetap di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian bertabarruj
(sering keluar rumah dengan berhias dan bertingkah laku) seperti
(kebiasaan) wanita-wanita Jahiliyah yang dahulu” [al-Ahzaab:33].
2. Tabarruj digandengakan dengan syirik,
zina, mencuri dan dosa-dosa besar lainnya, sehingga Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan salah satu syarat untuk
membai’at para wanita muslimah dengan meninggalkan tabarruj. Dari
Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu, beliau berkata: Umaimah
bintu Ruqaiqah datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk membai’at beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas agama Islam.
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku membai’at
kamu atas (dasar) kamu tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu, tidak
mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anakmu, tidak berbuat dusta
yang kamu ada-adakan antara kedua tangan dan kakimu, tidak meratapi
mayat, dan tidak melakukan tabarruj (sering keluar rumah dengan berhias
dan bertingkah laku) seperti (kebiasaan) wanita-wanita Jahiliyah yang
dahulu” [23]
3. Ancaman keras dengan kebinasan bagi
wanita yang melakukan tabarruj. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Ada tiga golongan manusia yang jangan kamu tanyakan tentang
mereka (karena mereka akan ditimpa kebinasaan besar): orang yang
meninggalkan jamaah (kaum muslimin) dan memberontak kepada imamnya
(penguasa/pemerintah) lalu dia mati dalam keadaan itu, budak wanita atau
laki-laki yang lari (dari majikannya) lalu dia mati (dalam keadaan
itu), dan seorang wanita yang (ketika) suaminya tidak berada di rumah
(dalam keadaan) telah dicukupkan keperluan dunianya (hidupnya), lalu dia
melakukan tabarruj setelah itu, maka jangan tanyakan tentang mereka
ini” [24]
4. Imam adz-Dzahabi menjadikan perbuatan
tabarruj yang dilakukan oleh banyak wanita termasuk sebab yang
menjadikan mayoritas mereka termasuk penghuni Neraka [25], na’uudzu
billahi min dzaalik. Ucapan beliau akan kami nukil secara lengkap dalam
makalah ini, insya Allah.
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu
asy-Syaikh [26] menjelaskan secara khusus keburukan-keburukan perbuatan
tabarruj berdasarkan dalil-dali dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya sebagai berikut:
- Tabarruj adalah maksiat kepada Allah
dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalil-dalil
yang telah kami sebutkan.
- Tabarruj akan membawa laknat dan
dijauhkan dari rahmat Allah, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam: “Akan ada di akhir umatku (nanti) wanita-wanita yang
berpakaian (tapi) telanjang, di atas kepala mereka (ada perhiasan)
seperti punuk unta, laknatlah mereka karena (memang) mereka itu
terlaknat (dijauhkan dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala)” [27].
- Tabarruj termasuk sifat wanita penghuni
Nereka, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Ada dua golongan termasuk penghuni Neraka yang aku belum melihat
mereka: (pertama) orang-orang yang memegang cambuk seperti ekor sapi,
(digunakan) untuk memukul/menyiksa manusia, (kedua) Wanita-wanita yang
berpakaian (tapi) telanjang…” [28]
- Tabarruj adalah kesuraman dan kegelapan
pada hari kiamat. Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu asy-Syaikh di sini
berdalil dengan sebuah hadits yang lemah tapi maknanya benar.
- Tabarruj adalah perbuatan fahisyah
(keji). Karena wanita adalah aurat, maka menampakkan aurat termasuk
perbuatan keji dan dimurkai oleh Allah, Syaithanlah yang menyuruh
manusia melakukan perbuatan keji. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُون
“Sesungguhnya syaithan itu hanya menyuruh
kamu berbuat buruk (semua maksiat) dan keji, dan mengatakan tentang
Allah apa yang tidak kamu ketahui” [al-Baqarah:169].
- Tabarruj adalah sunnah dari Iblis.
Karena dia berusaha keras untuk membuka aurat dan menyingkap hijab
mereka, maka tabarruj merupakan target utama (tipu daya) Iblis. Allah
Jalaa Jalaaluh berfirman:
يَا بَنِي آدَمَ لا يَفْتِنَنَّكُمُ
الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ يَنزعُ
عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْآتِهِمَا
“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali
kamu dapat ditipu oleh Syaitan sebagaimana dia telah mengeluarkan kedua
ibu bapakmu (Adam dan Hawa) dari Surga, dia menanggalkan dari keduanya
pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya ‘auratnya” [al-A’raaf:
27]
- Tabarruj adalah metode penyesatan
orang-orang Yahudi. Karena mereka mempunyai peranan besar dalam upaya
merusak kehidupan manusia melalui cara memperlihatkan fitnah dan
kecantikan wanita, dan mereka sangat berpengalaman dalam bidang ini.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Takutlah kalian
kepada (fitnah) dunia, dan takutlah kepada (fitnah) wanita, karena
sesungguhnya fitnah pertama yang melanda Bani Israil adalah tentang
wanita” [29].
CATATAN KAKI:
[1]. Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 447).
[2]. Kitab “Qawa-‘idul ahkaam” (hal. 2).
[3]. Lihat kitab “Hiraasatul fadhiilah” (hal. 53).
[4]. Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 489).
[5]. Kitab “al-Hijaabu wa fadha-iluhu” (hal. 3).
[6]. Juga termasuk di dalam rumah jika ada laki-laki yang bukan mahram wanita tersebut.
[7]. Lihat kitab “an-Nihaayatu fi gariibil hadiitsi wal atsar” (1/289) dan “al-Qaamuushul muhiith” (hal. 231).
[8]. Kitab “Fathul Qadiir” (4/395).
[9]. Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 663).
[10]. Kitab “Hiraasatul fadhiilah” (hal. 44 – 45).
[11]. HR Ibnu Khuzaimah (no. 1685), Ibnu Hibban (no. 5599) dan at-Thabrani dalam “al-Mu’jamul ausath” (no. 2890), dinyatakan shahih oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, al-Mundziri dan syikh al-Albani dalam “Silsilatul ahaaditsish shahiihah” (no. 2688).
[12]. Kitab “al-Jaami’ liahkaamil Qur-an” (14/174).
[13]. Kitab “at-Tabarruju wa khatharuhu” (hal. 22).
[14]. Kitab “Majmuu’ul fataawa syaikh Bin Baz” (4/308).
[15]. Al-Fataawa al-imaaraatiyyah.
[16]. Yaitu QS al-Ahzaab: 33, 34 dan ath-Thalaaq:1.
[17]. Lihat kitab “Hiraasatul fadhiilah” (hal. 87).
[18]. Kitab “at-Tabarruju wa khatharuhu” (hal. 6-7).
[19]. Kitab “Majmuu’ul fataawa syaikh Bin Baz” (5/227).
[20]. Hadits pertama riwayat ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamush shagiir” (hal. 232) dinyatakan shahih sanadnya oleh syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 125), dan hadits kedua riwayat imam Muslim (no. 2128).
[21]. Lihat kitab “Hiraasatul fadhiilah” (hal. 107-108).
[22]. Lihat kitab “al-Hijaabu wa fadha-iluhu” (hal. 4-6) dan “al-‘Ajabul ‘ujaab fi asykaalil hijaab” (hal. 79-80).
[23]. HR Ahmad (2/196) dan dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 121).
[24]. HR Ahmad (6/19) dan al-Hakim (1/206), dinyatakan shahih oleh imam al-Hakim, adz-Dzahabi dan syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 119).
[25]. Lihat keterangan syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 232).
[26]. Dalam kitab beliau “al-Hijaabu wa fadha-iluhu” (hal. 4-6).
[27]. HR ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamush shagiir” (hal. 232) dinyatakan shahih sanadnya oleh syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 125).
[28]. HSR Muslim (no. 2128).
[29]. HSR Muslim (no. 2742).
[2]. Kitab “Qawa-‘idul ahkaam” (hal. 2).
[3]. Lihat kitab “Hiraasatul fadhiilah” (hal. 53).
[4]. Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 489).
[5]. Kitab “al-Hijaabu wa fadha-iluhu” (hal. 3).
[6]. Juga termasuk di dalam rumah jika ada laki-laki yang bukan mahram wanita tersebut.
[7]. Lihat kitab “an-Nihaayatu fi gariibil hadiitsi wal atsar” (1/289) dan “al-Qaamuushul muhiith” (hal. 231).
[8]. Kitab “Fathul Qadiir” (4/395).
[9]. Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 663).
[10]. Kitab “Hiraasatul fadhiilah” (hal. 44 – 45).
[11]. HR Ibnu Khuzaimah (no. 1685), Ibnu Hibban (no. 5599) dan at-Thabrani dalam “al-Mu’jamul ausath” (no. 2890), dinyatakan shahih oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, al-Mundziri dan syikh al-Albani dalam “Silsilatul ahaaditsish shahiihah” (no. 2688).
[12]. Kitab “al-Jaami’ liahkaamil Qur-an” (14/174).
[13]. Kitab “at-Tabarruju wa khatharuhu” (hal. 22).
[14]. Kitab “Majmuu’ul fataawa syaikh Bin Baz” (4/308).
[15]. Al-Fataawa al-imaaraatiyyah.
[16]. Yaitu QS al-Ahzaab: 33, 34 dan ath-Thalaaq:1.
[17]. Lihat kitab “Hiraasatul fadhiilah” (hal. 87).
[18]. Kitab “at-Tabarruju wa khatharuhu” (hal. 6-7).
[19]. Kitab “Majmuu’ul fataawa syaikh Bin Baz” (5/227).
[20]. Hadits pertama riwayat ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamush shagiir” (hal. 232) dinyatakan shahih sanadnya oleh syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 125), dan hadits kedua riwayat imam Muslim (no. 2128).
[21]. Lihat kitab “Hiraasatul fadhiilah” (hal. 107-108).
[22]. Lihat kitab “al-Hijaabu wa fadha-iluhu” (hal. 4-6) dan “al-‘Ajabul ‘ujaab fi asykaalil hijaab” (hal. 79-80).
[23]. HR Ahmad (2/196) dan dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 121).
[24]. HR Ahmad (6/19) dan al-Hakim (1/206), dinyatakan shahih oleh imam al-Hakim, adz-Dzahabi dan syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 119).
[25]. Lihat keterangan syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 232).
[26]. Dalam kitab beliau “al-Hijaabu wa fadha-iluhu” (hal. 4-6).
[27]. HR ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamush shagiir” (hal. 232) dinyatakan shahih sanadnya oleh syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 125).
[28]. HSR Muslim (no. 2128).
[29]. HSR Muslim (no. 2742).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar