Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin ditanya : “Tentang Qadar ;
apakah pokok perbuatan telah di
takdirkan, sementara manusia diberi kebebasan memilih (punya kebebasan)
cara pelaksanaannya ? Sebagai contoh apabila Allah telah mentakdirkan
seorang hamba untuk membangun masjid, maka dia pasti membangun masjid,
akan tetapi Dia (Allah) membiarkan akalnya untuk memilih cara membangun.
Begitu juga, apabila Allah telah mentakdirkan kema’syiatan, maka manusia sudah barang tentu melakukannya, akan tetapi Dia membiarkan akalnya untuk memilih cara melaksanakannya. Ringkasnya manusia itu diberi kebebasan memilih cara melaksanakan sesuatu yang telah ditakdirkan kepadanya. Apakah itu benar ?”
Begitu juga, apabila Allah telah mentakdirkan kema’syiatan, maka manusia sudah barang tentu melakukannya, akan tetapi Dia membiarkan akalnya untuk memilih cara melaksanakannya. Ringkasnya manusia itu diberi kebebasan memilih cara melaksanakan sesuatu yang telah ditakdirkan kepadanya. Apakah itu benar ?”
Jawaban
Masalah ini (Qadar) memang menjadi pusat perdebatan di kalangan umat manusia sejak zaman dahulu. Oleh karena itu, dalam hal ini mereka dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok, yaitu dua kelompok saling kontroversial dan satu kelompok sebagai penengah.
Kelompok Pertama.
Memandang pada keumuman Qadar Allah, sehingga dia buta tentang kebebasan memilih hamba. Dia mengatakan : “Sesungguhnya dia dipaksa dalam segala perbuatannya dan tidak mempunyai kebebasan memilih jalannya sendiri. Maka jatuhnya seseorang dari atap bersama angin dan sebagainya sama dengan turun dari atap tersebut dengan tangga sesuai dengan pilihannya sendiri.
Kelompok Kedua.
Memandang bahwa seorang hamba melakukan dan meninggalkan sesuatu dengan pilihannya sendiri, sehingga dia buta dari Qadar Allah. Dia mengatakan bahwa seorang hamba bebas memilih semua perbuatannya dan tidak ada hubungannya dengan Qadar Allah.
Kelompok Penengah.
Maka mereka melihat dua sebab. Mereka memandang pada keumuman Qadar Allah dan sekaligus kebebasan memilih hamba-Nya. Maka mereka mengatakan : “Sesungguhnya perbuatan hamba terjadi karena Qadar Allah dan dengan pilihan hamba itu sendiri. Dia tentu tahu perbedaan antara jatuhnya seseorang dari atap karena angin dan semisalnya dengan turun melalui tangga atas pilihannya sendiri. Yang pertama adalah orang yang melakukannya diluar pilihannya dan yang kedua dengan pilihannya sendiri.
Masing-masing dari keduanya terjadi
karena Qadha’ dan Qadar Allah yang tidak akan terjadi dalam kerajaan-Nya
apa yang tidak Dia kehendaki, akan tetapi sesuatu yang terjadi dengan
pilihan seorang berhubungan dengan taklif (pembebanan/hukum) dan dia
tidak punya alasan Qadar dalam melanggar apa yang telah dibebankan
kepadanya, baik berupa perintah maupun larangan. Karena dia melakukan
sesuatu yang menyalahi (hukum Allah) dan ketika melakukannya dia belum
tahu apa yang ditakdirkan kepadanya.
Maka perlakuan tersebut menjadi sebab
siksaan, baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, ketika dia
dipaksa oleh seseorang untuk melakukan sesuatu yang menyalahi (hukum
Allah), maka tidak ada hukum dan siksaan atas perbuatan tersebut karena
keterpaksaannya, Apabila manusia mengetahui bahwa melarikan diri dari
api ke tempat yang lebih aman adalah pilihannya sendiri dan bahwa
kedatangan ke rumah bagus, luas dan layak tinggal juga merupakan
pilihannya, di sisi lain dia juga meyakini bahwa melarikan diri dan
kedatangan tersebut terjadi karena Qadha’ dan Qadar Allah.
Sedangkan tetap tinggal (di rumah
tersebut) sehingga ditelan api dan ketelatannya untuk menempati rumah
dapat dikatakan menyia-nyiakan kesempatan yang berakibat penyesalan.
Maka kenapa dia tidak memahami ini dalam hal kecerobohannya dengan
meninggalkan sebab-sebab yang bisa menyelamatkan dirinya dari neraka
akhirat dan menggiringnya untuk masuk jannah.?
Adapun gambaran bahwa ketika Allah telah
mentakdirkan seorang hamba untuk membangun masjid, maka dia pasti akan
membangun masjid, akan tetapi Dia (Allah) membiarkan akalnya dalam
menentukan cara membangun, adalah gambaran yang kurang tepat. Karena
gambaran tersebut mengindikasikan bahwa cara membangun adalah kebebasan
akal dan tidak terkait dengan Qadar Allah di dalamnya dan sumber pikiran
(untuk membangun) semata-mata karena kekuasaan Qadar dan tidak ada
kaitannya pilihan (hamba) di dalamnya.
Hal yang benar adalah sumber pikiran
membangun merupakan bagian dari pilihan manusia karena dia tidak
dipaksakan, sebagaimana dia tidak dipaksa untuk merenovasi rumahnya atau
membongkarnya, Akan tetapi munculnya pikiran tersebut, sebenarnya telah
ditakdirkan oleh Allah tanpa ia sadari, karena dia belum tahu bahwa
Allah telah mentakdirkan apapun kecuali setelah terjadinya, karena Qadar
itu rahasia dan tertutup yang tak dapat diketahui kecuali melalui
petunjuk Allah dalam bentuk wahyu atau kejadian nyata. Begitu juga cara
membangun tetap dalam Qadar Allah, karena Allah telah menetapkan segala
sesuatu, baik secara global maupun rinci dan tidak mungkin menusia bisa
memilih sesuatu yang tidak dikehendaki dan ditetapkan Allah, akan tetapi
bila seseorang memilih sesuatu dan melakukannnya maka dia baru tahu
dengan yakin bahwa hal tersebut telah ditetapkan Allah.
Dengan demikian, manusia diberi kebebasan
memilih berbagai sebab nyata yang telah ditetapkan Allah sebagai sebab
terjadinya perbuatan dan ketika melakukannya manusia tidak merasa
dipaksa oleh siapapun. Akan tetapi, bila dia telah melakukan perbuatan
tersebut berdasarkan sebab-sebab yang telah dijadikan Allah sebagai
sebab, maka kita baru tahu dengan yakin bahwa Allah telah menetapkannya
(mentadkdirkan), baik secara global maupun rinci.
Demikian juga, kami bisa berbicara
tentang perbuatan ma’siyat manusia, dimana kamu mengatakan :
“Sesungguhnya Allah telah mentakdirkan kepadanya perbuatan ma’siyat,
sehingga dia pasti melakukannya. Akan tetapi Dia (Allah) membiarkan
(menyerahkan) kepada akalnya tentang cara pelaksanaannya”.
Maka dalam hal ini, kami katakan
sebagaimana yang telah kami sampaiakan dalam hal pembangunan masjid di
atas ; Sesungguhnya Qadar Allah kepadanya untuk melakukan ma’siyat tidak
berarti menghilangkan kebebasan (memilih)nya. Karena ketika dia memilih
perbuatan tersebut (ma’siyat) dia belum tahu apa yang ditakdirkan Allah
kepadanya, lalu dia melakukan perbuatan tersebut sesuai dengan
pilihannya dan tidak merasa dipaksa oleh siapapun.
Akan tetapi ketika dia telah
melakukannya, maka kita baru mengetahui bahwa Allah telah mentakdirkan
perbuatan tersebut kepadanya. begitu juga, cara pelaksanaan mas’iyat dan
proses menuju ke sana yang terjadi dengan pilihan manusia tidak berarti
menghilangkan Qadar Allah. Karena Allah telah mentakdirkan segala
sesuatu, baik secara global maupun rinci dan telah menetapkan
sebab-sebab menuju ke sana dan seluruh perbuatan-Nya tidak terlepas dari
Qadar-Nya dan begitu juga perbuatan hamba-Nya, baik yang bersifat
ikhtiyari (sesuai pilihan) maupun idhthirari (terpaksa),
Allah berfirman.
“Artinya : Apakah kamu belum tahu bahwa
Allah mengetahui apa yang ada di langit dan bumi, sesungguhnya hal itu
telah ada dalam Kitab, sesungguhnya itu bagi Allah sangat mudah”
[Al-Hajj : 70]
Allah juga berfirman.
“Artinya : Begitu juga Aku telah
menjadikan bagi setiap nabi musuh yang berupa syetan-syetan dari bangsa
Manusia dan Jin yang sebagian menyampaikan kepada sebagian lain ucapan
palsu. Dan apabila Rabb-mu menghendaki, maka mereka tidak melakukannya
(kebohongan). Maka tinggalkanlah mereka dan kebohongannya” [Al-An'am :
12]
Allah juga berfirman.
“Artinya : Begitu juga Allah telah
menghiasi kebanyakan orang-orang musyrik dengan pembunuhan anak-anak
mereka kepada teman-teman mereka untuk menarik mereka dan meremangkan
agama mereka. Apabila Allah menghendaki, maka mereka tidak melakukannya.
Maka tinggalkanlah mereka dan kebohongan mereka” [Al-An'am : 137]
Dia juga berfirman.
“Artinya : Kalau Allah menghendaki, maka
tidaklah saling membunuh orang-orang setelah mereka setelah datang
penjelasan kepada mereka. Akan tetapi mereka saling berselisih, sehingga
sebagian mereka ada yang beriman dan sebagian ada yang kafir. Kalau
Allah menghendaki, maka mereka tidak saling membunuh” [Al-Baqarah : 253]
Setelah itu, maka sebaiknya seseorang
tidak membicarakan dengan diri sendiri atau dengan orang lain tentang
persoalan seperti ini yang akan berakibat gangguan dan menimbulkan
prasangka adanya pertentangan antara Syari’ah dengan Qadar.
Karena hal itu bukanlah merupakan
kebiasaan sahabat, padahal mereka orang yang paling semangat untuk
mengetahui berbagai kebenaran dan lebih dekat dengan nara sumber dan
pemecahan kesedihan. Disebutkan dalam Shahihul Bukhari dari Ali bin Abi
Thalib bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Tak seorangpun dari kamu kecuali telah tertulis tempatnya di surga atau tempatnya di neraka”
Kemudian (sahabat) bertanya : “Ya
Rasulullah, apakah kita tidak menyerah saja” (Dalam suatu riwayat
disebutkan :’Apakah kita tidak menyerah saja pada catatan kita dan
meninggalkan amal).
Beliau menjawab : “Jangan, beramallah, setiap orang dipermudah (menuju takdirnya)”. (Dalam suatu riwayat disebutkan : “Beramallah, karena setiap orang dipermudah menuju sesuatu yang telah diciptakan untuknya”).
Orang yang termasuk ahli kebahagian, maka dia dipermudah menuju
perbuatan ahli kebahagiaan. Adapun orang yang termasuk ahli celaka, maka
dia dipermudah menuju perbuatan ahli celaka”.
Kemudian beliau membaca ayat : “Adapun
orang yang memberi dan bertaqwa dan membenarkan kebaikan, maka Aku akan
mempermudahnya menuju kemudahan. Adapun orang yang bakhil dan menumpuk
kekayaan dan mebohongkan kebaikan, maka Aku akan mempermudahnya menuju
kesulitan”.
Dari hadits di atas, jelaslah bahwa Nabi
melarang sikap menyerah pada catatan (takdir) dan meninggalkan beramal,
karena tak ada peluang untuk mengetahuinya dan beliau menyuruh hamba
untuk berbuat semampu mungkin, yang berupa amal. Beliau mengambil dalil
dengan ayat yang menunjukkan bahwa orang yang beramal shalih dan
beriman, amal dia akan dipermudah menuju kemudahan. Ini merupakan obat
yang berharga dan mujarab, di mana seorang hamba akan mendapatkan puncak
kesejahteraan dan kebahagiaannya dengan mendorong untuk beramal shalih
yang dibangun di atas landasan iman dan dia akan bergembira dengannya
karena ia akan didekatkan dengan taufiq menuju kemudahan di dunia dan
akhirat.
Saya memohon kepada Allah agar memberikan
taufiq kepada kita semua untuk melakukan amal shalih dan mempermudah
kita menuju kemudahan dan menajauhkan kita dari kesulitan dan mengampuni
dia akhirat dan dunia. Sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia.
[Disalin kitab Al-Qadha' wal Qadar edisi
Indonesia Tanya Jawab Tentang Qadha dan Qadar, Penulis Syaikh Muhammad
bin Shalih Al-Utsaimin', terbitan Pustaka At-Tibyan, penerjemah Abu
Idris]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar