Ketika disebut kata habib, maka yang langsung terbayang dalam benak kita adalah seorang keturunan Rasulullah yang memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki orang lainnya dan merupakan seorang wali Allah. Itulah yang dapat ditangkap dari pemahaman masyarakat terhadap habib ini. Lalu siapakah wali Allah yang sebenarnya? Apakah benar setiap habib adalah wali Allah?
Definisi Wali
Secara etimologi, kata wali adalah lawan dari ‘aduwwu (musuh) dan muwaalah adalah lawan dari muhaadah (permusuhan). Maka wali Allah adalah orang yang mendekat dan menolong (agama) Allah atau orang yang didekati dan ditolong Allah. Definisi ini semakna dengan pengertian wali dalam terminologi Alquran, sebagaimana Allah berfirman,
أَلآ إِنَّ أَوْلِيَآءَ اللهِ لاَخَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَهُمْ يَحْزَنُونَ {62} الَّذِينَ ءَامَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ {63}
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali
Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang beriman dan selalu bertakwa.”(QS. Yunus: 62–63)
Dari ayat tersebut, wali adalah orang
yang beriman kepada Allah dan apa yang datang dari-Nya yang termaktub
dalam Alquran dan terucap melalui lisan Rasul-Nya, memegang teguh
syariatnya lahir dan batin, lalu terus menerus memegangi itu semua
dengan dibarengi muroqobah (merasa diawasi oleh Allah),
kontinyu dengan sifat ketakwaan dan waspada agar tidak jatuh ke dalam
hal-hal yang dimurkai-Nya berupa kelalaian menunaikan kewajiban dan
melakukan hal yang diharamkan. (Lihat Muqoddimah Karomatul Auliya’, Al-Lalika’i, Dr. Ahmad bin Sa’d Al-Ghomidi, 5:8).
Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan, “Allah Ta’ala menginformasikan
bahwa para wali Allah adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa.
Siapa saja yang bertakwa ,maka dia adalah wali Allah.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2:384).
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah juga menjelaskan dalam Syarah Riyadhus Shalihin no.96, bahwa wali Allah adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa.
Mereka merealisasikan keimanan di hati mereka terhadap semua yang wajib
diimani, dan mereka merealisasikan amal sholih pada anggota badan
mereka, dengan menjauhi semua hal-hal yang diharamkan seperti
meninggalkan kewajiban atau melakukan perkara yang haram. Mereka
mengumpulkan pada diri mereka kebaikan batin dengan keimanan dan
kebaikan lahir dengan ketakwaan, merekalah wali Allah.
Wali Allah Adalah yang Beriman Kepada Rasulullah shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya yang berjudul Al Furqon Baina Auliya’ir Rohman wa Auliya’us Syaithon Hal.34 mengatakan, “Wali Allah hanyalah orang yang beriman kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beriman dengan apa yang dibawanya, dan mengikutinya secara lahir dan
batin. Barangsiapa yang mengaku mencintai Allah dan wali-Nya, namun
tidak mengikuti beliau maka tidak termasuk wali Allah bahkan jika dia
menyelisihinya dan berbuat bid’ah, maka termasuk musuh Allah dan wali
setan. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’.” (QS. Ali Imran: 31)
Hasan Al Bashri berkata, “Suatu kaum mengklaim mencintai Allah, lantas Allah turunkan ayat ini sebagai ujian bagi mereka.”
Allah sungguh telah menjelaskan dalam ayat tersebut, barangsiapa yang mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Allah akan mencintainya. Namun siapa yang mengklaim mencintai-Nya tapi tidak mengikuti beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam maka
tidak termasuk wali Allah. Walaupun banyak orang menyangka dirinya atau
selainnya sebagai wali Allah, tetapi kenyataannya mereka bukan
wali-Nya.
Dari uraian di atas, terlihat bahwa
cakupan definisi wali ini begitu luas, mencakup setiap orang yang
memiliki keimanan dan ketakwaan. Maka wali Allah yang paling utama
adalah para nabi. Para nabi yang paling utama adalah para rasul. Para
Rasul yang paling utama adalah ‘ulul azmi. Sedang ‘ulul azmi yang paling utama adalah Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dengan demikian sangat salah suatu pemahaman yang berkembang di masyarakat kita saat ini, bahwa wali
itu hanya monopoli orang-orang tertentu, semisal ulama, habib, kyai,
apalagi hanya terbatas pada orang yang memiliki ilmu yang aneh-aneh dan sampai pada orang yang meninggalkan kewajiban syariat yang dibebankan padanya.
Kalau pun benar seseorang merupakan keturunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hal itu hanya keistimewaan dari segi nasab saja, apabila ia tidak beriman dan beramal sholih sesuai tuntunan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam keistimewaan itu akan terkubur sia-sia dan tidak akan berarti. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Wahai kaum Quraisy – atau perkataan
yang mirip ini-, selamatkanlah jiwa kalian sesungguhnya aku tidak bisa
menolong kalian sama sekali. Wahai bani Abdu Manaf, aku sama sekali
tidak bisa menolong kalian. Wahai Abbas bin Abdilmuttholib, aku tidak
bisa menolongmu sama sekali. Wahai Sofiyah bibinya Rasululllah, aku sama
sekali tidak bisa menolongmu. Wahai Fatimah putri Muhammad, mintalah
kepadaku apa yang engkau kehendaki dari hartaku, aku sama sekali tidak
bisa menolongmu.” (HR. Al-Bukhari, no. 4771)
Maksudnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
berkuasa menarik kemanfaatan bagi dirinya dan keluarganya juga beliau
tidak mampu menolak kemudharatan dari dirinya dan keluarganya serta
tidak mampu mencegah adzab Allah yang akan menimpanya jika mereka
bermaksiat kepada Allah.
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar