Assalamu'alaikum wr.wb,
Sebelumnya ana berdoa semoga forum ini menjadi semakin
exist karena kita semua umat Islam sering bingung dengan banyaknya pertentangan
di antara sesama muslim sendiri.
Akhir-akhir ini banyak sekali ana melihat perbedaan
pendapat di antara ulama kita sudah semakin melihat khususnya mengenai hadits
dhoif.
Sebetulnya sampai sejauh mana kapasitas ulama sehingga
bisa mendhoifkan hadits, seperti syaikh albani banyak mendhoifkan hadits
tirmidzi. Karena menurut ana setiap ulama hadits sebelum menyusun kitab pasti
melalui proses yang panjang dan istikharah terlebih dahulu. Padahal kalo
menurut ana Imam yang empat, Imam Tirmidzi dan yang lainnya lebih dekat ke
zaman para Shahabat dibandingkan syaikh Al-bani sebagai ulama mutaakhir.
Abu Hafiz
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Syeikh Al-Albani memang punya kapasitas sebagai
muhaddits, di mana beliau memang secara tekun dan selama bertahun-tahun
melakukan penelitian dan penelusuran di dalam perpustakaan Damaskus.
Sebuah pengakuan jujur bahwa beliau memang
salah seorang Muhaddits abad ini yang susah dicari padanannya. Beliau rahimahullah telah dipuji lawan maupun
kawan.
Memang seringkali muncul keberatan dari sesama pakar
hadits di masa sekarang ini atas kesimpulan beliau. Sebab bukan hanya hadits
yang dishahihkan oleh At-Tirmizy saja yang pernah beliau dhaifkan, bahkan yang
telah dishahihkan oleh Imam Al-Bukhari pun juga ada.
Barangkali inilah yang kemudian menimbulkan berbagai
keberatan dari para pakar hadits di masa sekarang. Siapa sih seorang Al-Albani,
kok berani-beraninya mendhaifkan hadits yang Al-Bukhari saja telah
menshahihkan? Kira-kira begitulah pertanyaannya.
Pertanyaannya adalah : Apakah memang hanya
Syaikh Al-Albani saja yang pernah mendla’ifkan beberapa hadits dalam Shahihain
(Shahih Bukhari dan Shahih Muslim). Tentu bagi orang yang mempelajari ilmu
hadits (setidaknya bagian Musthalah Hadits) akan mengetahui bahwa Al-Imam
Ad-Daruquthni adalah salah satu ulama yang terkenal dengan beberapa kritikannya
terhadap Shahih Bukhari. Dan ternyata pula, banyak ulama hadits lain yang
memebrikan kritikan serupa terhadap kedua kitab tersebut. Namun perlu diingat
bahwa hadits yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim yang
mendapatkan kritik para ulama adalah sangat
sedikit. Termasuk apa yang dikritik (baca : didla’ifkan) oleh Syaikh
Al-Albani. Akan tetapi adanya kritikan-kritikan tersebut tidaklah menjatuhkan
kedudukan kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim sebagai dua kitab yang paling
shahih setelah Al-Qur’an. Ada beberapa contoh mengenai hal ini :
1.
Hadits : { إِنَّ أُمَّتِيْ
يَدْعُوْنَ يَوْمَ الْقيَامَةِ غُرّاً مُحَجَّلِيْنَ مِنْ آثَارِ الْوُضُوْءِ
فَمَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يُطِيْلَ غرَّتَهُ فَلْيَفْعَلْ} ”Sesungguhnya umatku akan memohon pada hari kiamat dengan wajah,
tangan, dan kaki bersinar dari bekas wudlu’. Maka, barangsiapa yang mampu
memanjangkan penyiramannya di antara kalian, hendaklah ia lakukan” [HR.
Bukhari no. 136].
Hadits ini dilemahkan oleh Syaikh Al-Albani, yaitu pada kalimat/lafadh {فَمَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يُطِيْلَ غرَّتَهُ فَلْيَفْعَلْ}. Beliau menganggap bahwa kalimat/lafadh tersebut merupakan idraj (sisipan/tambahan) dari salah seorang perawinya (diperkirakan adalah merupakan perkataan Abu Hurairah radliyallaahu ’anhu). Bukan merupakan perkataan Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam. Sehingga, hadits (atau lebih tepatnya : lafadh dalam hadits) tersebut muerupakan bagian dari hadits mudraj yang merupakan katagori hadits lemah dalam disiplin ilmu hadits. Kritikan ini bukanlah hanya berasal dari Syaikh Al-Albani saja. Akan tetapi juga dilakukan oleh para ulama sebelum beliau seperti Al-Hafidh Al-Mundziri (At-Targhib 1/92), Al-Hafidh Ibnu Hajar (Fathul-Baari penjelasan hadits no. 136 – Maktabah Sahab), dan Ibnu Taimiyyah (sebagaimana disebutkan oleh Ibnul-Qayyim dalam I’lamul-Muwaqqi’iin 6/316).
Hadits ini dilemahkan oleh Syaikh Al-Albani, yaitu pada kalimat/lafadh {فَمَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يُطِيْلَ غرَّتَهُ فَلْيَفْعَلْ}. Beliau menganggap bahwa kalimat/lafadh tersebut merupakan idraj (sisipan/tambahan) dari salah seorang perawinya (diperkirakan adalah merupakan perkataan Abu Hurairah radliyallaahu ’anhu). Bukan merupakan perkataan Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam. Sehingga, hadits (atau lebih tepatnya : lafadh dalam hadits) tersebut muerupakan bagian dari hadits mudraj yang merupakan katagori hadits lemah dalam disiplin ilmu hadits. Kritikan ini bukanlah hanya berasal dari Syaikh Al-Albani saja. Akan tetapi juga dilakukan oleh para ulama sebelum beliau seperti Al-Hafidh Al-Mundziri (At-Targhib 1/92), Al-Hafidh Ibnu Hajar (Fathul-Baari penjelasan hadits no. 136 – Maktabah Sahab), dan Ibnu Taimiyyah (sebagaimana disebutkan oleh Ibnul-Qayyim dalam I’lamul-Muwaqqi’iin 6/316).
Ibnu Hajar berkata tentang hadits tersebut :
قال نعيم لا أدري
قوله من استطاع الخ من قول النبي صلى الله عليه وسلم أو من قول أبي هريرة ولم أر
هذه الجملة في رواية أحد ممن روى هذا الحديث من الصحابة وهم عشرة ولا ممن رواه عن
أبي هريرة غير رواية نعيم هذه والله أعلم
”Telah berkata Nu’aim : ’Aku tidak tahu
tentang perkataan : Barangsiapa yang
mampu.....dst. itu merupakan
perkataan Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam atau perkataan Abu Hurairah’. Dan
aku (Ibnu Hajar) tidak melihat kalimat ini dalam salah satu riwayat dari orang
yang meriwayatkan hadits ini di kalangan para shahabat yang berjumlah sepuluh
orang (terkait dengan permasalahan ini), dan tidak pula dari orang (rawi) yang
meriwayatkan dari Abu Hurairah, kecuali riwayat dari Nu’aim ini (yang memuat sisipan
tersebut). Wallaahu a’lam [selesai perkataan Ibnu Hajar].
2.
Hadits {أَنَّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَ مَيْمُوْنَةَ وَهُوَ مُحْرِمٌ}
”Bahwasannya Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam menikahi Maimunah dalam keadaan
ihram” [HR. Bukhari no. 1740].
Hadits ini dilemahkan oleh Syaikh Al-Albani (dalam Irwaaul-Ghaliil 4/227-228 no. 1037). Hal itu disebabkan karena telah shahih riwayat yang datang dari Maimunah sendiri yang menyatakan bahwa ia dinikahi oleh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam dalam keadaan halal (bukan sedang ihram). Riwayat Maimunah itu juga dikuatkan oleh kesaksian para shahabat lain yang menyatakan sebagaimana dikatakan oleh Maimunah.
Hadits ini dilemahkan oleh Syaikh Al-Albani (dalam Irwaaul-Ghaliil 4/227-228 no. 1037). Hal itu disebabkan karena telah shahih riwayat yang datang dari Maimunah sendiri yang menyatakan bahwa ia dinikahi oleh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam dalam keadaan halal (bukan sedang ihram). Riwayat Maimunah itu juga dikuatkan oleh kesaksian para shahabat lain yang menyatakan sebagaimana dikatakan oleh Maimunah.
عن ميمونة قالت :
تزوجني رسول الله صلى الله عليه وسلم ونحن حلال بعد ما رجعنا من مكة
Dari Maimunah radliyallaahu ’anhaa ia berkata : ”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam
menikahiku sedangkan kami dalam keadaan halal (bukan sedang ihram) setelah kami
kembali dari Makkah” [HR. Ahmad no. 26858; dengan sanad shahih].
Syaikh Al-Albani berkata dalam Mukhtashar Shahih Bukhari (juz 1
hal. 532) ketika mengomentari hadits Ibnu ‘Abbas di atas : “Yang benar adalah
bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam menikahinya (yaitu Maimunah)
dalam keadaan halal (bukan dalam keadaan ihram). Telah tetap akan hal itu dari
sejumlah shahabat Nabi, diantaranya adalah Maimunah sendiri, sebagaimana telah
aku tahqiq dalam kitab Irwaaul-Ghaliil no. 1037” [selesai].
Dan memang itulah yang benar, yaitu bahwa Maimunah dinikahi Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan halal. Bagaimana ada dua
riwayat yang saling bertolak belakang, padahal peristiwanya hanya satu ? Tentu
saja riwayat pelaku (yaitu Maimunah) lebih didahulukan daripada selainnya
(yaitu Ibnu ’Abbas). Apalagi riwayat Maimunah didukung oleh shahabat yang lain.
Apakah Syaikh Al-Albani bersendirian dalam
mendla’ifkan hadits ini alias tidak ada pendahulunya dari kalangan ahli hadits
? Ternyata tidak. Al-Hafidh Ibnu ’Abdil-Hadi berkata dalam At-Tanqiihut-Tahqiq (2/104/1) :
وقد عد هذا من
الغلطات التي وقعت في ( الصحيح ) ، وميمونة أخبرت أن هذا ما وقع ، والانسان أعرف
بحال نفسه
”Dan sungguh ini adalah satu kesalahan yang terdapat dalam kitab Ash-Shahih (Bukhari). Maimunah telah
mengkhabarkan bahwa hal ini tidak terjadi (yaitu beliau shallallaahu ‘alaihi
wasallam menikahi dirinya dalam keadaan ihram). Dan tentu saja seseorang lebih
mengetahui tentang keadaan dirinya sendiri (dibandingkan orang lain)”
[selesai].
3. Dan
lain-lain.
Sebenarnya banyak contoh ulama terdahulu yang mendla’ifkan beberapa
hadits dalam Shahihain. Ada di antara kritikan itu diterima –
sebagaimana di atas - ; ada pula yang tidak diterima. Adapun contoh yang tidak
diterima misalnya Ibnu Hazm yang mendla’ifkan hadits musik (Shahih Bukhari no.
5268), atau As-Suyuthi yang mendla’ifkan hadits status ayah Nabi shallallaahu
’alaihi wasallam di neraka (Shahih Muslim no. 203). Kritikan tersebut adalah
tertolak dan tidak diterima menurut jumhur ahli hadits. Hal ini menunjukkan
bahwa kritikan terhadap beberapa hadits dalam Shahihain tidaklah hanya
dilakukan dan dimulai oleh Syaikh Al-Albani, akan tetapi juga dilakukan oleh
para ulama ahli hadits setelahnya. Tidak ada kitab yang sempurna melainkan
Kitabullah.
Jika kedudukannya seperti yang dijelaskan,
maka untuk beberapa kitab yang kedudukannya lebih rendah dari Shahihain, tentu
lebih boleh untuk diteliti dan dikoreksi sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu
hadits.
Apalagi kemudian Al-Albani sering dianggap melewati batas
kapasitasnya. Seorang muhaddits
perannya hanya sampai kepada kesimpulan tentang keshahihan suatu riwayat. Tidak punya
kapasitas dan otoritas dalam menyimpulkan hukum. Namun seringkali beliau juga
ikut berijtihad layaknya seorang ahli fiqih. Bahkan sering mengeluarkan
statetmen bid'ah dan sejenisnya. Dan banyak lagi keberatan-keberatan yang
diarahkan kepada beliau.
Darimana ada kaidah bahwa tugas seorang
Muhaddits hanyalah berhenti dalam penentuan tingkat keshahihan hadits tanpa
boleh beristinbath hukum (fiqh) dengannya ? Apakah ini kaidah ciptaan Ustadz
Ahmad Sarwat atau orang yang ditaqlidi oleh Ustadz Ahmad Sarwat ? Kaidah ini
justru kaidah bid’ah yang tidak pernah dikenal para ulama Ahlus-Sunnah
mu’tabar. Lihatlah seorang Ibnu Hajar dimana beliau adalah seorang Hafidh di
masanya. Dalam kitab beliau yang masyhur (Fathul-Bari), banyak sekali beliau
mengambil istinbath hukum yang keluar dari lisan beliau. Dan jauh sebelum
beliau, yaitu Imam Ahmad, juga demikian. Beliau lah ahli hadits paling besar di
masanya. Namun, apakah beliau hanya berhenti dengan ilmu hadits saja tanpa
boleh mengambil istinbath fiqh ? Ternyata tidak..... Beratus-ratus bahkan
beribu-ribu nukilan para ulama dari beliau yang berisi penjelasan tentang satu
permasalahan fiqhiyyah.
Bila saja Ustadz Ahmad Sarwat di hadapan kita,
tentu ingin rasanya kita bertanya pada beliau : ”Apakah seseorang bisa menjadi seorang ahli fiqh yang mumpuni jika ia
tidak mempunyai pengetahuan tentang hadits Nabi ?” Dengan tanpa mengetahui
status hadits, bukan menjadi satu hal mustahil bila seseorang akan beristinbath
pada hadits dla’if atau bahkan palsu. Bagaimana seseorang akan mendirikan satu
bangunan jika pondasinya tidak ada ?
Kalau memang Syaikh Al-Albani mengatakan
bid’ah atau semacamnya, tentu kewajiban seorang penuntut ilmu adalah meneliti.
Karena kita bukanlah seorang muqallid,
tapi muttabi’. Jika memang penjelasan
Syaikh Al-Albani didasari oleh hujjah-hujjah yang kuat (dan itu sudah menjadi
kebiasaan beliau dalam membahas satu permasalahan), adalah menjadi hal yang wajar
jika kita sependapat dan kemudian mengikuti penjelasan beliau tersebut. Dan
bukanlah menjadi hal yang terlarang jika kita kemudian berbeda dengan beliau
lantaran ada penjelasan dari ulama lain yang menurut kiat lebih kuat dari apa
yang beliau jelaskan. Tidak dipungkiri bahwa Syaikh Al-Albani seorang ahli
hadits dan juga ahli fiqh di jaman ini. Kita tidak perlu pengakuan bapak Ustadz
Ahmad Sarwat untuk itu. Telah masyhur pujian ulama dunia terhadap beliau.
Ijtihad Al-Albani
Apa yang beliau simpulkan dari penelaahan tentunya
menjadi sebuah ijtihad pribadi beliau. Kita tentu perlu menghormatinya meski
boleh jadi kita tidak pernah diwajibkan untuk selalu terpaku kepada hasil
ijtihad seseorang.
Betul
Maka kalau misalnya suatu ketika beliau mendhaifkan sebuah
hadits yang pernah dishahihkan oleh ulama di masa lalu, kita harus ber-husnudzdzan
kepada beliau.
Pertama, kita yakin bahwa beliau tidak melakukan
pendhaifan karena hawa nafsu, riya' atau keinginan untuk sekedar
menonjol-nonjolkan diri. Orang-orang yang mengenal beliau tahu persis bahwa
beliau jauh dari sikap-sikap seperti itu.
Kedua, kita yakin bahwa beliau adalah seorang yang telah
memiliki kapasitas yang cukup untuk boleh melakukan al-hukmu 'alal hadits. Maksudnya memberi status hukum atas suatu hadits. Lepas
dari masalah level beliau yang pastinya lebih rendah dibandingkan dengan para
muhaddits di masa lalu seperti Al-Bukhari, Muslim, At-Tirmizy, Ibnu Hajar
Al-Asqalani dan seterusnya.
Betul juga. Namun dari kalimat ini sepertinya Ustadz
Ahmad Sarwat ingin membuat satu opini tertentu kepada pembaca terhadap Syaikh
Al-Albani. Saya khawatir bahwa penyusunan pola kalimat di atas hendak membawa
alam pikiran Pembaca bahwa kitab-kitab beliau Shahih wa Dla’if Sunan Abu Dawud,
At-Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah; Silsilah Ash-Shahihah wa Adl-Dla’iifah;
atau ikhtishar beliau terhadap Shahihain kualitasnya ecek-ecek.
Ketiga, kita juga percaya bahwa ijtihad yang dilakukan
oleh seorang ulama tidaklah mengugurkan hasil ijtihad ulama lainnya, apabila
keduanya tidak sama.
Ketika
kita lebih cenderung memilih salah satu hasil ijtihad, kita tidak perlu
membenci orang yang memilih hasil ijtihad yang lain. Apalagi harus sampai
memusuhi, mencaci maki, menjelek-jelekkan atau mengumbar kalimat yang
melecehkan.
Betul
Kita
menghormati Syeikh Al-Albani dengan segala ilmunya, tidak sedikit hasil ijtihad
beliau yang sangat membantu tsaqafah umat Islam. Tentunya kita harus jujur
mengucapkan terima kasih kepada beliau atas semua ini. Semoga Allah SWT
menerima semua amal beliau dan meninggikan derajat beliau di sisi-Nya.
Kalau pun suatu ketika seseorang tidak setuju dengan
hasil ijtihad dan pandangan beliau, karena barangkali sudah ada hasil ijtihad
yang lebih diyakininya, tentu tidak harus melahirkan rasa tidak suka dari para
murid dan pengikut beliau.
Betul, satu sikap yang jujur yang patut
diteladani dari Ustadz Ahmad Sarwat.
Sayangnya sebagian dari kalangan yang merasa sebagai
murid beliau terkadang agak over dalam bersikap. Seolah-olah Al-Albani adalah
segalanya dan satu-satunya tolok ukur kebenaran. Sama sekali suci dari
kesalahan dan kekhilafan. Siapa pun yang tidak sepaham dengan syeikh itu,
dianggapnya sebagai ahli bid'ah, sesat dan calon penghuni neraka. Kalau perlu
diboikot, tidak disapa
dan kalau bertemu harus buang muka. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.
Paragraf di atas mengandung kebenaran dan juga
kesalahan sekaligus. Sisi kebenarannya adalah misi Ustadz Ahmad Sarwat yang
seakan-akan hendak mengatakan bahwa Syaikh Al-Albani bukanlah seorang yang
maksum yang menjadi tolok ukur kebenaran dari segala sesuatu. Ini betul, tidak
ada yang menyangkal, hatta para murid-murid beliau.
Adapun letak kesalahannya adalah bahwa kalimat
dalam paragraf di atas Ustadz Ahmad Sarwat seakan-akan ingin mengatakan bahwa ketika
Syaikh Al-Albani dan sebagian murid beliau (Ustadz Ahmad Sarwat tidak
memberikan penjelasan siapa yang ia maksud dengan ”murid” ini) mengatakan
bid’ah atau sesat tanpa pertimbangan yang matang. Kalimat yang dikatakan Ustadz
Ahmad Sarwat itu seperti kalimat pernah diucapkan oleh ’Ali bin AbiThalib : Kalmatul-Haq Urida bihal-Baathil” (Kalimat
yang benar namun ditujukan untuk sebuah kebathilan). Kita tentu paham dengan
latar belakang Ustadz Ahmad Sarwat dan organisasi yang beliau asuh/akrabi.
Jikalau perkataan Ustadz Ahmad Sarwat ini hanyalah bertujuan untuk melegalkan
dan bertoleransi pada praktek hizbiyyah, shufiyyah, bid’iyyah, atau bahkan
amal-amal yang menjurus kepada kesyirikan; tentu ini jelas bathilnya.
Dan sangat perlu kita tanyakan kepada Ustadz
Ahmad Sarwat, siapa yang dimaksud sebagian dari murid Syaikh Al-Albani itu ?
Syaikh ’Ali kah ? Syaikh Masyhur kah ? Syaikh Muqbil kah ? Syaikh Rabi’ kah ?
atau siapa ? Juga perlu kita tanyakan kepada Ustadz Ahmad Sarwat, di
permasalahan apa yang ia maksud bahwa para murid Syaikh Al-Albani tersebut menta’yin
Ahli Bid’ah, menyesatkan orang sebagai calon penghuni neraka, dan juga bila
bertemu harus buang muka ? Di mana bukti yang membenarkan pernyataan Ustadz
Ahmad Sarwat itu ? Bila cuma khayalan belaka dan prasangka-prasangka, tentu
tidak kita anggap perkataannya itu. Kita insyaAllah telah paham bagaimana sikap
Syaikh Al-Albani dan para muridnya tentang bid’ah dan ahli bid’ah. Bagaimana
pemberlakuan hukum yang bersifat umum dengan hukum yang bersifat individu (mu’ayyan). Kita tahu sikap
keberhati-hatian mereka dalam permasalahan ini. Apalagi jika sudah menjurus
pada individu tertentu. Dan apalagi (lagi), jika sudah menjurus pada ”sesat dan
calon ahli neraka” (sepertinya kalimat ini adalah kalimat umum yang sering digunakan
oleh orang/kelompok yang mendapat kritik dari para ulama salafy, sehingga tidak
ada jurus lain dalam menghadapi kritikan itu selain membuat kalimat hiperbola
bahwa salafiyyin sering dan mudah menyesatkan orang dan menta’yin orag sebagai
calon penghuni neraka).
’Alaa kulli haal, sebagai seorang mukmin tentu
kita harus pandai mengambil ibrah dari kritikan orang lain. Tidak terkecuali
kritikan Ustadz Ahmad Sarwat ini. Pada intinya, Syaikh Al-Albani bukanlah orang
yang maksum dan haram untuk diselisihi dalam sebagian perkara (jika itu memang
perkara ijtihadiyyah). Kita tidak boleh bermudah-mudah dalam menghukumi satu
perkara tanpa dasar dan dalil yang kuat. Dan tentu saja, kita harus menengok
penjelasan ulama Ahlus-Sunnah yang mu’tabar tentang hal ini.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
Rizki Maulana (bukan Lc)
[tulisan
berwarna biru adalah milik Ustadz Ahmad Sarwat, sedangkan yang berwarna hitam
adalah milik saya - ini tulisan lawas yang mengendap di cpu komputer saya]
Rizki Maulana (bukan Lc)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar