Tidak dipungkiri
bahwa kedudukan para Nabi dan Rasul itu tinggi di mata Allah. Namun hal itu
bukanlah sebagai jaminan bahwa seluruh keluarga Nabi dan Rasul mendapatkan
petunjuk dan keselamatan serta aman dari ancaman siksa neraka karena
keterkaitan hubungan keluarga dan nasab. Allah telah berfirman tentang
kekafiran anak Nabi Nuh ‘alaihis-salaam yang akhirnya
termasuk orang-orang yang ditenggelamkan Allah bersama orang-orang kafir :
وَقِيلَ يَأَرْضُ ابْلَعِي مَآءَكِ
وَيَسَمَآءُ أَقْلِعِي وَغِيضَ الْمَآءُ وَقُضِيَ الأمْرُ وَاسْتَوَتْ عَلَى
الْجُودِيّ وَقِيلَ بُعْداً لّلْقَوْمِ الظّالِمِينَ * وَنَادَى نُوحٌ رّبّهُ
فَقَالَ رَبّ إِنّ ابُنِي مِنْ أَهْلِي وَإِنّ وَعْدَكَ الْحَقّ وَأَنتَ أَحْكَمُ
الْحَاكِمِينَ * قَالَ يَنُوحُ إِنّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنّهُ عَمَلٌ
غَيْرُ صَالِحٍ فَلاَ تَسْأَلْنِـي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنّيَ أَعِظُكَ
أَن تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ
Dan
difirmankan: "Hai bumi telanlah airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah,"
dan airpun disurutkan, perintahpun diselesaikan dan bahtera itupun berlabuh di
atas bukit Judi, dan dikatakan: "Binasalah orang-orang yang zalim “. Dan
Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya
anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar.
Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya”. Allah berfirman: "Hai Nuh,
sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan
diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. Sebab itu
janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui
(hakekat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan
termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan." [QS. Huud :
44-46].
Allah juga berfirman
tentang keingkaran Azar ayah Nabi Ibrahim ’alaihis-salaam :
وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ
لأبِيهِ إِلاّ عَن مّوْعِدَةٍ وَعَدَهَآ إِيّاهُ فَلَمّا تَبَيّنَ لَهُ أَنّهُ
عَدُوّ للّهِ تَبَرّأَ مِنْهُ إِنّ إِبْرَاهِيمَ لأوّاهٌ حَلِيمٌ
“Dan
permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah
karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala
jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas
diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut
hatinya lagi penyantun” [QS. At-Taubah : 114].
Dan Allah pun
berfirman tentang istri Nabi Luth sebagai orang yang dibinasakan oleh adzab
Allah :
فَأَنجَيْنَاهُ وَأَهْلَهُ إِلاّ
امْرَأَتَهُ كَانَتْ مِنَ الْغَابِرِينَ
Kemudian Kami
selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali isterinya; dia termasuk
orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). [QS. Al-A’raf :
83].
Tidak terkecuali hal
itu terjadi pada kedua orang tua Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam. Mereka berdua –
sesuai dengan kehendak kauni Allah ta’ala – mati dalam keadaan kafir.
Hal itu ditegaskan oleh beberapa nash di antaranya :
1. Al-Qur’an Al-Kariim
مَا كَانَ
لِلنّبِيّ وَالّذِينَ آمَنُوَاْ أَن يَسْتَغْفِرُواْ لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ
كَانُوَاْ أُوْلِي قُرْبَىَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيّنَ لَهُمْ أَنّهُمْ أَصْحَابُ
الْجَحِيمِ
“Tiadalah sepatutnya
bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi
orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat
(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah
penghuni neraka jahanam” [QS. At-Taubah : 113].
Sababun-Nuzul (sebab
turunnya) ayat ini adalah berkaitan dengan permohonan Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam kepada Allah ta’ala untuk
memintakan ampun ibunya (namun kemudian Allah tidak mengijinkannya) [Lihat
Tafsir Ath-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir QS.
At-Taubah : 113].
2. As-Sunnah Ash-Shahiihah
عَنْ أَنَسٍ
أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيْنَ أَبِي قَالَ فِي النَّارِ
فَلَمَّا قَفَّى دَعَاهُ فَقَالَ إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ
Dari Anas
radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya ada seorang laki-laki bertanya kepada
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Wahai Rasulullah, dimanakah tempat
ayahku (yang telah meninggal) sekarang berada ?”. Beliau menjawab : “Di
neraka”. Ketika orang tersebut menyingkir, maka beliau memanggilnya lalu
berkata : “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka”. [HR. Muslim no. 203, Abu Dawud no. 4718,
Ahmad no. 13861, Ibnu Hibban no. 578, Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa no.
13856, Abu ‘Awanah no. 289, dan Abu Ya’la no. 3516].
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata : “Di dalam hadits tersebut [yaitu
hadits : إن أبي وأباك في النار – ”Sesungguhnya
ayahku dan ayahmu di neraka”] terdapat pengertian bahwa orang yang
meninggal dunia dalam keadaan kafir, maka dia akan masuk neraka. Dan kedekatannya
dengan orang-orang yang mendekatkan diri (dengan Allah) tidak memberikan
manfaat kepadanya. Selain itu, hadits tersebut juga mengandung makna bahwa
orang yang meninggal dunia pada masa dimana bangsa Arab tenggelam dalam
penyembahan berhala, maka diapun masuk penghuni neraka. Hal itu bukan termasuk
pemberian siksaan terhadapnya sebelum penyampaian dakwah, karena kepada mereka
telah disampaikan dakwah Ibrahim dan juga para Nabi yang lainshalawaatullaah
wa salaamuhu ‘alaihim” [Syarah Shahih Muslim oleh An-Nawawi juz
3 hal. 79 melalui perantara Naqdu Masaalikis-Suyuthi fii Waalidayil-Musthafaa oleh
Dr. Ahmad bin Shalih Az-Zahrani hal. 26, Cet. 1425 H].
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي
أَنْ أَسْتَغْفِرَ لِأُمِّي فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي وَاسْتَأْذَنْتُهُ أَنْ أَزُورَ
قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِي
Dari Abi Hurairah radliyallaahu
’anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu
’alaihi wa sallam : ”Sesungguhnya
aku telah memohon ijin Rabb-ku untuk memintakan ampun ibuku, dan Ia tidak
mengijinkanku. Namun Ia mengijinkan aku untuk menziarahi kuburnya” [HR. Muslim no. 976, Abu Dawud no. 3234,
An-Nasa’i dalam Ash-Shughraa no. 2034, Ibnu Majah no. 1572, dan
Ahmad no. 9686].
Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullah berkata :
وأبواه كانا
مشركين, بدليل ما أخبرنا
”Sesungguhnya kedua orang tua Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam adalah
musyrik dengan dalil apa yang telah kami khabarkan....”. Kemudian beliau
membawakan dalil hadits dalam Shahih Muslim di atas (no. 203
dan 976) di atas [Lihat As-Sunanul-Kubraa juz 7 Bab
Nikaahi Ahlisy-Syirk wa Thalaaqihim].[1]
Al-’Allamah Syamsul-Haq ’Adhim ’Abadi berkata :
فلم يأذن لي
: لأنها كافرة والاستغفار للكافرين لا يجوز
”Sabda beliau shallallaahu ’alaihi wa sallam : ”Dan
Ia (Allah) tidak mengijinkanku” adalah disebabkan Aminah adalah
seorang yang kafir, sedangkan memintakan ampun terhadap orang yang kafir adalah
tidak diperbolehkan” [’Aunul-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, Kitaabul-Janaaiz,
Baab Fii Ziyaaratil-Qubuur].[2]
عن ابن مسعود
رضي الله عنه قال "جاء ابنا مليكة - وهما من الأنصار - فقالا: يَا رَسولَ
الله إنَ أمَنَا كَانَت تحفظ عَلَى البَعل وَتكرم الضَيف، وَقَد وئدت في
الجَاهليَة فَأَينَ أمنَا؟ فَقَالَ: أمكمَا في النَار. فَقَامَا وَقَد شَق ذَلكَ
عَلَيهمَا، فَدَعَاهمَا رَسول الله صَلَى الله عَلَيه وَسَلَمَ فَرَجَعَا،
فَقَالَ: أَلا أَنَ أمي مَعَ أمكمَا
Dari Ibnu Mas’ud
radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Datang dua orang anak laki-laki
Mulaikah – mereka berdua dari kalangan Anshar – lalu berkata : “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya ibu kami semasa hidupnya memelihara onta dan
memuliakan tamu. Dia dibunuh di jaman Jahiliyyah. Dimana ibu kami sekarang
berada ?”. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab : “Di neraka”.
Lalu mereka berdiri dan merasa berat mendengar perkataan beliau. Lalu
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memanggil keduanya lalu berkata :
“Bukankah ibuku bersama ibu kalian berdua (di neraka) ?” [Lihat Tafsir
Ad-Durrul-Mantsur juz 4 halaman 298 – Diriwayatkan oleh Ahmad no.
3787, Thabarani dalam Al-Kabiir 10/98-99 no. 10017, Al-Bazzar
4/175 no. 3478, dan yang lainnya; shahih].
3. Ijma’
Al-Imam Ibnul-Jauzi
berkata :
وأما عبد
الله فإنه مات ورسول الله صلى الله عليه وسلم حمل ولا خلاف أنه مات كافراً، وكذلك
آمنة ماتت ولرسول الله صلى الله عليه وسلم ست سنين
”Adapun ’Abdullah
(ayah Nabi), ia mati ketika Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallammasih berada dalam
kandungan, dan ia mati dalam keadaan kafir tanpa ada khilaf. Begitu pula Aminah
(tentang kekafirannya tanpa ada khilaf), dimana ia mati ketika Rasulullah shallallaahu
’alaihi wasallam berusia enam tahun” [Al-Maudlu’aat juz 1
hal. 283].
Al-’Allamah ’Ali bin
Muhammad Sulthan Al-Qaari telah menukil adanya ijma’ tentang kafirnya kedua
orang tua Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam dengan
perkataannya :
وأما الإجماع
فقد اتفق السلف والخلف من الصحابة والتابعين والأئمة الأربعة وسائر المجتهدين على
ذلك من غير إظهار خلاف لما هنالك والخلاف من اللاحق لا يقدح في الإجماع السابق
سواء يكون من جنس المخالف أو صنف الموافق
”Adapun ijma’, maka
sungguh ulama salaf dan khalaf dari kalangan shahabat, tabi’in, imam empat,
serta seluruh mujtahidin telah bersepakat tentang hal tersebut (kafirnya kedua
orang tua Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam) tanpa adanya khilaf.
Jika memang terdapat khilaf setelah adanya ijma’, maka tidak mengurangi
nilai ijma’ yang telah terjadi sebelumnya. Sama saja apakah
hal itu terjadi pada orang-orang menyelisihi ijma’ (di era setelahnya)
atau dari orang-orang yang telah bersepakat (yang kemudian ia berubah pendapat
menyelisihi ijma’) [Adilltaul-Mu’taqad Abi Haniifah hal. 7 -
download dari www.alsoufia.com].
Al-Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata
:
ووالدا رسول
الله مات على الكفر
”Dan kedua orang tua
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam mati dalam keadaan
kafir” [Al-Adillatul-Mu’taqad Abi Haniifah hal. 1 – download dari www.alsoufia.com].
Al-Imam Abu Ja’far
Ath-Thabari rahimahullah berkata dalam Tafsirnya ketika
menjelaskan QS. Al-Baqarah : 119 :
فإن فـي
استـحالة الشكّ من الرسول علـيه السلام فـي أن أهل الشرك من أهل الـجحيـم, وأن
أبويه كانا منهم
”Semua ini berdasar
atas keyakinan dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bahwa
orang-orang musyrik itu akan masuk Neraka Jahim dan kedua orang tua Rasulullahshallallaahu
’alaihi wasallam termasuk bagian dari mereka”.
Al-Imam Ibnul-Jauzi
berkata ketika berhujjah dengan hadits ” Sesungguhnya aku telah memohon
ijin Rabb-ku untuk memintakan ampun ibuku” ; yaitu berdasarkan
kenyataan bahwa Aminah bukanlah seorang wanita mukminah” [Al-Maudlu’aat juz
1 hal. 284].
Beberapa imam ahli
hadits pun memasukkan hadits-hadits yang disebutkan di atas dalam Bab-Bab yang
tegas menunjukkan fiqh (pemahaman) dan i’tiqad mereka
tentang kekafiran kedua orang tua Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam. Misalnya, Al-Imam
Muslim memasukkannya dalam Bab [بيان أن من
مات على الكفر فهو في النار ولا تناله شفاعة ولا تنفعه قرابة المقربين] “Penjelasan bahwasannya siapa saja meninggal dalam
kekafiran maka ia berada di neraka dan ia tidak akan memperoleh syafa’at dan tidak
bermanfaat baginya hubungan kekerabatan”. Al-Imam Ibnu Majah memasukkannya
dalam Bab [ما جاء في زيارة قبور المشركين] ”Apa-Apa yang Datang Mengenai Ziyarah ke Kubur
Orang-Orang Musyrik”. Al-Imam An-Nasa’i memasukkannya dalam Bab [زيارة قبر
المشرك] ”Ziyarah ke Kubur
Orang-Orang Musyrik. Dan yang lainnya.
Keterangan di atas
adalah hujjah yang sangat jelas yang menunjukkan kekafiran kedua orang tua Nabi shallallaahu
’alaihi wa sallam. Namun, sebagian
orang-orang yang datang belakangan menolak ’aqidah ini dimana mereka membuat
khilaf setelah adanya ijma’ (tentang kekafiran kedua orang tua Nabi shallallaahu
’alaihi wa sallam). Mereka mengklaim
bahwa kedua orang tua beliau termasuk ahli surga. Yang paling menonjol dalam
membela pendapat ini adalah Al-Haafidh As-Suyuthi. Ia telah menulis beberapa
judul khusus yang membahas tentang status kedua orang tua Nabi seperti : Masaalikul-Hunafaa
fii Waalidayal-Musthafaa, At-Ta’dhiim wal-Minnah fii Anna Abawai
Rasuulillah fil-Jannah, As-Subulul-Jaliyyah fil-Aabaail-’’Aliyyah,
dan lain-lain.
Bantahan
terhadap Syubuhaat
1. Mereka menganggap bahwa kedua orang tua nabi termasuk ahli fatrah sehingga
mereka dimaafkan.
Kita Jawab :
Definisi fatrah menurut
bahasa kelemahan dan penurunan [Lisaanul-’Arab oleh Ibnul-Mandhur
5/43]. Adapun secara istilah, maka fatrah bermakna tenggang
waktu antara dua orang Rasul, dimana ia tidak mendapati Rasul pertama dan tidak
pula menjumpai Rasul kedua” [Jam’ul-Jawaami’ 1/63]. Hal ini seperti
selang waktu antara Nabi Nuh dan Idris ’alaihimas-salaam serta
seperti selang waktu antara Nabi ’Isa ’alaihis-salaam dan
Muhammad shallallaahu ’alaihi wa sallam. Definisi ini
dikuatkan oleh firman Allah ta’ala :
يَا أَهْلَ
الْكِتَابِ قَدْ جَاءَكُمْ رَسُولُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ عَلَى فَتْرَةٍ مِنَ
الرُّسُلِ أَنْ تَقُولُوا مَا جَاءَنَا مِنْ بَشِيرٍ وَلا نَذِيرٍ
Hai Ahli Kitab,
sesungguhnya telah datang kepada kamu Rasul Kami, menjelaskan (syariat Kami)
kepadamu ketika terputus (pengiriman) rasul-rasul, agar kamu tidak mengatakan:
"Tidak datang kepada kami baik seorang pembawa berita gembira maupun
seorang pemberi peringatan" [QS. Al-Maaidah : 19].
Ahli fatrah terbagi
menjadi dua macam :
a. Yang telah sampai kepadanya ajaran Nabi.
b. Yang tidak sampai kepadanya ajaran/dakwah Nabi dan dia dalam keadaan lalai.
Golongan pertama di
atas dibagi menjadi dua, yaitu : Pertama, Yang sampai kepadanya
dakwah dan dia bertauhid serta tidak berbuat syirik. Maka mereka dihukumi
seperti ahlul-islam/ahlul-iman. Contohnya adalah Waraqah bin Naufal, Qus bin
Saa’idah, Zaid bin ’Amr bin Naufal, dan yang
lainnya. Kedua, Yang tidak sampai kepadanya dakwah
namun ia merubah ajaran dan berbuat syirik. Golongan ini tidaklah disebut
sebagai ahlul-islam/ahlul iman. Tidak ada perselisihan di antara ulama bahwa
mereka merupakan ahli neraka. Contohnya adalah ’Amr bin Luhay[3], Abdullah bin Ja’dan, shahiibul-mihjan,
kedua orang tua Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam, Abu Thalib, dan
yang lainnya.
Golongan kedua, maka
mereka akan diuji oleh Allah kelak di hari kiamat.
Kedua orang tua
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam memang termasuk
ahli fatrah, namun telah sampai kepada mereka dakwah Nabi Ibrahim ’alaihis-salaam.
Maka, mereka tidaklah dimaafkan akan kekafiran mereka sehingga layak sebagai
ahli neraka.
2. Hadits-hadits yang menceritakan tentang dihidupkannya kembali kedua orang
tua Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam ke dunia, lalu
mereka beriman kepada ajaran beliau.
Di antara
hadits-hadits tersebut adalah :
عن عائشة رضي
الله عنها قالت: حج بنا رسول الله حجة الوداع ، فمرّ بي على عقبة الحجون وهو باكٍ
حزين مغتم فنزل فمكث عني طويلاً ثم عاد إلي وهو فرِحٌ مبتسم ، فقلت له فقال : ذهبت
لقبر أمي فسألت الله أن يحييها فأحياها فآمنت بي وردها الله
Dari ’Aisyah radliyallaahu
’anhaa ia berkata : ”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam melakukan haji
bersama kami dalam haji wada’. Beliau melewati satu tempat yang bernama Hajun
dalam keadaan menangis dan sedih. Lalu beliau shallallaahu ’alaihi
wasallam turun dan menjauh lama dariku kemudian kembali kepadaku dalam
keadaan gembira dan tersenyum. Maka akupun bertanya kepada beliau (tentang apa
yang terjadi), dan beliau pun menjawab : ”Aku pergi ke kuburan ibuku
untuk berdoa kepada Allah agar Ia menghidupkannya kembali. Maka Allah pun
menghidupkannya dan mengembalikan ke dunia dan beriman kepadaku” [Diriwayatkan
oleh Ibnu Syahin dalam An-Nasikh wal-Mansukh no. 656,
Al-Jauzaqaani dalam Al-Abaathil 1/222, dan Ibnul-Jauzi
dalam Al-Maudlu’aat 1/283-284].
Hadits ini tidak
shahih karena perawi yang bernama Muhammad bin Yahya Az-Zuhri dan Abu Zinaad.
Tentang Abu Zinaad, maka telah berkata Yahya bin Ma’in : Ia bukanlah orang yang
dijadikan hujjah oleh Ashhaabul-Hadiits, tidak ada apapanya”. Ahmad
berkata : ”Orang yang goncang haditsnya (mudltharibul-hadiits)”. Berkata
Ibnul-Madiinii : ”Menurut para shahabat kami ia adalah seorang yang dla’if”.
Ia juga berkata pula : ”Aku melihat Abdurrahman bin Mahdi menulis haditsnya”.
An-Nasa’i berkata : ”Haditsnya tidak boleh dijadikan hujjah”. Ibnu ’Adi berkata
: ”Ia termasuk orang yang ditulis haditsnya” [silakan lihat selengkapnya
dalam Tahdzibut-Tahdzib]. Ringkasnya, maka ia termasuk perawi yang
ditulis haditsnya namun riwayatnya sangat lemah jika ia bersendirian.
Adapun Muhammad bin
Yahya Az-Zuhri, maka Ad-Daruquthni berkata : ”Matruk”. Ia juga berkata
: ”Munkarul-Hadits, ia dituduh memalsukan hadits” [lihat selengkapnya
dalam Lisaanul-Miizaan 4/234].
Dengan melihat
kelemahan itu, maka para ahli hadits menyimpulkan sebagai berikut : Ibnul-Jauzi
dalam Al-Maudlu’aat (1/284) berkata : ”Palsu tanpa ragu lagi”.
Ad-Daruquthni dalam Lisaanul Mizan (biografi ’Ali bin Ahmad
Al-Ka’by) : ”Munkar lagi bathil”. Ibnu ’Asakir dalam Lisanul-Mizan (4/111) : ”Hadits munkar”.
Adz-Dzahabi berkata (dalam biografi ’Abdul-Wahhab bin Musa) : ”Hadits ini
adalah dusta”.
عن ابن عمر
رضي الله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إذا كان يوم القيامة شفعت
لأبي وأمي وعمي أبي طالب وأخ لي كان في الجاهلية
Dari Ibnu ’Umar radliyallaahu
’anhuma ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam : ”Pada
hari kiamat nanti aku akan memberi syafa’at kepada ayahku, ibuku, pamanku Abu
Thalib, dan saudaraku di waktu Jahiliyyah” [Diriwayatkan oleh
Tamam Ar-Razi dalam Al-Fawaaid 2/45].
Hadits ini adalah palsu karena rawi yang
bernama Al-Waliid bin Salamah. Ia adalah pemalsu lagi ditinggalkan haditsnya [lihat Al-Majruhiin oleh
Ibnu Hibban 3/80 dan Mizaanul-I’tidaal oleh
Adz-Dzahabi 4/339]. Pembahasan selengkapnya hadits ini dapat dibaca
dalam Silsilah Al-Ahaadits Adl-Dla’iifah wal-Ma’udluu’ah oleh
Asy-Syaikh Al-Albani no. 322.
عن علي
مرفوعاً : « هبط جبريل علي فقال إن الله يقرئك السلام ويقول إني حرمت النار على
صلبٍ أنزلك وبطنٍ حملك وحجرٍ كفلك
Dari ’Ali radliyallaahu
’anhu secara marfu’ : ”Jibril turun kepadaku
dan berkata : ’Sesungguhnya Allah mengucapkan salaam dan berfirman :
Sesungguhnya Aku haramkan neraka bagi tulang rusuk yang telah mengeluarkanmu
(yaitu Abdullah), perut yang mengandungmu (yaitu Aminah), dan pangkuan yang
merawatmu (yaitu Abu Thalib)” [Diriwayatkan oleh Al-Jauzaqaani
dalam Al-Abaathil 1/222-223 dan Ibnul-Jauzi dalam Al-Maudlu’aat 1/283].
Hadits ini adalah
palsu (maudlu’) tanpa ada keraguan sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul-Jauzi
dalam Al-Maudlu’aat (1/283) dan Adz-Dzahabi dalam Ahaadiitsul-Mukhtarah no.
67.
Dan hadits lain yang
senada yang tidak lepas dari status sangat lemah, munkar, atau palsu.
3. Hadits-hadits yang menjelaskan tentang kafirnya kedua orang tua Nabi shallallaahu
’alaihi wa sallam dinasakh
(dihapus) oleh hadits-hadits yang menjelaskan tentang berimannya kedua orang
tua beliau.
Kita jawab :
Klaim nasakh hanyalah
diterima bila nash naasikh (penghapus) berderajat shahih.
Namun, kedudukan haditsnya yang dianggap naasikh adalah sebagaimana yang kita
lihat (sangat lemah, munkar, atau palsu). Maka bagaimana bisa diterima hadits
shahih di-nasakh oleh hadits yang kedudukannya sangat jauh di
bawahnya ? Itu yang pertama. Adapun yang kedua, nasakh hanyalah
ada dalam masalah-masalah hukum, bukan dalam masalah khabar. Walhasil,
anggapan nasakh adalah anggapan yang sangat lemah.
Pada akhirnya, orang-orang yang menolak
hal ini berhujjah dengan dalil-dalil yang sangat lemah. Penyelisihan dalam
perkara ini bukan termasuk khilaf yang diterima dalam Islam (karena tidak
didasari oleh hujjahyang kuat). Orang-orang Syi’ah berada pada barisan terdepan
dalam memperjuangkan pendapat bathil ini. Di susul kemudian sebagian habaaib (orang
yang mengaku keturunan Rasulullah shallallaahu ’alaihi
wa sallam) dimana mereka
menginginkan atas pendapat itu agar orang berkeyakinan tentang kemuliaan
kedudukan mereka sebagai keturunan Rasulullah. Hakekatnya, motif dua golongan
ini adalah sama. Kultus individu.
Keturunan Nabi adalah
nasab yang mulia dalam Islam. Akan tetapi hal itu bukanlah jaminan – sekali
lagi – bahwa mereka akan dimasukkan ke dalam surga dan selamat dari api neraka.
Allah hanya akan menilai seseorang – termasuk mereka yang mengaku memiliki
nasab mulia – dari amalnya. Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda
:
وَمَنْ بَطَأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ
بِهِ نَسَبُهُ
“Barangsiapa
yang lambat amalnya, maka kemuliaan nasabnya tidak bisa mempercepatnya” [HR. Muslim – Arba’un
Nawawiyyah no. 36].
Kesimpulan : Kedua orang tua Nabi shallallaahu
’alaihi wasallam adalah meninggal dalam keadaan kafir.
Wallaahu
a’lam.
[1] Perkataan Imam Al-Baihaqi tentang kekafiran
kedua orang tua Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga dapat ditemui
dalam kitab Dalaailun-Nubuwwah juz 1 hal. 192, Daarul-Kutub,
Cet. I, 1405 H, tahqiq : Dr. Abdul-Mu’thi Al-Qal’aji].
[2] Karena ibu Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam termasuk orang-orang kafir. Allah telah melarang
Nabi shallallaahu ‘alaihi was allam dan kaum mukminin secara
umum untuk memintakan ampun orang-orang yang meninggal dalam keadaan kafir
sebagaimana firman-Nya :
مَا كَانَ
لِلنّبِيّ وَالّذِينَ آمَنُوَاْ أَن يَسْتَغْفِرُواْ لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ
كَانُوَاْ أُوْلِي قُرْبَىَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيّنَ لَهُمْ أَنّهُمْ أَصْحَابُ
الْجَحِيمِ
“Tiadalah
sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada
Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum
kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu
adalah penghuni neraka jahanam” [QS. At-Taubah : 113].
قال النبي صلى الله عليه وسلم رأيت عمرو بن
عامر بن لحي الخزاعي يجر قصبه في النار وكان أول من سيب السوائب
Telah berkata Abu Hurairah radliyallaahu
‘anhu : Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Aku
melihat ‘Amru bin ‘Amir bin Luhay Al-Khuzaa’i menarik-narik ususnya di neraka.
Dia adalah orang pertama yang melepaskan onta-onta (untuk dipersembahkan kepada
berhala)” [HR. Bukhari no. 3333 – tartib maktabah sahab, Muslim no.
2856].
Nisbah Al-Khuzaa’i merupakan nisbah kepada
sebuah suku besar Arab, yaitu Bani Khuza’ah. Ibnu Katsir menjelaskan sebagai
berikut :
عمرو هذا هو ابن لحي بن قمعة, أحد رؤساء
خزاعة الذين ولوا البيت بعد جرهم وكان أول من غير دين إبراهيم الخليل, فأدخل
الأصنام إلى الحجاز, ودعا الرعاع من الناس إلى عبادتها والتقرب بها, وشرع لهم هذه
الشرائع الجاهلية في الأنعام وغيرها
“‘Amru bin ‘Amir bin Luhay Al-Khuza’i
merupakan salah satu pemimpin Khuza’ah yang memegang kekuasaan atas Ka’bah
setelah Kabilah Jurhum. Ia adalah orang yang pertama kali mengubah agama
Ibrahim (atas bangsa Arab). Ia memasukkan berhala-berhala ke Hijaz, lalu
menyeru kepada beberapa orang jahil untuk menyembahnya dan bertaqarrub
dengannya, dan ia membuat beberapa ketentuan jahiliyyah ini bagi mereka yang
berkenaan dengan binatang ternak dan lain-lain……” [lihat Tafsir Ibnu
Katsir 2/148 QS. Al-Maidah ayat 103].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar