Penulis: Rizki Maulana
Segala puji bagi Allah Rabb Semesta Alam, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan para pengikut beliau hingga akhir zaman. Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah Ta’ala karena pada saat ini kita telah memasuki salah satu bulan haram yaitu bulan Rajab. Apa saja yang ada di balik bulan Rajab dan apa saja amalan di dalamnya? Insya Allah dalam artikel yang singkat ini, kita akan membahasnya. Semoga Allah memberi taufik dan kemudahan untuk menyajikan pembahasan ini di tengah-tengah pembaca sekalian.
Rajab di Antara Bulan Haram
Bulan Rajab terletak antara bulan Jumadil
Akhir dan bulan Sya’ban. Bulan Rajab sebagaimana bulan Muharram
termasuk bulan haram. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ
عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ
اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ
حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
“Sesungguhnya bilangan bulan pada
sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia
menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah
(ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu
dalam bulan yang empat itu.” (Qs. At Taubah: 36)
Ibnu Rajab mengatakan, “Allah Ta’ala
menjelaskan bahwa sejak penciptaan langit dan bumi, penciptaan malam dan
siang, keduanya akan berputar di orbitnya. Allah pun menciptakan
matahari, bulan dan bintang lalu menjadikan matahari dan bulan berputar
pada orbitnya. Dari situ muncullah cahaya matahari dan juga rembulan.
Sejak itu, Allah menjadikan satu tahun menjadi dua belas bulan sesuai
dengan munculnya hilal.
Satu tahun dalam syariat Islam dihitung
berdasarkan perpuataran dan munculnya bulan, bukan dihitung berdasarkan
perputaran matahari sebagaimana yang dilakukan oleh Ahli Kitab.” (Latho-if Al Ma’arif, 202)
Lalu apa saja empat bulan suci tersebut?
Dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الزَّمَانُ
قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ،
السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ
مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ،
وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
“Setahun berputar sebagaimana
keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada
dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga
bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu
bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir)
dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679)
Jadi empat bulan suci yang dimaksud adalah (1) Dzulqo’dah; (2) Dzulhijjah; (3) Muharram; dan (4) Rajab.
Di Balik Bulan Haram
Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram? Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, “Dinamakan bulan haram karena dua makna.
Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian.
Kedua, pada bulan
tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan
daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian
pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan.”
(Lihat Zaadul Maysir, tafsir surat At Taubah ayat 36)
Karena pada saat itu adalah waktu sangat
baik untuk melakukan amalan ketaatan, sampai-sampai para salaf sangat
suka untuk melakukan puasa pada bulan haram. Sufyan Ats Tsauri
mengatakan, “Pada bulan-bulan haram, aku sangat senang berpuasa di
dalamnya.” (Latho-if Al Ma’arif, 214)
Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Allah
mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram, dianggap sebagai
bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih
besar, dan amalan sholeh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih
banyak.” (Latho-if Al Ma’arif, 207)
Bulan Haram Mana yang Lebih Utama?
Para ulama berselisih pendapat tentang
manakah di antara bulan-bulan haram tersebut yang lebih utama. Ada ulama
yang mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Rajab, sebagaimana
hal ini dikatakan oleh sebagian ulama Syafi’iyah. Namun An Nawawi (salah
satu ulama besar Syafi’iyah) dan ulama Syafi’iyah lainnya melemahkan
pendapat ini. Ada yang mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan
Muharram, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri dan
pendapat ini dikuatkan oleh An Nawawi. Sebagian ulama yang lain
mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Dzulhijjah. Ini adalah
pendapat Sa’id bin Jubair dan lainnya, juga dinilai kuat oleh Ibnu Rajab
dalam Latho-if Al Ma’arif (hal. 203).
Hukum yang Berkaitan Dengan Bulan Rajab
Hukum yang berkaitan dengan bulan Rajab
amatlah banyak, ada beberapa hukum yang sudah ada sejak masa Jahiliyah.
Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ini masih tetap berlaku
ketika datang Islam ataukah tidak. Di antaranya adalah haramnya
peperangan ketika bulan haram (termasuk bulan Rajab).
Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ini masih tetap diharamkan
ataukah sudah dimansukh (dihapus hukumnya). Mayoritas ulama menganggap
bahwa hukum tersebut sudah dihapus. Ibnu Rajab mengatakan, “Tidak
diketahui dari satu orang sahabat pun bahwa mereka berhenti berperang
pada bulan-bulan haram, padahal ada faktor pendorong ketika itu. Hal ini
menunjukkan bahwa mereka sepakat tentang dihapusnya hukum tersebut.” (Lathoif Al Ma’arif, 210)
Begitu juga dengan menyembelih
(berkurban). Di zaman Jahiliyah dahulu, orang-orang biasa melakukan
penyembelihan kurban pada tanggal 10 Rajab, dan dinamakan ‘atiiroh atau Rojabiyyah
(karena dilakukan pada bulan Rajab). Para ulama berselisih pendapat
apakah hukum ‘atiiroh sudah dibatalkan oleh Islam ataukah tidak.
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa ‘atiiroh sudah dibatalkan hukumnya dalam Islam.
Hal ini berdasarkan hadits Bukhari-Muslim, dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ فَرَعَ وَلاَ عَتِيرَةَ
“Tidak ada lagi faro’ dan ‘atiiroh.” (HR. Bukhari no. 5473 dan Muslim no. 1976).
Faro’ adalah anak pertama dari unta atau kambing, lalu dipelihara dan nanti akan disembahkan untuk berhala-berhala mereka.
Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Tidak ada
lagi ‘atiiroh dalam Islam. ‘Atiiroh hanya ada di zaman Jahiliyah.
Orang-orang Jahiliyah biasanya berpuasa di bulan Rajab dan melakukan
penyembelihan ‘atiiroh pada bulan tersebut. Mereka menjadikan
penyembelihan pada bulan tersebut sebagai ‘ied (hari besar yang akan
kembali berulang) dan juga mereka senang untuk memakan yang manis-manis
atau semacamnya ketika itu.” Ibnu ‘Abbas sendiri tidak senang menjadikan
bulan Rajab sebagai ‘ied.
‘Atiiroh sering dilakukan berulang setiap
tahunnya sehingga menjadi ‘ied (sebagaimana Idul Fitri dan Idul Adha),
padahal ‘ied (perayaan) kaum muslimin hanyalah Idul Fithri, Idul Adha
dan hari tasyriq. Dan kita dilarang membuat ‘ied selain yang telah
ditetapkan oleh ajaran Islam. Ada sebuah riwayat,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَنْهَى عَن صِيَامِ رَجَبٍ كُلِّهِ ، لِاَنْ لاَ يَتَّخِذَ عِيْدًا.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berpuasa pada seluruh hari di bulan Rajab agar tidak dijadikan sebagai ‘ied.” (HR. ‘Abdur Rozaq, hanya sampai pada Ibnu ‘Abbas (mauquf).
Dikeluarkan pula oleh Ibnu Majah dan Ath Thobroniy dari Ibnu ‘Abbas secara marfu’, yaitu sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)
Ibnu Rajab rahimahullah
mengatakan, “Intinya, tidaklah dibolehkan bagi kaum muslimin untuk
menjadikan suatu hari sebagai ‘ied selain apa yang telah dikatakan oleh
syari’at Islam sebagai ‘ied yaitu Idul Fithri, Idul Adha dan hari
tasyriq. Tiga hari ini adalah hari raya dalam setahun. Sedangkan ‘ied
setiap pekannya adalah pada hari Jum’at. Selain hari-hari tadi, jika
dijadikan sebagai ‘ied dan perayaan, maka itu berarti telah berbuat
sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam Islam (alias bid’ah).” (Latho-if Al Ma’arif, 213)
Hukum lain yang berkaitan dengan bulan Rajab adalah shalat dan puasa.
Mengkhususkan Shalat Tertentu dan Shalat Roghoib di bulan Rajab
Tidak ada satu shalat pun yang
dikhususkan pada bulan Rajab, juga tidak ada anjuran untuk melaksanakan
shalat Roghoib pada bulan tersebut.
Shalat Roghoib atau biasa juga disebut
dengan shalat Rajab adalah shalat yang dilakukan di malam Jum’at pertama
bulan Rajab antara shalat Maghrib dan Isya. Di siang harinya sebelum
pelaksanaan shalat Roghoib (hari kamis pertama bulan Rajab) dianjurkan
untuk melaksanakan puasa sunnah. Jumlah raka’at shalat Roghoib adalah 12
raka’at. Di setiap raka’at dianjurkan membaca Al Fatihah sekali, surat
Al Qadr 3 kali, surat Al Ikhlash 12 kali. Kemudian setelah pelaksanaan
shalat tersebut dianjurkan untuk membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak 70 kali.
Di antara keutamaan yang disebutkan pada
hadits yang menjelaskan tata cara shalat Raghaib adalah dosanya walaupun
sebanyak buih di lautan akan diampuni dan bisa memberi syafa’at untuk
700 kerabatnya. Namun hadits yang menerangkan tata cara shalat Roghoib
dan keutamaannya adalah hadits maudhu’ (palsu). Ibnul Jauzi meriwayatkan
hadits ini dalam Al Mawdhu’aat (kitab hadits-hadits palsu).
Ibnul Jauziy rahimahullah
mengatakan, “Sungguh, orang yang telah membuat bid’ah dengan membawakan
hadits palsu ini sehingga menjadi motivator bagi orang-orang untuk
melakukan shalat Roghoib dengan sebelumnya melakukan puasa, padahal
siang hari pasti terasa begitu panas. Namun ketika berbuka mereka tidak
mampu untuk makan banyak. Setelah itu mereka harus melaksanakan shalat
Maghrib lalu dilanjutkan dengan melaksanakan shalat Raghaib. Padahal
dalam shalat Raghaib, bacaannya tasbih begitu lama, begitu pula dengan
sujudnya. Sungguh orang-orang begitu susah ketika itu. Sesungguhnya aku
melihat mereka di bulan Ramadhan dan tatkala mereka melaksanakan shalat
tarawih, kok tidak bersemangat seperti melaksanakan shalat ini?! Namun
shalat ini di kalangan awam begitu urgent. Sampai-sampai orang yang
biasa tidak hadir shalat Jama’ah pun ikut melaksanakannya.” (Al Mawdhu’aat li Ibnil Jauziy, 2/125-126)
Shalat Roghoib ini pertama kali
dilaksanakan di Baitul Maqdis, setelah 480 Hijriyah dan tidak ada
seorang pun yang pernah melakukan shalat ini sebelumnya. (Al Bida’ Al Hawliyah, 242)
Ath Thurthusi mengatakan, “Tidak ada satu riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat ini. Shalat ini juga tidak pernah dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum, para tabi’in, dan salafush sholeh –semoga rahmat Allah pada mereka-.” (Al Hawadits wal Bida’, hal. 122. Dinukil dari Al Bida’ Al Hawliyah, 242)
Mengkhususkan Berpuasa di Bulan Rajab
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
“Adapun mengkhususkan bulan Rajab dan Sya’ban untuk berpuasa pada
seluruh harinya atau beri’tikaf pada waktu tersebut, maka tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan para sahabat mengenai hal ini. Juga hal ini tidaklah dianjurkan
oleh para ulama kaum muslimin. Bahkan yang terdapat dalam hadits yang
shahih (riwayat Bukhari dan Muslim) dijelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
biasa banyak berpuasa di bulan Sya’ban. Dan beliau dalam setahun
tidaklah pernah banyak berpuasa dalam satu bulan yang lebih banyak dari
bulan Sya’ban, jika hal ini dibandingkan dengan bulan Ramadhan.
Adapun melakukan puasa khusus di bulan
Rajab, maka sebenarnya itu semua adalah berdasarkan hadits yang
seluruhnya lemah (dho’if) bahkan maudhu’ (palsu). Para ulama tidaklah
pernah menjadikan hadits-hadits ini sebagai sandaran. Bahkan
hadits-hadits yang menjelaskan keutamaannya adalah hadits yang maudhu’
(palsu) dan dusta.”(Majmu’ Al Fatawa, 25/290-291)
Bahkan telah dicontohkan oleh para
sahabat bahwa mereka melarang berpuasa pada seluruh hari bulan Rajab
karena ditakutkan akan sama dengan puasa di bulan Ramadhan, sebagaimana
hal ini pernah dicontohkan oleh ‘Umar bin Khottob. Ketika bulan Rajab,
‘Umar pernah memaksa seseorang untuk makan (tidak berpuasa), lalu beliau
katakan,
لَا تُشَبِّهُوهُ بِرَمَضَانَ
“Janganlah engkau menyamakan puasa di bulan ini (bulan Rajab) dengan bulan Ramadhan.” (Riwayat ini dibawakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa, 25/290 dan beliau mengatakannya shahih. Begitu pula riwayat ini dikatakan bahwa sanadnya shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil)
Adapun perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk berpuasa di bulan-bulan haram yaitu bulan Rajab, Dzulqo’dah,
Dzulhijjah, dan Muharram, maka ini adalah perintah untuk berpuasa pada
empat bulan tersebut dan beliau tidak mengkhususkan untuk berpuasa pada
bulan Rajab saja. (Lihat Majmu’ Al Fatawa, 25/291)
Imam Ahmad mengatakan, “Sebaiknya
seseorang tidak berpuasa (pada bulan Rajab) satu atau dua hari.” Imam
Asy Syafi’i mengatakan, “Aku tidak suka jika ada orang yang menjadikan
menyempurnakan puasa satu bulan penuh sebagaimana puasa di bulan
Ramadhan.” Beliau berdalil dengan hadits ‘Aisyah yaitu ‘Aisyah tidak
pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh pada bulan-bulan lainnya sebagaimana beliau menyempurnakan berpuasa sebulan penuh pada bulan Ramadhan. (Latho-if Ma’arif, 215)
Ringkasnya, berpuasa penuh di bulan Rajab itu terlarang jika memenuhi tiga point berikut:
- Jika dikhususkan berpuasa penuh pada bulan tersebut, tidak seperti bulan lainnya sehingga orang-orang awam dapat menganggapnya sama seperti puasa Ramadhan.
- Jika dianggap bahwa puasa di bulan tersebut adalah puasa yang dikhususkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana sunnah rawatib (sunnah yang mengiringi amalan yang wajib).
- Jika dianggap bahwa puasa di bulan tersebut memiliki keutamaan pahala yang lebih dari puasa di bulan-bulan lainnya. (Lihat Al Hawadits wal Bida’, hal. 130-131. Dinukil dari Al Bida’ Al Hawliyah, 235-236)
Perayaan Isro’ Mi’roj
Sebelum kita menilai apakah merayakan
Isro’ Mi’roj ada tuntunan dalam agama ini ataukah tidak, perlu kita
tinjau terlebih dahulu, apakah Isro’ Mi’roj betul terjadi pada bulan
Rajab?
Perlu diketahui bahwa para ulama
berselisih pendapat kapan terjadinya Isro’ Mi’roj. Ada ulama yang
mengatakan pada bulan Rajab. Ada pula yang mengatakan pada bulan
Ramadhan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
“Tidak ada dalil yang tegas yang menyatakan terjadinya Isro’ Mi’roj pada
bulan tertentu atau sepuluh hari tertentu atau ditegaskan pada tanggal
tertentu. Bahkan sebenarnya para ulama berselisih pendapat mengenai hal
ini, tidak ada yang bisa menegaskan waktu pastinya.” (Zaadul Ma’ad, 1/54)
Ibnu Rajab mengatakan, “Telah
diriwayatkan bahwa di bulan Rajab ada kejadian-kejadian yang luar biasa.
Namun sebenarnya riwayat tentang hal tersebut tidak ada satu pun yang
shahih. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa beliau dilahirkan pada awal
malam bulan tersebut. Ada pula yang menyatakan bahwa beliau diutus pada
27 Rajab. Ada pula yang mengatakan bahwa itu terjadi pada 25 Rajab.
Namun itu semua tidaklah shahih.”
Abu Syamah mengatakan, “Sebagian orang
menceritakan bahwa Isro’ Mi’roj terjadi di bulan Rajab. Namun para pakar
Jarh wa Ta’dil (pengkritik perowi hadits) menyatakan bahwa klaim
tersebut adalah suatu kedustaan.” (Al Bida’ Al Hawliyah, 274)
Setelah kita mengetahui bahwa penetapan Isro’ Mi’roj sendiri masih diperselisihkan, lalu bagaimanakah hukum merayakannya?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
“Tidak dikenal dari seorang dari ulama kaum muslimin yang menjadikan
malam Isro’ memiliki keutamaan dari malam lainnya, lebih-lebih dari
malam Lailatul Qadr. Begitu pula para sahabat dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik tidak pernah mengkhususkan malam Isro’
untuk perayaan-perayaan tertentu dan mereka pun tidak menyebutkannya.
Oleh karena itu, tidak diketahui tanggal pasti dari malam Isro’
tersebut.” (Zaadul Ma’ad, 1/54)
Begitu pula Syaikhul Islam mengatakan,
“Adapun melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari raya yang
disyari’atkan (yaitu idul fithri dan idul adha, pen) seperti perayaan
pada sebagian malam dari bulan Rabi’ul Awwal (yang disebut dengan malam
Maulid Nabi), perayaan pada sebagian malam Rojab (perayaan Isro’
Mi’roj), hari ke-8 Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rojab atau
perayaan hari ke-8 Syawal -yang dinamakan orang yang sok pintar (alias
bodoh) dengan Idul Abror (ketupat lebaran)-; ini semua adalah bid’ah
yang tidak dianjurkan oleh para salaf (sahabat yang merupakan generasi
terbaik umat ini) dan mereka juga tidak pernah melaksanakannya.” (Majmu’ Fatawa, 25/298)
Ibnul Haaj mengatakan, “Di antara ajaran
yang tidak ada tuntunan yang diada-adakan di bulan Rajab adalah perayaan
malam Isro’ Mi’roj pada tanggal 27 Rajab.” (Al Bida’ Al Hawliyah, 275)
Catatan penting:
Banyak tersebar di tengah-tengah kaum
muslimin sebuah riwayat dari Anas bin Malik. Beliau mengatakan,
“Ketika
tiba bulan Rajab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengucapkan,
“Allahumma baarik lanaa fii Rojab wa Sya’ban wa ballignaa Romadhon [Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya'ban dan perjumpakanlah kami dengan bulan Ramadhan]“.”
Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad dalam musnadnya, Ibnu Suniy dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah. Namun perlu diketahui bahwa hadits ini adalah hadits yang lemah (hadits dho’if) karena di dalamnya ada perowi yang bernama Zaidah bin Abi Ar Ruqod. Zaidah adalah munkarul hadits
(banyak keliru dalam meriwayatkan hadits) sehingga hadits ini termasuk
hadits dho’if. Hadits ini dikatakan dho’if (lemah) oleh Ibnu Rajab dalam
Lathoif Ma’arif (218), Syaikh Al Albani dalam tahqiq Misykatul Mashobih (1369), dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Imam Ahmad.
Demikian pembahasan kami mengenai
amalan-amalan di bulan Rajab dan beberapa amalan yang keliru yang
dilakukan di bulan tersebut. Semoga Allah senantiasa memberi taufik dan
hidayah kepada kaum muslimin. Semoga Allah menunjuki kita ke jalan
kebenaran.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi
tatimmush sholihaat. Allahumma sholli ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala
alihi wa shohbihi wa sallam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar