Penulis: Rizki Maulana
Secara umum peringatan maulid Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam selalu disemarakkan dengan sholawatan dan
puji-pujian kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, yang mereka
ambil dari kitab Barzanji
maupun Daiba’, ada kalanya ditambah dengan senandung Qasidah Burdah.
Meskipun kitab Barzanji lebih populer di kalangan orang awam daripada
yang lainnya, tetapi biasanya kitab Daiba’, Barzanji dan Qasidah Burdah
dijadikan satu paket untuk meramaikan maulid Nabi shallallahu’alaihi wa
sallam yang diawali dengan dengan membaca kitab Daiba’, lalu Barzanji,
kemudian ditutup dengan Qasidah Burdah.
Biasanya kitab Barzanji
menjadi kitab induk peringatan maulid Nabi shallallahu’alaihi wa
sallam, bahkan sebagian pembacanya lebih tekun membaca kitab Barzanji
daripada membaca al-Qur’an. Maka tidak aneh jika banyak diantara mereka
yang lebih hafal kitab Barzanji bersama lagu-lagunya dibanding al-Quran.
Fokus pembahasan dan kritikan terhadap kitab Barzanji ini adalah karena
populernya, meskipun penyimpangan kitab Daiba’ lebih parah daripada
kitab Barzanji. Berikut uraiannya:
Secara umum kandungan kitab Barzanji terbagi menjadi tiga:
1. Cerita tentang perjalanan hidup Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dengan sastra bahasa yang tinggi yang terkadang tercemar dengan riwayat-riwayat lemah.
2. Syair-syair pujian dan sanjungan kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dengan bahasa yang sangat indah, namun telah tercemar dengan muatan dan sikap ghuluw (berlebihan)
3. Sholawat kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, tetapi telah bercampur aduk dengan sholawat bid’ah dan sholawat-sholawat yang tidak berasal dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.
Penulis Kitab Barzanji
Kitab Barzanji ditulis oleh Ja’far al-Barzanji al-Madani,
dia adalah khatib di Masjidil Haram dan seorang mufti dari kalangan
Syafi’iyyah. Wafat di Madinah pada tahun 1177H/1763 M dan diatara
karyanya adalah Kisah Maulid Nabi Shalallahu’alahi wa sallam (Al-Munjid
fii al A’laam, 125)
Sebagai seorang penganut paham tasawwuf yang bermahzab Syiah
tentu Ja’far al-Barjanzi sangat mengkultuskan keluarga, keturunan dan
Nabi Muhammad Shallallahu’alahi wa sallam. Ini dibuktikan dalam do’anya
“Dan berilah taufik kepada apa yang Engkau ridhai pada setiap kondisi
bagi para pemimpin dari keturunan az-Zahra di bumi Nu’man”. (Majmuatul
Mawalid, hal. 132)
Kesalahan Umum Kitab Barzanji
Kesalahan kitab Barzanji
tidak separah yang ada pada kitab Daiba’ dan Qasidah Burdah. Namun,
penyimpangannya menjadi parah ketika kitab Barzanji dijadikan sebagai
bacaan seperti al-Quran. Bahkan, dianggap lebih mulia daripada al-Quran.
Padahal, tidak ada nash syar’i yang memberi jaminan pahala bagi orang
yang membaca Barzanji, Daiba’ atau Qasidah Burdah.
Sementara, membaca al-Quran yang jelas pahalanya, kurang diperhatikan. Bahkan, sebagian mereka lebih sering membaca kitab Barzanji daripada membaca al-Quran apalagi pada saat perayaan maulid Nabi. Padahal Nabi Shallallahu’alahi wa sallam bersabda :
“Barangsiapa membaca 1 huruf dari al-Quran maka dia akan mendapatkan 1 kebaikan yang kebaikan tersebut akan dilipatgandakan menjadi 10 pahala. Aku tidak mengatakan Alif Laam Miim satu huruf. Tetapi, Alif 1 huruf, Laam 1 huruf, Miim 1 huruf .” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh al-Albani di dalam shahihul jam’i hadist ke 6468)
Kesalahan Khusus Kitab Barzanji
Adapun kesalahan yang paling fatal dalam kitab Barzanji antara lain :
Pertama : Penulis kitab Barzanji
menyakini melalui ungkapan syairnya bahwa kedua orang tua Rasulullah
Shallallahu’alahi wa sallam termasuk ahlul iman dan termasuk orang-orang
yang selamat dari neraka bahkan ia mengungkapkan dengan sumpah.
وَقَدْ أَسْبَحَاوَاللهِ مِنْ أَهْلِ اْلإِ يْمَانِ
وَجَاءَلِهَذَا فِي اْلحَدِيْثِ شَوَا هِدُ
وَمَالَ إِلَيْهِ الْجَمُّ مِنْ أَهْلِ الْعِرْفَانِ
فَسَلَّمْ فَإِنََّ اللهَ جَلَّ جَلاَلُهُ
وَإِنَّ اْلإِمَامَ اْلأَ شْعَرِيَ لَمُثْبِتُ
نَجَاتَهُمَانَصَّابِمُحْكَمِ تِبْيَانِ
“Dan sungguh kedua (orang tuanya) demi Allah Ta’ala termasuk ahli iman
Dan telah datang dalil dari hadist sebagai bukti-buktinya.
Banyak ahli ilmu yang condong terhadap pendapat ini
Maka ucapkanlah salam, karena sesungguhnya Allah Maha Agung.
Dan sesugguhnya Imam al-Asy’ari menetapkan bahwa keduanya selamat menurut nash tibyan (al-Quran).” (Lihat Majmuatul Mawalid Barzanji, hal 101)
Jelas, yang demikian itu bertentangan dengan hadist dari Anas radliyallahu’ahu:
Bahwa sesungguhnya seorang laki-laki bertanya “Wahai Rasulullah, dimanakah ayahku (setelah mati)?” Beliau Shalallahu’alahisasalam bersabda “Dia berada di neraka.” Ketika orang itu pergi, beliau memanggilnya dan bersabda : “Sesungguhnya bapakku dan bapakmu berada di neraka”. (HR. Muslim dalam shahihnya (348) dan Abu Daud dalam sunannya (4718))
Imam Nawawi berkata :
“Makna hadits ini adalah bahwa, barangsiapa yang mati dalam keadaan
kafir, ia kelak berada di Neraka dan kedekatan kerabat tidak berguna
baginya. Begitu juga orang Arab penyembah berhala yang mati pada masa
fatrah (jahiliyah), maka ia berada di Neraka. Ini tidak menafikan
penyimpangan dakwah mereka, kaena sudah sampai kepada mereka dakwah Nabi
Ibrahim ‘alahissalam dan yang lainnya.” (Lihat Minhaj Syarah Shahih
Muslim, Imam Nawawi. 3/74)
Semua hadits yang menjelaskan tentang
dihidupkannya kembali kedua orang tua Nabi Shalallahu’alahisasalam dan
keduanya beriman dan selamat dari neraka semuanya palsu, diada-adakan
secara dusta dan lemah sekali serta tidak ada satupun yang shahih. Para
ahli hadits sepakat akan kedhaifannya seperti Daruquthni, al-Jauzaqani,
Ibnu Syahin, al-Khatib, Ibnu Asaki, Ibnu Nashr, Ibnul Jauzi, as-Suhaili,
al-Qurtubi, ath-Tabhari dan Fathuddin Ibnu Sayyidin Nas. (Aunul Ma’bud,
Abu Thayyib (12/324))
Adapun anggapan bahwa Imam al-Asyari berpendapat
bahwa kedua orang tua Nabi beriman, harus dibuktikan kebenarannya.
Memang benar, Imam Suyuthi berpendapat bahwa kedua orang tua Nabi
Shallallahu’alahi wa sallam beriman dan selamat dari Neraka, namun hal
ini menyelisihi para hafidz dan para ulama peneliti hadist. (Aunul
Ma’bud, Abu Thayyib (12/324))
Kedua : Penulis kitab Barzanji
mengajak para pembacanya agar mereka meyakini bahwa Rasulullah hadir
pada saat membaca shalawat, terutama ketika Mahallul Qiyam (posisi
berdiri), hal itu sangat nampak sekali di awal qiyam (berdiri) mambaca :
مَرْحَبًَايَامَرْحَبًَا يَامَرْحَبًَا
مَرْ حَبًَايَاجَدَّ الْحُسَيْنِ مَرْحَبًَا
“Selamat datang, selamat datang, selamat datang, selamat datang wahai kakek Husain selamat datang”
Bukankah ucapan selamat datang hanya bisa
diberikan kepada orang yang hadir secara fisik? Meskipun di tengah
mereka terjadi perbedaan, apakah yang hadir jasad Nabi Muhammad
Shallallahu’alahi wa sallam bersama ruhnya ataukah ruhnya saja. Muhammad
Alawi al-Maliki (seorang pembela perayaan Maulid-red) mengingkari
dengan keras pendapat yang menyatakan bahwa yang hadir adalah jasadnya.
Menurutnya, yang hadir hanyalah ruhnya.
Padahal Rasulullah Shallallahu’alahi wa sallam telah berada di alam Barzah yang tinggi dan ruhnya dimuliakan Allah Ta’ala di surga, sehingga tidak mungkin kembali ke dunia dan hadir di antara manusia.
Pada bait berikutnya semakin jelas nampak
bahwa Rasulullah Shallallahu’alahi wa sallam diyakini hadir, meskipun
sebagian mereka meyakini yang hadir adalah ruhnya.
يَانَبِنيْ سَلاَمٌُ عَلَيْكَ
يَارَسُوْل سَلَمٌُ عَلَيْكَ
يَاحَبِبُ سَلاَمٌُ عَلَيْكَ
صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْكَ
“Wahai Nabi salam sejahtera atasmu, wahai Rasul salam sejahtera atasmu.
Wahai kekasih salam sejahtera atasmu, semoga rahmat Allah tercurah atasmu.”
Para pembela Barzanji seperti penulis “Fikih Tradisional” berkilah,
bahwa tujuan membaca shalawat itu adalah untuk mengagungkan Nabi
Muhammad Shallallahu’alahi wa sallam. Menurutnya, salah satu cara
mengagungkan seseorang adalah dengan berdiri, karena berdiri untuk
menghormati sesuatu sebetulnya sudah menjadi tradisi kita. Bahkan tidak
jarang hal itu dilakukan untuk menghormati benda mati.
Misalnya, setiap kali upacara bendera
dilaksanakan pada hari Senin, setiap tanggal 17 Agustus, maupun pada
waktu yang lain, ketiak bendera merah putih dinaikkan dan lagu Indonesia
Raya dinyanyikan, seluruh peserta upacara diharuskan berdiri. Tujuannya
tidak lain adalah untuk menghormati bendera merah putih dan mengenang
jasa para pejuang bangsa. Jika dalam upacara bendera saja harus berdiri,
tentu berdiri untuk menghormati Nabi lebih layak dilakukan, sebagai
ekspresi bentuk penghormatan kepada beliau. Bukankah Nabi Muhammad
Shalallahu’alahisasalam adalah manusia teragung yang lebih layak
dihormati dari pada orang lain? (Lihat Fikh Tradisional, Muhyiddin
Abdusshamad (277-278))
Ini adalah qiyas yang sangat rancu dan rusak.
Bagaimana mungkin menghormati Rasul Shallallahu’alahi wa sallam
disamakan dengan hormat bendera ketika upacara, sedangkan kedudukan
beliau Shalallahu’alahisasalam sangat mulia dan derajatnya sangat agung,
baik saat hidup atau setelah wafat. Bagaimana mungkin beliau disambut
dengan cara seperti itu, sedangkan beliau berada di alam Barzah yang
tidak mungkin kembali dan hadir ke dunia lagi.
Di samping itu, kehadiran Rasul
Shalallahu’alahisasalam ke dunia merupakan keyakinan bathil karena
termasuk perkara gaib yang tidak bisa ditetapkan kecuali berdasarkan
wahyu Allah Ta’ala, dan bukan dengan logika atau qiyas. Bahkan,
pengagungan dengan cara tersebut merupakan perkara bid’ah. Pengagungan
Nabi Shallallahu’alahi wa sallam terwujud dengan cara menaatinya,
melaksanakan perintahnya, menjauhi larangannya dan mencintainya.
Melakukan amalan bid’ah, khurafat, dan
pelanggaran, bukan merupakan bentuk pengagungan terhadap Nabi
Shallallahu’alahi wa sallam. Demikian juga dengan cara perayaan maulid
Nabi Shallallahu’alahi wa sallam, perbuatan tersebut termasuk bid’ah
yang tercela.
Manusia yang paling besar pengagungannya
kepada Nabi Shallallahu’alahi wa sallam adalah para shahabat,
sebagaimana perkataan Urwah bin Mas’ud kepada kaum Quraisy :
“Wahai kaumku, demi Allah, aku pernah menjadi utusan kepada raja-raja besar, aku menjadi utusan kepada Kaisar, aku pernah menjadi utusan kepada Kisra dan Najasyi, demi Allah aku belum pernah melihat seorang Raja yang diagungkan oleh pengikutnya sebagaimana pengikut Muhammad. Tidaklah Muhammad meludah kemudian mengenai telapak tangan seseorang di antara mereka, melainkan mereka langsung mengusapkannya ke wajah dan kulit mereka. Apabila ia memerintahkan suatu perkara, mereka bersegera melaksanakannya. Apabila beliau berwudhu, mereka saling berebut bekas air wudhunya. Apabila mereka berkata, mereka merendahkan suaranya dan mereka tidak berani memandang langsung kepadanya sebagai wujud pengagungan mereka.” (HR. Bukhari : 3/187, no. 2731, 2732, al-Fath 5/388)
Bentuk pengagungan para shahabat kepada
Nabi Shallallahu’alahi wa sallam di atas sangat besar. Namun, mereka
tidak pernah mengadakan acara maulid dan kemudian berdiri dengan
keyakinan ruh Rasul Shallallahu’alahi wa sallam sedang hadir di tengah
mereka. Seandainya perbuatan tersebut disyariatkan, niscaya mereka tidak
akan meninggalkannya.
Jika para pembela maulid tersebut berdalih dengan hadits Nabi Shalallahu’alahisasalam, “Berdirilah kalian untuk tuan atau orang yang paling baik di antara kalian” (Shahih HR. Bukhari-Muslim dalam shahihnya), maka alasan ini tidak tepat.
Memang benar Imam Nawawi
berpendapat bahwa pada hadits di atas terdapat anjuran untuk berdiri
dalam rangka menyambut kedatangan orang yang mempunyai keutamaan, (Lihat
Minhaj Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi, juz XII, hal. 313). Namun,
tidak dilakukan kepada orang yang telah wafat meskipun terhadap
Rasulullah Shallallahu’alahi wa sallam. Bahkan pendapat yang benar,
hadits tersebut sebagai anjuran dan perintah Rasul kepada orang-orang
Anshar agar berdiri dalam rangka membantu Sa’ad bin Mu’adz
radliyallahu’anhu turun dari keledainya, karena ia sedang terluka parah,
bukan menyambut atau menghormatinya, apalagi mengagungkannya secara
berlebihan. (Lihat Ikmalil Mu’lim bi Syarah Shahih Muslim, Qadhi ‘Iyadh,
6/105).
Ketiga : Penulis Barzanji
mengajak untuk mengkultuskan Nabi Shallallahu’alahi wa sallam secara
berlebihan dan menjadikan Nabi sebagai tempat untuk meminta tolong dan
bantuan sebagaimana pernyataannya.
فِيكَ قَدْ أَحْسَنْتُ ظَنِّيْ
يَابَشِيْرُ يَانَذِيْرُ
فَأَغِثْنِيْ وَ أَجِن
يَامُجِيْرُمِنَ السَّعِيْرِ
يَاغَيَاثِيْ يَامِلاَذِيْ
فِيْ مُهِمَّاتِ اْلأُمُوْرِ
“Padamu sungguh aku telah berbaik sangka.
Wahai pemberi kabar gembira wahai pemberi peringatan
Maka tolonglah aku dan selamatkanlah aku.
Wahai pelindung dari neraka sa’ir.
Wahai penolongku dan pelindungku.
Dalam perkara-perkara yang sangat penting (suasana susah dan genting)”
Sikap berlebihan kepada Nabi
Shallallahu’alahi wa sallam, mengangkatnya melebihi derajat kenabian dan
menjadikannya sekutu bagi Allah Ta’ala dalam perkara ghaib dengan
memohon kepada beliau dan bersumpah dengan nama beliau merupakan sikap
yang sangat dibenci Rasulullah Shallallahu’alahi wa sallam, bahkan
termasuk perbuatan syirik.
Do’a dan tindakan tersebut menyakiti
serta menyelisihi petunjuk dan manhaj dakwah beliau Shallallahu’alahi wa
sallam, bahkan menyelisihi pokok ajaran Islam yaitu Tauhid. Nabi telah
mengkhawatirkan akan terjadinya hal tersebut., sehingga beliau
Shallallahu’alahi wa sallam bersabda :
“Janganlah kamu berlebihan dalam mengagungkanku sebagaimana kaum Nasrani berlebihan ketika mengagungkan Ibnu Maryam. AKu hanyalah seorang hamba, maka katakanlah aku adalah hamba dan utusan-Nya”. (HR. Bukhari dalam shahihnya 3445)
Telah dimaklumi, bahwa kaum Nasrani
menjadikan Nabi Isa ‘alahissalam sebagai sekutu bagi Allah dalam
peribadatan mereka. Mereka berdoa kepada Nabi-nya dan meninggalkan
berdoa kepada Allah Ta’ala, padahal ibadah tidak boleh dipalingkan
kepada selain Allah Ta’ala. Nabi Shallallahu’alahi wa sallam telah
memberi peringatan kepada umatnya agar tidak menjadikan kuburan beliau
sebagai tempat berkumpul dan berkunjung, sebagaimana dalam sabdanya :
“Janganlah kalian jadikan kuburanku tempat berkumpul, bacalah shalawat atasku, sesungguhnya shalawatmu akan sampai kepadaku dimanapun kaum berada”. (HR. Abu Dawud dengan sanad yang shahih (2042) dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Ghayatul Maram : 125)
Nabi Shallallahu’alahi wa sallam
memberikan peringatan keras kepada umatnya tentang sikap berlebihan
dalam menyanjung dan mengagungkan beliau. Bahkan, ketika ada orang yang
berlebihan dalam mengagungkan Nabi Shalallahu’alahisasalam, mereka
berkata :
“Engkau Sayyid kami dan anak sayyid kami, engakau adalah orang terbaik di antara kami, dan anak dari orang terbaik di antara kami”, maka Nabi Shallallahu’alahi wa sallam bersabda kepada mereka : “Katakanlah dengan perkataanmu atau sebagiannya, dan jangan biarkan syaitan mengelincirkanmu.” (Shahih, disahhihkan oleh al-Albani dalam Ghayatul Maram 127, lihat takhrij beliau di dalamnya).
Termasuk perbuatan yang berlebihan dan
melampaui batas terhadap Nabi adalah bersumpah dengan anma beliau,
karena adalah bentuk pengagungan yang tidak boleh diberikan kecuali
kepada Allah Ta’ala. Nabi Shallallahu’alahi wa sallam bersabda :
“Barangsiapa bersumpah hendaklah bersumpah dengan nama Allah Ta’ala, jikalau tidak bisa hendaklah ia diam.” (HR. Bukhari-Muslim dalam shahihnya 2679 dan 1646)
Cukuplah dengan hadist tentang larangan
bersikap berlebihan dalam mengagungkan Nabi Shallallahu’alahi wa sallam
menjadi dalil yang tidak membutuhkan tambahan dan pengurangan. Bagi
setiap orang yang ingin mencari kebenaran, niscaya ia akan menemukannya
dalam ayat dan hadist tersebut, dan hanya Allah-lah yang memberi
petunjuk.
Keempat : Penulis kitab Barzanji menurunkan beberapa shalawat bid’ah yang mengandung pujian yang sangat berlebihan kepada Nabi Shallallahu’alahi wa sallam.
Para pengagum kitab Barzanji menganggap
bahwa membaca shalawat kepada Nabi Muhammad Shallallahu’alahi wa sallam
merupakan ibadah yang sangat terpuji. Sebagaimana firman Allah Ta’ala
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya” (QS. Al-Ahzab: 56)
Ayat ini yang mereka jadikan dalil untuk
membaca kitab tersebut pada setiap peringatan maulid Nabi
Shallallahu’alahi wa sallam. Padahal, ayat di atas merupakan bentuk
perintah kepada umat Islam agar mereka membaca shalawat di manapun dan
kapanpun tanpa dibatasi saat tertentu seperti pada perayaan maulid Nabi
Shallallahu’alahi wa sallam.
Tidak dipungkiri bahwa bershalawat atas
Nabi Shallallahu’alahi wa sallam terutama ketika mendengar nama Nabi
Shallallahu’alahi wa sallam disebut sangat dianjurkan. Apabila seorang
muslim meninggalkan shalawat atas Nabi Shallallahu’alahi wa sallam, ia
akan terhalang dari melakukan hal-hal yang bisa mendatangkan manfaat,
baik di dunia dan akhirat, karena :
1) Terkena doa Nabi Shallallahu’alahi wa sallam yaitu sabda beliau : “Sungguh celaka bagi seseorang yang disebutkan namaku disisnya, namun ia tidak bershalawat atasku.” (HR. Ahmad dalam Musnadnya 2/254, At-Tirmidzi dalam Sunannya 3545 dan dishahihkanoleh al-Albani dal ‘Irwa : 6)
2) Mendapatkan gelar bakhil dari Nabi Shallallahu’alahi wa sallam, beliau bersabda : “Orang bakhil adalah orang yang ketika disebut namaku disisinya, ia tidak bershalawat atasku”. (Shahih, HR. At-Tirmidzi dalam Sunannya 3546, Ahmad dalam Musnadnya 1/201, dan dishahihkan oleh al-Albani dalam ‘Irwa : 5)
3) Tidak mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah Ta’ala, karena meninggalkan shalawat dan salam atas Nabi dan keluarganya. Nabi bersabda : “Barangsiapa membaca shalawat atasku skali, maka Allah Ta’ala bershalawat atasku 10 kali”. (HR. Imam Muslim dalam Shahinya 284)
4) Tidak mendapatkan keutamaan shalawat dari Allah Ta’ala dan para malaikat. Allah Ta’ala berfirman : “Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya memohonkan ampunan untukmu, supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya yang teramg dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman”(QS. Al Ahzab 33:34)
Bahkan membaca shalawat menyebabkan hati
menjadi lembut, karena membaca shalawat termasuk bagian dari dzikir.
Dengan dzikir, hati menjadi tentram dan damai sebagaimana firman Allah
Ta’ala :
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dangan mengingat Allah Ta’ala. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram”.(QS. Ar-Ra’du 13:28).
Tetapi dengan syarat membaca shalawat
secara benar dan ikhlas karena Allah Ta’ala semata, bukan shalawat yang
dikotori oleh bid’ah dan khurafat serta terlalu berlebihan kepada
Rasulullah Shallallahu’alahi wa sallam, sehingga bukan mendapat
ketentraman di dunia dan pahala di akherat, melainkan sebaliknya,
mendapat murka dan siksaan dari Allah Ta’ala. Siksaan tersebut bukan
karena mambaca shalawat, namun karena menyelisihi sunnah ketika
membacanya. Apalagi, dikhususkan pada malam peringatan maulid Nabi
Shallallahu’alahi wa sallam saja, yang jelas-jelas merupakan perayaan
bid’ah dan penyimpangan terhadap syariat.
Kelima : Penulis kitab Barzanji juga meyakini tentang Nur Muhammad Shallallahu’alahi wa sallam, sebagaimana yang terungkap dalam syairnya :
وَمَازَالَ نُوْرُالْمُسْطَفَى مُتَنَقِّلاًَ
مِنَ الطَّيِّبِ اْلأَتْقَي لِطَاهِرِأَرْدَانٍِ
“Nur musthafa (Muhammad) terus berpindah-pindah dari sulbi yang bersih kepada yang sulbi suci nan murni”
Bandingkanlah dengan perkataan kaum
zindiq dan sufi, seperti al-Hallaj yang berkata : “Nabi
Shallallahu’alahi wa sallam memilik cahaya yang kekal abadi dan
terdahulu keberadaannya sebelum diciptakan dunia. Semua cabang ilmu dan
pengetahuan di ambil dari cahaya tersebut dan para Nabi sebelum Muhammad
Shallallahu’alahi wa sallam menimba ilmu dari cahaya tersebut”.
Demikian juga perkataan Ibnu Arabi
Attha’i bahwa semua Nabi sejak Nabi Adam ‘alahissalam hingga Nabi
terakhir mengambil ilmu dari cahaya kenabian Muhammad Shallallahu’alahi
wa sallam yaitu penutup para Nabi. (Lihat perinciannya dalam kitab
Mahabbatur Rasulullah oleh Abdur Rauf Utsman (169-192))
Perlu diketahui bahwa ghuluw itu banyak
sekali macamnya. Kesyirikan ibarat laut yang tidak memiliki tepi.
Kesyirikan tidak hanya terbatas pada perkataan kaum Nasrani saja, karena
umat sebelum mereka juga berbuat kesyirikan dengan menyembah patung,
sebagaimana perbuatan kaum jahiliyah.
Di antara mereka tidak ada yang
mengatakan kepada Tuhan merek seperti perkataan kaum Nasrani kepada Nabi
Isa ‘alahissalam, seperti ; dia adalah Allah, anak Allah, atau
menyakini prinsip Trinitas mereka. Bahkan mereka adalah kepunyaan Allah
Ta’ala dan di bawah kekuasaan-Nya. Namun, mereka menyembah Tuhan-Tuhan
mereka dengan keyakinan bahwa Tuhan-Tuhan mereka itu mempu memberi
syafaat dan menolong mereka. Demikian uraian sekilas tentang sebagian
kesalah kitab Barzanji, semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar