Habib sudah ma’ruf di tengah-tengah kita adalah seorang keturunan Nabi. Namun kadang kita lihat tingkah laku mereka aneh.
Para habib kadang membuat-buat amalan sendiri, padahal tidak pernah diwariskan oleh leluhur mereka. Siapa yang jelek amalnya, maka tidak ada manfaat kedudukan atau nasab mulianya.
Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
“Barangsiapa yang lamban amalnya, maka nasabnya tidak bisa mengejarnya” (HR. Muslim no. 2699, dari Abu Hurairah).
Hanya Dengan Beramal, Semakin Mulia di Akhirat
Allah Ta’ala berfirman,
وَلِكُلٍّ دَرَجَاتٌ مِمَّا عَمِلُوا
“Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan”
(QS. Al An’am: 132 dan Al Ahqaf: 19). Ayat ini menunjukkan bahwa
amalanlah yang menaikkan derajat hamba menjadi mulia di akhirat.
Nasabmu Tak Ada Guna, Walau Engkau Keturunan Nabi
Siapa yang lamban amalnya, maka itu tidak
bisa mengejar kedudukan mulia di sisi Allah walau ia memiliki nasab
(keturunan) yang mulia. Nasabnya itu tidak bisa mengejar derajat mulia
di sisi Allah. Karena kedudukan mulia di sisi Allah adalah timbal balik
dari amalan yang baik, bukan dari nasab. Sebagaimana yang Allah Ta’ala sebutkan dalam ayat lainnya,
فَإِذَا نُفِخَ فِي الصُّورِ فَلَا أَنْسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلَا يَتَسَاءَلُونَ
“Apabila sangkakala ditiup maka
tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan
tidak ada pula mereka saling bertanya.” (QS. Al Mu’minun: 101). Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 308.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Siapa
saja yang amalnya itu kurang, maka kedudukan mulianya tidak bisa
menolong dirinya. Oleh karenanya, jangan terlalu berharap dari nasab
atau silsilah keturunan dan keutamaan nenek moyang, akhirnya sedikit
dalam beramal.” (Syarh Shahih Muslim, 17: 21).
Berlombalah dalam Kebaikan Meraih Ampunan dan Rahmat Allah dengan Amalan
Berlomba di sini bukan karena engkau
keturunan Nabi atau orang sholih, namun yang dipandang adalah siapa yang
paling baik amalnya. Karena demikianlah yang Allah perintahkan dalam
berbagai ayat,
وَسَارِعُوا
إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ
وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (133) الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي
السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ
النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (134)
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan
dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang
disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang
menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang.
Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (QS. Ali Imran: 133-134).
Juga dalam ayat lain disebut,
إِنَّ الَّذِينَ
هُمْ مِنْ خَشْيَةِ رَبِّهِمْ مُشْفِقُونَ (57) وَالَّذِينَ هُمْ بِآَيَاتِ
رَبِّهِمْ يُؤْمِنُونَ (58) وَالَّذِينَ هُمْ بِرَبِّهِمْ لَا يُشْرِكُونَ
(59) وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آَتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ
إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ (60) أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ
وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ (61)
“Sesungguhnya orang-orang yang
berhati-hati karena takut akan (azab) Rabb mereka, Dan orang-orang yang
beriman dengan ayat-ayat Rabb mereka, dan orang-orang yang tidak
mempersekutukan dengan Rabb mereka (sesuatu apa pun), dan orang-orang
yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut,
(karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb
mereka, mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan
merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS. Al Mu’minun: 57-61).
Jadi berlomba-lombalah dengan beramal.
Beramal pun bukan asal-asalan. Beramal itu harus sesuai tuntunan.
Seandainya seorang habib merekayasa suatu amalan yang tidak pernah ada
dasarnya dari nenek moyangnya, maka jelas amalan habib seperti ini
tertolak. Karena nasab tidak ada arti saat ini, namun siapakah yang
paling baik amalnya yang sesuai tuntunan, itulah yang paling mulia.
Fatimah (Puteri Muhammad) Saja Tidak Bisa Ditolong Ayahnya
Dalam shahihain disebutkan hadits dari Abu Hurairah, di mana ia berkata,
قَامَ رَسُولُ
اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – حِينَ أَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ (
وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الأَقْرَبِينَ ) قَالَ « يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ –
أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا – اشْتَرُوا أَنْفُسَكُمْ ، لاَ أُغْنِى عَنْكُمْ
مِنَ اللَّهِ شَيْئًا ، يَا بَنِى عَبْدِ مَنَافٍ لاَ أُغْنِى عَنْكُمْ
مِنَ اللَّهِ شَيْئًا ، يَا عَبَّاسُ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ لاَ أُغْنِى
عَنْكَ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا ، وَيَا صَفِيَّةُ عَمَّةَ رَسُولِ اللَّهِ
لاَ أُغْنِى عَنْكِ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا ، وَيَا فَاطِمَةُ بِنْتَ
مُحَمَّدٍ سَلِينِى مَا شِئْتِ مِنْ مَالِى لاَ أُغْنِى عَنْكِ مِنَ
اللَّهِ شَيْئًا »
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berdiri ketika turun ayat, ” Dan berilah peringatan kepada
kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (QS. Asy Syu’ara: 214). Lalu beliau
berkata, “Wahai orang Quraisy -atau kalimat semacam itu-, selamatkanlah
diri kalian sesungguhnya aku tidak dapat menolong kalian sedikit pun
dari Allah. Wahai Bani ‘Abdi Manaf, sesungguhnya aku tidak dapat
menolong kalian sedikit pun dari Allah. Wahai ‘Abbas bin ‘Abdul
Muthollib, sesungguhnya aku tidak dapat menolongmu sedikit pun dari
Allah. Wahai Shofiyah bibi Rasulullah, sesungguhnya aku tidak dapat
menolongmu sedikit pun dari Allah. Wahai Fatimah puteri Muhammad,
mintalah padaku apa yang engkau mau dari hartaku, sesungguhnya aku tidak
dapat menolongmu sedikit pun dari Allah.” (HR. Bukhari no. 2753 dan Muslim no. 206).
Jika Fatimah saja puteri Nabi tidak bisa
ditolong oleh ayahnya sendiri, bagaimanakah dengan keturunan di
bawahnya, apalagi jika cuma pengakuan saja sebagai keturunannya. Padahal
ada yang sekedar “ngaku”, namun kenyataannya dari keturunan Persia
(bukan Quraisy) karena cuma sekedar bermodal hidung mancung dan tampang
Arab.
Jika demikian,
ritual tanpa dalil atau tanpa dasar yang biasa disuarakan para habib dan
merekalah yang jadi front terdepan dalam membelanya tidak boleh
diikuti. Karena perlu dipahami bahwa habib bukanlah nabi, sehingga mereka tidak bisa membuat syari’at sebagaimana leluhur mereka. Apalagi jika mereka berbuat maksiat seperti merokok, judi, main perempuan (alias: zina), dan biasa mencukur habis jenggot, tentu mereka tidak pantas jadi panutan.
Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.
Referensi:
Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu
Rajab Al Hambali, tahqiq: Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Syaikh Ibrahim
Yajis, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan kesepuluh, tahun 1432 H.
Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Abu Zakariya Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar Ibni Hazm, cetakan pertama, tahun 1433 H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar