Penulis: Rizki Maulana
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
Seringkali kita mendengar sebagian orang mengatakan
bahwa kita wajib memilih madzhab tertentu dalam beragama dan jangan
sampai meninggalkannya. “Kalau memilih madzhab Syafi’i, madzhab itu saja. Jangan berpaling ke lainnya,” begitu ujar sebagian orang. Apakah benar prinsip semacam ini? Semoga tulisan kali ini bisa sebagai jawaban berharga.
Apakah Orang Awam Wajib Memilih Madzhab Tertentu Untuk Beragama?
Dalam hal ini ada dua pendapat: Salah satu pendapat yang ada mengatakan, “Tidak wajib“. Inilah pendapat yang lebih tepat.
Yang namanya kewajiban adalah jika diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Allah dan Rasul-Nya sama sekali tidak mewajibkan kepada seseorang untuk
mengikuti salah satu madzhab tertentu untuk diikuti agamanya, namun
yang diwajibkan adalah mengikuti petunjuk Al Qur’an dan As Sunnah. Dan
telah berlalu beberapa generasi, namun mereka sama sekali tidak
berpegang dengan satu madzhab tertentu.[1]
Intinya, mewajibkan mengikuti salah satu madzhab tertentu tidaklah dibolehkan. Inilah hukum asalnya.
Namun perlu diperhatikan bahwa pendapat di atas tidak
berlaku secara mutlak. Sebenarnya tetap diperbolehkan mengikuti madzhab
tertentu namun hanya berlaku pada keadaan tertentu saja.
Keadaan-keadaan yang dibolehkan tersebut adalah:
-
Mempelajari madzhab tertentu hanya sebagai wasilah (perantara) saja dan bukan tujuan. Jika seseorang tidak mampu belajar agama kecuali dengan mengikuti madzhab tertentu, maka dalam keadaan seperti ini dibolehkan.
-
Jika ia mengikuti madzhab tertentu untuk menghilangkan mafsadat (kerusakan) lebih besar, yang ini bisa dihilangkan bila ia mengikuti madzhab tertentu, maka ini dibolehkan.[2]
Jadi sebenarnya mengikuti madzhab tertentu harus melihat pada maslahat dan mafsadat. Jika mengikuti madzhab tertentu membuat seseorang mendapatkan maslahat besar, maka pada saat ini boleh bermadzhab.
Namun ada beberapa rambu yang harus diperhatikan ketika belajar pada madzhab tertentu.
Rambu-Rambu dalam Bermadzhab
Rambu pertama: Harus
diyakini bahwa madzhab tersebut bukan dijadikan sarana kawan dan musuh
sehingga bisa memecah belah persatuan kaum muslimin. Jadi
tidak boleh seseorang berprinsip jika orang lain tidak mengikuti
madzhab ini, maka ia musuh kami dan jika semadzhab, maka ia adalah kawan
kami.
Sifat dari pengikut hawa nafsu (ahlu bid’ah)
berprinsip bahwa satu person dijadikan sebagai tolak ukur teman dan
lawan. Sedangkan Ahlus Sunnah berprinsip bahwa yang dijadikan standar
wala’ dan baro’ (kawan dan lawan) hanya dengan mengikuti Al Quran dan
petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta ijma’ (konsensus) para ulama kaum muslimin.
Rambu kedua: Tidak boleh seseorang meyakini bahwa setiap muslim wajib mengikuti imam tertentu dan tidak boleh mengikuti imam lainnya.
Jika ada yang meyakini demikian, dialah orang yang jahil. Namun orang
awam boleh baginya mengikuti orang tertentu, akan tetapi tidak
ditentukan bahwa yang diikuti mesti Muhammad, ‘Amr atau yang lainnya.
Rambu ketiga: Imam yang diikuti madzhabnya tersebut harus diyakini bahwa ia hanya diaati karena ia menyampaikan maksud dari agama dan syari’at Allah. Sedangkan
yang mutlak ditaati adalah Allah dan Rasul-Nya. Maka tidak boleh
seseorang mengambil pendapat imam tersebut karena itu adalah pendapat
imamnya. Akan tetapi yang harus jadi prinsipnya adalah dia mengambil
pendapat imam tersebut karena itu yang diperintahkan oleh Allah dan
Rasul-Nya.
Rambut keempat: Menjaga diri agar tidak terjatuh pada hal-hal yang terlarang sebagaimana yang dialami para pengikut madzhab di antaranya:
-
Fanatik buta dan memecah persatuan kaum muslimin.
-
Berpaling dari Al Qur’an dan As Sunnah karena yang diagungkan adalah perkataan imam madzhab.
-
Membela madzhab secara overdosis bahkan sampai menggunakan hadits-hadits dhoif agar orang lain mengikuti madzhabnya.
-
Mendudukkan imam madzhab sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.[3]
أَمَّا
وُجُوبُ اتِّبَاعِ الْقَائِلِ فِي كُلِّ مَا يَقُولُهُ مِنْ غَيْرِ ذِكْرِ
دَلِيلٍ يَدُلُّ عَلَى صِحَّةِ مَا يَقُولُ فَلَيْسَ بِصَحِيحِ ؛ بَلْ
هَذِهِ الْمَرْتَبَةُ هِيَ ” مَرْتَبَةُ الرَّسُولِ ” الَّتِي لَا تَصْلُحُ
إلَّا لَهُ
“Adapun menyatakan bahwa wajib mengikuti seseorang
dalam setiap perkataannya tanpa menyebutkan dalil mengenai benarnya apa
yang ia ucapkan, maka ini adalah sesuatu yang tidak tepat. Menyikapi
seseorang seperti ini sama halnya dengan menyikapi rasul semata yang
selainnya tidak boleh diperlakukan seperti itu.”[4]
فَلَا
وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ
وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya)
tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang
mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka
sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka
menerima dengan sepenuhnya” (QS. An Nisa’: 65)
وَمَا
أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ وَلَوْ
أَنَّهُمْ إذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ
وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا
“Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul
melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka
ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada
Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka
mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nisa’: 64)
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai
Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni
dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imron: 31)
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin
dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya
telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang
lain) tentang urusan mereka” (QS. Al Ahzab: 36)
وَمَنْ
يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ
عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ
وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan
Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang
dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin,
orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah
teman yang sebaik-baiknya.” (QS. An Nisa’: 69)
Prinsip Yang Benar: Ikutilah Al Quran dan As Sunnah
Prinsip yang benar adalah mengikuti Al Qur’an dan As Sunnah. Selama perkataan imam madzhab sejalan dengan keduanya, maka barulah perkataan mereka layak diambil.
Sedangkan memaksakan seseorang untuk bermadzhab dengan pendapat salah
seorang di antara mereka, ini adalah menetapkan perintah tanpa adanya
dalil.
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat
sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).” (QS. Al A’rof: 3)
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ
“Katakanlah: “Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir“. (QS. Ali Imron: 32)
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ
إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah
(Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian” (QS. An Nisa’: 59)
Hal ini juga dapat dilihat dalam hadits Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu seolah-olah inilah nasehat terakhir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehati para sahabat radhiyallahu ‘anhum,
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Berpegang teguhlah dengan sunnahku dan sunnah
khulafa’ur rosyidin yang mendapatkan petunjuk (dalam ilmu dan amal).
Pegang teguhlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian.” (HR. Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban. At Tirmidizi mengatakan hadits ini hasan shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targhib wa At Tarhib no. 37)
Salah seorang khulafa’ur rosyidin dan manusia terbaik setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
لَسْتُ
تَارِكًا شَيْئًا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ
يَعْمَلُ بِهِ إِلَّا عَمِلْتُ بِهِ إِنِّي أَخْشَى إِنْ تَرَكْتُ شَيْئًا
مِنْ أَمْرِهِ أَنْ أَزِيْغَ
“Aku tidaklah biarkan satupun yang Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam amalkan kecuali aku mengamalkannya karena
aku takut jika meninggalkannya sedikit saja, aku akan menyimpang.” (Lihat Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud, Syaikh Al Albani mengatakan bahwa atsar ini shohih)
Ibnu Baththoh dalam Al Ibanah, 1/246, mengomentari perkataan Abu Bakar di atas, beliau rahimahullah mengatakan, “Inilah, wahai saudaraku! Orang yang paling shiddiq
(paling jujur) seperti ini saja masih merasa takut dirinya akan
menyimpang jika dia menyelisihi sedikit saja dari perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bagaimana lagi dengan orang yang mengejek Nabi dan perintahnya
(ajarannya), membanggakan diri dengan menyelisihinya, mencemooh
petunjuknya (ajarannya). -Kita memohon kepada Allah agar terjaga dari
kesalahan dan agar terselamatkan dari amal yang jelek-
Imam Abu Hanifah dan muridnya Abu Yusuf berkata,
لاَ يَحِلُّ لأَِحَدٍ أَنْ يَقُوْلَ بِقَوْلِنَا حَتَّى يَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ قُلْنَاهُ
“Tidak boleh bagi seorang pun mengambil perkataan kami sampai ia mengetahui dari mana kami mengambil perkataan tersebut (artinya sampai diketahui dalil yang jelas dari Al Quran dan Hadits Nabawi, pen).”[5]
إِنَّمَا
أَنَا بَشَرٌ أُخْطِىءُ وَأُصِيْبُ فَانْظُرُوا فِي قَوْلِي فَكُلُّ مَا
وَافَقَ الكِتَابَ وَالسُّنَّةَ فَخُذُوْا بِهِ وَمَا لَمْ يُوَافِقْ
االكِتَابَ وَالسُّنَّةّ فَاتْرُكُوْهُ
“Sesungguhnya aku hanyalah manusia yang bisa keliru dan benar. Lihatlah setiap perkataanku, jika itu mencocoki Al Qur’an dan Hadits Nabawi, maka ambillah. Sedangkan jika itu tidak mencocoki Al Qur’an dan Hadits Nabawi, maka tinggalkanlah.[6]
إِذَا صَحَّ الحَدِيْثُ فَهُوَ مَذْهَبِي
“Jika hadits itu shahih, itulah pendapatku.”[7]Imam Asy Syafi’i berkata,
إذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَاضْرِبُوا بِقَوْلِي الْحَائِطَ وَإِذَا رَأَيْت الْحُجَّةَ مَوْضُوعَةً عَلَى الطَّرِيقِ فَهِيَ قَوْلِي
“Jika terdapat hadits yang shahih, maka lemparlah pendapatku ke dinding. Jika engkau melihat hujjah diletakkan di atas jalan, maka itulah pendapatku.”[8]
مَنْ رَدَّ حَدِيْثَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهُوَ عَلَى شَفَا هَلَكَةٍ
“Barangsiapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia berarti telah berada dalam jurang kebinasaan.”[9]
[1] Lihat I’lamul Muwaqi’in, 4/261-262
[2] Lihat Majmu’ Al Fatawa, 11/514 dan 20/209
[3] Pembahasan ini dan point sebelumnya kami ambil faedah dari pembahasan kitab Ma’alim Ushul Fiqh, hal. 501-503
[4] Majmu’ Al Fatawa, 35/121, Darul Wafa’
[5] I’lamul Muwaqi’in, 2/211, Darul Jail
[6] I’lamul Muwaqi’in, 1/75
[7] Dinukil dari Shahih Fiqh Sunnah, 1/39, 41
[8] Majmu’ Al Fatawa, 20/211, Darul Wafa’
[9] Ibnul Jauzi dalam Manaqib, hal. 182. Dinukil dari sifat Shalat Nabi hal. 53
Tidak ada komentar:
Posting Komentar