Stright to the point saja ya.....
Allah ta’ala berfirman :
إِنَّمَا
جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي
الأرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ
أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الأرْضِ
ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ
عَظِيمٌ
“Sesungguhnya
pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan
membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib,
atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau
dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai)
suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh
siksaan yang besar” [QS. Al-Maaidah : 33].
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
قال ابن بطال: ذهب البخاري إلى أن آية المحاربة نزلت في أهل الكفر والردة
“Ibnu baththaal berkata : Al-Bukhaariy berpendapat bahwa ayat muhaarabah turun berkenaan dengan orang-orang kafir dan murtad”[1] [Fathul-Baariy, 12/109].
Allah ta’ala juga berfirman :
وَلا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan suatu (alasan) yang benar” [QS. Al-Israa’ : 33].
Larangan pembunuhan jiwa dalam ayat ini dikecualikan jika terdapat alasan yang dibenarkan oleh syari’at. Qataadah bin Di’aamah[2] rahimahullah menjelaskan perkecualian tersebut sebagaimana ada dalam riwayat :
حَدَّثَنَا
بِشْرٌ، قَالَ: ثنا يَزِيدُ، قَالَ: ثنا سَعِيدٌ، عَنْ قَتَادَةَ،
قَوْلَهُ: " وَلا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا
بِالْحَقِّ. وَإِنَّا وَاللَّهِ مَا نَعْلَمُ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ
مُسْلِمٍ إِلا بِإِحْدَى ثَلاثٍ، إِلا رَجُلا قَتَلَ مُتَعَمِّدًا،
فَعَلَيْهِ الْقَوَدُ، أَوْ زَنَى بَعْدَ إِحْصَانِهِ فَعَلَيْهِ
الرَّجْمُ، أَوْ كَفَرَ بَعْدَ إِسْلامِهِ فَعَلَيْهِ الْقَتْلُ "
Telah
menceritakan kepada kami Bisyr, ia berkata : Telah menceritakan kepada
kami Yaziid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid, dari
Qataadah tentang firman-Nya : ‘Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar’ (QS. Al-Israa’ : 33), ia berkata : “Kami tidak mengetahui darah seorang muslim dihalalkan kecuali dengan satu di antara tiga sebab : seorang yang membunuh secara sengaja, maka wajib baginya ditegakkan qishaash; atau orang yang telah menikah yang berzina, maka baginya hukum rajam; dan kafir setelah Islamnya, maka baginya hukum bunuh” [Tafsiir Ath-Thabariy, 17/439; shahih].
Ath-Thabariy menguatkan apa yang dikatakan oleh Qataadah rahimahumallah tersebut dalam Tafsir-nya. Perhatikan pula istitsnaa’ (perkecualian) dalam riwayat berikut :
حَدَّثَنَا
نُعَيْمٌ، قَالَ: حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ، عَنْ حُمَيْدٍ
الطَّوِيلِ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ
حَتَّى يَقُولُوا لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، فَإِذَا قَالُوهَا وَصَلَّوْا
صَلَاتَنَا وَاسْتَقْبَلُوا قِبْلَتَنَا وَذَبَحُوا ذَبِيحَتَنَا، فَقَدْ
حَرُمَتْ عَلَيْنَا دِمَاؤُهُمْ وَأَمْوَالُهُمْ إِلَّا بِحَقِّهَا
وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ "
Telah
menceritakan kepada kami Nu’aim, ia berkata : Telah menceritakan kepada
kami Ibnul-Mubaarak, dari Humaid Ath-Thawiil, dari Anas bin Maalik, ia
berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Aku
diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengatakan Laa
ilaha illallaah. Apabila mereka telah mengatakannya, mengerjakan shalat
seperti shalat kita, menghadap ke kiblat kita, dan menyembelih seperti
sembelihan kami; maka diharamkan bagi kami atas darah mereka dan harta
mereka, kecuali dengan haknya. Adapun perhitungannya ada di sisi Allah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 393].
Dijelaskan lebih lanjut :
حَدَّثَنِي
مُوسَى بْنُ سَهْلٍ، قَالَ: ثنا عَمْرُو بْنُ هَاشِمٍ، قَالَ: ثنا
سُلَيْمَانُ بْنُ حَيَّانَ، عَنْ حُمَيْدٍ الطَّوِيلِ، عَنْ أَنَسِ بْنِ
مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
" أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا: لا إِلَهَ إِلا
اللَّهُ، فَإِذَا قَالُوهَا عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ
إِلا بِحَقِّهَا وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ ". قِيلَ: وَمَا حَقُّهَا ؟
قَالَ: " زِنًا بَعْدَ إِحْصَانٍ، وَكُفْرٌ بَعْدَ إِيمَانٍ، وَقَتْلُ
نَفْسٍ فَيُقْتَلُ بِهَا "
Telah
menceritakan kepadaku Muusaa bin Sahl, ia berkata : Telah menceritakan
kepada kami ‘Amru bin Haasyim, ia berkata : Telah menceritakan kepada
kami Sulaimaan bin Hayyaan, dari Humaid Ath-Thawiil, dari Anas bin
Maalik, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Aku
diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengatakan Laa
ilaha illallaah. Apabila mereka telah mengatakannya, maka terlindungilah
dariku darah mereka dan hartanya kecuali dengan haknya (alasan yang benar). Adapun perhitungannya ada di sisi Allah”. Dikatakan kepada beliau : “Apakah haknya tersebut ?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Zina setelah menikah, kafir setelah iman, dan membunuh jiwa. Maka pelakunya dibunuh dengan sebab tersebut” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy, 17/439; hasan].
Sebagian ulama – misal : Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah – mengatakan bahwa penjelasan istitsnaa’ atau keseluruhan hadits Ath-Thabariy di atas merupakan perkataan Anas radliyallaahu ‘anhu secara mauquf [Jaami’ul-‘Ulum wal-Hikam, hal. 215, tahqiq : Dr. Maahir Al-Fakhl]. Baik marfuu’ ataupun mauquuf, maka itu menunjukkan pemahaman salaf dalam hal istitsnaa’ keharaman pembunuhan jiwa dalam QS. Al-Israa’ : 33.
Dari sini dapat kita ketahui bahwasannya hadd bagi orang murtad mempunyai sandaran dari Al-Qur’an sesuai dengan pemahaman salaf kita yang shaalih. Secara esensi, diperkuat lagi oleh hadits-hadits :
أَخْبَرَنَا
يَحْيَى بْنُ آدَمَ، نا سُفْيَانُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ عَمْرِو
بْنِ غَالِبٍ، عَنْ عَائِشَةَ، عَنِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لا يَحِلُّ دَمُ رَجُلٍ إِلا ثَلاثَةً، مَنْ
قَتَلَ نَفْسًا، أَوِ الثَّيِّبُ الزَّانِي، أَوِ التَّارِكُ لِلإِسلامِ "
Telah
mengkhabarkan kepada kami Yahyaa bin Aadam : Telah mengkhabarkan kepada
kami Sufyaan, dari Abu Ishaaq, dari ‘Amru bin Ghaalib, dari ‘Aaisyah,
dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Tidaklah
halal darah seseorang (muslim) kecuali dengan tiga sebab : membunuh
jiwa (dengan sengaja), orang yang pernah menikah yang berzina, dan orang
yang meninggalkan Islam” [Diriwayatkan oleh Ishaaq bin Rahawaih dalam Musnad-nya no. 1603; shahih].
حَدَّثَنَا
سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ، عَنْ يَحْيَى
ابْنِ سَعِيدٍ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ بْنِ سَهْلٍ، قَالَ: " كُنَّا مَعَ
عُثْمَانَ وَهُوَ مَحْصُورٌ فِي الدَّارِ، وَكَانَ فِي الدَّارِ مَدْخَلٌ
مَنْ دَخَلَهُ سَمِعَ كَلَامَ مَنْ عَلَى الْبَلَاطِ، فَدَخَلَهُ عُثْمَانُ
فَخَرَجَ إِلَيْنَا وَهُوَ مُتَغَيِّرٌ لَوْنُهُ، فَقَالَ: إِنَّهُمْ
لَيَتَوَاعَدُونَنِي بِالْقَتْلِ آنِفًا، قَالَ: قُلْنَا: يَكْفِيكَهُمُ
اللَّهُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، قَالَ: وَلِمَ يَقْتُلُونَنِي؟
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: لَا
يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ: كُفْرٌ بَعْدَ
إِسْلَامٍ، أَوْ زِنًا بَعْدَ إِحْصَانٍ، أَوْ قَتْلُ نَفْسٍ بِغَيْرِ
نَفْسٍ "، فَوَاللَّهِ مَا زَنَيْتُ فِي جَاهِلِيَّةٍ وَلَا فِي إِسْلَامٍ
قَطُّ، وَلَا أَحْبَبْتُ أَنَّ لِي بِدِينِي بَدَلًا مُنْذُ هَدَانِي
اللَّهُ، وَلَا قَتَلْتُ نَفْسًا، فَبِمَ يَقْتُلُونَنِي؟ "
Telah
menceritakan kepada kami Sulaimaan bin Harb : Telah menceritakan kepada
kami Hammaad bin Zaid, dari Yahyaa bin Sa’iid, dari Abu Umaamah bin
Sahl, ia berkata : Kami pernah bersama ‘Utsmaan ketika ia dikepung di
rumahnya. Di dalam rumahnya terdapat sebuah lorong, yang kalau ada orang
memasukinya, ia dapat mendengar perkataan orang yang ada di atas
lantai. Maka ‘Utsmaan pun memasukinya, dan tidak lama kemudian keluar
menemui kami dengan raut muka yang berubah. Ia berkata : “Sesungguhnya
mereka barusan berniat akan membunuhku”. Kami berkata : “Cukuplah Allah
yang melindungimu dari mereka wahai Amiirul-Mukminiin”. Ia berkata : “Mengapa mereka hendak membunuhku ?. Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Tidak
halal darah seseorang kecuali dengan salah satu di antara tiga sebab :
kafir setelah Islam, melakukan perzinahan setelah menikah, atau membunuh
jiwa bukan karena qishash’. Demi Allah, aku tidak pernah berzina
sedikitpun baik di masa Jaahiliyyah ataupun setelah aku memeluk Islam.
Aku pun tidak berharap untuk mengganti agamaku sejak Allah memberikan
hidayah (Islam) kepadaku. Dan aku pun tidak pernah membunuh jiwa (tanpa
hak). Lantas, dengan sebab apa mereka hendak membunuhku ?” [Diriwayatkan
Abu Daawud no. 4502; shahih].
Dalil lain dari hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan hukum bunuh bagi orang murtad adalah :
حَدَّثَنَا
عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ أَيُّوبَ، عَنْ
عِكْرِمَةَ، أَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، حَرَّقَ قَوْمًا
فَبَلَغَ ابْنَ عَبَّاسٍ، فَقَالَ: لَوْ كُنْتُ أَنَا لَمْ أُحَرِّقْهُمْ
لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لَا
تُعَذِّبُوا بِعَذَابِ اللَّهِ، وَلَقَتَلْتُهُمْ "، كَمَا قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ
فَاقْتُلُوهُ "
Telah
menceritakan kepada kami ‘Aliy bin ‘Abdillah : Telah menceritakan
kepada kami Sufyaan, dari Ayyuub, dari ‘Ikrimah : Bahwasannya ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu
pernah membakar satu kaum. Sampailah berita itu kepada Ibnu ‘Abbas,
lalu ia berkata : “Seandainya itu terjadi padaku, niscaya aku tidak akan
membakar mereka, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Janganlah menyiksa dengan siksaan Allah’. Dan niscaya aku juga akan bunuh mereka sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Barangsiapa yang menukar/mengganti agamanya, maka bunuhlah ia” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy no. 3017].
حَدَّثَنَا
عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أخبرَنَا مَعْمَرٌ، عَنْ أَيُّوبَ، عَنْ حُمَيْدِ
بْنِ هِلَالٍ الْعَدَوِيِّ، عَنْ أَبِي بُرْدَةَ، قَالَ: قَدِمَ عَلَى
أَبِي مُوسَى مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ بِالْيَمَنِ، فَإِذَا رَجُلٌ عِنْدَهُ،
قَالَ: مَا هَذَا؟ قَالَ: رَجُلٌ كَانَ يَهُودِيًّا فَأَسْلَمَ، ثُمَّ
تَهَوَّدَ، وَنَحْنُ نُرِيدُهُ عَلَى الْإِسْلَامِ، مُنْذُ قَالَ:
أَحْسَبُهُ شَهْرَيْنِ، فَقَالَ: وَاللَّهِ لَا أَقْعُدُ حَتَّى تَضْرِبُوا
عُنُقَهُ، فَضُرِبَتْ عُنُقُهُ، فَقَالَ: قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ "
أَنَّ مَنْ رَجَعَ عَنْ دَيْنِهِ فَاقْتُلُوهُ "، أَوْ قَالَ: " مَنْ
بَدَّلَ دَيْنَهُ فَاقْتُلُوهُ "
Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq : Telah mengkhabarkan kepada
kami Ma’mar, dari Ayyuub, dari Humaid bin Hilaal Al-‘Adawiy, dari Abu
Burdah, ia berkata : Mu’aadz bin Jabal datang dan menemui Abu Muusaa di
Yaman, yang ketika itu ada seorang laki-laki di dekatnya. Mu’aadz
berkata : “Siapakah orang ini ?”. Abu Muusaa menjawab : “Seorang
laki-laki yang dulunya beragama Yahudi, lalu masuk Islam, dan setelah
itu kembali lagi menjadi Yahudi - dan kami menginginkannya ia tetap
beragama Islam – semenjak dua bulan lalu. Mu’aadz berkata : “Demi Allah,
aku tidak akan duduk sebelum engkau penggal leher orang ini”. Lalu
orang itu pun dipenggal lehernya. Mu’aadz berkata : “Allah dan Rasul-Nya
telah memutuskan bahwa siapa saja yang kembali dari agamanya (kepada
kekafiran), maka bunuhlah ia” – atau : “Barangsiapa yang mengganti
agamanya, maka bunuhlah ia” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 5/231; shahih].
Juga dari atsar para shahabat radliyallaahu ‘anhum :
حَدَّثَنَا
أَبُو الْيَمَانِ الْحَكَمُ بْنُ نَافِعٍ، أَخْبَرَنَا شُعَيْبُ بْنُ
أَبِي حَمْزَةَ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ مَسْعُودٍ، أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: " لَمَّا تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
وَكَفَرَ مَنْ كَفَرَ مِنْ الْعَرَبِ، فَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ: كَيْفَ تُقَاتِلُ النَّاسَ؟ وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى
يَقُولُوا لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، فَمَنْ قَالَهَا فَقَدْ عَصَمَ
مِنِّي مَالَهُ، وَنَفْسَهُ إِلَّا بِحَقِّهِ، وَحِسَابُهُ عَلَى اللَّهِ،
فَقَالَ: وَاللَّهِ لَأُقَاتِلَنَّ مَنْ فَرَّقَ بَيْنَ الصَّلَاةِ،
وَالزَّكَاةِ، فَإِنَّ الزَّكَاةَ حَقُّ الْمَالِ، وَاللَّهِ لَوْ
مَنَعُونِي عَنَاقًا كَانُوا يُؤَدُّونَهَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَاتَلْتُهُمْ عَلَى مَنْعِهَا، قَالَ عُمَرُ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: فَوَاللَّهِ مَا هُوَ إِلَّا أَنْ قَدْ شَرَحَ
اللَّهُ صَدْرَ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَعَرَفْتُ، أَنَّهُ
الْحَقُّ "
Telah
menceritakan kepada kami Abul-Yamaan Al-Hakam bin Naafi’ : Telah
mengkhabarkan kepada kami Syu’aib bin Abi Hamzah, dari Az-Zuhriy : Telah
menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah bin
Mas’uud, bahwasannya Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu berkata : Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam wafat, dan kekhalifahan digantikan oleh Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu; kafirlah sekelompok orang ‘Arab (setelah Islamnya). ‘Umar radliyallaahu ‘anhu berkata : “Bagaimana engkau hendak memerangi mereka (karena enggan menunaikan zakat), padahal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Aku
diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka berkata tidak ada
tuhan yang berhak disembah selain Allah. Barangsiapa yang telah
mengatakannya, maka terlindungilah dariku hartanya dan dirinya kecuali
dengan haknya. Adapun perhitungannya ada di sisi Allah”. Abu Bakr
berkata : “Demi Allah, sungguh aku akan memerangi orang yang memisahkan
antara shalat dan zakat, karena zakat itu adalah hak harta. Demi Allah,
seandainya mereka menahan dariku untuk membayarkan anak kambing yang
dulu mereka bayarkan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sungguh aku akan memerangi mereka dengan sebab itu”. ‘Umar radliyallaahu ‘anhu berkata : “Demi Allah, tidaklah hal itu dikatakannya kecuali Allah telah melapangkan dada Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu, lalu aku pun mengetahuinya bahwa apa yang dikatakannya itu adalah kebenaran” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1400].
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata tentang sebab kekafiran orang yang enggan menunaikan zakat tersebut :
وقد
اتفق الصحابة والأئمة بعدهم على قتال مانعي الزكاة وإن كانوا يصلون الخمس
ويصومون شهر رمضان،وهؤلاء لم يكن لهم شبهة سائغة، فلهذا كانوا مرتدين، وهم
يقاتلون على منعها وإن أقروا بالوجوب كما أمر الله، وقد حكي عنهم أنهم
قالوا: إن الله أمر نبيه بأخذ الزكاة بقوله (خذ من أموالهم صدقة) وقد سقطت
بموته.
“Para shahabat dan imam-imam setelah mereka telah sepakat
untuk memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat, meskipun mereka
mengerjakan shalat lima waktu dan berpuasa di bulan Ramadlan. Mereka
tidak memiliki syubhat yang bisa dibenarkan. Oleh karena itu, mereka
adalah orang-orang yang murtad, dan mereka diperangi karena keengganan
mereka (membayar zakat), meskipun mereka mengakui akan kewajibannya
sebagaimana yang diperintahkan Allah. Dan telah dihikayatkan dari
mereka, bahwasannya mereka berkata : ‘Sesungguhnya Allah memerintahkan
Nabi-Nya untuk memungut zakat berdasarkan firman-Nya : ‘Ambillah zakat dari sebagian harta mereka’ (QS. At-Taubah : 103), dan kewajiban zakat telah gugur dengan kematian beliau” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 28/519].
Atau jika kita pahami bahwa Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu
memerangi mereka bukan karena murtad, namun hanya sekedar tidak
menunaikan zakat; maka itu semakin memperkuat hujjah hukum bunuh bagi
orang murtad. Seandainya mereka meninggalkan salah satu kewajiban dalam
Islam (yaitu zakat) saja boleh ditumpahkan darahnya melalui peperangan,
lantas bagaimana keadaan orang yang statusnya menanggalkan keseluruhan
syari’at Islam untuk menjadi kafir/murtad ?.
عَنْ
مَعْمَرٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ عُتْبَةَ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: أَخَذَ ابْنُ مَسْعُودٍ قَوْمًا
ارْتَدُّوا عَنِ الإِسْلامِ مِنْ أَهْلِ الْعِرَاقِ، فَكَتَبَ فِيهِمْ
إِلَى عُمَرَ، فَكَتَبَ إِلَيْهِ: " أَنِ اعْرِضْ عَلَيْهِمْ دِينَ
الْحَقِّ، وَشَهَادَةَ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ، فَإِنْ قَبِلُوهَا
فَخَلِّ عَنْهُمْ، وَإِنْ لَمْ يَقْبَلُوهَا فَاقْتُلْهُمْ، فَقَبِلَهَا
بَعْضُهُمْ فَتَرَكَهُ، وَلَمْ يَقْبَلْهَا بَعْضُهُمْ فَقَتَلَهُ "
Dari
Ma’mar, dari Az-Zuhriy, dari ‘Ubaidullah bin ‘Utbah, dari ayahnya, ia
berkata : Ibnu Mas’uud menawan satu kaum yang murtad dari Islam dari
kalangan penduduk ‘Iraaq. Ia menulis kepada ‘Umar perihal mereka. ‘Umar
membalas surat tersebut kepada Ibnu Mas’uud yang berkata : “Tawarkan
kepada mereka agama yang benar (Islam) dan syahadat Laa ilaha illallaa.
Apabila mereka menerima, bebaskan mereka. Namun bila mereka tidak
menerimanya, bunuhlah mereka”. Maka sebagian orang-orang murtad itu
menerimanya, lalu Ibnu Mas’uud pun membiarkannya (membebaskannya); dan
sebagian tidak menerimanya, dan ia pun membunuhnya [Diriwayatkan oleh
‘Abdurrazzaaq, 10/168-169 no. 18707; shahih].
حَدَّثَنَا
عَبْدُ الرَّحِيمِ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ
عُبَيْدٍ الْعَامِرِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: كَانَ أُنَاسٌ يَأْخُذُونَ
الْعَطَاءَ وَالرِّزْقَ وَيُصَلُّونَ مَعَ النَّاسِ، وَكَانُوا يَعْبُدُونَ
الْأَصْنَامَ فِي السِّرِّ، فَأَتَى بِهِمْ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ،
فَوَضَعَهُمْ فِي الْمَسْجِدِ، أَوْ قَالَ: فِي السِّجْنِ، ثُمَّ قَالَ: "
يَأَيُّهَا النَّاسُ، مَا تَرَوْنَ فِي قَوْمٍ كَانُوا يَأْخُذُونَ
مَعَكُمُ الْعَطَاءَ وَالرِّزْقَ وَيَعْبُدُونَ هَذِهِ الْأَصْنَامَ؟ "
قَالَ النَّاسُ: اقْتُلْهُمْ، قَالَ: " لَا، وَلَكِنْ أَصْنَعُ بِهِمْ
كَمَا صَنَعُوا بِأَبِينَا إبْرَاهِيمَ، فَحَرَّقَهُمْ بِالنَّارِ "
Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdurrahiim bin Sulaimaan, dari ‘Abdurrahmaan
bin ‘Ubaid, dari ayahnya, ia berkata : “Ada sekelompok orang yang
mengambil bagian harta dari baitul-maal,
shalat bersama orang-orang lainnya, namun mereka menyembah berhala
secara diam-diam. Maka didatangkanlah mereka ke hadapan ‘Aliy bin Abi
Thaalib, lalu menempatkan mereka di masjid – atau di penjara – . ‘Aliy
berkata : ‘Wahai sekalian manusia, apa pendapat kalian tentang satu kaum
yang mengambil bagian harta dari baitul-maal bersama kalian, namun
mereka menyembah berhala-berhala ini ?’. Orang-orang berkata : ‘Bunuhlah
mereka !’. ‘Aliy berkata : ‘Tidak, akan tetapi aku melakukan sesuatu
kepada mereka sebagaimana mereka dulu (yaitu para penyembah berhala)
melakukannya kepada ayah kita Ibraahiim’. Lalu ia membakar mereka dengan
api” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 10/142 & 12/392; sanadnya shahih].
عَنِ
الثَّوْرِيِّ، عَنْ سِمَاكِ بْنِ حَرْبٍ، عَنْ قَابُوسَ بْنِ مُخَارِقٍ،
أَنَّ مُحَمَّدَ بْنَ أَبِي بَكْرٍ، كَتَبَ إِلَى عَلِيٍّ يَسْأَلُهُ عَنْ
مُسْلِمَيْنِ تَزَنْدَقَا، فَكَتَبَ إِلَيْهِ " إِنْ تَابَا، وَإِلا
فَاضْرِبْ أَعْنَاقَهُمَا
Dari
Ats-Tsauriy, dari Simaak bin Harb, dari Qaabuus bin Mukhaariq :
Bahwasannya Muhammad bin Abi Bakr menulis surat kepada ‘Aliy yang
menanyakan kepadanya tentang dua orang muslim yang berubah menjadi
zindiq. Lantas ‘Aliy menulis balasan kepadanya : “Jika bertaubat, maka
taubatnya diterima. Jika tidak, penggallah leher mereka berdua”
[Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq 10/170-171 no. 18712; hasan].
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ، أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاق،
عَنْ حَارِثَةَ بْنِ مُضَرِّبٍ، أَنَّهُ أَتَى عَبْدَ اللَّهِ، فَقَالَ:
مَا بَيْنِي وَبَيْنَ أَحَدٍ مِنْ الْعَرَبِ حِنَةٌ، وَإِنِّي مَرَرْتُ
بِمَسْجِدٍ لِبَنِي حَنِيفَةَ فَإِذَا هُمْ يُؤْمِنُونَ بِمُسَيْلِمَةَ،
فَأَرْسَلَ إِلَيْهِمْ عَبْدَ اللَّهِ فَجِيءَ بِهِمْ فَاسْتَتَابَهُمْ
غَيْرَ ابْنِ النَّوَّاحَةِ، قَالَ لَهُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " لَوْلَا أَنَّكَ رَسُولٌ لَضَرَبْتُ
عُنُقَكَ فَأَنْتَ الْيَوْمَ لَسْتَ بِرَسُولٍ، فَأَمَرَ قَرَظَةَ بْنَ
كَعْبٍ فَضَرَبَ عُنُقَهُ فِي السُّوقِ، ثُمَّ قَالَ: مَنْ أَرَادَ أَنْ
يَنْظُرَ إِلَى ابْنِ النَّوَّاحَةِ قَتِيلًا بِالسُّوقِ "
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsiir : Telah mengkhabarkan
kepada kami Sufyaan, dari Abu Ishaaq, dari Haaritsah bin Mudlarrib,
bahwasannya ia pernah menemui ‘Abdullah (bin Mas’uud), lalu berkata :
“Tidaklah antara diriku dengan seorang pun dari bangsa ‘Arab permusuhan.
Sesungguhnya aku telah telah melewati masjid Bani Haniifah yang mereka
itu beriman kepada Musailamah (Al-Kadzdzab). ‘Abdullah mengutus utusan
kepada mereka. Mereka pun didatangkan kepada ‘Abdullah dan diminta untuk
bertaubat, kecuali Ibnun-Nawwaahah. Ibnu Mas’uud berkata kepadanya :
“Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Seandainya engkau bukan utusan, sungguh akan aku penggal lehermu’. Dan kami sekarang bukan lagi berstatus sebagai utusan”.[3]
Ibnu Mas’uud menyuruh Quradhah bin Ka’b untuk memenggal lehernya di
pasar. Lantas ia berkata : “Siapa yang ingin melihat Ibnun-Nawwaahah
dibunuh di pasar ?” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2762].
Berikut atsar yang ternukil dari ulama setelah generasi shahabat radliyallaahu ‘anhum :
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ بَكْرٍ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي عَمْرُو
بْنُ دِينَارٍ فِي الرَّجُلِ كَفَرَ بَعْدَ إيمَانِهِ، قَالَ: سَمِعْتُ
عُبَيْدَ بْنَ عُمَيْرٍ، يَقُولُ: يُقْتَلُ "
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Bakr, dari Ibnu Juraij, ia
berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Amru bin Diinaar tentang seorang
laki-laki yang kafir setelah keimanannya; ia berkata : Aku mendengar
‘Ubaid bin ‘Umair[5] berkata : “Dibunuh” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 10/139; shahih].
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ بَكْرٍ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، قَالَ: قَالَ عَطَاءٌ: فِي
الْإِنْسَانِ يَكْفُرُ بَعْدَ إيمَانِهِ: " يُدْعَى إلَى الْإِسْلَامِ،
فَإِنْ أَبَى قُتِلَ "
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Bakr, dari Ibnu Juraij, ia
berkata : Telah berkata ‘Athaa’ (bin Abi Rabbaah) tentang orang yang
kafir setelah keimanannya : “Diajak kembali kepada Islam. Apabila ia
menolak, maka dibunuh” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 10/138-139;
shahih].
عَنْ
مَعْمَرٍ، عَنْ سِمَاكِ بْنِ الْفَضْلِ، أَنَّ عُرْوَةَ، كَتَبَ إِلَى
عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ فِي رَجُلٍ أَسْلَمَ، ثُمَّ ارْتَدَّ،
فَكَتَبَ إِلَيْهِ عُمَرُ: " أَنْ سَلْهُ عَنْ شَرَائِعِ الإِسْلامِ،
فَإِنْ كَانَ قَدْ عَرَفَهَا، فَاعْرِضْ عَلَيْهِ الإِسْلامَ، فَإِنْ أَبَى
فَاضْرِبْ عُنُقَهُ، وَإِنْ كَانَ لَمْ يَعْرِفْهَا فَغَلِّظِ
الْجِزْيَةَ، وَدَعْهُ "
Dari
Ma’mar, dari Simaak bin Al-Fadhl : Bahwasannya ‘Urwah menulis surat
kepada ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz tentang seorang laki-laki yang masuk
Islam, lalu murtad. Kemudian ‘Umar membalas surat itu kepadanya :
“Hendaknya engkau tanyakan kepadanya tentang syari’at-syari’at Islam.
Apabila ia mengetahuinya, maka tawarkan kembali kepadanya agar masuk
Islam. Jika ia menolak, penggallah lehernya. Namun jika ia tidak
mengetahuinya, maka tetapkanlah jizyah kepadanya, lalu biarkanlah ia”
[Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq 10/171 no. 18713; hasan].
أَخْبَرَنَا الثَّوْرِيُّ فِي الْمُرْتَدِّ إِذَا قُتِلَ فَمَالُهُ لِوَرَثَتِهِ......
Telah mengkhabarkan kepada kami Ats-Tsauriy tentang orang murtad apabila dibunuh (karena hadd atau yang lainnya), maka hartanya untuk ahli warisnya” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 10142; shahih].
أَخْبَرَنَا
أحمد بن مُحَمَّد بن مطر، قَالَ: حَدَّثَنَا أبو طالب، قَالَ: سألت أبا
عبد الله عن المرتد يستتاب؟ قَالَ: نعم، ثلاثة أيام ؛ فإن تاب وإلا قتل.
Telah
menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad bin mathar, ia berkata :
Telah menceritakan kepada kami Abu Thaalib, ia berkata : Aku pernah
bertanya kepada Abu ‘Abdillah (Ahmad bin Hanbal) tentang orang murtad,
apakah ia diminta untuk bertaubat ?. Ia menjawab : “Ya, selama tiga
hari. Jika ia bertaubat, taubatnya diterima. Jika tidak, dibunuh”
[Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam Ahlul-Milal war-Riddah waz-Zanaadiqah, hal. 487 no. 1199; shahih].
Maalik bin Anas rahimahullah setelah membawakan hadits dari Zaid bin Aslam : ‘barangsiapa yang mengubah agamanya, maka penggallah lehernya’; berkata :
وَمَعْنَى
قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيمَا نُرَى
وَاللَّهُ أَعْلَمُ مَنْ غَيَّرَ دِينَهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَهُ: أَنَّهُ
مَنْ خَرَجَ مِنَ الْإِسْلَامِ إِلَى غَيْرِهِ مِثْلُ الزَّنَادِقَةِ
وَأَشْبَاهِهِمْ، فَإِنَّ أُولَئِكَ إِذَا ظُهِرَ عَلَيْهِمْ قُتِلُوا
وَلَمْ يُسْتَتَابُوا، لِأَنَّهُ لَا تُعْرَفُ تَوْبَتُهُمْ، وَأَنَّهُمْ
كَانُوا يُسِرُّونَ الْكُفْرَ وَيُعْلِنُونَ الْإِسْلَامَ، فَلَا أَرَى
أَنْ يُسْتَتَابَ هَؤُلَاءِ وَلَا يُقْبَلُ مِنْهُمْ قَوْلُهُمْ، وَأَمَّا
مَنْ خَرَجَ مِنَ الْإِسْلَامِ إِلَى غَيْرِهِ وَأَظْهَرَ ذَلِكَ،
فَإِنَّهُ يُسْتَتَابُ، فَإِنْ تَابَ وَإِلَّا قُتِلَ، وَذَلِكَ لَوْ أَنَّ
قَوْمًا كَانُوا عَلَى ذَلِكَ، رَأَيْتُ أَنْ يُدْعَوْا إِلَى
الْإِسْلَامِ وَيُسْتَتَابُوا، فَإِنْ تَابُوا قُبِلَ ذَلِكَ مِنْهُمْ،
وَإِنْ لَمْ يَتُوبُوا قُتِلُوا، .......
“Dan makna sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ‘barangsiapa yang mengubah agamanya’, menurut kami – wallaahu a’lam
- : barangsiapa yang keluar dari Islam kepada selainnya seperti
zanaadiqah dan yang semisalnya, maka jika hal itu (yaitu kezindiqan)
nampak pada diri mereka, dibunuh tanpa diminta untuk bertaubat. Karena
tidak diketahui taubat mereka, dan mereka menyembunyikan kekufuran
mereka dengan menampakkan keislaman. Aku tidak berpendapat mereka itu
diminta untuk bertaubat (sebelum dibunuh), dan tidak diterima perkataan
(taubat) mereka. Adapun bagi orang yang keluar dari Islam kepada
selainnya (misal : Nashrani, Yahudi, Majusi, dan yang lainnya),
dan menampakkannya, maka mereka diminta untuk bertaubat. Jika mereka
bertaubat, diterima, dan jika tidak, maka dibunuh......” [Al-Muwaththaa’, 3/553, tahqiq : Saliim Al-Hilaaliy].
Praktek Maalik bin Anas rahimahullah tentang kaum zanaadiqah yang murtad dari Islam :
حدثنا
سليمان بن أحمد ثنا الحسن بن إسحاق التستري ثنا يحيى بن خلف ابن الربيع
الطرسوسي - وكان من ثقات المسلمين وعبادهم - قال : كنت عند مالك بن أنس
ودخل عليه رجل فقال : يا أبا عبد الله ما تقول فيمن يقول القرآن مخلوق ؟.
فقال مالك : زنديق اقتلوه، فقال : يا أبا عبد الله، إنما أحكى كلاما سمعته،
فقال لم أسمعه من أحد، إنما سمعته منك، وعظم هذا القول
Telah
menceritakan kepada kami Sulaimaan bin Ahmad : Telah menceritakan
kepada kami Al-Hasan bin Ishaaq At-Tustariy : Telah menceritakan kepada
kami Yahyaa bin Khalaf bin Ar-Rabii’ – dan ia termasuk kalangan
terpercaya (tsiqaat) dan ahli ibadah dari kaum muslimin - , ia
berkata : Aku pernah di sisi Maalik bin Anas, dan masuklah seorang
laki-laki menemuinya lalu berkata : ”Wahai Abu ’Abdillah, apa yang
engkau katakan tentang orang yang mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk
?”. Maalik menjawab : ”Zindiiq, bunuhlah ia”. Lalu laki-laki berkata :
”Wahai Abu ’Abdillah, aku hanya meriwayatkan perkataan yang aku dengar
saja”. Maka Maalik berkata : ”Aku tidak pernah mendengar dari seorang
pun kecuali dari engkau”. Maalik pun menganggap besar
perkataan ini [Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 6/325; shahih].
Juga ulama salaf lainnya :
حدثني أبي رحمه الله سمعت عبد الرحمن بن مهدي يقول من زعم أن الله تعالى لم يكلم موسى صلوات الله عليه يستتاب فان تاب والا ضربت عنقه
Telah
menceritakan kepadaku ayahku rahimahullah : Aku mendengar ‘Abdurrahman
bin Mahdiy berkata : “Barangsiapa yang menganggap bahwasannya
Allah ta’ala tidak berbicara kepada Muusaa, maka ia diminta bertaubat.
Jika ia bertaubat, maka diterima, dan jika tidak, ditebas batang
lehernya” [Diriwayatkan oleh ’Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam As-Sunnah, 1/119-120 no. 44; shahih].
سمعت
الحاكم أبا عبد الله الحافظ يقول: سمعت أبا الوليد حسان بن محمد يقول:
سمعت الإمام أبا بكر محمد بن إسحاق بن خزيمة يقول: القرآن كلام الله غير
مخلوق فمن قال أن القرآن مخلوق فهو كافر بالله العظيم، ولا تقبل شهادته،
ولا يعاد إن مرض، ولا يصلى عليه إن مات، ولا يدفن في مقابر المسلمين،
يستتاب فإن تاب وإلا ضربت عنقه
Aku
mendengar Al-Haakim Abu ‘Abdillah Al-Haafidh berkata : Aku mendengar
Abul-Telah berkata Abul-Waliid Hassaan bin Muhammad : Aku mendengar
Al-Imaam Abu Bakr Muhammad bin Ishaaq bin Khuzaimah berkata : “Al-Qur’an
adalah Kalaamullah, bukan makhluk. Maka barangsiapa berkata : Ia adalah
makhluk, maka kafir kepada Allah Yang Maha Agung. Tidak diterima
persaksiannya, tidak ditengok jika ia sakit, tidak dishalatkan jika ia
mati, dan tidak boleh dikuburkan di pekuburan kaum muslimin. (Dengan
perbuatannya itu) ia diminta untuk bertaubat. Jika ia bertaubat, maka
taubatnya diterima, jika tidak, dipenggal lehernya” [Diriwayatkan oleh
Ash-Shaabuuniy dalam ’Aqiidatus-Salaf wa Ashhaabil-Hadiits, hal. 40-41; shahih].
Para ulama telah menegaskan adanya ijmaa’ tentang hukum bunuh bagi orang-orang murtad.
Setelah membawakan hadits Ibnu ‘Abbaas, At-Tirmidziy rahimahullah berkata :
وَالْعَمَلُ
عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ فِي الْمُرْتَدِّ، وَاخْتَلَفُوا فِي
الْمَرْأَةِ إِذَا ارْتَدَّتْ عَنِ الْإِسْلَامِ، فَقَالَتْ طَائِفَةٌ
مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ: تُقْتَلُ، وَهُوَ قَوْلُ الْأَوْزَاعِيِّ،
وَأَحْمَدَ، وَإِسْحَاق، وَقَالَتْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ: تُحْبَسُ، وَلَا
تُقْتَلُ، وَهُوَ قَوْلُ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ، وَغَيْرِهِ مِنْ أَهْلِ
الْكُوفَةِ
“Para ulama mengamalkan hadits ini (yaitu : ‘barangsiapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah ia)
tentang orang murtad. Dan mereka berselisih pendapat tentang wanita
yang murtad dari Islam. Sekelompok ulama berkata : ‘Dibunuh’. Ini adalah
pendapat Al-Auzaa’iy, Ahmad, dan Ishaaq. Sekelompok ulama lain berkata :
‘Dipenjara, tidak dibunuh’. Ini adalah perkataan Sufyaan Ats-Tsauriy
dan yang lainnya dari penduduk Kuufah” [Sunan At-Tirmidziy, 3/126-127].
Mafhum yang diperoleh dari perkataan At-Tirmidziy rahimahullah ini adalah para ulama tidak berselisih pendapat hukum bunuh bagi laki-laki yang murtad dari Islam. Akan dibawakan keterangan ijmaa’ yang lain setelah ini.
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata :
وفقه هذا الحديث أن من ارتد عن دينه حلل دمه وضربت عنقه، والأمة مجمعة على ذلك، وإنما اختلفوا في استتابته
“Dan fiqh
dari hadits ini bahwasannya orang yang murtad dari agamanya, maka halal
darahnya dan boleh dipenggal lehernya. Umat telah menyepakatinya. Hanya
saja, mereka berselisih dalam permintaan taubat kepadanya” [Fathul-Baariy, 12/270].
Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata :
وأجمع
أهل العلم على وجوب قتل المرتد وروي ذلك عن أبي بكر وعمر وعثمان وعلي
ومعاذ وأبي موسى وابن عباس وخالد وغيرهم ولم ينكر ذلك فكان إجماعا
“Para
ulama telah bersepakat wajibnya membunuh orang murtad. Diriwayatkan hal
itu dari Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsmaan, ‘Aliy, Mu’aadz, Abu Muusaa, Ibnu
‘Abbaas, Khaalid, dan yang lainnya tanpa ada pengingkaran. Maka jadilah
ia ijmaa’ (kesepakatan)” [Al-Mughniy, 10/72 – via Syaamilah].
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
فيه وجوب قتل المرتد وقد أجمعوا على قتله لكن اختلفوا في استتابته هل هي واجبة أم مستحبة
“Padanya
terdapat dalil tentang wajibnya membunuh orang murtad. Dan para ulama
telah bersepakat dalam membunuhnya, akan tetapi mereka berselisih
pendapat dalam permintaan taubat kepadanya. Apakah ia wajib ataukah
sunnah” [Syarh An-Nawawiy li-Shahiih Muslim, 12/208 – via Syaamilah].
Ijmaa’ hukum bunuh berlaku pada laki-laki yang murtad. Adapun untuk wanita yang murtad, maka salaf berbeda pendapat. Yang raajih, tetap dihukum bunuh sesuai dengan keumuman nash.
Ada sebagian orang yang mengklaim ketidakvalidan ijmaa’ di atas berdasarkan riwayat dari Ibraahiim An-Nakha’iy rahimahullah.
عَنِ
الثَّوْرِيِّ، عَنْ عَمْرِو بْنِ قَيْسٍ، عَنِ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ فِي
الْمُرْتَدِّ يُسْتَتَابُ أَبَدًا "، قَالَ سُفْيَانُ: هَذَا الَّذِي
نَأْخُذُ بِهِ
Dari
Ats-Tsauriy, dari ‘Amru bin Qais, dari Ibraahiim, ia berkata tentang
orang murtad : “Diminta untuk bertaubat selamanya”. Sufyaan berkata :
“Pendapat inilah yang kami ambil” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no.
18697; shahih].
Ada beberapa ulama mengomentari perihal perkataan Ibraahiim An-Nakha’iy rahimahullah ini, di antaranya Ibnu Qudaamah yang berkata :
وقال النخعي : يستتاب أبدا وهذا يفضي إلى أن لا يقتل أبدا وهو مخالف للسنة والاجماع
“An-Nakha’iy
berkata : ‘Diminta untuk bertaubat selamanya’. Ini dipahami bahwa orang
murtad tidak dibunuh selamanya. Perkataan/pemahaman tersebut
menyelisihi sunnah dan ijmaa’” [Al-Mughniy, 10/72].
Yang lebih penting dari komentar Ibnu Qudaamah di atas adalah memahami perkataan Ibraahiim An-Nakha’iy rahimahumallah itu sendiri. ‘Abdullah bin Wahb rahimahullah membawakan riwayat Ibraahiim lebih lengkap sebagai berikut :
قَالَ
سُفْيَانُ: وَأَخْبَرَنِي عُمَرُو بْنُ قَيْسٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ
يَزِيدَ أَنَّهُ قَالَ: الْمُرْتَدُّ يُسْتَتَابُ أَبَدًا كُلَّمَا رَجَعَ
Telah
berkata Sufyaan : Dan telah mengkhabarkan kepadaku ‘Amru bin Qais, dari
Ibraahiim bin Yaziid (An-Nakha’iy), bahwasannya ia berkata : “Orang
murtad diminta untuk bertaubat selamanya, setiap kali ia kembali (pada
kekafiran)” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Wahb dalam kitab Muhaarabah hal. 60].
Jadi,
maksud perkataan Ibraahiim adalah orang tersebut tetap diminta untuk
bertaubat setiap kali ia murtad. Oleh karena itu, perkataan An-Nakhaaiy
sebelumnya tidak cukup kuat dan sharih (jelas) untuk membatalkan ijmaa’. Al-Bukhaariy rahimahullah berkata dalam Shahiih-nya :
بَاب
حُكْمِ الْمُرْتَدِّ وَالْمُرْتَدَّةِ وَاسْتِتَابَتِهِمْ، وَقَالَ ابْنُ
عُمَرَ، وَالزُّهْرِيُّ، وَإِبْرَاهِيمُ: تُقْتَلُ الْمُرْتَدَّةُ
“Baab : Hukum tentang laki-laki dan wanita yang murtad. Telah berkata Ibnu ‘Umar, Az-Zuhriy, dan Ibraahiim : ‘Wanita yang murtad dibunuh” [Shahiih Al-Bukhaariy, 7/279].
Dan ini riwayat Ibraahiim dengan sanadnya :
عَنْ
مَعْمَرٍ، عَنْ سَعِيدٍ، عَنْ أَبِي مَعْشَرٍ، عَنِ إِبْرَاهِيمَ: " فِي
الْمَرْأَةِ تَرْتَدُّ، قَالَ: تُسْتَتَابُ، فَإِنْ تَابَتْ، وَإِلا
قُتِلَتْ "
Dari
Ma’mar, dari Sa’iid, dari Abu Ma’syar, dari Ibraahiim tentang wanita
murtad, ia berkata : “Diminta untuk bertaubat. Jika ia bertaubat,
taubatnya diterima. Namun jika ia tidak bertaubat, dibunuh”
[Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 18726].
Tidak diketahui apakah Ma’mar mendengar riwayat Sa’iid bin Abi ‘Aruubah setelah atau sebelum ikhtilaath-nya.
Selain itu, riwayat Ma’mar dari penduduk Bashrah – dan Ibnu Abi
‘Aruubah adalah orang Bashrah – terdapat beberapa kekeliruan,
sebagaimana dikatakan Abu Haatim dan Ibnu Ma’iin rahimahumullah. Wallaahu a’lam. Namun Ma’mar mempunyai mutaba’ah dari Sufyaan Ats-Tsauriy dan Muhammad bin Bisyr sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 10/141. Abu Ma’syar mempunyai mutaba’ah dari Hammaad bin Abi Sulaimaan. Oleh karena itu, riwayat Ibraahiim ini shahih.
Ditambah lagi keterangan riwayat Ats-Tsauriy yang diriwayatkan
‘Abdurrazzaaq no. 10142 tentang harta orang murtad yang dibunuh – yang
menjelaskan kesepakatannya terhadap perkataan An-Nakha’iy hanyalah
berkaitan dengan persyaratan taubat saja. Wallaahu a’lam.
Ini adalah indikasi yang sangat kuat bahwa maksud perkataan Ibraahiim An-Nakhaa’iy rahimahullah tidak seperti yang mereka inginkan.
Ada syubhat lain untuk menolak hadd bunuh
bagi orang murtad. Banyak ayat dalam Al-Qur’an yang berkaitan dengan
kemurtadan, namun tidak ada satu pun di antaranya yang menjelaskan hukum
bunuh tersebut.
Jawab :
Ini adalah syubhat usang sebagaimana syubhat
kaum Mu’tazilah atau pengingkar sunnah. Jika yang bersangkutan tidak
berhujjah dengan As-Sunnah (Al-Hadits), maka kita tidak perlu bersusah
payah untuk menjawabnya, karena permasalahannya harus ditarik pada hal
yang lebih mendasar, yaitu kehujjahan As-Sunnah. Bukan pada bahasan
hukum bunuh bagi orang murtad. Namun jika yang bersangkutan ‘mengaku’
berhujjah dengan As-Sunnah, sudah seharusnya ia mengambil keduanya.
As-Sunnah menjelaskan hukum yang ada di dalam Al-Qur’an. As-Sunnah
menjelaskan bagaimana Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memahami dan mengamalkan Al-Qur’an. Allah ta’ala berfirman :
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan
Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan” [QS. An-Nahl : 44].
Tahukah
kita apa konsekuensi jika riwayat dihukumi shahih atau hasan ?.
Konsekuensinya, apa yang dikhabarkan oleh para perawi hadits adalah
benar adanya dan ada wujudnya. Jika mereka meriwayatkan perkataan, maka
perkataan itu memang pernah dikatakan. Jika mereka meriwayatkan
perbuatan, maka benar bahwa perbuatan itu pernah dilakukan. Valid.
Jika para pengingkar itu menolak riwayat-riwayat shahih, apalagi yang berasal dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, apakah mereka merasa lebih mengetahui hukum riddah daripada beliau ?. Apakah mereka menganggap beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam keliru dan mereka benar, sedangkan Allah ta’ala berfirman tentang diri beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى * إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى
“Dan
tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya)” [QS. An-Najm : 3-4].
Para pengingkar juga berhujjah dengan ayat ‘kebebasan beragama’[6] :
لا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)” [QS. Al-Baqarah : 256].
Jawab :
Ayat-ayat di atas sama sekali tidak bertentangan dengan riwayat-riwayat tentang hadd bunuh
bagi orang murtad – sebagaimana sangkaan mereka. Ayat di atas adalah
benar bahwa tidak ada paksaan sama sekali untuk masuk agama Islam. Namun
ayat tersebut turun sebelum ayat jihaad. Allah ta’ala kemudian berfirman :
قَاتِلُوا
الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلا بِالْيَوْمِ الآخِرِ وَلا
يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلا يَدِينُونَ دِينَ
الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ
عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ
“Perangilah
orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada
hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan
oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar
(agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada
mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam
keadaan tunduk” [QS. At-Taubah : 29].
Ini sesuai dengan sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang telah disebutkan di atas :
أُمِرْتُ
أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ،
فَإِذَا قَالُوهَا وَصَلَّوْا صَلَاتَنَا وَاسْتَقْبَلُوا قِبْلَتَنَا
وَذَبَحُوا ذَبِيحَتَنَا، فَقَدْ حَرُمَتْ عَلَيْنَا دِمَاؤُهُمْ
وَأَمْوَالُهُمْ إِلَّا بِحَقِّهَا وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ "
“Aku
diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengatakan Laa
ilaha illallaah. Apabila mereka telah mengatakannya, mengerjakan shalat
seperti shalat kita, menghadap ke kiblat kita, dan menyembelih seperti
sembelihan kami; maka diharamkan bagi kami atas darah mereka dan harta
mereka, kecuali dengan haknya. Adapun perhitungannya ada di sisi Allah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 393].
Ini terwujud ketika kondisi umat Islam kuat dan terbentuk negara yang menjalankan syari’at-syari’at agama Islam. Oleh karena itu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam lantas
memberikan tiga opsi bagi orang kafir dalam hal ini sebagaimana
terdapat dalam sabda beliau ketika menugaskan seorang panglima yang
membawa pasukan menuju pertempuran :
اغْزُوا
بِاسْمِ اللَّهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ
اغْزُوا وَلَا تَغُلُّوا وَلَا تَغْدِرُوا وَلَا تَمْثُلُوا وَلَا
تَقْتُلُوا وَلِيدًا وَإِذَا لَقِيتَ عَدُوَّكَ مِنْ الْمُشْرِكِينَ
فَادْعُهُمْ إِلَى ثَلَاثِ خِصَالٍ أَوْ خِلَالٍ فَأَيَّتُهُنَّ مَا
أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى
الْإِسْلَامِ فَإِنْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ
ادْعُهُمْ إِلَى التَّحَوُّلِ مِنْ دَارِهِمْ إِلَى دَارِ الْمُهَاجِرِينَ
وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوا ذَلِكَ فَلَهُمْ مَا
لِلْمُهَاجِرِينَ وَعَلَيْهِمْ مَا عَلَى الْمُهَاجِرِينَ فَإِنْ أَبَوْا
أَنْ يَتَحَوَّلُوا مِنْهَا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ يَكُونُونَ
كَأَعْرَابِ الْمُسْلِمِينَ يَجْرِي عَلَيْهِمْ حُكْمُ اللَّهِ الَّذِي
يَجْرِي عَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَلَا يَكُونُ لَهُمْ فِي الْغَنِيمَةِ
وَالْفَيْءِ شَيْءٌ إِلَّا أَنْ يُجَاهِدُوا مَعَ الْمُسْلِمِينَ فَإِنْ
هُمْ أَبَوْا فَسَلْهُمْ الْجِزْيَةَ فَإِنْ هُمْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ
مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ
وَقَاتِلْهُمْ وَإِذَا حَاصَرْتَ أَهْلَ حِصْنٍ فَأَرَادُوكَ أَنْ تَجْعَلَ
لَهُمْ ذِمَّةَ اللَّهِ وَذِمَّةَ نَبِيِّهِ فَلَا تَجْعَلْ لَهُمْ
ذِمَّةَ اللَّهِ وَلَا ذِمَّةَ نَبِيِّهِ وَلَكِنْ اجْعَلْ لَهُمْ
ذِمَّتَكَ وَذِمَّةَ أَصْحَابِكَ فَإِنَّكُمْ أَنْ تُخْفِرُوا ذِمَمَكُمْ
وَذِمَمَ أَصْحَابِكُمْ أَهْوَنُ مِنْ أَنْ تُخْفِرُوا ذِمَّةَ اللَّهِ
وَذِمَّةَ رَسُولِهِ وَإِذَا حَاصَرْتَ أَهْلَ حِصْنٍ فَأَرَادُوكَ أَنْ
تُنْزِلَهُمْ عَلَى حُكْمِ اللَّهِ فَلَا تُنْزِلْهُمْ عَلَى حُكْمِ
اللَّهِ وَلَكِنْ أَنْزِلْهُمْ عَلَى حُكْمِكَ فَإِنَّكَ لَا تَدْرِي
أَتُصِيبُ حُكْمَ اللَّهِ فِيهِمْ أَمْ لَا
”Berperanglah
atas nama Allah ! di jalan Allah ! Perangilah orang yang kufur kepada
Allah ! Berperanglah dan jangan curang, jangan berkhianat, jangan
berlaku kejam (dengan memotong hidung dan telinga), dan jangan membunuh
anak-anak !. Apabila kamu bertemu dengan kaum musyrikin yang menjadi
musuhmu, maka tawarkanlah kepada mereka tiga pilihan, yang mana
salah satu diantara tiga tersebut yang mereka pilih, maka terimalah dan
janganlah mereka diserang, lalu ajaklah mereka masuk Islam.
Apabila mereka menerima ajakanmu, maka terimalah dan janganlah mereka
diserang. Kemudian ajaklah mereka untuk berpindah dari perkampungan
mereka menuju perkampungan orang Muhajirin. Jika mereka mau pindah,
beritahukan kepada mereka bahwa mereka mendapatkan hak dan kewajiban
yang sama seperti orang-orang Muhajirin. Jika mereka tidak mau pindah
dari rumah mereka, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa mereka
diperlakukan seperti kaum muslimin yang ada di pedalaman dengan
diberlakukan hukum Allah atas mereka seperti yang berlaku atas
orang-orang mukmin lain tanpa mendapat bagian dari ghanimah dan fa’i,
kecuali jika mereka turut berjihad bersama kaum muslimin. Jika mereka
tidak mau masuk Islam, maka suruhlah mereka membayar jizyah. Jika
mereka bersedia, maka terimalah dan janganlah mereka diperangi. Apabila
mereka menolak, maka mintalah pertolongan kepada Allah dan perangilah mereka
! Apabila kamu mengepung benteng musuh lalu mereka menginginkan agar
engkau berikan kepada mereka perlindungan dan jaminan Allah serta
Nabi-Nya, maka janganlah engkau berikan kepadanya perlindungan Allah
serta Nabi-Nya. Tetapi, berilah mereka perlindungan dan jaminan dari
kamu sendiri dan pasukanmu. Karena jika kamu berikan perlindungan dan
jaminanmu beserta pasukanmu, maka itu lebih ringan resikonya daripada
engkau berikan perlindungan dan jaminan Allah serta Nabi-Nya. Apabila
kamu mengepung benteng musuh lalu mereka ingin agar engkau memberlakukan
kepada mereka hukum Allah, maka janganlah engkau berlakukan hukum Allah
kepada mereka. Tetapi, berlakukanlah kepada mereka hukum dari kamu
sendiri; karena kamu tidak tahu apakah kamu benar-benar telah
memberlakukan hukum Allah kepada mereka atau belum” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1731].
Opsi yang ditawarkan oleh kaum muslimin kepada kuffar ada 3 (tiga), yaitu :
1. Masuk Islam.
2. Membayar jizyah.[7]
3. Diperangi.
Apapun
itu, QS. Al-Baqarah ayat 256 berkaitan dengan tidak adanya pemaksaan
untuk masuk agama Islam. Namun setelah seseorang masuk Islam, maka
berlakulah hukum-hukum Islam padanya. Jika ia mencuri, dipotong
tangannya. Jika ia berzina, dirajam atau didera. Jika ia melukai atau
membunuh orang lain, berlaku hukum qishash. Jika meninggalkan
shalat, diminta bertaubat (untuk mengerjakan shalat) atau dibunuh. Jika
berbuat kekafiran yang menyebabkan iman dan Islamnya batal (baca : kafir
atau murtad), maka diminta bertaubat atau dibunuh.
Kesimpulan dari bahasan singkat ini, hukum bunuh bagi orang murtad adalah benar, berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmaa’. Inilah yang dipahami oleh Al-Khulafaaur-Raasyidiin dan para ulama dari kalangan shahabat seperti : Ibnu Mas’uud, Ibnu ‘Abbaas, Mu’aadz bin Jalan, dan yang lainnya radliyallaahu ‘anhum.
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.
[1] Para ulama masih berbeda pendapat mengenai objek yang dibicarakan oleh ayat ini.
[2] Qataadah bin Di’aamah bin Qataadah As-Saduusiy, Abul-Khaththaab Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi tsabat, namun banyak melakukan tadliis. Termasuk thabaqah ke-4,
lahir tahun 60 H/61 H, dan wafat tahun 117 H. Dipakai oleh
Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu
Maajah [Taqriibut-Tahdziib hal. 798 no. 5553, Ta’riifu Ahlit-Taqdis hal. 102 no. 92, Al-Mudallisiin lil-‘Iraaqiy hal. 79-80 no. 49, dan Riwaayaatul-Mudallisiin fii Shahiih Al-Bukhaariy hal. 483-484].
[3] Inilah kisah yang dimaksudkan oleh Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu tentang utusan Musailamah yang diutus kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
وَحَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَلِيِّ بْنِ مَنْجُوفٍ، قَالَ: نا
عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ، قَالَ: نا سُفْيَانُ، عَنْ عَاصِمٍ،
عَنْ أَبِي وَائِلٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: " جَاءَ ابْنُ
النَّوَّاحَةَ رَسُولا مِنْ عِنْدِ مُسَيْلِمَةَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " أَتَشْهَدُ أَنِّي رَسُولُ اللَّهِ؟، فَقَالَ:
أَشْهَدُ أَنَّ مُسَيْلِمَةَ رَسُولُ اللَّهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَوْ كُنْتُ قَاتِلا رَسُولا
لَقَتَلْتُكَ أَوْ لَضَرَبْتُ عُنُقَكَ ".
Dan
telah menceritakan kepada kami Ahmad bin ‘Abdillah bin ‘Aliy bin
Manjuuf, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdurrahmaan bin
Mahdiy, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Sufyaan, dari
‘Aashim, dari Abu Waail, dari ‘Abdullah (bin Mas’uud), ia berkata :
“Ibnun-Nawwaahah diutus oleh Musailamah untuk menemui Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apakah engkau bersaksi bahwasannya aku utusan Allah ?”. Ia menjawab : “Aku bersaksi bahwasannya Musailamah adalah utusan Allah”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Seandainya aku diperbolehkan membunuh seorang utusan, sungguh aku akan membunuhmu – atau – sungguh aku akan memenggal lehermu” [Diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dalam Al-Bahr no. 1733; sanadnya hasan].
[5] ‘Ubaid bin ‘Umair bin Qataadah bin Sa’d Al-Laitsiy, Abu ‘Aashim Al-Makkiy; seorang yang disepakati akan ketsiqahannya. Termasuk thabaqah ke-2, dan wafat tahun 68 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 651 no. 4416].
[6] Ini adalah bahasa dari kalangan muta’akhkhiriin yang tertipu oleh gaya hidup permisivisme, yang menganggap Allah ta’ala membebaskan semua orang beragama apapun sesuai kehendaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar