Penulis: Rizki Maulana
Sesungguhnya aqidah bahwa Allah di atas ‘arsy adalah aqidah shahihah,
aqidah ahlussunnah wal jama’ah yang merupakan ijma’ (kesepakatan para
ulama) dan seluruh kaum muslimin. Hanya orang-orang yang terkena
penyakit subhat dari filsafat dan aqlaniyun serta yang goncang akalnya
saja yang menyelisihi aqidah ini.
Berikut saya (Rizki Maulana, penulis) membawakan 101 perkataan ulama Ahlussunnah wal jama’ah dari masa ke masa. Selamat membaca, semoga Allah Ta’ala mengokohkan keimanan kita, aamiin.
Dari Abu Razin berkata: Saya pernah bertanya: “Ya
Rasulullah, dimana Allah sebelum menciptakan makhlukNya?” Nabi menjawab:
“Dia berada di atas awan, tidak ada udara di bawahnya maupun di
atasnya, tidak makhluk di sana, dan ArsyNya di atas air”. [HR. Tirmidzi
(2108), Ibnu Majah (182), Ibnu Hibban (39 -Al-Mawarid), Ibnu Abi Ashim
(1/271/612), Ahmad (4/11,12) dan Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid
(7/137). Lihat As-Shahihah 6/469)].
Sudah banyak pembahasan mengenai aqidah tentang ‘Allah di Atas ‘Arsy’
yang ditulis oleh para asatidz sampai ulama, baik dikupas dengan
dalil-dalil yang terdapat dalam Al Qur’an maupun Hadits-hadits shahih
yang jumlahnya mencapai puluhan dalil. Namun untuk pembahasan kali ini
hanya mengupas tentang perkataan-perkataan yang keluar dari para ulama
Salaf mengenai Allah di atas ‘Arsy. Saya hanya mengumpulkan sedikit
dari perkataan-perkataan mereka yaitu hanya berjumlah 101 perkataan,
padahal jika kita merujuk kepada kitab-kitab ulama Salaf terdahulu, maka
akan terkumpul banyak sekali perkataan mereka mengenai Allah diatas
‘Arsy yang jumlahnya bisa mencapai ratusan bahkan ribuan, Wallahu a’lam.
Berikut perkataan-perkataan mereka:
01. Abu Bakar ash Shidiq radhiyallahu ‘anhu
berkata, “Barang siapa yang menyembah Allah maka Allah berada di langit,
ia hidup dan tidak mati.” [Riwayat Imam ad Darimiy dalam Ar Radd ‘Alal
Jahmiyah].
02. Dari Zaid bin Aslam, dia berkata,
مر ابن عمر براع فقال هل من جزرة فقال ليس هاهنا ربها قال ابن عمر تقول
له أكلها الذئب قال فرفع رأسه إلى السماء وقال فأين الله فقال ابن عمر أنا
والله أحق أن أقول أين الله واشترى الراعي والغنم فأعتقه وأعطاه الغنم
“(Suatu saat) Ibnu ‘Umar melewati seorang pengembala. Lalu beliau
berkata, “Adakah hewan yang bisa disembelih?” Pengembala tadi
mengatakan, “Pemiliknya tidak ada di sini.” Ibnu Umar mengatakan,
“Katakan saja pada pemiliknya bahwa ada serigala yang telah memakannya.”
Kemudian pengembala tersebut menghadapkan kepalanya ke langit. Lantas
mengajukan pertanyaan pada Ibnu Umar, ”Lalu di manakah Allah?” Ibnu
‘Umar malah mengatakan, “Demi Allah, seharusnya aku yang berhak
menanyakan padamu ‘Di mana Allah?’.”
Kemudian setelah Ibnu Umar melihat keimanan pengembala ini, dia
lantas membelinya, juga dengan hewan gembalaannya (dari Tuannya).
Kemudian Ibnu Umar membebaskan pengembala tadi dan memberikan hewan
gembalaan tadi pada pengembara tersebut. [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil
Ghoffar no. 311. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad riwayat ini
jayyid sebagaimana dalam Mukhtashor Al ‘Uluw no. 95, hal. 127].
03. Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu berkata:
والعرش على الماء والله عز وجل على العرش يعلم ما أنتم عليه
“Arsy berada di atas air, dan Allah ‘azza wa jalla berada di atas
‘Arsy, yang mengetahui apa-apa yang kalian lakukan” [HR. Ath-Thabarani
dalam Al-Kabiir; shahih].
04. Ibnu Abbas menemui ‘Aisyah ketika ia baru saja wafat. Ibnu Abbas berkata padanya,
كنت أحب نساء رسول الله صلى الله عليه وسلم ولم يكن يحب إلا طيبا وأنزل الله براءتك من فوق سبع سموات
“Engkau adalah wanita yang paling dicintai oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidaklah engkau dicintai melainkan
kebaikan (yang ada padamu). Allah pun menurunkan perihal kesucianmu dari
atas langit yang tujuh.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 335].
05. Dari Ibnul Mubarok, dari Sulaiman At Taimi, dari Nadhroh, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,
ينادي مناد بين يدي الساعة أتتكم الساعة – فيسمعه الأحياء والأموات – ثم ينزل الله إلى السماء الدنيا
“Ketika hari kiamat ada yang menyeru, “Apakah datang pada kalian hari
kiamat?” Orang yang hidup dan mati pun mendengar hal tersebut, kemudian
Allah pun turun ke langit dunia.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar
no. 296. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad riwayat ini shahih
sesuai syarat Muslim sebagaimana dalam Mukhtashor Al ‘Uluw no. 94, hal.
126].
Dalam riwayat lainnya, Ibnu ‘Abbas mengatakan,
إذا نزل الوحي سمعت الملائكة صوتا كصوت الحديد
“Jika wahyu turun, aku mendengar malaikat bersuara seperti suara
besi.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 295. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa periwayat hadits ini tsiqoh (terpercaya) sebagaimana
dalam Mukhtashor Al ‘Uluw no. 93, hal. 126].
Jika dikatakan bahwa wahyu itu turun dan wahyu itu dari Allah, ini
menunjukkan bahwa Allah berada di atas karena sesuatu yang turun pasti
dari atas ke bawah.
06. Dari Ka’ab Al Ahbar [meninggal pada tahun 32 atau 33 H] berkata bahwa Allah ‘azza wa jalla dalam taurat berfirman,
أنا الله فوق عبادي وعرشي فوق جميع خلقي وأنا على عرشي أدبر أمور عبادي ولا يخفى علي شيء في السماء ولا في الأرض
“Sesungguhnya Aku adalah Allah. Aku berada di atas seluruh hamba-Ku.
‘Arsy-Ku berada di atas seluruh makhluk-Ku. Aku berada di atas ‘Arsyku.
Aku-lah pengatur seluruh urusan hamba-Ku. Segala sesuatu di langit
maupun di bumi tidaklah samar bagi-Ku. ” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil
Ghoffar no. 315. Adz Dzahabi mengatakan bahwa sanadnya shahih. Begitu
pula Ibnul Qayyim dalam Ijtima’ul Juyusy Al Islamiyah mengatakan bahwa
riwayat ini shahih].
07. Masruq rahimahullah [wafat tahun 63 H] menceritakan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
حدثتني الصديقة بنت الصديق حبيبة حبيب الله، المبرأة من فوق سبع سموات.
“’Aisyah -wanita yang shidiq anak dari orang yang shidiq (Abu Bakar),
kekasih di antara kekasih Allah, yang disucikan oleh Allah yang berada
di atas langit yang tujuh.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no.
317. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shohih berdasarkan
syarat Bukhari Muslim dan sanadnya sampai pada Abu Shofwan itu shahih.
Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 128].
08. ‘Ubaid bin ‘Umair rahimahullah mengatakan,
ينزل الرب عزوجل شطر الليل إلى السماء الدنيا فيقول من يسألني فأعطيه من
يستغفرني فأغفر له حتى إذا كان الفجر صعد الرب
عزوجل أخرجه عبد الله بن
الإمام أحمد في كتاب الرد على الجهمية تصنيفه
“Allah ‘azza wa jalla turun ke langit dunia pada separuh malam. Lalu
Allah berkata, “Siapa saja yang memohon kepada-Ku, maka akan Kuberi.
Siapa saja yang meminta ampun kepada-Ku, maka akan Kuampuni.” Jika fajar
telah terbit, Allah pun naik.”
Dikeluarkan oleh ‘Abdullah bin Imam Ahmad dalam kitab karyanya yang
berisi bantahan terhadap Jahmiyah. [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar
no. 320].
09. Penjelasan Al-Imam Mujahid rahimahullah
[dilahirkan pada tahun 21 Hijrah dan meninggal pada tahun 103 Hijrah] –
murid Ibnu ‘Abbas – mengenai firman Allah istawaa ‘alal-‘Arsy :
علا على العرش
“Ia berada tinggi di atas ‘Arsy.” [HR. Al-Bukhari].
10. Imam Adh-Dhahhaak [wafat th. 102 H].
Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dengan sanadnya sampai Adh-Dhahhaak
tentang ayat (yang artinya) : ‘Tiada pembicaraan rahasia antara tiga
orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara)
lima orang, melainkan Dia-lah yang keenamnya’ (QS. Al-Mujaadalah : 7);
maka Adh-Dhahhaak berkata :
هو على العرش وعلمه معهم
“Allah berada di atas ‘Arsy, dan ilmu-Nya bersama mereka”.
[As-Sunnah oleh ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal hal. 80 – melalui
perantaraan Al-Masaail war-Rasaail Al-Marwiyyatu ‘anil-Imam Ahmad bin
Hanbal fil-‘Aqiidah oleh ‘Abdullah bin Sulaimaan Al-Ahmadiy, 1/319;
Daaruth-Thayyibah, Cet. 1/1412].
11. Qotadah rahimahullah [wafat tahun 118 H] mengatakan bahwa Bani Israil berkata,
يا رب أنت في السماء ونحن في الأرض فكيف لنا أن نعرف رضاك وغضبك قال إذا
رضيت استعملت عنكم عليكم خياركم وإذا غضبت إستعلمت عليكم شراركم هذا ثابت
عن قتادة أحد الحفاظ الكبار
“Wahai Rabb, Engkau di atas langit dan kami di bumi, bagaimana kami
bisa tahu jika Engkau ridho dan Engkau murka?” Allah Ta’ala berfirman,
“Jika Aku ridho, maka Aku akan memberikan kebaikan pada kalian. Dan jika
Aku murka, maka Aku akan menimpakan kejelekan pada kalian.” [Lihat Al
‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 336. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
sanad riwayat ini hasan. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 131].
12. Dari Malik bin Dinar [wafat pada tahun 130 H], beliau berkata,
خذوا فيقرأ ثم يقول : إسمعوا إلى قول الصادق من فوق عرشه
“Ambillah (Al Qur’an) ini. Lalu beliau membacanya, kemudian beliau
mengatakan, ‘Hendaklah kalian mendengar perkataan Ash Shodiq (Yang Maha
Jujur yaitu Allah) dari atas ‘Arsy-Nya’.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil
Ghoffar no. 348. Adz Dzahabi mengatakan diriwayatkan dalam Al Hilyah
dengan sanad yang shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa mengatakan
riwayat ini hasan saja termasuk murah hati. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw,
hal. 131].
13. Harun bin Ma’ruf mengatakan, Dhomroh mengatakan pada kami dari Shodaqoh, dia berkata bahwa dia mendengar Sulaiman At Taimiy berkata,
لو سئلت أين الله لقلت في السماء
“Seandainya aku ditanyakan di manakah Allah, maka aku menjawab (Allah
berada) di atas langit.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 357.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa periwayat riwayat ini
tsiqoh/terpercaya. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 133].
14. Ayyub As Sikhtiyani [wafat th. 131 H].
Hamad bin Zaid mengatakan bahwa ia mendengar Ayyub As Sikhtiyani berbicara mengenai Mu’tazilah,
إنما مدار القوم على أن يقولوا ليس في السماء شيء
“Mu’tazilah adalah asal muasal kaum yang mengatakan bahwa di atas
langit tidak ada sesuatu apa pun.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar
no. 354].
15. Robi’ah bin Abi ‘Abdirrahman [Wafat tahun 136 H ].
Sufyan Ats Tsauriy mengatakan bahwa ia pernah suatu saat berada di
sisi Robi’ah bin Abi ‘Abdirrahman kemudian ada seseorang yang bertanya
pada beliau,
الرحمن على العرش استوى كيف استوى
“Ar Rahman (yaitu Allah) beristiwa’ (menetap tinggi) di atas ‘Arsy, lalu bagaimana Allah beristiwa’?” Robi’ah menjawab,
الإستواء غير مجهول والكيف غير معقول ومن الله الرسالة وعلى الرسول البلاغ وعلينا التصديق
“Istiwa’ itu sudah jelas maknanya. Sedangkan hakikat dari istiwa’
tidak bisa digambarkan. Risalah (wahyu) dari Allah, tugas Rasul hanya
menyampaikan, sedangkan kita wajib membenarkan (wahyu tersebut).” [Lihat
Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 352. Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa riwayat ini shahih. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw hal. 132].
16. Imam Abu Hanifah (tahun 80-150 H) mengatakan dalam Fiqhul Akbar,
من انكر ان الله تعالى في السماء فقد كفر
“Barangsiapa yang mengingkari keberadaan Allah di atas langit, maka
ia kafir.” [Lihat Itsbatu Shifatul ‘Uluw, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, hal.
116-117, Darus Salafiyah, Kuwait, cetakan pertama, 1406 H. Lihat pula
Mukhtashor Al ‘Uluw, Adz Dzahabiy, Tahqiq: Syaikh Muhammad Nashiruddin
Al Albani, hal. 137, Al Maktab Al Islamiy].
17. Dari Abu Muthi’ Al Hakam bin Abdillah Al Balkhiy -pemilik kitab Al Fiqhul Akbar-, beliau berkata,
سألت أبا حنيفة عمن يقول لا أعرف ربي في السماء أو في الأرض فقال قد كفر
لأن الله تعالى يقول الرحمن على العرش استوى وعرشه فوق سمواته فقلت إنه
يقول أقول على العرش استوى ولكن قال لا يدري العرش في السماء أو في الأرض
قال إذا أنكر أنه في السماء فقد كفر رواها صاحب الفاروق بإسناد عن أبي بكر
بن نصير بن يحيى عن الحكم
Aku bertanya pada Abu Hanifah mengenai perkataan
seseorang yang menyatakan, “Aku tidak mengetahui di manakah Rabbku, di
langit ataukah di bumi?” Imam Abu Hanifah lantas mengatakan, “Orang
tersebut telah kafir karena Allah Ta’ala sendiri berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”. [QS. Thaha: 5] Dan ‘Arsy-Nya
berada di atas langit.” Orang tersebut mengatakan lagi, “Aku berkata
bahwa Allah memang menetap di atas ‘Arsy.” Akan tetapi orang ini tidak
mengetahui di manakah ‘Arsy, di langit ataukah di bumi. Abu Hanifah
lantas mengatakan, “Jika orang tersebut mengingkari Allah di atas
langit, maka dia kafir.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, Adz
Dzahabi, hal. 135-136, Maktab Adhwaus Salaf, Riyadh, cetakan pertama,
1995].
18. Imam Malik bin Anas (tahun 93-179 H),
Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam Ar-Radd
‘alal-Jahmiyyah : Telah menceritakan ayahku, kemudian ia menyebutkan
sanadnya dari ‘Abdullah bin Naafi’, ia berkata : Telah berkata Malik bin
Anas :
الله في السماء، وعلمه في كل مكان، لا يخلو منه شيء
.
“Allah berada di atas langit, dan ilmu-Nya berada di setiap tempat.
Tidak ada terlepas dari-Nya sesuatu”. [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah
dalam As-Sunnah hal. 5, Abu Dawud dalam Al-Masaail hal. 263, Al-Aajuriiy
hal. 289, dan Al-Laalikaa’iy 1/92/2 dengan sanad shahih – dinukil
melalui perantaraan Mukhtashar Al-‘Ulluw, hal. 140 no. 130].
19. Telah masyhur riwayat Al-Imam Maalik bin Anas rahimahullah sebagai berikut :
ذكره علي بن الربيع التميمي المقري قال ثنا عبد الله ابن أبي داود قال
ثنا سلمة بن شبيب قال ثنا مهدي بن جعفر عن جعفر بن عبد الله قال جاء رجل
إلى مالك بن أنس فقال يا أبا عبد الله الرحمن على العرش استوى كيف استوى
قال فما رأيت مالكا وجد من شيء كموجدته من مقالته وعلاه الرحضاء يعني العرق
قال واطرق القوم وجعلوا ينتظرون ما يأتي منه فيه قال فسرى عن مالك فقال
الكيف غير معقول والاستواء منه غير مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه
بدعة فإني أخاف أن تكون ضالا وامر به فأخرج
Telah menyebutkan kepadanya ‘Aliy bin Ar-Rabii’ At-Tamimiy Al-Muqri’,
ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Abi Dawud, ia
berkata : Telah menceritakan kepada kami Salamah bin Syabiib, ia
berkata : Telah menceritakan kepada kami Mahdiy bin Ja’far, dari Ja’far
bin ‘Abdillah, ia berkata : Datang seorang laki-laki kepada Malik bin
Anas. Ia berkata : “Wahai Abu ‘Abdillah, ‘Ar-Rahman yang beristiwaa’
(bersemayam) di atas ‘Arsy’; bagaimana Allah beristiwaa’ ?”. Perawi
berkata : “Belum pernah aku melihat beliau (Malik) marah sedemikian rupa
seperti marahnya beliau kepada orang itu. Tubuhnya berkeringat,
orang-orang pun terdiam. Mereka terus menantikan apa yang akan terjadi.
Maka keadaan Al-Imam Malik kembali normal, beliau berkata :
“Kaifiyah-nya tidaklah dapat dinalar, istiwaa’ sendiri bukan sesuatu
yang majhul, beriman kepadanya adalah wajib, dan bertanya tentangnya
adalah bid’ah. Dan sesungguhnya aku khawatir kamu berada dalam
kesesatan”. Kemudian beliau memerintahkan orang tersebut untuk
dikeluarkan dari majelisnya. [Syarh Ushuulil-I’tiqad Ahlis-Sunnah
wal-Jama’ah, hal. 398, tahqiq : Ahmad bin Mas’ud bin Hamdaan; desertasi
S3].
Makna “istiwaa’ itu bukan sesuatu yang majhuul” adalah bahwa istiwaa’
itu diketahui maknanya secara hakiki sebagaimana dhahir bahasa Arab
yang jelas.
20. Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy Syafi’i (yang terkenal dengan Imam Syafi’i, tahun 150-204 H).
Syaikhul Islam berkata bahwa telah mengabarkan kepada kami Abu Ya’la
Al Kholil bin Abdullah Al Hafizh, beliau berkata bahwa telah
memberitahukan kepada kami Abul Qosim bin ‘Alqomah Al Abhariy, beliau
berkata bahwa Abdurrahman bin Abi Hatim Ar Roziyah telah memberitahukan
pada kami, dari Abu Syu’aib dan Abu Tsaur, dari Abu Abdillah Muhammad
bin Idris Asy Syafi’i, beliau berkata,
القول في السنة التي أنا عليها ورأيت اصحابنا عليها اصحاب الحديث الذين
رأيتهم فأخذت عنهم مثل سفيان ومالك وغيرهما الإقرار بشهادة ان لااله الا
الله وان محمدا رسول الله وذكر شيئا ثم قال وان الله على عرشه في سمائه
يقرب من خلقه كيف شاء وان الله تعالى ينزل الى السماء الدنيا كيف شاء وذكر
سائر الاعتقاد
“Perkataan dalam As Sunnah yang aku dan pengikutku serta pakar hadits
meyakininya, juga hal ini diyakini oleh Sufyan, Malik dan selainnya :
“Kami mengakui bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan
benar kecuali Allah. Kami pun mengakui bahwa Muhammad adalah utusan
Allah.” Lalu Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Sesungguhnya Allah berada di
atas ‘Arsy-Nya yang berada di atas langit-Nya, namun walaupun begitu
Allah pun dekat dengan makhluk-Nya sesuai yang Dia kehendaki. Allah
Ta’ala turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya.” Kemudian
beliau rahimahullah menyebutkan beberapa keyakinan (i’tiqod) lainnya.
[Lihat Itsbatu Shifatul ‘Uluw, hal. 123-124. Disebutkan pula dalam Al
‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal.165]
21. Imam Ahmad bin Hambal (tahun 164-241 H).
Beliau pernah ditanya,
ما معنى قوله وهو معكم أينما كنتم و ما يكون من نجوى ثلاثه الا هو
رابعهم قال علمه عالم الغيب والشهاده علمه محيط بكل شيء شاهد علام الغيوب
يعلم الغيب ربنا على العرش بلا حد ولا صفه وسع كرسيه السموات والأرض
“Apa makna firman Allah,
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ
“Dan Allah bersama kamu di mana saja kamu berada.” [QS. Al Hadiid: 4]
مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ
“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya.” [ QS. Al Mujadilah: 7]
Yang dimaksud dengan kebersamaan tersebut adalah ilmu Allah. Allah
mengetahui yang ghoib dan yang nampak. Ilmu Allah meliputi segala
sesuatu yang nampak dan yang tersembunyi. Namun Rabb kita tetap menetap
tinggi di atas ‘Arsy, tanpa dibatasi dengan ruang, tanpa dibatasi dengan
bentuk. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Kursi-Nya pun meliputi
langit dan bumi.” [Lihat Itsbat Sifatil ‘Uluw, hal. 116].
22. Imam Adz Dzahabiy rahimahullah mengatakan, “Pembahasan dari Imam Ahmad
mengenai ketinggian Allah di atas seluruh makhluk-Nya amatlah banyak.
Karena beliaulah pembela sunnah, sabar menghadapi cobaan, semoga beliau
disaksikan sebagai ahli surga. Imam Ahmad mengatakan kafirnya orang yang
mengatakan Al Qur’an itu makhluk, sebagaimana telah mutawatir dari
beliau mengenai hal ini. Beliau pun menetapkan adanya sifat ru’yah
(Allah itu akan dilihat di akhirat kelak) dan sifat Al ‘Uluw (ketinggian
di atas seluruh makhluk-Nya).” [Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal. 176.
Lihat pula Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 189]
23. Diriwayatkan dari Yusuf bin Musa Al Ghadadiy, beliau berkata,
قيل لأبي عبد الله احمد بن حنبل الله عز و جل فوق السمآء السابعة على
عرشه بائن من خلقه وقدرته وعلمه بكل مكان قال نعم على العرش و لايخلو منه
مكان
Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanyakan, “Apakah
Allah ‘azza wa jalla berada di atas langit ketujuh, di atas ‘Arsy-Nya,
terpisah dari makhluk-Nya, sedangkan kemampuan dan ilmu-Nya di setiap
tempat (di mana-mana)?” Imam Ahmad pun menjawab, “Betul sekali. Allah
berada di atas ‘Arsy-Nya, setiap tempat tidaklah lepas dari ilmu-Nya.” [
Lihat Itsbat Sifatil ‘Uluw, hal. 116].
24. Al Auza’i Abu ‘Amr ‘Abdurrahman bin ‘Amr [hidup sebelum tahun 157 H], Seorang Alim di Negeri Syam di Masanya Berbicara Mengenai Keyakinannya:
قال أبو عبد الله الحاكم أخبرني محمد بن علي الجوهري ببغداد قال حدثنا
إبراهيم بن الهيثم البلدي قال حدثنا محمد بن كثير المصيصي قال سمعت
الأوزاعي يقول كنا والتابعون متوافرون نقول إن الله عزوجل فوق عرشه ونؤمن
بما وردت به السنة من صفاته
Abu ‘Abdillah Al Hakim mengatakan, Muhammad bin Ali Al Jauhari telah
mengabarkan kepadaku di Bagdad. Ia mengatakan, Ibrahim bin Al Haitsam Al
Baladi telah menceritakan pada kami. Ia mengatakan, Muhammd bin Katsir
Al Missisiy telah menceritakan pada kami. Ia berkata, aku mendengar Al
Auza’i mengatakan, “Kami dan pengikut kami mengatakan bahwa Allah ‘azza
wa jalla berada di atas ‘Arsy-Nya. Kami beriman terhadap sifat-Nya yang
ditunjukkan oleh As Sunnah.” [Dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Kitab Al
Asma’ wa Ash Shifat. Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 136. Ibnu
Taimiyah sebagaimana dalam Al Aqidah Al Hamawiyah menyatakan bahwa
sanadnya shahih, sebagaimana pula hal ini diikuti oleh muridnya (Ibnul
Qayyim) dalam Al Juyusy Al Islamiyah].
25. Diriwayatkan dari Abu Ishaq Ats Tsa’labi –seorang pakar tafsir, ia berkata, “Al Auza’i pernah ditanya mengenai firman Allah Ta’ala,
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
“Kemudian Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy-Nya”. Al Auza’iy
mengatakan, “Allah berada di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana yang Dia sifati
bagi Diri-Nya.” [ Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 137].
26. Muqaatil bin Hayyaan (semasa dengan Imam Al Auza’i, beliau hidup sebelum tahun 150 H).
Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad, dari ayahnya, dari Nuuh bin
Maimuun, dari Bukair bin Ma’ruuf, dari Muqaatil bin Hayyaan tentang
firman Allah ta’ala : ‘Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang,
melainkan Dia-lah yang keempatnya’ (QS. Al-Mujaadalah : 7), ia berkata :
هو على عرشه، وعلمه معهم
.
“Allah berada di atas ‘Arsy, dan ilmu-Nya bersama mereka”.
[Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah hal. 71, Abu
Dawud dalam Al-Masaail hal. 263, dan yang lainnya dengan sanad hasan
melalui perantaraan Mukhtashar Al-‘Ulluw, hal. 138 no. 124].
27. Diriwayatkan dari Al Baihaqi dengan sanad darinya, dari Muqotil bin Hayyan. Ia berkata, “Allah-lah yang lebih memahami firman-Nya:
هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآَخِرُ
Huwal awwalu wal akhiru … (Allah adalah Al Awwal dan Al Akhir …) (QS.
Al Hadiid: 3). Makna Al Awwalu adalah sebelum segala sesuatu. Al Akhir
adalah setelah segala sesuatu. Azh Zhohir adalah di atas segala sesuatu.
Al Bathin adalah lebih dekat dari segala sesuatu. Kedekatan Allah
adalah dengan ilmu-Nya. Sedangkan Allah sendiri berada di atas
‘Arsy-Nya.”
Adz Dzahabi mengatakan, “Muqotil adalah ulama yang tsiqoh dan dia
adalah imam besar yang semasa dengan Al Auza’i.” [ Lihat Al ‘Uluw lil
‘Aliyyil Ghoffar, 137. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa dalam sanad
yang disebutkan oleh Al Baihaqi (hal. 430-431) terdapat Ismail bin
Qutaibah. Ibnu Abi Hatim tidak memberikan penilaian positif (ta’dil)
atau negatif (jarh) terhadapnya. Telah diriwayatkan pula oleh Abu
Muhammad Abdullah bin Muhammad bin Musa Al Ka’bi, rowi dari atsar ini
darinya. Beliau merupakan guru dari Al Hakim. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw,
hal. 138].
28. Sufyan Ats Tsauri [hidup pada tahun 97-161 H].
روى غير واحد عن معدان الذي يقول فيه ابن المبارك هو أحد الأبدال قال سألت سفيان الثوري عن قوله عزوجل وهو معكم أينما كنتم قال علمه
Diriwayatkan lebih dari satu orang dari Mi’dan, yang Ibnul Mubarok
juga mengatakan hal ini. Ia mengatakan bahwa ia bertanya pada Sufyan Ats
Tsauri mengenai firman Allah ‘azza wa jalla,
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ
“Dia (Allah) bersama kalian di mana saja kalian berada.” (QS. Al
Hadid: 4). Sufyan Ats Tsauri menyatakan bahwa yang dimaksudkan adalah
ilmu Allah (yang berada bersama kalian, bukan dzat Allah, pen). [ Lihat
Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 137-138].
29. Abdullah bin Al Mubarok [Seorang Alim Besar Negeri Khurosan tahun 118 - 181 H], Menyatakan Allah Berada di Atas Langit Ketujuh,
صح عن علي بن الحسن بن شقيق قال قلت لعبد الله بن المبارك كيف نعرف ربنا
عزوجل قال في السماء السابعة على عرشه ولا نقول
كما تقول الجهمية إنه
هاهنا في الأرض فقيل هذا لأحمد بن حنبل فقال هكذا هو عندنا
Telah shahih dari ‘Ali bin Al Hasan bin Syaqiq, dia berkata, “Aku
berkata kepada Abdullah bin Al Mubarok, bagaimana kita mengenal Rabb
kita ‘azza wa jalla. Ibnul Mubarok menjawab, “Rabb kita berada di atas
langit ketujuh dan di atasnya adalah ‘Arsy. Tidak boleh kita mengatakan
sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang Jahmiyah yang mengatakan
bahwa Allah berada di sini yaitu di muka bumi.” Kemudian ada yang
menanyakan tentang pendapat Imam Ahmad bin Hambal mengenai hal ini.
Ibnul Mubarok menjawab, “Begitulah Imam Ahmad sependapat dengan kami.”
[Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 149. Riwayat ini dishahihkan oleh
Ibnu Taimiyah dalam Al Hamawiyah dan Ibnul Qayyim dalam Al Juyusy. Lihat
Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 152].
30. Abu Bakr Al Atsrom mengatakan bahwa Muhammad bin Ibrahim Al
Qoisi mengabarkan padanya, ia berkata bahwa Imam Ahmad bin Hambal
menceritakan dari Ibnul Mubarok ketika ada yang bertanya padanya,
كيف نعرف ربنا
“Bagaimana kami bisa mengetahui Rabb kami?” Ibnul Mubarok menjawab,
في السماء السابعة على عرشه
“Allah di atas langit yang tujuh, di atas ‘Arsy-Nya.” Imam Ahmad lantas mengatakan,
هكذا هو عندنا
“Begitu juga keyakinan kami.” [ Lihat Itsbat Sifatil ‘Uluw, hal. 118].
31. Diriwayatkan dari Abdullah bin Ahmad ketika membantah pendapat Jahmiyah dan beliau membawakan sanadnya dari Ibnul Mubarok.
Ia ceritakan bahwa ada seseorang yang mengatakan pada Ibnul Mubarok,
“Wahai Abu ‘Abdirrahman (Ibnul Mubarok), sungguh pengenalan tentang
Allah menjadi samar karena pemikiran-pemikiran yang diklaim oleh
Jahmiyah.” Ibnul Mubarok lantas menjawab, “Tidak usah khawatir. Mereka
mengklaim bahwa Allah sebagai sesembahanmu yang sebenarnya berada di
atas langit sana, namun mereka katakan Allah tidak di atas langit.”
[Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 150. Syaikh Al Albani mengatakan
dikeluarkan dalam As Sunnah (hal. 7) dari Ahmad bin Nashr, dari Malik,
telah mengabarkan kepadaku seseorang dari Ibnul Mubarok. Seluruh
periwayatnya tsiqoh (terpercaya) kecuali yang tidak disebutkan namanya.
Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 152].
32. ‘Abbad bin Al ‘Awwam [ hidup sekitar tahun 185 H], Muhaddits (Pakar Hadits) dari Daerah Wasith.
قال عباد بن العوام كلمت بشرا المريسي وأصحابه فرأيت آخر كلامهم ينتهي
إلى أن يقولوا ليس في السماء شيء أرى أن لا يناكحوا ولا يوارثوا
‘Abbad bin Al ‘Awwam mengatakan, “Aku pernah berkata Basyr Al Murosi
dan pengikutnya, aku pun melihat bahwa mereka mengatakan, “Di atas
langit tidak ada sesuatu pun". Aku menilai bahwa orang semacam ini tidak
boleh dinikahi dan diwarisi.” [ Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar,
151].
33. ‘Abdurrahman bin Mahdi [hidup pada tahun 125-198 H], Seorang Imam Besar.
ابن مهدي قال إن الجهمية أرادوا أن ينفوا أن يكون الله كلم موسى وأن يكون على العرش أرى أن يستتابوا فإن تابوا وإلا ضربت أعناقهم
‘Abdurrahman bin Mahdi mengatakan bahwa Jahmiyah menginginkan agar
dinafikannya pembicaraan Allah dengan Musa, dinafikannya keberedaan
Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy. Orang seperti ini mesti dimintai
taubat. Jika tidak, maka lehernya pantas dipenggal. [Lihat Al ‘Uluw lil
‘Aliyyil Ghoffar, hal. 159. Dikeluarkan pula oleh Abdullah (hal. 10-11)
dari jalannya, disebutkan secara ringkas. Ibnul Qayyim menshahihkan
riwayat ini dalam Al Juyusy. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw hal. 170].
34. Syaikhul Islam Yazid bin Harun [hidup sebelum tahun 206 H],
قال الحافظ أبو عبد الرحمن بن الإمام أحمد في كتاب الرد على الجهمية
حدثني عباس العنبري أخبرنا شاذ بن يحيى سمعت يزيد بن هارون وقيل له من
الجهمية قال من زعم أن الرحمن على العرش استوى على خلاف ما يقر في قلوب
العامة فهو جهمي
Al Hafizh Abu ‘Abdirrahman bin Al Imam Ahmad dalam kitab bantahan
terhadap Jahmiyah, ia mengatakan, ‘Abbas Al Ambari telah menceritakan
padaku, ia mengatakan, Syadz bin Yahya telah menceritakan pada kami
bahwa ia mendengar Yazid bin Harun ditanya tentang Jahmiyah. Yazid
mengatakan, “Siapa yang mengklaim bahwa Allah Yang Maha Pengasih menetap
tinggi di atas ‘Arsy namun menyelisih apa yang diyakini oleh hati
mayoritas manusia, maka ia adalah Jahmi.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil
Ghoffar, 157. Abdullah bin Ahmad mengeluarkan dalam As Sunnah (hal.
11-12) dari jalannya. Namun Adz Dzahabi menyebutkan dari selain kitab
itu yaitu dalam kitab Ar Rodd ‘alal Jahmiyah (bantahan terhadap
Jahmiyah), Abdullah berkata, Abbas bin Al ‘Azhim Al Ambari telah
mengabarkan pada kamim Syadz bin Yahya telah menceritakan pada kami.
Juga riwayat ini dikeluarkan oleh Abu Daud dalam Masail (hal. 268), ia
berkata, Ahmad bin Sinan telah menceritakan pada kami, ia berkata: Aku
mendengar Syadz bin Yahya. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 168].
35. Sa’id bin ‘Amir Adh Dhuba’i [hidup pada tahun 122-208 H], Ulama Bashroh.
قال عبد الرحمن بن أبي حاتم حدثنا أبي قال حدثت عن سعيد ابن عامر الضبعي
أنه ذكر الجهمية فقال هم شر قولا من اليهود والنصارى قد إجتمع اليهود
والنصارى وأهل الأديان مع المسلمين على أن الله عزوجل على العرش وقالوا هم
ليس على شيء
‘Abdurrahman bin Abi Hatim berkata, ayahku menceritakan kepada kami,
ia berkata aku diceritakan dari Sa’id bin ‘Amir Adh Dhuba’I bahwa ia
berbicara mengenai Jahmiyah. Beliau berkata, “Jahmiyah lebih jelek dari
Yahudi dan Nashrani. Telah diketahui bahwa Yahudi dan Nashrani serta
agama lainnya bersama kaum muslimin bersepakat bahwa Allah ‘azza wa
jalla menetap tinggi di atas ‘Arsy. Sedangkan Jahmiyah, mereka katakan
bahwa Allah tidak di atas sesuatu pun.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil
Ghoffar, hal. 157 dan Mukhtashor Al ‘Uluw hal. 168].
36. Wahb bin Jarir [meninggal tahun 206 H], Ulama Besar Bashroh,
محمد بن حماد قال سمعت وهب بن جرير يقول إياكم ورأي جهم فإنهم يحاولون
أنه ليس شيء في السماء وما هو إلا من وحي إبليس ما هو إلا الكفر
Muhammad bin Hammad mengatakan bahwa ia mendengar Wahb bin Jarir
berkata, “Waspadalah dengan pemikiran Jahmiyam. Sesungguhnya mereka
memalingkan makna bahwa di atas langit sesuatu pun (berarti Allah tidak
di atas langit, pen). Sesungguhnya pemikiran semacam ini hanyalah wahyu
dari Iblis. Perkataan semacam tidak lain hanyalah perkataan kekufuran.”
[Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 159. Atsar ini dishahihkan
oleh Ibnul Qayyim dalam Al Juyusy. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 170].
37. Al Qo’nabi [meninggal tahun 221 H], Ulama Besar di Masanya,
قال بنان بن أحمد كنا عند القعنبي رحمه الله فسمع رجلا من الجهمية يقول
الرحمن على العرش استوى فقال القعنبي من لا يوقن أن الرحمن على العرش استوى
كما يقر في قلوب العامة فهو جهمي أخرجهما عبد العزيز القحيطي في تصانيفه
والمراد بالعامة عامة أهل العلم كما بيناه في ترجمة يزيد بن هارون إمام أهل
واسط ولقد كان القعنبي من أئمة الهدى حتى لقد تغالى فيه بعض الحفاظ وفضله
على مالك الإمام
Bunan bin Ahmad mengatakan, “Aku pernah berada di sisi Al Qo’nabi, ia
mendengar seorang yang berpahaman Jahmiyah menyebutkan firman Allah,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Ar Rahman (yaitu Allah) menetap tinggi di atas ‘Arsy.” [ QS. Thoha:
5], Al Qo’nabi lantas mengatakan, “Siapa yang tidak meyakini Ar Rahman
(yaitu Allah) menetap tinggi di atas ‘Arsy sebagaimana diyakini oleh
para ulama, maka ia adalah Jahmi.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar,
hal. 166. Bunan bin Ahmad tidak mengapa, sejarah hidupnya disebutkan di
Tarikh Bagdad. Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 178].
38. Abdullah bin Az Zubair Al Qurosyi Al Asadi Al Humaidi [meninggal tahun 219 H, Ulama Besar Makkah, Murid dari Sufyan bin ‘Uyainah, Guru dari Imam Al Bukhari], mengatakan:
أصول السنة عندنا فذكر أشياء ثم قال وما نطق به القرآن والحديث مثل
وقالت اليهود يد الله مغلولة غلت أيديهم ومثل قوله والسموات مطويات بيمينه
وما أشبه هذا من القرآن والحديث لا نزيد فيه ولا نفسره ونقف على ما وقف
عليه القرآن والسنة ونقول الرحمن على العرش استوى ومن زعم غير هذا فهو مبطل
جهم
Aqidah yang paling pokok yang kami yakini (lalu beliau menyebutkan
beberapa hal): Ayat atau hadits yang menyebutkan (misalnya tangan Allah,
pen),
وَقَالَتِ الْيَهُودُ يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ غُلَّتْ أَيْدِيهِمْ
“Orang-orang Yahudi berkata: “Tangan Allah terbelenggu”, sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu” [ QS. Al Maidah: 64].
Semisal pula firman Allah,
وَالسَّماوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ
“Dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya” [ QS. Az Zumar: 67],
dan juga ayat dan hadits yang semisal itu, kami tidak akan menambah dan
kami tidak akan menafsirkan (bagaimanakah hakekat sifat tersebut). Kami
cukup berdiam diri sebagaimana yang dituntunkan Al Quran dan Hadits
Nabawi (yang tidak menyebutkan hakekatnya). Kami pun meyakini,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Ar Rahman (yaitu Allah) menetap tinggi di atas ‘Arsy.” [ QS. Thoha:
5]. Barangsiapa yang tidak meyakini seperti ini, maka dialah Jahmiyah
yang penuh kebatilan. [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 168.
Ibnu Taimiyah telah menshahihkan atsar ini dari Al Humaidi dalam
Kitabnya “Mufashol Al I’tiqod”. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw hal. 180].
39. Al-Imam Al-Humaidiy rahimahullah juga berkata :
وما أشبه هذا من القرآن والحديث، لا نزيد فيه ولا نفسره. نقف على ما وقف
عليه القرآن والسنة. ونقول : (الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى)، ومن
زعم غير هذا فهو معطل جهمي.
“Dan ayat-ayat serta hadits-hadits yang serupa dengan ini (tentang
Asma dan Shifat Allah), maka kami tidak menambah-nambahi dan tidak pula
menafsirkannya (menta’wilkannya). Kami berhenti atas apa-apa yang
Al-Qur’an dan As-Sunah berhenti padanya. Dan kami berkata : ‘(Yaitu)
Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy’ (QS. Thaha : 5).
Barangsiapa yang berpendapat selain itu, maka ia seorang Mu’aththil
Jahmiy” [Ushuulus-Sunnah oleh Al-Humaidiy, hal. 42, tahqiq : Misy’aal
Muhammad Al-Haddaadiy; Daar Ibn Al-Atsiir, Cet. 1/1418].
40. Hisyam bin ‘Ubaidillah Ar Rozi [meninggal tahun 221 H], Ulama Hanafiyah, murid dari Muhammad bin Al Hasan.
قال ابن أبي حاتم حدثنا علي بن الحسن بن يزيد السلمي سمعت أبي يقول سمعت
هشام بن عبيد الله الرازي وحبس رجلا في التجهم فجيء به إليه ليمتحنه فقال
له أتشهد أن الله على عرشه بائن من خلقه فقال لا أدري ما بائن من خلقه فقال
ردوه فإنه لم يتب بعد
Ibnu Abi Hatim mengatakan, ‘Ali bin Al Hasan bin Yazid As Sulami
telah menceritakan kepada kami, ia berkata, ayahku berkata, “Aku pernah
mendengar Hisyam bin ‘Ubaidillah Ar Rozi –ketika itu beliau menahan
seseorang yang berpemikiran Jahmiyah, orang itu didatangkan pada beliau,
lantas beliau pun mengujinya-. Hisyam bertanya padanya, “Apakah engkau
bersaksi bahwa Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari
makhluk-Nya.” Orang itu pun menjawab, “Aku tidak mengetahui apa itu
terpisah dari makhluk-Nya.” Hisyam kemudian berkata, “Kembalikanlah ia
karena ia masih belum bertaubat.” [Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal.
169. Riwayat ini juga dikeluarkan oleh Al Haruwi dalam “Dzammul Kalam”
(1/120). Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 181].
41. Basyr Al Haafi [hidup pada tahun 151-227 H], Ulama yang Begitu Zuhud di Masanya
Disebutkan oleh Adz Dzahabi,
له عقيدة رواها ابن بطة في كتاب الإبانة وغيره فمما فيها والإيمان بأن الله على عرشه استوى كما شاء وأنه عالم بكل مكان
Basyr Al Haafi memilki pemahaman aqidah yang disebutkan oleh Ibnu
Battoh dalam Al Ibanah dan selainnya, di antara perkataan beliau adalah:
“Beriman bahwa Allah menetap tinggi (beristiwa’) di atas ‘Arsy-Nya
sebagaimana yang Allah kehendaki. Namun meski begitu, ilmu Allah di
setiap tempat.” [Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 172. Lihat
Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 185].
42. Ahmad bin Nashr Al Khuza’i [meninggal tahun 231 H].
قال إبراهيم الحربي فيما صح عنه قال أحمد بن نصر وسئل عن علم الله فقال علم الله معنا وهو على عرشه
Ibrahim Al Harbi berkata mengenai perkataan shahih darinya, yaitu
Ahmad bin Nashr berkata ketika ditanya mengenai ilmu Allah, “Ilmu Allah
selalu bersama kita, sedangkan Dzat-Nya tetap menetap tinggi di atas
‘Arsy-Nya.” [Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 173. Lihat Mukhtashor
Al ‘Uluw, hal. 186-187].
43. Abu Ma’mar Al Qutai’iy [meninggal tahun 236 H, Guru dari Imam Bukhari dan Imam Muslim].
نقل ابن أبي حاتم في تأليفه عن يحيى بن زكرياء عن عيسى عن أبي شعيب صالح
الهروي عن أبي معمر إسماعيل بن إبراهيم أنه قال آخر كلام الجهمية أنه ليس
في السماء إله
Dinukil dari Ibnu Abi Hatim dalam karyanya, dari Yahya bin Zakariya,
dari ‘Isa, dari Abu Syu’aib Sholih Al Harowiy, dari Abu Ma’mar Isma’il
bin Ibrohim, beliau berkata, “Akhir dari perkataan Jahmiyah: Di atas
langit (atau di ketinggian) tidak ada Allah yang disembah.” [Al ‘Uluw
lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 174-175. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal.
188].
44. ‘Ali bin Al Madini [meninggal tahun 234 H, Imam Para Pakar Hadits].
قال شيخ الإسلام أبو إسماعيل الهروي أنبأنا محمد بن محمد بن عبد الله
حدثنا أحمد بن عبد الله سمعت محمد بن إبراهيم بن نافع حدثنا الحسن بن محمد
بن الحارث قال سئل علي بن المديني وأنا أسمع ما قول أهل الجماعة قال يؤمنون
بالرؤية وبالكلام وأن الله عزوجل فوق السموات على عرشه استوى
Syaikhul Islam Abu Isma’il Al Harowi mengatakan, Muhammad bin
Muhammad bin ‘Abdillah menceritakan kepada kami, Ahmad bin Abdillah
menceritakan kepada kami, aku mendengar Muhammad bin Ibrahim bin Naafi’
mengatakan, Al Hasan bin Muhammad bin Al Harits menceritakan kepada
kami, ia berkata, ‘Ali bin Al Madini ditanya dan aku pun mendengarnya,
“Apa perkataan dari Ahlul Jama’ah (Ahlus Sunnah)?” ‘Ali bin Al Madini
mengatakan, “Mereka (Ahlus Sunnah) beriman pada ru’yah (Allah akan
dilihat), mereka beriman bahwa Allah berbicara dan Allah berada di atas
langit, menetap tinggi (beristiwa’) di atas ‘Arsy-Nya.” [Al ‘Uluw lil
‘Aliyyil Ghoffar, hal. 175. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 188-189].
45. Ishaq bin Rohuwyah [hidup antara tahun 166-238 H, Ulama Besar Khurosan.
قال أبو بكر الخلال أنبأنا المروذي حدثنا محمد بن الصباح النيسابوري
حدثنا أبو داود الخفاف سليمان بن داود قال قال إسحاق بن راهويه قال الله
تعالى الرحمن على العرش استوى إجماع أهل العلم أنه فوق العرش استوى ويعلم
كل شيء في أسفل الأرض السابعة
Abu Bakr Al Khollal mengatakan, telah mengabarkan kepada kami Al
Maruzi. Beliau katakan, telah mengabarkan pada kami Muhammad bin Shobah
An Naisaburi. Beliau katakan, telah mengabarkan pada kami Abu Daud Al
Khonaf Sulaiman bin Daud. Beliau katakan, Ishaq bin Rohuwyah berkata,
“Allah Ta’ala berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy” [ QS. Thaha: 5]. Para ulama
sepakat (berijma’) bahwa Allah berada di atas ‘Arsy dan beristiwa’
(menetap tinggi) di atas-Nya. Namun Allah Maha Mengetahui segala sesuatu
yang terjadi di bawah-Nya, sampai di bawah lapis bumi yang ketujuh.
[Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal. 179. Lihat Mukhtashor Al
‘Uluw, hal. 194].
46. Ishaq bin Rohuwyah,
قال حرب بن إسماعيل الكرماني قلت لإسحاق بن راهويه قوله تعالى ما يكون
من نجوى ثلاثة إلا هو رابعهم كيف تقول فيه قال حيث ما كنت فهو أقرب إليك من
حبل الوريد وهو بائن من خلقه
ثم ذكر عن ابن المبارك قوله هو على عرشه بائن من خلقه
ثم قال أعلى شيء في ذلك وأبينه قوله تعالى الرحمن على العرش استوى رواها الخلال في السنة عن حرب
Harb bin Isma’il Al Karmani, ia berkata bahwa ia berkata pada Ishaq bin Rohuwyah mengenai firman Allah,
مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ
“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah
keempatnya.” (QS. Al Mujadilah: 7).
Bagaimanakah pendapatmu mengenai
ayat tersebut?”
Ishaq bin Rohuwyah menjawab, “Dia itu lebih dekat (dengan ilmu-Nya)
dari urat lehermu. Namun Dzat-Nya terpisah dari makhluk. Kemudian beliau
menyebutkan perkataan Ibnul Mubarok, “Allah berada di atas ‘Arsy-Nya,
terpisah dari makhluk-Nya.”
Lalu Ishaq bin Rohuwyah mengatakan, “Ayat yang paling gamblang dan paling jelas menjelaskan hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Ar Rahman (yaitu Allah) menetap tinggi di atas ‘Arsy.” [ QS. Thoha: 5]
Al Khollal meriwayatkannya dalam As Sunnah dari Harb. [ Al ‘Uluw lil
‘Aliyyil Ghoffar, hal. 177. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 191].
47. Qutaibah bin Sa’id [hidup tahun 150-240 H], Ulama Besar Khurosan.
قال أبو أحمد الحاكم وأبو بكر النقاش المفسر واللفظ له حدثنا أبو العباس
السراج قال سمعت قتيبة بن سعيد يقول هذا قول الأئمة في الإسلام والسنة
والجماعة نعرف ربنا في السماء السابعة على عرشه كما قال جل جلاله الرحمن
على العرش استوى وكذا نقل موسى بن هارون عن قتيبة أنه قال نعرف ربنا في
السماء السابعة على عرشه
Abu Ahmad Al Hakim dan Abu Bakr An Naqosy Al Mufassir (dan ini lafazh
dari Abu Bakr), ia berkata, Abul ‘Abbas As Siroj telah menceritakan
pada kami, ia berkata, aku mendengar Qutaibah bin Sa’id berkata, “Ini
adalah perkataan para ulama besar Islam, Ahlus Sunnah wal Jama’ah: Kami
meyakini bahwa Rabb kami berada di atas langit ketujuh di atas
‘Arsy-Nya sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Ar Rahman (yaitu Allah) menetap tinggi di atas ‘Arsy.” [QS. Thoha:
5]. [ Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 174. Lihat Mukhtashor Al
‘Uluw, hal. 187].
48. Begitu pula dinukil dari Musa bin Harun dari Qutaibah, ia berkata,
نعرف ربنا في السماء السابعة على عرشه
“Kami meyakini bahwa Rabb kami berada di atas langit ketujuh, di atas
‘Arsy-Nya.” [Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 174. Lihat Mukhtashor
Al ‘Uluw, hal. 187].
49. Al Imam Al ‘Alam Abu Muhammad ‘Abdullah bin Muslim bin Qutaibah Ad Dainuri [hidup pada tahun 213-276 H]–penulis kitab yang terkenal yaitu Mukhtalaf Al Hadits- berkata,
قال وفي الإنجيل أن المسيح عليه السلام قال للحواريين إن أنتم غفرتم
للناس فإن أباكم الذي في السماء يغفر لكم ظلمكم أنظروا إلى الطير فإنهن لا
يزرعن ولا يحصدن وأبوكم الذي في السماء هو يرزقهن ومثل هذا في الشواهد كثير
قلت قوله أبوكم كانت هذه الكلمة مستعملة
في عبارة عيسى والحواريين وفي
المائدة وقالت اليهود والنصارى نحن أبناء الله وأحباؤه
“Disebutkan dalam Injil bahwa Al Masih (‘Isa bin Maryam) ‘alaihis
salam berkata kepada (murid-muridnya yang setia) Al Hawariyyun, “Jika
kalian memaafkan orang lain, sungguh Rabb kalian yang berada di atas
langit akan mengampuni kezholiman kalian. Lihatlah pada burung-burung,
mereka tidak menanam makanan, Rabb mereka-lah yang berada di langit yang
memberi rizki pada mereka.” [Lihat Al ‘Uluw, hal. 196 dan Mukhtashor Al
‘Uluw, hal. 216-217. Catatan: Istilah “abukum” (ayah kalian) untuk
menyebut Allah yang digunakan di masa Isa dan sudah tidak berlaku lagi
untuk umat Islam. Demikian dijelaskan oleh Adz Dzahabi].
50. Qutaibah berkata dalam kitabnya Takwiil
Mukhtalaf al-Hadiits (tahqiq Muhammad Muhyiiddin Al-Ashfar, cetakan
keduan dari Al-Maktab Al-Islaami) :
“Seluruh umat –baik arab maupun non arab- mereka berkata bahwasanya
Allah di langit selama mereka dibiarkan di atas fitroh mereka dan tidak
dipindahkan dari fitroh mereka tersebut dengan pengajaran.” [Takwiil
Mukhtalafil Hadiits 395].
Adz Dzahabi setelah membawakan perkataan Qutaibah,
beliau mengatakan, “Inilah Qutaibah sudah dikenal kebesarannya dalam
ilmu dan kejujurannya, beliau menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama)
mengenai keyakinan Allah di atas langit”. [Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil
Ghoffar, hal. 174. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 187].
51. Muhammad bin Aslam Ath Thusi [meninggal dunia tahun 242 H].
قال الحاكم في ترجمته حدثنا يحيى العنبري حدثنا أحمد بن سلمة حدثنا محمد
بن أسلم قال قال لي عبد الله بن طاهر بلغني أنك لا ترفع رأسك إلى السماء
فقلت ولم وهل أرجو الخير إلا ممن هو في السماء
Al Hakim dalam biografinya mengatakan, Yahya Al ‘Anbari menceritakan
pada kami, Ahmad bin Salamah menceritakan kepada kami, Muhammad bin
Aslam menceritakan kepada kami, beliau berkata, “’Abdullah bin Thohir
berkata padaku, “Telah sampai padaku berita bahwa engkau enggan
mengangkat kepalamu ke arah langit.” Muhammad bin Aslam menjawab, “Tidak
demikian. Bukankah aku selalu mengharap kebaikan dari Rabb yang berada
di atas langit?” [Lihat Al ‘Uluw, hal. 191 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal.
208-209].
52. ‘Abdul Wahhab Al Warroq [meninggal dunia tahun 250 H].
حدث عبد الوهاب بن عبد الحكيم الوراق بقول ابن عباس ما بين السماء
السابعة إلى كرسيه سبعة آلاف نور وهو فوق ذلك ثم قال عبد الوهاب من زعم أن
الله ههنا فهو جهمي خبيث إن الله عزوجل فوق العرش وعلمه محيط بالدنيا
والآخرة
‘Abdul Wahhab bin ‘Abdil Hakim Al Warroq menceritakan perkataan Ibnu
‘Abbas, “Di antara langit yang tujuh dan kursi-Nya terdapat 7000 cahaya.
Sedangkan Allah berada di atas itu semua.” Kemudian ‘Abdul Wahhab
berkata, “Barangsiapa yang mengklaim bahwa Allah itu di sini (di muka
bumi ini), maka Dialah Jahmiyah yang begitu jelek. Allah ‘azza wa jalla
berada di atas ‘Arsy, sedangkan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu di
dunia dan akhirat.”
Adz Dzahabi menceritakan, bahwa pernah ditanya pada Imam Ahmad bin
Hambal, “Alim mana lagi yang jadi tempat bertanya setelah engkau?”
Lantas Imam Ahmad menjawab, “Bertanyalah pada ‘Abdul Wahhab bin Al
Warroq”. Beliau pun banyak memujinya. [Lihat Al ‘Uluw, hal. 193 dan
Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 212].
53. Abu Muhammad Ad Darimi, penulis kitab Sunan Ad Darimi [hidup pada tahun 181-255 H].
Adz Dzahabi mengatakan,
وممن لا يتأول ويؤمن بالصفات وبالعلو في ذلك الوقت الحافظ أبو محمد عبد الله بن عبد الرحمن السمرقندي الدارمي وكتابه ينبيء بذلك
“Di antara ulama yang tidak mentakwil (memalingkan makna) dan
benar-benar beriman dengan sifat Allah al ‘Uluw (yaitu Allah berada di
ketinggian) saat ini adalah Al Hafizh Abu Muhammad ‘Abdullah bin
‘Abdirrahman As Samarqindi Ad Darimi. Dalam kitab beliau menjelaskan hal
ini.” [Lihat Al ‘Uluw, hal. 195 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 214].
54. Harb Al Karmaniy [meninggal dunia pada tahun 270-an H],
قال عبد الرحمن بن محمد الحنظلي الحافظ أخبرني حرب بن إسماعيل الكرماني
فيما كتب إلي أن الجهمية أعداء الله وهم الذين يزعمون أن القرآن مخلوق وأن
الله لم يكلم موسى ولا يرى في الآخرة ولا يعرف لله مكان وليس على عرش ولا
كرسي وهم كفار فأحذرهم
‘Abdurrahman bin Muhammad Al Hanzholi Al Hafizh berkata, Harb bin
Isma’il Al Karmani menceritakan padaku terhadap apa yang ia tulis
padaku, “Sesungguhnya Jahmiyah benar-benar musuh Allah. Mereka mengklaim
bahwa Al Qur’an itu makhluk. Allah tidak berbicara dengan Musa dan juga
tidak dilihat di akhirat. Mereka sungguh tidak tahu tempat Allah di
mana, bukan di atas ‘Arsy, bukan pula di atas kursi-Nya. Mereka sungguh
orang kafir. Waspadalah terhadap pemikiran sesat mereka.”
Adz Dzahabi mengatakan bahwa Harb Al Karmani adalah seorang ulama
besar di daerah Karman di zamannya. Ia mengambil ilmu dari Ahmad dan
Ishaq. [Lihat Al ‘Uluw, hal. 194 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 213].
55. Al Muzanni [meninggal dunia pada tahun 264 H dalam usia 80-an tahun].
أنبأنا ابن سلامة عن أبي جعفر الطرطوسي عن يحيى بن منده حدثنا أحمد بن
الفضل أنبأ الياطرقاني سمعت أبا عمر السلمي سمعت أبا حفص الرفاعي سمعت عمرو
بن تميم المكي قال سمعت محمد بن إسماعيل الترمذي سمعت المزني يقول لا يصح
لأحد توحيد حتى يعلم أن الله على العرش بصفاته قلت مثل أي شيء قال سميع
بصير عليم قدير أخرجها ابن منده في تاريخه
Ibnu Salamah telah menceritakan pada kami, dari Abu Ja’far Ath
Thurthusi, dari Yahya bin Mandah, Ahmad bin Al Fadhl telah menceritakan
kepada kami, Al Yathuqorni telah menceritakan, aku mendengar ‘Umar As
Sulami, aku mendengar Abu Hafsh Ar Rifa’i, aku mendengar ‘Amr bin Tamim
Al Makki, ia berkata, aku mendengar Muhammad bin Isma’il At Tirmidzi,
aku mendengar Al Muzanni berkata,
لا يصح لأحد توحيد حتى يعلم أن الله على العرش بصفاته
“Ketauhidan seseorang tidaklah sah sampai ia mengetahui bahwa Allah
berada di atas ‘Arsy-nya dengan sifat-sifat-Nya.” Aku pun berkata,
“Sifat-sifat yang dimaksud semisal apa?” Ia berkata, “Sifat mendengar,
melihat, mengetahui dan berkuasa atas segala sesuatu.” Ibnu Mandah
mengeluarkan riwayat ini dalam kitab tarikhnya. [Syaikh Al Albani
mengatakan, “Dari jalur yang dibawakan oleh penulis (Adz Dzahabi) dengan
sanadnya terdapat perowi yang tidak aku kenal semisal ‘Amr bin Tamim Al
Makki.” (Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 201)].
56. Muhammad bin Yahya Adz Dzuhliy [meninggal dunia pada tahun 258 H].
قال الحاكم قرأت بخط أبي عمرو المستملي سئل محمد بن يحيى عن حديث عبد
الله بن معاوية عن النبي ليعلم العبد أن الله معه حيث كان
فقال يريد أن
الله علمه محيط بكل ما كان والله على العرش
Al Hakim berkata, “Aku membacakan dengan tulisan pada Abu ‘Amr Al
Mustahli, Muhammad bin Yahya ditanya mengenai hadits ‘Abdullah bin
Mu’awiyah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ليعلم العبد أن الله معه حيث كان
“Supaya hamba mengetahui bahwa Allah bersama dirinya di mana saja ia berada.”
Lantas Adz Dzuhliy mengatakan,
أن الله علمه محيط بكل ما كان والله على العرش
“Ketahuilah ilmu Allah itu meliputi segala sesuatu, namun Allah tetap
di atas ‘Arsy-Nya.” [Syaikh Al Albani mengatakan, “Riwayat ini
dibawakan oleh penulis dari Muhammad bin Nu’aim, aku sendiri tidak
mengenalnya.” (Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 202)].
57. Muhammad bin Isma’il Al Bukhari [hidup dari tahun 194-256 H].
قال الإمام أبو عبد الله محمد بن إسماعيل في آخر الجامع الصحيح في كتاب
الرد على الجهمية باب قوله تعالى وكان عرشه على الماء قال أبو العالية
استوى إلى السماء إرتفع وقال مجاهد في استوى علا على العرش وقالت زينب أم
المؤمنين رضي الله عنها زوجني الله من فوق سبع سموات
Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il Al Bukhari berkata dalam
akhir Al Jaami’ Ash Shohih dalam kitab bantahan kepada Jahmiyah, beliau
membawakan Bab firman Allah Ta’ala,
وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ
“Dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air.” (QS. Hud : 7).
Abul ‘Aliyah mengatakan bahwa maksud dari ‘istiwa’ di atas langit’
adalah naik. Mujahid mengatakan bahwa istiwa’ adalah menetap tinggi di
atas ‘Arsy. Zainab Ummul Mukminin mengatakan, “Allah yang berada di atas
langit ketujuh yang telah menikahkanku.” [Lihat Al ‘Uluw, hal. 186 dan
Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 202].
58. Abu Zur’ah Ar Rozi [meninggal tahun 264 H].
قال أبو إسماعيل الأنصاري مصنف ذم الكلام وأهله أنبا أبو يعقوب القراب
أنبأنا جدي سمعت أبا الفضل إسحاق حدثني محمد ابن إبراهيم الأصبهاني سمعت
أبا زرعة الرازي وسئل عن تفسير الرحمن على العرش استوى فغضب وقال تفسيره
كما تقرأ هو على عرشه وعلمه في كل مكان من قال غير هذا فعليه لعنة الله
Abu Isma’il Al Anshori –penulis Dzammul Kalam wa Ahlih-, Abu Ya’qub
Al Qurob menceritakan, kakekku menceritakan pada kami, aku mendengar
Abul Fadhl Ishaq, Muhammad bin Ibrohim Al Ash-bahani telah menceritakan
padaku, aku mendengar Abu Zur’ah Ar Rozi ditanya mengenai tafsir firman
Allah,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“(Yaitu) Rabb Yang Maha Pemurah yang menetap tinggi di atas ‘Arsy .”
(QS. Thoha : 5). Beliau lantas marah. Kemudian beliau pun berkata,
“Tafsirnya sebagaimana yang engkau baca. Allah di atas ‘Arsy-Nya
sedangkan ilmu Allah yang berada di mana-mana. Siapa yang mengatakan
selain ini, maka dialah yang akan mendapat laknat Allah.” [Lihat Al
‘Uluw, hal. 187-188 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 203].
59. Ahmad bin Abul Khoir telah menceritakan kepada kami, dari Yahya
bin Yunus, Abu Tholib menceritakan pada kami, Abu Ishaq Al Barmaki telah
menceritakan pada kami, ‘Ali bin ‘Abdul ‘Aziz telah menceritakan pada
kami, ia berkata bahwa ‘Abdurrahman bin Abu Hatim telah menceritakan
pada kami, bahwa dia bertanya pada ayahnya dan Abu Zur’ah mengenai
aqidah Ahlus Sunnah dalam ushuluddin dan apa yang dipahami oleh keduanya
mengenai perkataan para ulama di berbagai negeri dan apa saja keyakinan
mereka.
Abu Hatim dan Abu Zur’ah berkata,
“Yang kami ketahui bahwa ulama di seluruh negeri di Hijaz, ‘Iraq,
Mesir, Syam, Yaman; mereka semua meyakini bahwa Allah Tabaroka wa Ta’ala
berada di atas ‘Arsy-nya, terpisah dari makhluk-Nya sebagaimana yang
Allah sifati pada diri-Nya sendiri dan tanpa kita ketahui hakikatnya.
Sedangkan ilmu Allah meliputi segala sesuatu.” [ Lihat Al ‘Uluw, hal.
188 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 204].
60. Abu Hatim Ar Rozi [meninggal dunia tahun 277 H].
قال الحافظ أبو القاسم الطبري وجدت في كتاب أبي حاتم محمد بن إدريس بن
المنذر الحنظلي مما سمع منه يقول مذهبنا وإختيارنا إتباع رسول الله وأصحابه
والتابعين من بعدهم والتمسك بمذاهب أهل الأثر مثل الشافعي وأحمد وإسحاق
وأبي عبيد رحمهم الله تعالى ولزوم الكتاب والسنة ونعتقد أن الله عزوجل على
عرشه بائن من خلقه ليس كمثله شيء وهو السميع البصير
Al Hafizh Abul Qosim Ath Thobari mengatakan bahwa beliau mendapati
dalam kitab Abu Hatim Muhammad bin Idris bin Al Mundzir Al Hanzholi,
perkataan yang didengar darinya, Abu Hatim mengatakan,
“Pilihan kami adalah mengikuti Rasulullah, para sahabat, para tabi’in
dan yang setelahnya. Kami pun berpegang dengan madzhab Ahlus Sunnah
semacam Asy Syafi’i, Ahmad , Ishaq, Abu ‘Abdillah rahimahumullah. Kami
pun konsekuen dengan Al Kitab dan As Sunnah. Kami meyakini bahwa Allah
‘azza wa jalla menetap tinggi di atas ‘Arsy, terpisah dari makhluk-Nya.
Tidak ada yang semisal dengan-Nya, Dialah (Allah) yang Maha Mendengar
lagi Maha Melihat.”
Lantas Abu Hatim Ar Rozi menyebutkan perkataan,
وعلامة أهل البدع الوقيعة في أهل الأثر وعلامة الجهمية أن يسموا أهل السنة مشبهة
“Di antara tanda ahlul bid’ah adalah berbagai tuduhan keliru yang
mereka sematkan pada Ahlus Sunnah. Tanda Jahmiyah adalah mereka menyebut
Ahlus Sunnah dengan musyabbihah (orang yang menyerupakan Allah dengan
makhluk).” [Lihat Al ‘Uluw, hal. 189-190 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal.
206-207].
61. Yahya bin Mu’adz Ar Rozi [meninggal dunia tahun 258 H].
قال أبو إسماعيل الأنصاري في الفاروق بإسناد إلى محمد بن محمود سمعت
يحيى بن معاذ يقول إن الله على العرش بائن من خلقه أحاط بكل شيء علما لا
يشذ عن هذه المقالة إلا جهمي يمزج الله بخلقه
Abu Isma’il Al Anshori berkata dalam Al Faruq dengan sanad sampai ke
Muhammad bin Mahmud, aku mendengar Yahya bin Mu’adz berkata,
“Sesungguhnya Allah di atas ‘Arsy, terpisah dari makhluk-Nya. Namun ilmu
Allah meliputi segala sesuatu. Tidak ada yang memiliki perkataan
nyleneh selain Jahmiyah. Jahmiyah meyakini bahwa Allah bercampur dengan
makhluk-Nya.” [Lihat Al ‘Uluw, hal. 190 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal.
207-208].
62. Imam ‘Utsman bin Sa’id Ad-Darimi [meninggal tahun 280 H] berkata :
قد اتفقت الكلمة من المسلمين أن الله فوق عرشه فوق سماواتة
“Sungguh kaum muslimin telah bersepakat terhadap satu kalimat
bahwasannya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, di atas langit-langit-Nya”.
[Al-Arba’iin fii Shifaati Rabbil-‘Aalamiin oleh Adz-Dzahabiy, tahqiq
‘Abdul-Qaadir Athaa, hal. 43 no. 17; Maktabah Al-‘Uluum wal-Hikam, Cet.
1/1413].
63. Imam ‘Utsman bin Sa’id ad-Darimi berkata:
“Hadits ini (tentang hadits nuzul) sangat pahit bagi kelompok Jahmiyah
dan mematahkan faham mereka bahwa Allah tidak di atas arsy tetapi di
bumi sebagaimana Dia juga di langit. Lantas bagaimanakah Allah turun ke
bumi kalau memang Dia sendiri sudah di atas bumi? Sungguh lafazh hadits
ini membantah faham mereka dan mematahkan argumen mereka”. [Naqdhu
Utsman bin Sa’id ‘ala Al-Mirrisi Al-Jahmi Al-Anid hal. 285].
64. Imam ‘Utsman ad-Darimi berkata: “Dalam hadits
ini (tentang budak jariyah) terdapat dalil bahwa seorang apabila tidak
mengetahui kalau Allah itu di atas langit bukan di bumi maka dia bukan
seorang mukmin. Apakah anda tidak tahu bahwa Nabi menjadikan tanda
keimanannya adalah pengetahuannya bahwa Allah di atas langit?!! Dan
dalam pertanyaan Nabi ‘Di mana Allah?’ terdapat bantahan ucapan sebagian
kalangan yang mengatakan bahwa Allah berada di setiap tempat, tidak
disifati dengan ‘di mana?’, sebab sesuatu yang ada di mana-mana tidak
mungkin disifati ‘dimana?’. Seandainya Allah ada dimana-mana sebagaimana
anggapan para penyimpang, tentu Nabi akan mengingkari jawabannya.”.
[Ar-Radd ala Jahmiyyah hal. 46-47].
65. Imam Utsman ad-Darimi berkata: “Dan telah
sepakat perkataan kaum muslimin dan orang-orang kafir bahwasanya Allah
berada di langit, dan mereka telah menjelaskan Allah dengan hal itu
(yaitu bahwasanya Allah berada di atas langit -pent) kecuali Bisyr
Al-Marrisi yang sesat dan para sahabatnya. Bahkan anak-anak yang belum
dewasa merekapun mengetahui hal ini, jika seorang anak kecil tersusahkan
dengan sesuatu perkara maka ia mengangkat kedua tangannya ke Robb-Nya
berdoa kepadaNya di langit, dan tidak mengarahkan tangannya ke arah
selain langit. Maka setiap orang lebih menetahui tentang Allah dan
dimana Allah daripada Jahmiyah.” [Rod Ad-Darimi Utsmaan bin Sa’iid alaa
Bisyr Al-Mariisi Al-’Aniid Hal 25].
66. Abu Ja’far Ibnu Abi Syaibah, Ulama Hadits di Negeri Kufah [meninggal tahun 297 H].
Al Hafizh Abu Ja’far Muhammad bin ‘Utsman bin Muhammad bin Abi
Syaibah Al ‘Abasi, muhaddits Kufah di masanya, di mana beliau telah
menulis tentang masalah ‘Arsy dalam seribu kitab, beliau berkata,
ذكروا أن الجهمية يقولون ليس بين الله وبين خلقه حجاب وأنكروا العرش وأن
يكون الله فوقه وقالوا إنه في كل مكان ففسرت العلماء وهومعكم يعني علمه ثم
تواترت الأخبار أن الله تعالى خلق العرش فاستوى عليه فهو فوق العرش متخلصا
من خلقه بائنا منهم
Jahmiyah berkata bahwa antara Allah dan makhluk-Nya sama sekali tidak
ada pembatas. Jahmiyah mengingkari ‘Arsy dan mengingkari keberadaan
Allah di atas ‘Arsy. Jahmiyah katakan bahwa Allah berada di setiap
tempat. Padahal para ulama menafsirkan ayat (وهومعكم), Allah bersama
kalian, yang dimaksud adalah dengan ilmu Allah. Kemudian juga telah ada
berbagai berita mutawatir (yang melalui jalan yang amat banyak) bahwa
Allah menciptakan ‘Arsy, lalu beristiwa’ (menetap tinggi) di atasnya.
Allah benar-benar di atas ‘Arsy, namun Allah terpisah atau tidak
menyatu dengan makhluk-Nya. [Lihat Al ‘Uluw, hal. 220 dan Mukhtashor Al
‘Uluw, hal. 220-221].
67. Zakariyaa As-Saaji (wafat tahun 307 H).
Beliau berkata :
القول في السنة التي رأيت عليها أصحابنا أهل الحديث الذين لقيناهم أن الله تعالى على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء”.
“Perkataan tentang sunnah yang aku lihat merupakan perkataan para
sahabat kami –dari kalangan Ahlul Hadits yang kami jumpai- bahwasanya
Allah ta’aala di atas ‘arsyNya di langit, Ia dekat dengan makhluknya
sesuai dengan yang dikehendakiNya.”
(Al-’Uluw li Al-’Aliy Al-’Adziim li Adz-Dzahabi 2/1203 no 482).
Adz-Dzahabi berkata : As-Saji adalah syaikh dan hafizhnya kota
Al-Bashroh dan Abul Hasan Al-Asy’ari mengambil ilmu hadits dan aqidah
Ahlus Sunnah darinya (Al-’Uluw li Al-’Aliy Al-’Adziim li Adz-Dzahabi
2/1203 dan Ijtimaa’ Al-Juyuusy Al-Islaamiyah li Ibnil Qoyyim hal 185).
68. Abu Bakr Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah (223 H-311 H).
Beliau berkata dalam kitabnya At-Tauhiid :
“Bab : Penyebutan penjelasan bahwasanya Allah Azza wa Jalla di langit:
Sebagaimana Allah kabarkan kepada kita dalam Al-Qur’an dan melalui
lisan NabiNya –’alaihis salaam- dan sebagaimana hal ini dipahami pada
fitroh kaum muslimin, dari kalangan para ulama mereka dan orang-orang
jahilnya mereka, orang-orang merdeka dan budak-budak mereka, para lelaki
dan para wanita, orang-orang dewasa dan anak-anak kecil mereka. Seluruh
orang yang berdoa kepada Allah jalla wa ‘alaa hanyalah mengangkat
kepalanya ke langit dan menjulurkan kedua tangannya kepada Allah, ke
arah atas dan bukan kearah bawah” [At-Tauhiid 1/254].
69. Berkata Muhammad bin Ishaq ibnu Khuzaimah:
“Barangsiapa yang tidak mengatakan bahwa Allah Azza wa Jalla di atas
‘Arsy-Nya, tinggi di atas tujuh lapis langit, maka dia kafir kepada
Rabb-nya; halal darahnya, diminta taubat kalau mau bertaubat; kalau
tidak mau bertaubat, maka dipenggal lehernya, dibuang jasadnya ke
tempat-tempat pembuangan sampah agar tidak mengganggu kaum muslimin dan
para mu’ahad dengan busuknya bau bangkai mereka. Hartanya menjadi fa’i
(rampasan perang untuk baitul maal). Tidak boleh mewarisinya seorang pun
dari kaum muslimin, karena seorang muslim tidak mewarisi dari seorang
kafir sebagaimana ucapan Nabi yang diriwayatkan dari Usamah bin Zaid :
“Orang muslim tidak mewarisi dari orang kafir dan orang kafir tidak
mewarisi dari orang muslim”. (HR. Bukhari Muslim). [Aqidatus Salaf
Ashabul Hadits, tahqiq Abul Yamin al-Manshuri, hal. 47].
70. Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad Ath Thahawi rahimahullah [wafat tahun 321 H].
Beliau berkata: “Allah tidak membutuhkan ‘Arsy dan apa yang ada
dibawahnya. Allah menguasai segala sesuatu dan apa yang ada diatasnya.
Dan Dia tidak memberi kemampuan kepada makhluk-Nya untuk mengetahui
segala sesuatu.” Beliau menjelaskan bahwa Allah menciptakan ‘Arsy dan
bersemayam di atasnya, bukanlah karena Allah membutuhkan ‘Arsy tetapi
Allah memiliki hikmah tersendiri tentang hal itu. Bahkan sebaliknya,
sekalian makhluk termasuk ‘Arsy bergantung kepada Allah Jalla wa ‘Ala.”
[Lihat Imam al-Qadhi ‘Ali bin ‘Ali bin Muhammad bin ‘Abdil ‘Izz
ad-Dimasyqi dalam Syarh ‘Aqidah at-Thahâwiyah, (hal. 372)].
71. Imam Abul Hasan Al-’Asy’ari rahimahullah [lahir tahun 260 H dan wafat pada tahun 324 H].
Beliau berkata dalam kitabnya Risaalah ila Ahli Ats-Tsagr:
Ijmak kesembilan :
Dan mereka (para salaf) berkonsensus (ijmak) … bahwasanya Allah
ta’aala di atas langit, diatas arsyNya bukan di bumi. Hal ini telah
ditunjukan oleh firman Allah,
أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الأرْضَ
Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu (QS Al-Mulk : 16).
Dan Allah berfirman
إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ
kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya (QS Faathir : 10).
Dan Allah berfirman
الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوى
“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang ber-istiwa di atas Arasy.” (QS. Thâhâ;5).
Dan bukanlah istiwaa’nya di atas arsy maknanya istiilaa’ (menguasai)
sebagaimana yang dikatakan oleh qodariah (Mu’tazilah-pent), karena Allah
Azza wa Jalla selalu menguasai segala sesuatu. Dan Allah mengetahui
yang tersembunyi dan yang lebih samar dari yang tersembunyi, tidak ada
sesuatupun di langit maupun di bumi yang tersembunyi bagi Allah, hingga
seakan-akan Allah senantiasa hadir bersama segala sesuatu. Hal ini telah
ditunjukan oleh Allah Azza wa Jalla dengan firmanNya,
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ
Dia bersama kamu dimana saja kamu berada (QS Al-Hadiid : 4).
Para ahlul ilmi menafsirkan hal ini dengan ta’wil yaitu bahwasanya
ilmu Allah meliputi mereka di mana saja mereka berada” [Risaalah ilaa
Ahli Ats-Tsagr 231-234].
72. Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy malah bersaksi
bahwa ciri ahlussunnah adalah sebagai berikut: “Berkata Ahlussunnah dan
Ashhab al-Hadits: “Dia bukan jisim, tidak menyerupai apapun, Dia ada di
atas Arsy seperti yang Dia kabarkan (Thaha: 5). Kita tidak melancangi
Allah dalam ucapan, tetapi kita katakan: istawa tanpa kaif. Dia adalah
Nur (pemberi cahaya) sebagaimana firmann-Nya (an-Nur: 35), Dia memiliki
wajah sebagaimana firman-Nya (al-Rahman: 27), Dia memiliki Yadain (dua
tangan) sebagaimana firman-Nya (Shad: 75), dia memiliki dua ‘ain (mata)
sebagaimana firmanNya (al-Qamar: 14), Dia akan datang pada hari kiamat
Dia dan para malaikat-Nya sebagaiman firman-Nya (al-Fajr: 22), dia turun
ke langit terendah sebagaimana dalam hadits. Mereka tidak mengatakan
apapun kecuali apa yang mereka dapatkan dalam al-Qur`an atau yang datang
keterangannya dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.” [Al
Maqalat: 136].
73. Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah berkomentar tentang ‘aqidah Jahmiyyah yang satu ini dengan perkataannya :
وقد قال قائلون من المعتزلة والجهمية والحرورية : إن معنى استوى إستولى
وملك وقهر، وأنه تعالى في كل مكان، وجحدوا أن يكون على عرشه، كما قال أهل
الحق، وذهبوا في الإستواء إلى القدرة، فلو كان كما قالوا كان لا فرق بين
العرش وبين الأرض السابعة لأنه قادر على كل شيء، والأرض شيء، فالله قادر
عليها وعلى الحشوش.
وكذا لو كان مستويا على العرش بمعنى الإستيلاء، لجاز أن يقال : هو مستو
على الأشياء كلها ولم يجز عند أحد من المسلمين أن يقول : إن الله مستو على
الأخلية والحشوش، فبطل أن يكون الإستواء [على العرش] : الإستيلاء.
“Dan telah berkata orang-orang dari kalangan Mu’tazillah, Jahmiyyah,
dan Haruriyyah (Khawarij) : ‘Sesungguhnya makna istiwaa’ adalah
menguasai (istilaa’), memiliki, dan mengalahkan. Allah ta’ala berada di
setiap tempat’. Mereka mengingkari keberadaan Allah di atas ‘Arsy-Nya,
sebagaimana yang dikatakan oleh Ahlul-Haq (Ahlus-Sunnah). Mereka
(Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Haruriyyah) memalingkan (mena’wilkan) makna
istiwaa’ kepada kekuasaan/kemampuan (al-qudrah). Jika saja hal itu
seperti yang mereka katakan, maka tidak akan ada bedanya antara ‘Arsy
dan bumi yang tujuh, karena Allah berkuasa atas segala sesuatu. Bumi
adalah sesuatu, dimana Allah berkuasa atasnya dan atas rerumputan.
Begitu juga apabila istiwaa’ di atas ‘Arsy itu bermakna menguasai
(istilaa’), maka akan berkonsekuensi untuk membolehkan perkataan :
‘Allah ber-istiwaa’ di atas segala sesuatu’. Namun tidak ada seorang pun
dari kaum muslimin yang membolehkan untuk berkata : ‘Sesungguhnya Allah
ber-istiwaa’ di tanah-tanah kosong dan rerumputan’. Oleh karena itu,
terbuktilah kebathilan perkataan bahwa makna istiwaa’ (di atas ‘Arsy)
adalah istilaa’ (menguasai)” [selengkapnya, silakan lihat Al-Ibaanah,
hal. 34-37 – melalui perantaraan Mukhtashar Al-‘Ulluw lidz-Dzahabiy oleh
Al-Albaaniy, hal. 239; Al-Maktab Al-Islamiy, Cet. 1/1401 H].
74. Al Imam Abul Hasan Al-Asy’ari berkata dalam
Al-Ibanah fi Ushul Diyanah hal. 69-76 : “Dan kita melihat seluruh kaum
muslimin apabila mereka berdoa, mereka mengangkat tangannya ke arah
langit, karena memang Allah tinggi di atas arsy dan arsy di atas langit.
Seandainya Allah tidak berada di atas arsy, tentu mereka tidak akan
mengangkat tangannya ke arah arsy.”
75. Al-Qaadhiy Abu Bakr Al-Baqillaniy (beliau
adalah seorang ulama madzhab Asy’ariyyah generasi awal yang terkemuka
dan banyak dipuji, wafat pada tahun 403 H di Baghdad).
Beliau berkata dalam kitabnya Al-Ibaanah :
“Jika dikatakan : Apakah kalian mengatakan bahwa Allah berada
dimana-mana?, dikatakan : Kita berlindung kepada Allah (dari perkataan
ini-pent). Akan tetapi Allah beristiwa di atas ‘arsy-Nya sebagaimana
Allah kabarkan dalam kitabNya “ArRahman di atas ‘arsy beristiwaa”, dan
Allah berfirman “Kepada-Nyalah naik perkatan-perkataan yang baik”, dan
Allah berfirman “Apakah kalian merasa aman dari Allah yang berada di
atas?”
Beliau berkata, “Kalau seandainya Allah di mana-mana maka Allah akan berada di perut manusia, di mulutnya, …”
[Sebagaimana dinukil oleh Imam Adz-Dzahabi dalam kitabnya Al-’Uluw 2/1298 (Mukhtsor Al-’Uluw 258)].
76. Al-Qaadhiy Abu Bakr Al-Baqillaniy berkata :
Bab : Apabila ada seseorang yang bertanya : “Dimanakah Allah ?”.
Dikatakan kepadanya : “Pertanyaan ‘dimana’ adalah pertanyaan yang
menyangkut tempat, dan Dia tidak boleh dilingkupi oleh satu tempat.
Tidak pula satu tempat bisa meliputi-Nya. Namun, kita hanya boleh
mengatakan (atas pertanyaan itu) : ‘Dia berada di atas ‘Arsy-Nya’,
dimana hal itu tidak berkonsekuensi makna wujud badan (jism) yang
bersentuhan dan berbatasan/berdekatan. Maha Tinggi (Allah) dari atas
semua itu dengan setinggi-tinggi dan seagung-agung-Nya !” [At-Tamhiid,
hal. 300-301].
77. Ibnu Kullab [241 H] sendiri mengatakan:
“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, yang dia itu adalah orang
pilihan Allah, dan yang terbaik, paling alim secara keseluruhan
membolehkan untuk bertanya dengan “Dimana Allah”, dan mengatakannya
serta membenarkan ucapan orang yang mengatakan: Di langit, dan pada saat
itu bersaksi bahwa orang itu mukmin. Sedangkan Jahm ibn Abi Shafwan dan
pengikutnya tidak membolehkan pertanyaan “Dimana“, mereka melarang
mengucapkan itu. seandainya salah tentu Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam lebih berhak untuk mengingkari. Seharusnya beliau mengatakan
kepada jariyah itu: jangan berkata begitu nanti kamu mengesankan bahwa
Allah itu dibatasi, atau di satu tempat tidak di tempat lain, tetapi
ucapkanlah ada di setiap tempat, karena itu yang benar, bukan yang tadi
kamu katakan. Tidak, sekali kali tidak. Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam telah membolehkannya dengan segenap pengetahuan beliau tentang
kandungannya, dan dia adalah ucapan yang paling benar, sesuatu yang
wajib adanya iman bagi pengucapnya, karena itu rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam menyaksikan keimanannya saat ia mengucapkannya. Lalu
bagaimana kebenaran ada pada selainnya, sementara al-Qur`an mengatakan
itu dan bersaksi untuk itu.” [Dar` at-Ta’arud: 6/193-194; Mawqif ibn
taimiah minal asyairah, Dr. Abdurrahman al-Mahmud: 1/443].
78. Al-Imam Ibnu Baththoh (304 H-387 H).
Beliau berkata dalam kitabnya Al-Ibaanah ‘an Syarii’at Al-Firqoh An-Naajiyah :
“باب الإيمان بأن الله على عرشه بائن من خلقه وعلمه محيط بخلقه”
أجمع المسلمون من الصحابة والتابعين وجميع أهل العلم من المؤمنين أن
الله تبارك وتعالى على عرشه فوق سمواته بائن من خلقه وعلمه محيط بجميع خلقه
ولا يأبى ذلك ولا ينكره إلا من انتحل مذاهب الحلولية وهم قوم زاغت
قلوبهم واستهوتهم الشياطين فمرقوا من الدين وقالوا : إن الله ذاته لا يخلو
منه مكان”. انتهى
“Bab Beriman Bahwa Allah di atas ‘Arsy, ‘Arsy adalah makhluk-Nya, dan Ilmu-Nya meliputi Makhluk-Nya”
Kaum muslimin dari para sahabat, tabiin dan seluruh ulama kaum
mukminin telah bersepakat bahwa Allah -tabaraka wa ta’ala- di atas
‘arsy-Nya di atas langit-langit-Nya yang mana ‘arsy merupakan
Makhluk-Nya, dan Ilmu-Nya meliputi seluruh makhluknya. Tidaklah menolak
dan mengingkari hal ini kecuali penganut aliran hululiyah, mereka itu
adalah kaum yang hatinya telah melenceng dan setan telah menarik mereka
sehingga mereka keluar dari agama, mereka mengatakan, “Sesungguhnya Dzat
Allah Berada dimana-mana.” (al-Ibaanah 3/136).
Adz Dzahabi berkata, “Ibnu Baththoh termasuk Pembesarnya Para Imam,
Seorang yang Zuhud, Faqih, pengikut sunnah.” (Al-’uluw li Adz-Dzahabi
2/1284).
79. Imam Abu Umar At-Tholamanki Al Andalusi (339-429H).
Beliau berkata di dalam kitabnya: Al Wushul ila Ma’rifatil Ushul,
” أجمع المسلمون من أهل السنة على أن معنى قوله : “وهو معكم أينما كنتم”
. ونحو ذلك من القرآن : أنه علمه ، وأن الله تعالى فوق السموات بذاتـه
مستو على عرشه كيف شاء”
وقال: قال أهل السنة في قوله :الرحمن على العرش استوى:إن الاستواء من الله على عرشه على الحقيقة لا على المجاز.”.
“Kaum Muslimin dari kalangan Ahlus Sunnah telah bersepakat (ijmak)
bahwa makna firman-Nya: “Dan Dia bersama kalian di manapun kalian
berada” (QS. Al Hadid 4) dan ayat-ayat Al Qur’an yg semisal itu adalah
Ilmu-Nya. Allah ta’ala di atas langit dengan Dzat-Nya, ber-istiwa di
atas ‘arsy-Nya sesuai kehendak-Nya”
80. Imam Abu Umar At-Tholamanki Al Andalusi juga
mengatakan, “Ahlussunah berkata tentang firman Allah, “Tuhan yang Maha
Pemurah, yang ber-istiwa di atas ‘Arsy” (QS Thoohaa : 5), bahwasanya
ber-istiwa-nya Allah di atas Arsy adalah benar adanya bukan majaz.”
(Sebagaimana dinukil oleh Ad-Dzahabi dalam Al-’Uluw 2/1315).
Imam Adz Dzahabi berkata, “At-Tholamanki termasuk pembesar para
Huffazh dan para imam dari para qurroo` di Andalusia” (Al-’Uluw
2/1315).
81. Syaikhul Islam Abu Utsman Ash Shabuni (372 – 449H).
Beliau berkata, “Para Ahli Hadits berkeyakinan dan bersaksi bahwa
Allah di atas langit yang tujuh di atas ‘arsy-Nya sebagaimana tertuang
dalam Al Kitab(Al Qur’an)….
Para ulama dan pemuka umat dari generasi salaf tidak berselisih
bahwasanya Allah di atas ‘arsy-Nya dan ‘arsy-Nya berada di atas
langit-Nya.” (Aqidatus Salaf wa Ashaabil hadiits hal 44).
Adz Dzahabi berkata, “Syaikhul Islam Ash Shabuni adalah seorang yang
faqih, ahli hadits, dan sufi pemberi wejangan. Beliau adalah Syaikhnya
kota Naisaburi di zamannya” (Al-’Uluw 2/1317).
82. Imam Abu Nashr As-Sijzi (meninggal pada tahun 444 H).
Berkata Adz-Dzahabi (Siyar A’laam An-Nubalaa’ 17/656) : Berkata Abu
Nashr As-Sijzi di kitab al-Ibaanah, “Adapun para imam kita seperti
Sufyan Ats Tsauri, Malik, Sufyan Ibnu Uyainah, Hammaad bin Salamah,
Hammaad bin Zaid, Abdullah bin Mubaarak, Fudhoil Ibnu ‘Iyyaadh, Ahmad
bin Hambal dan Ishaq bin Ibrahim al Handzoli bersepakat (ijmak) bahwa
Allah -Yang Maha Suci- dengan Dzat-Nya berada di atas ‘Arsy dan ilmu-Nya
meliputi setiap ruang, dan Dia di atas ‘arsy kelak akan dilihat pada
hari kiamat oleh pandangan, Dia akan turun ke langit dunia, Dia murka
dan ridho dan berbicara sesuai dengan kehendak-Nya”. Adz-Dzahabi juga
menukil perkataan ini dalam Al-’Uluw 2/1321.
83. Imam Abu Nu’aim -Pengarang Kitab al Hilyah-(336-430 H).
Beliau berkata di kitabnya al I’tiqod :
“Jalan kami adalah jalannya para salaf yaitu pengikut al Kitab dan As
Sunnah serta ijmak ummat. Di antara hal-hal yang menjadi keyakinan
mereka adalah Allah senantiasa Maha Sempurna dengan seluruh sifat-Nya
yang qodiimah…
dan mereka menyatakan dan menetapkan hadits-hadits yang telah valid
(yang menyebutkan) tentang ‘arsy dan istiwa`nya Allah diatasnya tanpa
melakukan takyif (membagaimanakan) dan tamtsil (memisalkan Allah dengan
makhluk), Allah terpisah dengan makhluk-Nya dan para makhluk terpisah
dari-Nya, Allah tidak menempati mereka serta tidak bercampur dengan
mereka dan Dia ber-istiwa di atas ‘arsy-Nya di langit bukan di bumi.”
(Al-’Uluw karya Adz-Dzahabi 2/1305 atau mukhtashor Al-’Uluw 261).
Adz Dzahabi berkata, “Beliau (Imam Abu Nu’aim) telah menukil adanya
ijmak tentang perkataan ini -dan segala puji hanya bagi Allah-, beliau
adalah hafizhnya orang-orang ‘ajam (non Arab) di zamannya tanpa ada
perselisihan. Beliau telah mengumpulkan antara ilmu riwayat dan ilmu
diroyah. Ibnu Asaakir al Haafizh menyebutkan bahwa dia termasuk sahabat
dari Abu Hasan al Asy’ari.” (Al-’Uluw 2/1306).
84. Imam Ibnu Abdil Barr (meninggal tahun 463H).
Beliau berkata: “Dalam hadits ini (tentang hadits nuzul) terdapat
dalil bahwasanya Allah berada di atas langit, di atas arsy sebagaimana
dikatakan oleh para ulama. Hadits ini termasuk salah satu hujjah Ahli
Sunnah terhadap kelompok Mu’tazilah dan Jahmiyah yang berpendapat bahwa
Allah ada dimana-mana, bukan di atas arsy”. [At-Tamhid 3/338. Lihat pula
Kitab At-Tauhid hal. 126 oleh Imam Ibnu Khuzaimah, Dar’u Ta’arudzil
Aqli wa Naqli 7/7 oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah].
85. Imam Ibnu Abdil Barr juga berkata :
“Dan kaum muslimin di setiap masa masih senantiasa mengangkat wajah
mereka dan tangan mereka ke langit jika mereka ditimpa kesempitan,
berharap agar Allah menghilangkan kesempitan tersebut.” [Fathul Barr fi
at Tartiib al Fiqhi li at Tamhiid li Ibni Abdil Barr 2/47].
86. Al-Imam Juwaini (ayahnya Imam Al-Haramain rahimahumallah, penulis kitab Al-Jauharah, tahun 438 H) berkata:
استوى على عرشه فبان من خلفه لا يخفى عليه منهم خافية علمه بهم محيط
وبصره بهم نافذ وهو في ذاته وصفاته لا يشبهه شيء من مخلوقاته ولا يمثل بشيء
من جوارح مبتدعاته . هي صفات لائقة بجلاله وعظمته لا تتخيل كيفيتها الظنون
ولا ترها في الدنيا العيون . بل نؤمن بحقائقها وثبوتها واتصاف الرب تعالى
بها وننفي عنها تأويل المتأولين وتعطيل الجاحدين وتمثيل المشبهين تبارك
الله أحسن الخالقين فبهذا الرب نؤمن وإياه نعبد وله نصلي ونسجد . فمن قصد
بعبادته إلى إله ليست له هذه الصفات فإنما يعبد غير الله وليس معبوده ذلك
بإله
“Dia (Allah) bersemayam di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dengan
makhluk-Nya, tidak ada yang tersembunyi dari-Nya, ilmu-Nya melingkupi
mereka, dan penglihatan terhadap mereka terbukti. Dalam Dzat dan
sifat-Nya, Dia tidak menyerupai makhluk-Nya. Tidak juga dimisalkan
dengan sesuatu dari anggota-anggota badan makhluk-Nya. Ini adalah
sifat-sifat yang sesuai dengan keagungan dan keluhuran-Nya. Bagaimananya
tidak bisa dibayangkan, dan tidak ada mata yang dapat melihat-Nya di
dunia. Tapi kita harus meyakini kebenaran dan ketetapannya, serta
menyifati Tuhan dengan sifat-sifat tersebut. Kita (harus) menafikkan
penakwilan dari orang-orang muta’awwiliin, penolakan dari orang-orang
yang ingkar, dan permisalan dari orang-orang musyabbihiin. Maha Suci
Allah dan Ia adalah sebaik-baik pencipta. Kepada Tuhan ini kita beriman,
menyembah, shalat, dan bersujud. Oleh karena itu, orang yang sengaja
beribadah kepada Tuhan yang tidak memiliki sifat-sifat ini, maka
sesungguhnya ia menyembah kepada selain Allah, karena yang disembahnya
itu bukanlah Tuhan.” [Mukhtashar Al-‘Ulluw, hal. 56-57].
87. Imam ‘Abdul Malik al Juwaini [Imam Al-Haramain, tahun 478 H].
Pernah dikisahkan bahwa suatu hari Imam ‘Abdul Malik al Juwaini
mengatakan dalam majelisnya, “Allah tidak dimana-mana, sekarang Ia
berada di mana pun Dia berada.” Lantas bangkitlah seorang yang bernama
Abu Ja’far al Hamdhani seraya berkata, “Wahai ustadz! Kabarkanlah kepada
kami tentang ketinggian Allah yang sudah mengakar di hati kami ini,
bagaimana kami menghilangkannya?” Abdul Malik al Juwaini berteriak dan
menampar kepalanya seraya mengatakan, “Al Hamdhani telah membuat diriku
bingung, al Hamdhani telah membuat diriku bingung.” [Lihat Siyar A’lamin
Nubala 18/475, al ‘Uluw hal. 276-277 oleh Adz Dzahabi].
Akhirnya Imam Juwaini pun mendapat hidayah Allah dan kembali ke jalan
yang benar. Semoga saudara-saudara kita yang tersesat bisa mengikuti
jejak beliau. Amiin.
88. Imam Isma’il bin Muhammad at Taimi berkata,
“Kaum muslimin bersepakat bahwa Allah tinggi sebagaimana ditegaskan
dalam Al Qur’an.” [Ijtima’ Juyusy Islamiyyah hal. 182].
89. Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni berkata:
قَالَ بَعْضُ أَكَابِرِ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ : فِي الْقُرْآنِ ”
أَلْفُ دَلِيلٍ ” أَوْ أَزْيَدُ : تَدُلُّ عَلَى أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى
عَالٍ عَلَى الْخَلْقِ وَأَنَّهُ فَوْقَ عِبَادِهِ . وَقَالَ غَيْرُهُ :
فِيهِ ” ثَلَاثُمِائَةِ ” دَلِيلٍ تَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ
“Sebagian ulama besar Syafi’iyah mengatakan bahwa dalam Al Qur’an ada
1000 dalil atau lebih yang menunjukkan Allah itu berada di ketinggian
di atas seluruh makhluk-Nya. Dan sebagian mereka lagi mengatakan ada 300
dalil yang menunjukkan hal ini.” [Lihat Majmu’ Al Fatawa, Ahmad bin
Abdul Halim Al Haroni, 5/121, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H.
Lihat pula Bayanu Talbisil Jahmiyah, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni,
1/555, Mathba’atul Hukumah, cetakan pertama, tahun 1392 H].
90. Imam Al-Baihaqi (wafat 458 H).
Beliau berkata dalam kitabnya Al-I’tiqood wal Hidaayah ilaa Sabiil
Ar-Rosyaad : “Dan maksud Allah adalah Allah di atas langit, sebagaimana
firman-Nya, “Dan sungguh aku akan menyalib kalian di pangkal korma”,
yaitu di atas pangkal korma. Dan Allah berfirman “Berjalanlah kalian di
bumi”, maksudnya adalah di atas muka bumi. Dan setiap yang di atas maka
dia adalah samaa’. Dan ‘Arsy adalah yang tertinggi dari benda-benda yang
di atas. Maka makna ayat –wallahu a’lam- adalah “Apakah kalian merasa
aman dari Dzat yang berada di atas ‘arsy?” [Al-I’tiqood wal Hidaayah
ilaa Sabiil Ar-Rosyaad, tahqiq : Abul ‘Ainain, Daar Al-Fadhiilah,
cetakan pertama bab Al-Qoul fi Al-Istiwaaa’ (hal 116)].
91. Syaikh Abdul Qadir Jailani [470 H].
Beliau berkata: “Allah, menggenggam, membuka tangan, mencintai,
senang, tidak suka, membenci, ridha, marah, dan murka. Dia memiliki dua
tangan, dan kedua tangan itu kanan, dan bahwa hati para hamba berada di
antara dua jari dari jemari-Nya. Dia berada di atas, beristiwa’ di atas
Arsy, meliputi segala kerajaan-Nya. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam
telah menyaksikan keIslâman budak wanita ketika beliau bertanya
kepadanya: “Di mana Allah?” Maka dia menunjuk ke atas. Dan bahwasanya
Arsy Allah itu di atas air. Allah beristiwa’ di atasnya, sebelumnya (di
bawahnya) adalah 70.000 hijab dari cahaya dan kegelapan. Dan bahwa arsy
itu memiliki batasan yang diketahui oleh Allah.”
Beliau juga berkata: “Seyogyanya menyebutkan sifat istiwa’ tanpa
ta`wil. Bahwasanya ia adalah istiwa’nya Dzat di atas Arsy, bukan
bermakna duduk dan bersentuhan sebagaimana yang dikatakan oleh kelompok
Mujassimah Karromiyah; juga dalam arti ketinggian (kedudukan) seperti
yang dikatakan oleh Asy’arîyyah, juga bukan beristila’ (menguasai)
sebagaimana ucapan Mu’tazilah.”
“Allah juga turun ke langit terendah dengan cara yang Dia kehendaki,
bukan bermakna turun rahmat-Nya atau pahala-Nya sebagaimana yang
dikatakan oleh Mu’tazilah dan Asya’irah.” [‘Abdul Qadir al-Jailani,
al-Ghunyah Li Thalibi `l-Haq, 56-57].
92. Al Imam Ibnu Qudamah [wafat pada tahun 629 H].
Beliau mengatakan, “Amma ba’du: Sesungguhnya Allah mensifati diri-Nya
bahwa Dia tinggi diatas langit, demikian juga Nabi Muhammad shalallahu
‘alaihi wasallam –penutup para Nabi- mensifati Allah dengan ketinggian
juga, dan hal itu disepakati oleh seluruh para ulama dari kalangan
shahabat yang bertaqwa dan para imam yang mendalam ilmunya,
hadits-hadits tentangnya juga mutawatir sehingga mencapai derajat yakin,
demikian pula Allah menyatukan semua hati kaum muslimin dan
menjadikannya sebagai fithrah semua makhluk.” [Itsbat Shifatul Uluw hal.
12].
93. Al Imam Al Qurthubi [Abu 'Abdillah, Muhammad bin Ahmad bin Farh al-Anshariy al-Khazrajiy al-Andalusiy al-Qurthubiy. Wafat tahun 671 H].
Beliau berkata dalam tafsirnya, “Tiada satupun dari kalangan Salafush
Shalih yang ingkar bahwa Allah istiwa di atas ‘Arsy secara hakiki.”
[Tafsir Qurthubi 7219].
94. Al Imam an-Nawawi rahimahullah [al-Imam
al-Hafizh, Syaikhul Islam, Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin
Mury bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam an-Nawawi
ad-Dimasyqi asy-Syafi’i . Lahir tahun 631 H, wafat tahun 676 H].
Beliau mengatakan dalam kitabnya “Juz Fi Dzikri I’tiqod Salaf fil
Huruf wal Ashwath” : “Kami mengimani bahwa Allah berada di atas
Arsy-Nya, sebagaimana telah diberitakan di dalam Kitab-Nya yang mulia.
Kami tidak mengatakan bahwa Dia berada di setiap tempat. Akan tetapi Dia
berada di atas langit, sedangkan ilmu-Nya di setiap tempat. Tidak ada
satu tempat pun yang lutput dari ilmu-Nya. Sebagaimana firman Allah
(yang artinya), ‘Apakah kalian merasa aman dari hukuman Tuhan yang
berada di atas langit?’ (Qs. al-Mulk: 16)…” [ad-Dala’il al-Wafiyah fi
Tahqiq ‘Aqidati an-Nawawi a Salafiyah am Khalafiyah, transkrip ceramah
Syaikh Masyhur Hasan Salman, hal. 42-43].
Imam Nawawi juga menegaskan ketinggian Allah dalam kitabnya Thobaqot
Fuqoha Syafi’iyyah 1/470 dan Roudhoh Tholibin 10/85, dan beliau juga
menulis kitab Al-Ibanah karya Abul Hasan al-Asya’ari sebagaimana dalam
Majmu Fatawa 3/224 yang di dalamnya terdapat ketegasan tentang
ketinggian Allah.
95. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu [wafat tahun 728 H].
Beliau berkata: “Dan termasuk dalam hal yang kami sebutkan dari iman
kepada Allah,yaitu beriman kepada apa yang Allah beritakan dalam
kitabNya dan dengan apa yang telah diriwayatkan dari RasulNya secara
mutawatir serta disepakati oleh Salafus Sholih,bahwa Allah itu berada
diatas langit diatas Arsy-Nya. Allah Maha Tinggi diatas mahlukNya dan
Allah Subhanahu wa ta’ala bersama mereka dimana saja mereka berada dan
Allah mengetahui apa yang mereka kerjakan. “ [Syarh Aqidah Al
Wasithiyyah].
96. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu
juga berkata: “Masalah ini luas sekali, karena orang-orang yang menukil
ijma’ Ahlis Sunnah atau ijma’ Shahabat dan Tabi’in bahwa Allah di atas
‘Arsy, berpisah dari makhluk-Nya tidak bisa dihitung jumlahnya kecuali
hanya Allah saja yang mampu…” [Bayanu Talbis Jahmiyyah 3/531].
97. Al Imam Adz Dzahabi rahimahullah [Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qaimaz bin Abdullah adz-Dzahabi al-Fariqi. Tahun 673 H - 748 H].
Beliau berkata mengomentari hadits budak jariyah,
“Demikianlah kita melihat setiap orang yang ditanya: Dimana Allah?
Niscaya dia akan menjawab dengan fitrahnya: Allah diatas langit. Dalam
hadits ini terdapat dua masalah:
Pertama, disyariatkannya pertanyaan kepada seorang muslim: Dimana Allah?
Kedua, jawaban orang yang ditanya pertanyaan tersebut: Di atas
langit. Barangsiapa yang mengingkari dua masalah ini, maka berarti dia
mengingkari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.” [Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil
Azhim, (Mukhtasar al ‘Uluw, Albani, hal. 81)].
98. Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah [Imad ad-Dien,
Abu al-Fida`, Isma'il bin 'Umar bin Katsir ad-Dimasyqiy asy-Syafi'iy,
seorang Imam, Hafizh dan juga sejarawan.Wafat tahun 774 H].
Beliau berkata dalam menafsirkan surat Al Hadiid: 4,
“…Dia bersama kamu…” ialah ilmu-Nya, pengawasan-Nya, penjagaan-Nya
bersama kamu, sedang Dzat Allah di atas arsy di langit.” [Lihat Tafsir
Qur`anil Azhim: 4/317].
99. Al Imam Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah [wafat 751 H].
Beliau juga berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
bertanya: ‘Di mana Allah?’ Lalu dijawab oleh yang ditanya bahwa Allah
berada di atas langit. Nabi pun kemudian ridha akan jawabannya dan
mengetahui bahwa itulah hakekat iman kepada Allah dan beliau juga tidak
mengingkari pertanyaan ini atasnya. Adapun kelompok Jahmiyyah, mereka
menganggap bahwa pertanyaan ‘Dimana Allah?’ seperti halnya pertanyaan:
Apa warnanya, apa rasanya, apa jenisnya dan apa asalnya dan lain
sebagainnya dari pertanyaan yang mustahil dan batil!?”. [I’lamul
Muwaqqi’in (3/521)].
100. Al-Hafizh Ibnu Abil Izzi al-Hanafi [wafat tahun 792 H].
Beliau mengatakan: “Dalam hadits Mi’raj ini terdapat dalil tentag
ketinggian Allah ditinjau dari beberapa segi bagi orang yang
menceramatinya”. [Syarh Aqidah ath-Thahawiyyah 1/277].
101. Al-Hafizh Ibnu Abil Izzi al-Hanafi juga
mengatakan, “Dalil-dalil yang muhkam (yang begitu jelas) menunjukkan
ketinggian Allah di atas seluruh makhluk-Nya. Dalil-dalil ini hampir
mendekati 20 macam dalil”. [Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah, 2/437].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar