Penulis: Rizki Maulana
Merupakan perkara yang konyol dan lucu
adalah perkataan sebagian ASWAJA atau sebagian Jahmiyah bahwasanya
pembagian tauhid menjadi tiga, (1) Tauhid Ar-Rububiyah, (2) Tauhid
Al-'Uluhiyah/al-'Ubudiyah, dan (3) Tauhid al-Asmaa' wa as-Sifaat, adalah
sama dengan aqidah TRINITAS kaum Nasrani yang meyakini Allah terdiri
dari 3 oknum.
Yang lebih lucu lagi mereka masih terus menganggap
bahwa pernyataan mereka ini adalah hujjah yang sangat kuat untuk
membantah salafiyin, padahal ini adalah hujjah yang sangat konyol dan
sangat…sangat…sangat…tidak nyambung. Apakah semua yang dibagi menjadi
tiga sama dengan trinitas??. Akan tetapi begitulah sebagian ASWAJA yang
mencari dalil apa saja yang penting bisa membantah salafiyin (Aswaja
yang sesungguhnya) !!!
Pernyataan ini (bahwasanya pembagian
tauhid menjadi tiga sama dengan trinitas) digembar-gemborkan oleh
seorang yang bernama Hasan 'Alawi As-Saqqoof, seorang pengikut faham
Jahmiyah dalam kitabnya التَّنْدِيْدُ بِمَنْ عَدَّدَ التَّوْحِيْدَ،
إِبْطَالُ مُحَاوَلَةِ التَّثْلِيْثِ فِي التَّوْحِيْدِ وَالْعَقِيْدَةِ
الإِسْلاَمِيَّةِ (artinya : Pengungkapan kebatilan orang yang membagi
tauhid, pembatalan usaha trinitas dalam tauhid dan aqidah Islamiyah)
Beliau ini dikenal tukang dusta, terlalu banyak dusta yang ia
sampaikan, bahkan berdusta dihadapan khalayak ramai (di stasiun
televisi), silahkan baca (http://www.saaid.net/Doat/Zugail/303.htm),
demikian juga tidak amanahnya Hasan As-Saqqoof terhadap kitab-kitab
para ulama sebagaimana dibongkar oleh Muhammad Sa'id Al-Katsiiri dalam
kitabnya عَبَثُ أَهْلِ الأَهْوَاءِ بِتُرَاثِ الأُمَّةِ وَوَقَيْعَتُهُمْ
فِي عُلَمَائِنَا نَظْرَةٌ تَطْبِيْقِيَّةٌ فِي كُتُبِ حَسَن بْنِ عَلِي
السَّقَّافِ (inti buku ini adalah menunjukkan contoh praktek-praktek
nyata ketidakamanahan Hasan As-Saqqof terhadap buku-buku para ulama, dan
sikapnya yang menjatuhkan para ulama : silahkan di download di http://ia700302.us.archive.org/22/items/waq85152/85152.pdf),
buku ini diberi pengantar oleh Syaikh yang alim yang juga berasal dari
satu suku dengan Hasan As-Saqqoof, yaitu syaikh yang bernama Abdul
Qoodir 'Alawi As-Saqqoof hafizohulloh)
Adapun buku At-Tandiid tersebut maka telah dibantah secara khusus oleh Syaikh Abdurrozzaq Al-Badr hafizohulloh dalam kitabnya الْقَوْلُ السَّدِيْدُ فِي الرَّدِّ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ تَقْسِيْمَ التَّوْحِيْدِ (yang artinya : Perkataan yang Tepat dalam Membantah Orang yang Mengingkari Pembagian Tauhid, silahkan didownload di http://ia701206.us.archive.org/24/items/waq34288/34288.pdf)
Untuk membantah hujjah konyol ini maka ada beberapa perkara yang perlu diperhatikan :
PERTAMA
: Maksud dari pembagian Tauhid menjadi tiga, yaitu mentauhidkan Allah
dalam (1) Rububiyahnya, dalam (2) Uluhiyahnya, dan dalam (3) Asmaa dan
SifaatNya.
- Tauhid ar-Rubuubiyah artinya
Mengesakan Allah dalam hal penciptaan, pemilikan dan pengaturan. Yaitu
meyakini bahwa Allah Maha Esa dan tidak ada dzat lain yang ikut nimbrung
membantu Allah dalam hal penciptaan, penguasaan, dan pengaturan.
- Tauhid al-Uluhiyah
: Mengesakan Allah dalam peribadatan hamba kepadaNya. Artinya Allah
Maha Esa dalam penyembahan, maka tidak ada dzat lain yang boleh untuk
ikut serta disembah disamping penyembahan terhadap Allah
- Tauhid al-Asmaa wa as-Sifaat
: Mengesakan Allah dalam nama-nama dan sifat-sifatnya. Artinya tidak
ada dzat lain yang menyamai sifat-sifat Allah yang maha sempurna.
Jika
kita bertanya kepada kaum muslimin secara umum tentang tiga makna
tauhid di atas, maka secara umum tidak ada yang menolak, karena Allah
memang Maha Esa dalam ketiga hal di atas. Lantas kenapa harus ada
pengingkaran jika maknanya disetujui dan disepakati..??
KEDUA
: Tauhid asalnya tidaklah diterima kecuali tauhid yang satu. Karena
asalnya (1) Rob yang berhak disembah adalah (2) Rob yang maha Esa dalam
penciptaan, dan juga (3) Maha sempurna sifat-sifatnya. Jika ada Rob yang
tidak maha esa dalam penciptaan atau tidak sempurna sifat-sifatnya maka
dia tidak berhak untuk disembah. Karenanya asalnya bahwa tauhid tidaklah menerima pembagian. Ketiga makna tauhid di atas harus terkumpulkan menjadi satu. Lantas kenapa ada pembagian??!!
Makhluklah
(yaitu kaum musyrikin) yang telah melakukan pembagian, sehingga mereka
hanya mengimani dan mengerjakan sebagian dari makna tauhid.
Allah berfirman :
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلا وَهُمْ مُشْرِكُونَ
"Dan
sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan
dalam Keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)" (QS Yusuf : 106)
Para
salaf dan para ahli tafsir telah sepakat bahwa makna ayat ini adalah
kaum musyrikin arab mengakui dan mengimani bahwasanya Allah Maha Esa
dalam penciptaan dan pengaturan, akan tetapi mereka berbuat kesyirikan
dengan beribadah juga kepada selain Allah.
Ayat
ini menunjukkan bahwa kaum musyrikin Arablah yang membagi tauhid kepada
Allah, sehingga hanya mengimani sebagian tauhid (yaitu tauhid
rububiyah) dan berbuat syirik dalam tauhid al-uluhiyah.
Allah juga berfirman
فَإِذَا
رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ
Maka
apabila mereka naik kapal mereka mendoa kepada Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya, Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke
darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah) (QS Al-'Ankabuut : 65)
Ayat
ini menjelaskan bahwasanya dalam kondisi gawat kaum musyrikin
mengesakan (tidak membagi) tauhid mereka sehingga ikhlas berdoa kepada
Allah, akan tetapi tatkala mereka diselamatkan di daratan mereka kembali
lagi melakukan pembagian tauhid dan menyimpang dalam tauhid
al-uluhiyah.
Dan dalil-dalil yang menunjukkan akan keimanan kaum
musyrikin terhadap tauhid ar-rububiyah sangatlah banyak, sebagaimana
telah saya sampaikan pada link diatas.
Perhatikan
: Syari'at tidak ingin tauhid dipisah-pisahkan, bahkan ingin agar
tauhid merupakan seusatu yang satu kesatuan. Hanya saja timbul
penyimpangan dari kaum musyrikin yang memecah dan membagi tauhid, dimana
mereka beriman kepada sebagian makna tauhid dan mengingkari sebagian
yang lain. Maka datanglah syari'at untuk meluruskan mereka sehingga
menjelaskan dengan cara membagi antara keimanan mereka yang benar
(tauhid ar-rububiyah) dan keimanan mereka yang salah dalam tauhid (yaitu
tauhid al-uluhiyah). Sehingga sering kita dapati bahwasanya Al-Qur'an
berhujjah dengan keimanan mereka terhadap tauhid ar-rububiyah agar
mereka meluruskan tauhid mereka yang salah dalam tauhid al-uluhiyah.
Seperti firman Allah
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ
الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
(٢١)الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً
وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ
رِزْقًا لَكُمْ فَلا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai
manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang
yang sebelummu, agar kamu bertakwa, Dialah yang menjadikan bumi sebagai
hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan)
dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan
sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu Mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui." (QS Al-Baqoroh : 21-22)
Dalam
ayat ini Allah berhujjah dengan pengakuan kaum musyrikin dan keimanan
mereka terhadap Rububiyah Allah agar mereka juga mentauhidkan Allah
dalam uluhiyah/peribadatan.
Intinya : Pembagian tauhid nampak dan
muncul pada makhluk lalu datanglah syari'at berusaha memperbaiki dan
meluruskan pemahaman mereka yang keliru tentang tauhid. Jadilah
timbul pembagian tauhid dalam syari'at yang memiliki 2 fungsi, (1) dalam
rangka penjelasan dan (2) dalam rangka menjaga tauhid dari
kesalahpahaman
KETIGA :
Karenanya pembagian tauhid ini bukanlah penimbulan/pemunculan suatu
makna baru yang tidak ada di zaman salaf, akan tetapi hanyalah
pembaharuan dalam istilah atau metode penjelasan dan pemahaman. Karena
kalau pembagian ini dikatakan bid'ah maka terlalu banyak penamaan dan
pembagian yang kita hukumi sebagai bid'ah juga. Sebagai contoh misalnya
pembagian para ulama bahwasanya hukum taklifi terbagi menjadi 5 (wajib,
mustahab, mubah, makruh, dan haram). Tentunya pembagian ini tidak
terdapat dalam pembicaraan sahabat. Akan tetapi setelah diteliti
dalil-dalil yang ada jelas bahwa kesimpulan hukum-hukum taklifi tidaklah
keluar dari 5 hukum tersebut.
KEEMPAT :
Pembagian tauhid adalah perkara ijtihadiah, tergantung cara seorang
mujtahid dalam meng "istiqroo' dalil-dalil, sehingga berkesimpulan bahwa
tauhid terbagi menjadi berapa?.
Karenanya kita dapati :
-
Sebagian ulama membagi tauhid menjadi dua saja, yaitu :تَوْحِيْدُ
الْمَعْرِفَةِ وَالْإِثْبَاتِ dan تَوْحِيْدُ الطَّلَبِ وَالْقَصْدِ.
-
Ada juga yang membagi dua dengan ibarat yang lain, yaitu :
التَّوْحِيْدُ الْعِلْمِيِّ الْخَبَرِيِّ dan التَّوْحِيْدِ الطَّلَبِيِّ
الإِرَادِيِّ
- Ada juga yang mengungkapkan dengan ibarat yang lain, yaitu : تَوْحِيْدُ الإِعْتِقَادِ dan تَوْحِيْدُ الْعَمَلِ
-
Kita dapati juga ada sebagian orang yang membagi tauhid menjadi 4,
seperti Ibnu Mandah yang membagi tauhid menjadi : (1) Tauhid
Al-Uluhiyah, (2) Tauhid Ar-Tububiyah, (3) Tauhid al-Asmaa', dan (4)
Tauhid As-Sifaat.
- Demikian juga ada yang membagi tauhid menjadi empat dengan menambahkan tauhid yang ke (4) Tauhid Al-Haakimiyah.
Yang
menjadi permasalahan bukanlah pembagian, akan tetapi content/isi dan
kandungan dari pembagian tersebut, apakah benar menurut syari'at atau
tidak??!! Inilah yang menjadi permasalahan, bukan masalah pembagian tauhid menjadi dua atau tiga atau empat, atau lebih dari itu.
KELIMA
: Ternyata kita dapati para ulama terdahulu –jauh sebelum Ibnu
Taimiyyah- telah membagi tauhid menjadi tiga. Hal ini jelas membantah
pernyataan mereka bahwa pembagian tauhid menjadi tiga adalah kreasi Ibnu
Taimiyyah rahimahullah di abad ke 8 hijriyah. Syaikh Abdurrozzaq
hafizohulloh telah menukil perkataan para ulama salaf jauh sebelum Ibnu
Taimiyyah yang membagi tauhid menjadi tiga. Diantara para ulama tersebut
adalah :
(1) Al-Imam Abu Abdillah 'Ubaidullahi bin Muhammad bin
Batthoh al-'Akburi yang wafat pada tahun 387 H, dalam kitabnya
Al-Ibaanah.
(2) Al-Imam Ibnu Mandah yang wafat pada tahun 395 Hijriyah dalam kitabnya "At-Tauhid".
(3) Al-Imam Abu Yusuf yang wafat pada tahun 182 H (silahkan merujuk kembali kitab al-qoul as-sadiid)
KEENAM : Ternyata kita juga dapati ahlul bid'ah juga telah membagi tauhid
Pertama
: Kaum Asyaa'roh juga membagi tauhid menjadi 3, mereka menyatakan bahwa
wahdaniah (keesaan) Allah mencakup tiga perkara, ungkapan mereka
adalah:
إن الله واحد في ذاته لا قسيم له وواحد في صفاته لا نظير له، وواحد في أفعاله لا شريك له
"Sesungguhnya
Allah (1) maha satu pada dzatnya maka tidak ada pembagian dalam
dzatNya, (2) Maha esa pada sifat-sifatNya maka tidak ada yang menyerupai
sifat-sifatnya, dan (3) Maha esa pada perbuatan-perbuatanNya maka tidak
ada syarikat bagiNya.
Salah seorang ulama terkemukan dari Asyaa'iroh yang bernama Ibrahim Al-Laqqooni berkata :
"Keesaan (ketauhidan) Allah meliputi tiga perkara yang dinafikan :
… "Keesaan" dalam istilah kaum (Asyaa'iroh) adalah ungkapan dari tiga perkara yang dinafikan :
"(1) Dinafikannya berbilang dari Dzat Allah, artinya Dzat Allah tidak menerima pembagian….
(2)
Dinafikannya sesuatu yang serupa dengan Allah, maksudnya tidak ada
perbilangan dalam dzat atau salah satu sifat dari sifat-sifatNya…
(3) Dinafikannya penyamaan Allah dengan makhluk-makhluk yang baru…"
(Hidaayatul Muriid Li Jauharot At-Tauhiid, Ibraahim Al-Laqqooni. 1/336-338)
Ulama besar Asya'iroh yang lain yaitu Al-Baajuuri rahimahullah berkata :
"Kesimpulannya
bawhasanya wahdaniah/keesaan/ketauhidan Allah yang mencakup (1) Keesaan
pada Dzat, (2) Keesaan pada sifat-sifat Allah, dan (3) Keesaan pada
perbuatan-perbuatanNya…"
(Hasyiat Al-Imam Al-Baijuuri 'alaa Jauharot At-Tauhiid, hal 114)
Kedua
: Abu Hamid Al-Gozali menyatakan bahwa tauhid yang berkaitan dengan
kaum muslimin ada 3 tingakatan, karena beliau membagi tauhid menjadi 4
tingkatan, dan tingkatan pertama adalah tingkatan tauhidnya orang-orang
munafik.
Adapun tingkatan-tingakatan yang berikutnya :
(1) Tauhidul 'awaam تَوْحِيْدُ الْعَوَّام (Tauhidnya orang-orang awam)
(2) Tauhidul Khoosoh تَوْحِيْدُ الْخَاصَّةِ (Tauhidnya orang-orang khusus, مَقَامُ الْمُقَرّبِيْنَ) dan
(3) Tauhid Khoosotil Khooshoh تَوْحِيْدُ خَاصَّةِ الْخَاصَّةِ (Tauhidnya orang-orang super khusus مُشَاهَدَةُ الصِّدِّيْقِيْنَ)
Beliau rahimahullah berkata :
للتوحيد أربع مراتب ...
فالرتبة الأولى من التوحيد هي أن يقول الإنسان بلسانه لا إله إلا الله وقلبه غافل عنه أو منكر له كتوحيد المنافقين
"Tauhid
memiliki 4 tingkatan…tingkatan pertama dari tauhid adalah seseorang
mengucapkan dengan lisannya laa ilaah illallah akan tetapi hatinya lalai
darinya atau mengingkarinya, sebagaimana tauhidnya orang-orang munafiq"
Lalu Al-Gozali menyebutkan 3 tingkatan tauhidnya kaum muslimin, ia berkata :
والثانية أن يصدق بمعنى اللفظ قلبه كما صدق به عموم المسلمين وهو اعتقاد العوام
(1) Yang kedua
: Yaitu ia membenarkan makna lafal laa ilaaha illallahu dalam hatinya
sebagaimana pembenaran orang-orang awam kaum muslimin, dan ini adalah
aqidahnya orang-orang awam
والثالثة أن يشاهد ذلك بطريق الكشف
بواسطة نور الحق وهو مقام المقربين وذلك بأن يرى أشياء كثيرة ولكن يراها
على كثرتها صادرة عن الواحد القهار
(2) Yang Ketiga : Yaitu dengan metode Kasyf (pengungkapan) dengan perantara cahaya Allah, dan ini adalah orang-orang muqorrobin
(yang didekatkan), yaitu jika ia melihat sesuatu yang banyak akan
tetapi ia melihatnya –meskipun banyak- timbul dari dzat Yang Maha Satu
Yang Maha Kuasa
والرابعة أن لا يرى في الوجود إلا واحدا وهي
مشاهدة الصديقين وتسميه الصوفية الفناء في التوحيد لأنه من حيث لا يرى إلا
واحدا فلا يرى نفسه أيضا وإذا لم ير نفسه لكونه مستغرقا بالتوحيد كان فانيا
عن نفسه في توحيده بمعنى أنه فنى عن رؤية نفسه والخلق
(3) Yang Keempat
: yaitu ia tidak melihat di alam wujud ini (alam nyata) ini kecuali
hanya satu, dan ini adalah pengamatan orang-orang as-siddiqin. Dan kaum
sufiah menamakannya al-fanaa dalam tauhid, karena ia tidaklah melihat
kecuali satu, maka iapun bahkan tidak melihat dirinya sendiri. Dan jika
ia tidak melihat dirinya dikarenakan tenggelam dalam tauhid maka ia
telah sirna dari dirinya dalam mentauhidkan Allah, yaitu maknanya ia
telah sirna tidak melihat dirinya dan tidak melihat makhluk" (Ihyaa
'Ulumiddiin 4/245)
KETUJUH :Ternyata sebagian ulama Ahlul Kalaam juga mengenal istilah tauhid ar-rububiyah dan tauhid al-uluhiyah,
Abu Mansuur Al-Maturidi (pendiri madzhab Al-Maturidiyah, wafat 333 H) dalam kitabnya At-Tauhid beliau berkata :
(Kitaab At-Tauhid, Abu Manshuur Al-Maturidi, tahqiq : DR Muhammad Aruusi, Terbitan Daar Shoodir, Beirut, hal 86)
KEDELAPAN
: Kenapa harus pengingkaran besar-besaran terhadap pembagian tauhid
menjadi tiga?. Rahasianya karena pembagian ini menjelaskan akan bedanya
antara tauhid Ar-Rububiyah dengan tauhid Al-Uluhiyah. Dan barangsiapa
yang mengakui tauhid Ar-rububiyah akan tetapi beribadah kepada selain
Allah maka ia adalah seorang musyrik. Inilah pembagian yang mereka
ingkari, mereka hanya ingin pembicaraan tauhid hanya pada dua model
tauhid saja, yaitu tauhid ar-rububiyah dan tauhid al-asmaa wa as-sifaat.
Karena
dengan dibedakannya antara tauhid ar-rububiyah dan tauhid al-uluhiyah
semakin memperjelas bahwa aqidah mereka tentang bolehnya berdoa kepada
mayat-mayat penghuni kubur dan beristighotsah kepada para wali yang
telah meninggal adalah kesyirikan yang nyata !!!
Mereka tidak
mempermasalahkan jika seandainya tauhid dibagi menjadi dua, yaitu tauhid
rububiyah dan tauhid al-asmaa wa as-sifaat, karena dalam buku-buku
aqidah mereka ternyata memfokuskan pembicaraan pada dua model tauhid
ini. Jika kita setuju pembagian tauhid hanya dua saja, maka bisa saja
dikatakan ini adalah dualisme ketuhanan, sebagaimana penyembah dua dewa
atau dua tuhan, dan ini juga kesyirikan. Sebagaimana trinitas adalah
kesyirikan demikian juga dualisme ketuhanan juga terlarang
KESEMBILAN : Pembicaraan kaum Asya'iroh hanya terfokus dalam masalah tauhid Ar-Rububiyah, bahwasanya Allahlah satu-satunya pencipta.
Hal ini sangat nampak dari sikap mereka berikut ini
-
Sebagian ulama mereka menafsirkan laa ilaah illallah pada makna
rububiyah لاَ قَادِرَ عَلَى الاِخْتِرَاعِ إِلاَّ اللهُ (Tidak ada yang
mampu untuk menciptakan kecuali Allah).
Padahal yang benar dalam
hal ism ahsan الله adalah bukanlah ism jamid (yaitu kata benda yang
tidak berasal dari kata masdar yang bermakna), akan tetapi pendapat yang
benar bawhasanya lafal الله adalah ism musytaq berasal dari kata الإله
yang artinya المألوه (sebagaimana كتاب yang bermakna مكتوب), dan
المألوه maknanya adalah المعبود "yang di sembah". Sehingga makna yang
benar dari laa ilaah illallah adalah "Tidak ada yang berhak untuk
disembah kecuali Allah"
- Kita dapati kaum asyairoh dalam
buku-buku aqidah mereka menyatakan bahwa أَوَّلُ وَاجِبٍ عَلَى
الْمُكَلَّفِ هُوَ النَّظْرُ (Yang pertama wajib bagi seorang mukallaf
adalah pengamatan untuk meyakini adanya pencipta). Sehingga konsentrasi
mereka adalah tentang penetapan akan adanya Tuhan Pencipta Yang Maha Esa
dalam Penciptaan
Akibat dari salah penafsiran tentang
laa ilaaha illahllahu ini akhirnya seseorang yang beristighotsah dan
berdoa kepada selain Allah tidaklah terjerumus dalam kemusyrikan selama
meyakini bahwa pencipta satu-satunya adalah Allah.
Karenanya
kita dapati sebagian orang alim mereka (sebagian kiyai) terjerumus
dalam kesyirikan atau membolehkan kesyirikan. Menurut mereka hal-hal
berikut bukanlah kesyirikan :
- Berdoa kepada mayat,
meminta pertolongan dan beristighotsah kepada mayat bukanlah kesyirikan,
selama meyakini bahwa mayat-mayat tersebut hanyalah sebab dan Allahlah
satu-satunya yang menolong
- Jimat-jimat bukanlah
kesyirikan selama meyakini itu hanyalah sebab, dan yang menentukan
hanyalah Allah. Karenanya kita dapati sebagian kiyai menjual jimat-jimat
-
Bahkan kita dapati sebagian kiyai mengajarkan ilmu-ilmu kanuragan atau
ilmu-ilmu sihir. Karena selama meyakini itu hanyalah sebab dan Allah
yang merupakan sumber kekuatan maka hal ini bukanlah kesyirikan.
-
Sebagian mereka juga membolehkan memberikan sesajen atau tumbal kepada
lumpur lapindo atau kepada gunung yang akan meletus, karena menurut
mereka hal itu bukanlah bentuk kesyirikan kepada Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar