Penulis: Rizki Maulana
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Apa itu Nikah Misyar
Nikah misyar
[arab: المسيار] sering juga diistilahkan dengan nikah itsar [arab:
الايثار], adalah pernikahan yang memenuhi segala rukun dan syaratnya,
dilakukan karena suka sama suka, ada walinya, ada saksinya, dan ada
maharnya. Hanya saja, sang istri merelakan
beberapa haknya tidak dipenuhi oleh suaminya, misalnya hak nafkah, atau
hak gilir, atau tempat tinggal. (simak Shahih Fiqhis-Sunnah, 3/158).
Dengan
demikian, nikah misyar tidak ubahnya sama dengan poligami, hanya saja
istri terbaru merelakan sebagian haknya, untuk tidak diberikan oleh
suaminya. Karena itu, nikah ini sering juga disebut
nikah itsar, yang artinya pernikahan, dimana sang istri lebih
mendahulukan hak madunya, dari pada hak dirinya.
Sebagai
contoh, si A (lk) telah menikah dengan si X (pr). Kemudian karena
kebutuhan, si A menikah lagi dengan janda sangat kaya raya, namun agak
tua, si Y. Dengan kesepakatan, si A boleh tidak memberi nafkah lahir
kepada si Y. Sehingga nafkah lahir si A, hanya diberikan kepada si X,
istri pertamanya. Pernikahan si A dengan si Y dengan kesepakatan semacam
ini disebut nikah misyar.
Hukum Nikah Misyar
Di masa
silam, ada pernikahan model di atas. Dimana masing-masing istri yang
memiliki satu suami, tidak mendapatkan jatah gilir yang sama. Ada
diantara wanita masa silam, yang hanya mendapatkan jatah gilir bersama
suami di siang hari saja, yang sering diistilahkan dengan nahariyat,
dari kata nahar, yang artinya siang. Disebut nahariyat (wanita siang),
karena dia hanya didatangi sang suami di siang hari.
Sikap istri
kedua yang menggugurkan haknya, tidaklah menjadikan pernikahannya
menjadi batal atau haram. Meskipun sebagian ulama membencinya, hanya
saja tidaklah menyebabkan pernikahan semacam ini menjadi tidak sah,
selama syarat dan rukunnya terpenuhi.
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari jalur Manshur,
عن الحسن، وعطاء، أنهما كانا «لا يريان بأسا بتزويج النهاريات»
Dari Hasan
al-Bashri dan Atha bin Abi Rabah, bahwa kedua ulama ini berpendapat
bolehnya pernikahan wanita nahariyat. (Mushannaf Ibn Abi Syaibah,
16559).
Beliau juga membawakan riwayat dari Amir as-Sya’bi,
عن عامر الشعبي أنه سئل عن الرجل يكون له امرأة فيتزوج المرأة ، فيشترط لهذه يوماً ولهذه يومين ؟ قال : لا بأس به
Dari Amir
as-Sya’bi bahwa beliau ditanya tentang seorang lelaki yang sudah
memiliki istri, kemudian dia berpoligami dengan menikahi wanita lain.
Kemudian dibuat kesepakatan, untuk istri kedua gilir sehari dan istri
pertama dua hari. As-Sya’bi memfatwakan, ”Tidak masalah.” (Mushannaf Ibn
Abi Syaibah, 16566).
Beberapa
riwayat di atas, menjadi acuan para ulama kontemporer, dalam memfatwakan
tentang nikah misyar. Imam Ibnu Baz pernah mendapatkan pertanyaan
tentang nikah misyar sebagai berikut :
قرأت في إحدى
الجرائد تحقيقًا عما يسمى زواج المسيار وهذا الزواج هو أن يتزوج الإنسان
ثانية أو ثالثة أو رابعة ، وهذه الزوجة يكون عندها ظروف تجبرها على البقاء
عند والديها أو أحدهما في بيتها ، فيذهب إليها زوجها في أوقات مختلفة تخضع
لظروف كل منهما ، فما حكم الشريعة في مثل هذا الزواج. أفتونا مأجورين ؟.
“Saya pernah
membaca di salah satu koran yang di dalamnya terdapat bahasan nikah
mis-yaar. Yaitu seorang laki-laki menikah dengan istri kedua, atau
ketiga, atau keempat. Namun istri yang dinikahi ini karena kondisi
tertentu terpaksa tinggal bersama kedua orang tuanya atau pada salah
satunya. Kemudian sang suami datang kepadanya dalam waktu-waktu yang
berbeda-beda sesuai dengan kondisi yang ada pada mereka berdua. Apa
hukumnya menurut syari’at Islam bentuk pernikahan seperti ini ? Kami
mohon penjelasannya.
Jawaban beliau:
” لا حرج في
ذلك إذا استوفى العقد الشروط المعتبرة شرعاً ، وهي وجود الولي ورضا الزوجين
، وحضور شاهدين عدلين على إجراء العقد ، وسلامة الزوجين من الموانع ؛
لعموم قول النبي صلى الله عليه وسلم : ( أحق ما أوفيتم من الشروط أن توفوا
به ما استحللتم به الفروج ) ؛ وقوله صلى الله عليه وسلم : ( المسلمون على
شروطهم ) ، فإذا اتفق الزوجان على أن المرأة تبقى عند أهلها ، أو على أن
القسم يكون لها نهاراً لا ليلاً ، أو في أيام معينة ، أو ليالي معينة : فلا
بأس بذلك ، بشرط إعلان النكاح ، وعدم إخفائه ” .
“Tidak
mengapa jika akadnya memenuhi syarat-syarat yang telah disepakati
secara syar’i, yaitu adanya wali, keridlaan kedua suami-istri (laki-laki
dan wanita) tersebut, adanya dua orang saksi yang ‘adil atas
pelaksanaan akad, dan bersihnya calon istri dari larangan-larangan. Bolehnya
persyaratan itu berdasarkan keumuman sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam : “Sesungguhnya syarat yang paling berhak untuk dipenuhi adalah
apa yang dengannya kalian menghalalkan farji (yaitu pernikahan)”. Dan
juga sabda beliau yang lain : “Orang-orang muslim itu tergantung kepada
syarat-syarat yang mereka sepakati”.
Apabila
kedua suami-istri itu sepakat bahwa istrinya tetap boleh tinggal bersama
kedua orang tuanya, atau bagiannya di siang hari saja bukan di malam
hari, atau pada hari-hari tertentu, atau pada malam-malam tertentu; maka
tidak mengapa akan hal itu. Dengan syarat, pernikahan tersebut harus
diumumkan, tidak boleh dirahasiakan” [Koran Al-Jazirah, no. 8768 –
Senin, 18 Jumadal-Ula 1417 H – Asy-Syaikh Ibnu Baz – melalui perantaraan
Fatawa Ulama Al-Baladil-Haram, hal. 450-451].
Akan
tetapi, ketika beliau mendengar beberapa kasus sebagian masyarakat yang
menyalah gunakan pernikahan ini, beliau tidak menegaskan bolehnya nikah
misyar. Beberapa orang melakukan nikah misyar, namun diam-diam, tidak diketahui istri pertama, maupun masyarakat di sekitarnya.
Suatu ketika, beliau ditanya,
ما الفرق بين زواج المسيار والزواج الشرعي ، وما الشروط الواجب توافرها لزواج المسيار؟
Apa beda antara nikah misyar dengan nikah syar’i? Apa saja syarat yang harus ada ketika melakukan nikah misyar?
Jawaban beliau,
الواجب على
كل مسلم أن يتزوج الزواج الشرعي ، وأن يحذر ما يخالف ذلك ، سواء سمي ” زواج
مسيار ” ، أو غير ذلك ، ومن شرط الزواج الشرعي الإعلان ، فإذا كتمه
الزوجان : لم يصح ؛ لأنه والحال ما ذكر أشبه بالزنى
Wajib bagi
setiap muslim untuk melakukan pernikahan secara syar’i, dan menghindari
setiap pernikahan yang melanggar aturan syariat. Baik dia namakan nikah misyar atau nama lainnya. Diantara syarat nikah yang syar’i adalah diumumkan. Karena itu, jika ada dua orang menikah dan keduanya menyembunyikan pernikahannya, maka nikahnya tidak sah. Karena keadaan seperti yang sering diceritakan, ini sama dengan zina. (Fatawa Ibnu Baz, 20/431).
Nikah Misyar dan Arab Saudi
Ini tidak ada hubungannya dengan pembahasan hukum nikah misyar, tapi ini terkait masalah adab terhadap ulama.
Ada
beberapa situs di tempat kita, terutama yang membenci beberapa ulama
ahlus sunah, membuat stigma buruk tentang ulama Saudi yang membolehkan
nikah misyar. Dia tonjolkan judul ulama saudi membolehkan nikah misyar,
tanpa sepeserpun menjelaskan apa itu nikah misyar.
Pembaca
nampaknya sengaja dibuat buta dengan istilah ini, dan dikesankan ini
adalah pernikahan yang jelek. Kemudian disodorkan fatwa ulama tersebut.
Ini jelas kedzaliman, dan sangat tidak mendidik. Jika
mau membahas hukum, seharusnya situs semacam ini menjelaskan pengertian
nikah misyar, agar masyarakat tidak memberikan penilaian secara
apriori.
Anehnya, nikah misyar dengan keadaan di atas, bisa jadi
banyak dipraktekkan para pejabat dan para tokoh politik partai islam,
setelah mereka mendapat banyak kekayaan karena gesekan politik. Ada yang beristri 4, 3, atau 2, namun para istri muda kurang dinampakkan atau sengaja disembunyikan. Mereka bisa jadi telah bersepakat tidak memberikan jatah perhatian yang sama antar-para istri ketika akad.
Allahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar