Segala puji bagi Allah yeng telah mengutus Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membangkitkan para sahabat sebagai pendamping dan pembela dakwah beliau. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Muhammad, keluarga dan para pengikutnya yang setia hingga akhir masa.
Amma ba’du. Kaum muslimin sekalian, semoga Allah melimpahkan hidayah dan taufik-Nya kepada kita. Seringkali masyarakat dibingungkan oleh sebuah istilah yang belum mereka mengerti dengan baik.
Nah, dibangun di atas kebingungan inilah kemudian muncul berbagai persangkaan dan bahkan tuduhan bukan-bukan kepada sesama saudara seiman. Perlu kita ingat bersama bahwa cek dan ricek merupakan bagian dari keindahan ajaran Islam yang harus kita jaga. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman jika orang fasik datang kepada kalian membawa berita maka telitilah kebenarannya…”
(QS. Al Hujuraat: 6) (Silakan baca penjelasan ayat ini di dalam rubrik
Tafsir Majalah As Sunnah Edisi 01/Thn X/1427 H/2006 M, hal. 11-15).
Saudara-saudara sekalian, di hadapan kita ada sebuah istilah yang cukup populer namun sering disalahpahami oleh sebagian orang. Istilah yang dimaksud adalah kata salaf atau salafi dan salafiyah. Menimbang
pentingnya hakikat permasalahan ini untuk diungkap dan dijelaskan maka
kami memohon pertolongan kepada Allah ta’ala untuk turut berpartisipasi
mengurai “benang kusut” ini. Semoga Allah menjadikan amal-amal kita ikhlas untuk mengharapkan wajah-Nya semata. Wallahu waliyyut taufiiq.
Syaikh Salim Al Hilaly -salah satu murid senior Ahli Hadits abad ini Syaikh Al Albani- hafizhahullah telah membeberkan perkara ini dengan gamblang dalam buku beliau Limadza Ikhtartul Manhaj Salafy yang sudah diterjemahkan oleh Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. hafizhahullah dengan judul Mengapa Memilih Manhaj Salaf penerbit Pustaka Imam Bukhari, Solo. Kami sangat menganjurkan kepada para pembaca sekalian untuk memiliki atau membaca langsung buku tersebut. Orang bilang, “Tak kenal maka tak sayang…”
Pemahaman yang Benar dan Niat Baik
Pada awal risalah ini kami ingin
menukilkan sebuah perkataan berharga dari Imam Ibnul Qayyim demi
mengingatkan kaum muslimin sekalian agar menjaga diri dari dua bahaya
besar, yaitu kesalah pahaman dan niat yang buruk. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Pemahaman yang benar dan niat yang baik adalah termasuk nikmat paling agung yang dikaruniakan Allah kepada hamba-Nya.
Bahkan tidaklah seorang hamba mendapatkan
pemberian yang lebih utama dan lebih agung setelah nikmat Islam
daripada memperoleh kedua nikmat ini. Bahkan kedua hal ini adalah pilar
tegaknya agama Islam, dan Islam tegak di atas pondasi keduanya.
Dengan dua nikmat inilah hamba bisa menyelamatkan dirinya dari terjebak di jalan orang yang dimurkai (al maghdhuubi ‘alaihim) yaitu orang yang memiliki niat yang rusak. Dan juga dengan keduanya ia selamat dari jebakan jalan orang sesat (adh dhaalliin) yaitu orang-orang yang pemahamannya rusak.
Sehingga dengan itulah dia akan termasuk orang yang meniti jalan orang yang diberi nikmat (an’amta ‘alaihim) yaitu orang-orang yang memiliki pemahaman dan niat yang baik. Mereka itulah pengikut shirathal mustaqim…” (I’laamul Muwaqqi’iin, 1/87, dinukil dari Min Washaaya Salaf, hal. 44).
Oleh sebab itu di sini kami katakan: Hendaknya
kita semua berusaha seoptimal mungkin untuk memahami persoalan yang
kita hadapi ini sebaik-baiknya dengan dilandasi niat yang baik yaitu
untuk mencari kebenaran dan kemudian mengikutinya. Hal ini
sangatlah penting. Karena tidak sedikit kita saksikan orang-orang yang
memiliki niat yang baik namun karena kurang bisa mencermati hakikat
suatu permasalahan akhirnya dia terjatuh dalam kekeliruan, sungguh betapa banyak orang semacam ini…
Di sisi lain adapula orang-orang yang
apabila kita lihat dari sisi taraf pendidikan atau gelar akademis yang
sudah didapatkannya (meskipun itu bukan menjadi parameter pemahaman)
adalah termasuk golongan orang yang ‘mengerti’, namun amat disayangkan ilmu yang diperolehnya tidak melahirkan ketundukan terhadap manhaj salaf yang haq ini.
Sehingga kita temui adanya sebagian da’i yang lebih memilih manhaj/metode selain manhaj salaf,
padahal ia termasuk lulusan Universitas Islam Madinah Saudi Arabia (Ini
sekaligus mengingatkan bahwa tempat sekolah seseorang bukanlah ukuran
kebenaran).
Bahkan ada di antara mereka yang berhasil mendapatkan predikat cum laude di sana, namun tatkala pulang ke Indonesia, kembalilah dia ke pangkuan hizbiyyah (kepartaian) dan larut dalam kancah politik ala Yahudi, ikut berebut kursi dan memperbanyak jumlah acungan jari… Wallahul musta’aan. Semoga Allah mengembalikan mereka kepada kebenaran.
Marilah kita ingat sebuah ayat yang
sangat indah yang akan menunjukkan jalan untuk memecahkan segala macam
masalah. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul serta Ulul amri di antara kalian. Kemudian apabila kalian berselisih tentang suatu urusan maka kembalikanlah pemecahannya kepada Allah dan Rasul, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu pasti lebih baik bagi kalian dan lebih bagus hasilnya.” (QS. An Nisaa’: 59)
Imam Ibnu Katsir menyebutkan bahwa yang dimaksud ulul amri adalah mencakup umara’ (penguasa/pemerintah) dan juga ulama (ahli ilmu agama). Beliau juga menjelaskan bahwa makna taatilah Allah artinya ikutilah Kitab-Nya (Al Qur’an). Sedangkan makna taatilah Rasul adalah ambillah ajaran (Sunnah) beliau. Adapun makna ketaatan kepada ulul amri adalah dalam rangka ketaatan kepada Allah bukan dalam hal maksiat. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda dalam hadits yang shahih, “Sesungguhnya ketaatan itu hanya boleh dalam perkara ma’ruf (bukan kemungkaran).”
(HR. Bukhari dan Muslim). Kemudian apabila kalian berselisih dalam
suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul. Kalimat
tersebut maknanya adalah kembali merujuk kepada Kitabullah dan sunnah
Rasul-Nya, demikianlah tafsiran Mujahid dan para ulama salaf yang lain.
Kemudian Imam Ibnu Katsir berkata, “Ini
merupakan perintah dari Allah ‘azza wa jalla bahwa segala sesuatu yang
diperselisihkan oleh manusia yang berkaitan dengan permasalahan
pokok-pokok agama maupun cabang-cabangnya hendaknya perselisihan tentang
hal itu harus dikembalikan kepada Al Kitab dan As Sunnah. Ini
sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan apa saja yang kalian perselisihkan maka keputusannya kembali kepada Allah.”
(QS. Asy Syuura: 10). Maka segala keputusan yang diambil oleh Al Kitab
dan As Sunnah serta dipersaksikan keabsahannya oleh keduanya itulah al
haq (kebenaran). Dan tidak ada sesudah kebenaran melainkan kesesatan…”
(lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, II/250).
Kata Salaf Secara Bahasa
Salaf secara bahasa artinya orang yang terdahulu,
baik dari sisi ilmu, keimanan, keutamaan atau jasa kebaikan. Seorang
pakar bahasa Arab Ibnu Manzhur mengatakan, “Kata salaf juga berarti
orang yang mendahului kamu, yaitu nenek moyangmu, sanak kerabatmu yang
berada di atasmu dari sisi umur dan keutamaan.
Oleh karenanya maka generasi awal yang mengikuti para sahabat disebut dengan salafush shalih (pendahulu yang baik).” (Lisanul ‘Arab, 9/159, dinukil dari Limadza, hal. 30). Makna semacam ini serupa dengan kata salaf yang terdapat di dalam ayat Allah yang artinya, “Maka
tatkala mereka membuat Kami murka, Kami menghukum mereka lalu Kami
tenggelamkan mereka semuanya di laut dan Kami jadikan mereka sebagai
salaf (pelajaran) dan contoh bagi orang-orang kemudian.” (QS. Az Zukhruf: 55-56).
Artinya adalah: Kami menjadikan mereka
sebagai pelajaran pendahulu bagi orang yang melakukan perbuatan
sebagaimana perbuatan mereka supaya orang sesudah mereka mau mengambil
pelajaran dan mengambil nasihat darinya. (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih, hal. 20).
Dengan demikian kita bisa serupakan makna
kata salaf ini dengan istilah nenek moyang dan leluhur dalam bahasa
kita. Dalam kamus Islam kata ini bukan barang baru. Akan tetapi pada jaman Nabi kata ini sudah dikenal. Seperti terdapat dalam sebuah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada puterinya Fathimah radhiyallahu ‘anha. Beliau bersabda, “Sesungguhnya sebaik-baik salafmu adalah aku.” (HR. Muslim).
Artinya sebaik-baik pendahulu. (lihat Limadza, hal. 30, baca juga Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafizhahullah,
hal. 7). Oleh sebab itu secara bahasa, semua orang terdahulu adalah
salaf. Baik yang jahat seperti Fir’aun, Qarun, Abu Jahal maupun yang
baik seperti Nabi-Nabi, para syuhada dan orang-orang shalih dari
kalangan sahabat, dll. Adapun yang akan kita bicarakan sekarang bukanlah
makna bahasanya, akan tetapi makna istilah. Hal ini supaya jelas bagi
kita semuanya dan tidak muncul komentar, “Lho kalau begitu JIL juga salafi dong..! Mereka kan juga punya pendahulu”. Maaf, Mas… bukan itu yang kami maksudkan…
Kemudian apabila muncul pertanyaan “Kenapa harus disebutkan pengertian secara bahasa apabila ternyata pengertian istilahnya menyelisihi pengertian bahasanya?”. Maka kami akan menjawabnya sebagaimana jawaban Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah.
Beliau mengatakan, “Faidahnya adalah supaya kita mengetahui keterkaitan
makna antara objek penamaan syari’at dan objek penamaan lughawi
(menurut bahasa). Sehingga akan tampak jelas bagi kita bahwasanya
istilah-istilah syari’at tidaklah melenceng secara total dari sumber
pemaknaan bahasanya. Bahkan sebenarnya ada keterkaitan satu sama lain.
Oleh sebab itulah anda jumpai para fuqaha’ (ahli fikih atau ahli agama) rahimahumullah
setiap kali hendak mendefinisikan sesuatu maka mereka pun menjelaskan
bahwa pengertiannya secara etimologi (bahasa) adalah demikian sedangkan
secara terminologi (istilah) adalah demikian; hal ini diperlukan supaya
tampak jelas bagimu adanya keterkaitan antara makna lughawi dengan makna ishthilahi.” (lihat Syarh Ushul min Ilmil Ushul, hal. 38).
Istilah Salaf di Kalangan Para Ulama
Apabila para
ulama akidah membahas dan menyebut-nyebut kata salaf maka yang mereka
maksud adalah salah satu di antara 3 kemungkinan berikut:
Pertama: Para Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua: Shahabat dan murid-murid mereka (tabi’in).
Ketiga: Shahabat, tabi’in
dan juga para Imam yang telah diakui kredibilitasnya di dalam Islam
yaitu mereka yang senantiasa menghidupkan sunnah dan berjuang membasmi
bid’ah (lihat Al Wajiz, hal. 21).
Syaikh Salim Al Hilaly hafizhahullah menerangkan, “Adapun secara terminologi kata salaf berarti sebuah karakter yang melekat secara mutlak pada diri para sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Adapun para ulama sesudah mereka juga tercakup dalam istilah ini karena
sikap dan cara beragama mereka yang meneladani para sahabat.” (Limadza, hal. 30).
Syaikh Doktor Nashir bin Abdul Karim Al ‘Aql mengatakan, “Salaf
adalah generasi awal umat ini, yaitu para sahabat, tabi’in dan para
imam pembawa petunjuk pada tiga kurun yang mendapatkan keutamaan
(sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, -red). Dan
setiap orang yang meneladani dan berjalan di atas manhaj mereka di
sepanjang masa disebut sebagai salafi sebagai bentuk penisbatan terhadap
mereka.” (Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah, hal. 5-6).
Al Qalsyani mengatakan di dalam kitabnya Tahrirul Maqalah min Syarhir Risalah, “Adapun Salafush shalih, mereka itu adalah generasi awal (Islam) yang mendalam ilmunya serta meniti jalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan senantiasa menjaga Sunnah beliau. Allah ta’ala telah memilih mereka
untuk menemani Nabi-Nya dan menegakkan agama-Nya. Para imam umat ini
pun merasa ridha kepada mereka. Mereka telah berjihad di jalan Allah
dengan penuh kesungguhan. Mereka kerahkan daya upaya mereka untuk
menasihati umat dan memberikan kemanfaatan bagi mereka. Mereka juga
mengorbankan diri demi menggapai keridhaan Allah…” ( lihat Limadza, hal. 31).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik orang adalah di jamanku (sahabat), kemudian orang sesudah mereka (tabi’in) dan kemudian orang sesudah mereka (tabi’ut tabi’in).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sehingga Rasul beserta para sahabatnya adalah salaf umat ini.
Demikian pula setiap orang yang menyerukan dakwah sebagaimana mereka
juga disebut sebagai orang yang menempuh manhaj/metode salaf, atau biasa disebut dengan istilah salafi, artinya pengikut Salaf. Adapun pembatasan istilah salaf hanya meliputi masa sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in adalah pembatasan yang keliru. Karena pada masa itupun sudah muncul tokoh-tokoh pelopor bid’ah dan kesesatan.
Akan tetapi kriteria yang benar adalah
kesesuaian akidah, hukum dan perilaku mereka dengan Al Kitab dan As
Sunnah serta pemahaman salafush shalih. Oleh
karena itulah siapapun orangnya asalkan dia sesuai dengan ajaran Al
Kitab dan As Sunnah maka berarti dia adalah pengikut salaf.
Meskipun jarak dan masanya jauh dari periode Kenabian. Ini artinya
orang-orang yang semasa dengan Nabi dan sahabat akan tetapi tidak
beragama sebagaimana mereka maka bukanlah termasuk golongan mereka,
meskipun orang-orang itu sesuku atau bahkan saudara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Al Wajiz, hal. 22, Limadza, hal. 33 dan Syarah Aqidah Ahlus Sunnah, hal. 8).
Contoh-Contoh Penggunaan Kata “Salaf”
Kata salaf sering digunakan oleh Imam Bukhari di dalam kitab Shahihnya. Imam Bukhari rahimahullah mengatakan, “Rasyid bin Sa’ad berkata: Para salaf menyukai kuda jantan. Karena ia lebih lincah dan lebih berani.” Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menafsirkan kata salaf tersebut, “Maksudnya adalah para sahabat dan orang sesudah mereka.”
Syaikh Salim mengatakan, “Yang dimaksud (oleh Rasyid) adalah para sahabat radhiyallahu’anhum. Karena Rasyid bin Sa’ad adalah seorang tabi’in (murid sahabat), sehingga orang yang disebut salaf olehnya adalah para sahabat tanpa ada keraguan padanya.”
Demikian pula perkataan Imam Bukhari, “Az
Zuhri mengatakan mengenai tulang bangkai semacam gajah dan selainnya:
Aku menemui sebagian para ulama salaf yang bersisir dengannya (tulang)
dan menggunakannya sebagai tempat minyak rambut. Mereka memandangnya
tidaklah mengapa.” Syaikh Salim mengatakan, “Yang dimaksud (dengan salaf
di sini) adalah para sahabat radhiyallahu’anhum, karena Az Zuhri adalah seorang tabi’in.” (lihat Limadza, hal. 31-32).
Kata salaf juga digunakan oleh Imam Muslim di dalam kitab Shahihnya.
Di dalam mukaddimahnya Imam Muslim mengeluarkan hadits dari jalan
Muhammad bin ‘Abdullah. Ia (Muhammad) mengatakan: Aku mendengar ‘Ali bin
Syaqiq mengatakan: Aku mendengar Abdullah bin Al Mubarak mengatakan di
hadapan orang banyak, “Tinggalkanlah hadits (yang dibawakan) ‘Amr bin Tsabit. Karena dia mencaci kaum salaf.” Syaikh Salim mengatakan, “Yang dimaksud adalah para sahabat radhiyallahu ‘anhum.” (Limadza, hal. 32).
Kata salaf juga sering dipakai oleh para
ulama akidah di dalam kitab-kitab mereka. Seperti contohnya sebuah
riwayat yang dibawakan oleh Imam Al Ajurri di dalam kitabnya yang
berjudul Asy Syari’ah bahwa Imam Auza’i pernah berpesan, “Bersabarlah engkau di atas Sunnah. Bersikaplah sebagaimana kaum itu (salaf) bersikap.
Katakanlah sebagaimana yang mereka katakan. Tahanlah dirimu sebagaimana
sikap mereka menahan diri dari sesuatu. Dan titilah jalan salafmu yang
shalih. Karena sesungguhnya sudah cukup bagimu apa yang membuat mereka
cukup.” Syaikh Salim mengatakan, “Yang dimaksud adalah sahabat ridhwanullahi ‘alaihim.” (lihat Limadza, hal. 32) Hal ini karena Al Auza’i adalah seorang tabi’in.
Kerancuan Seputar Istilah Salafiyah
Sedangkan yang dimaksud dengan salafiyah adalah penyandaran diri kepada kaum salaf.
Sehingga bukanlah makna salafiyah sebagaimana yang disangka sebagian
orang sebagai aliran pesantren yang menggunakan metode pengajaran yang
kuno. Yang dengan persangkaan itu mereka anggap bahwa salafiyah bukan
sebuah manhaj (metode beragama) akan tetapi sebagai sebuah sistem
belajar mengajar yang belum mengalami modernisasi.
Dan yang terbayang di pikiran mereka
ketika mendengarnya adalah sosok para santri yang berpeci hitam dan
memakai sarung kesana kemari dengan menenteng kitab-kitab kuning.
Sebagaimana itulah kenyataan yang ada pada sebagian kalangan yang
menisbatkan pondoknya sebagai pondok salafiyah, namun realitanya mereka
jauh dari tradisi ilmiah kaum salaf. Syaikh Salim mengatakan, “Adapun salafiyah adalah penisbatan diri kepada kaum salaf.
Ini merupakan penisbatan terpuji yang disandarkan kepada manhaj yang
lurus dan bukanlah menciptakan sebuah madzhab yang baru ada.” (lihat Limadza, hal. 33).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
mengatakan, “Dan tidaklah tercela bagi orang yang menampakkan diri
sebagai pengikut madzhab salaf, menyandarkan diri kepadanya dan merasa
mulia dengannya. Bahkan wajib menerima pengakuannya itu dengan dasar
kesepakatan (para ulama). Karena sesungguhnya madzhab salaf tidak lain
adalah kebenaran itu sendiri.” (Majmu’ Fatawa, 4/149, lihat Limadza, hal. 33).
Maka sungguh aneh apabila ada orang zaman sekarang ini yang
menggambarkan kepada umat bahwasanya salafiyah adalah sebuah aliran
baru yang dicetuskan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab atau Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahumallah yang ‘memberontak’ dari tatanan yang sudah ada dengan berbagai aksi penghancuran dan pengkafiran yang membabi buta. Sehingga
apabila mereka mendengar istilah salafiyah maka yang tergambar di benak
mereka adalah kaum Wahabi yang suka mengacaukan ketentraman umat dengan
berbagai aksi penyerangan dan tindakan-tindakan tidak sopan.
Atau ada lagi yang menganggap bahwa
salafiyah adalah gerakan reformasi dakwah yang dipelopori oleh
Jamaluddin Al Afghani bersama Muhammad ‘Abduh pada era penjajahan
Inggris di Mesir. Padahal ini semua menunjukkan bahwa mereka itu
sebenarnya tidak paham tentang sejarah munculnya istilah ini.
Syaikh Salim mengatakan, “Orang yang
mengeluarkan pernyataan semacam ini atau yang turut menyebarkannya
adalah orang yang tidak mengerti sejarah kalimat ini menurut tinjauan
makna, asal-usul dan perjalanan waktu yang hakikatnya tersambung dengan
para salafush shalih.
Oleh karena itu sudah menjadi kebiasaan
para ulama pada masa terdahulu untuk mensifati setiap orang yang
mengikuti pemahaman sahabat radhiyallahu ‘anhum dalam hal akidah dan manhaj sebagai seorang salafi (pengikut Salaf).
Lihatlah ucapan seorang ahli sejarah Islam Al Hafizh Al Imam Adz Dzahabi di dalam kitabnya Siyar A’laamin Nubalaa’
(16/457) ketika membawakan ucapan Al Hafizh Ad Daruquthni, “Tidak ada
yang lebih kubenci selain menekuni ilmu kalam/filsafat.” Maka Adz
Dzahabi pun mengatakan (dengan nada memuji, red), “Orang ini (Ad
Daruquthni) belum pernah terjun dalam ilmu kalam sama sekali begitu pula
tidak menceburkan dirinya dalam dunia perdebatan (yang tercela) dan
beliau juga tidak ikut meramaikan perbincangan di dalam hal itu. Akan
tetapi beliau adalah seorang salafi.” (Limadza, hal. 34-35).
Perlu kita
ketahui bersama bahwa Imam Ad Daruquthni yang disebut sebagai ’salafi’
oleh Imam Adz Dzahabi di atas hidup pada tahun 306-385 H.
Sedangkan Ibnu Taimiyah hidup pada tahun 661-728 H. Adapun Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab hidup pada tahun 1115-1206 H. Nah, pembaca
bisa menyaksikan sendiri siapakah yang lahir terlebih dahulu. Apakah
Ibnu Taimiyah atau bahkan Muhammad bin Abdul Wahhab itu lahir sebelum
Ad Daruquthni sehingga beliau layak untuk disebut sebagai pengikut
mereka berdua. Apakah dengan penukilan semacam ini kita akan menafsirkan
bahwa Imam Ad Daruquthni adalah pengikut Ibnu Taimiyah atau Muhammad
bin Abdul Wahhab?? Jawablah wahai kaum yang berakal… Anak kelas
5 SD pun (bukan bermaksud meremehkan, red) tahu kalau yang namanya
pengikut itu adanya sesudah keberadaan yang diikuti, bukan sebaliknya. Wallaahul musta’aan.
Penamaan Salafiyah Bukan Bid’ah
Kalau ada orang yang mengatakan bahwa istilah salafiyah adalah istilah bid’ah karena ia tidak digunakan pada masa sahabat radhiyallahu’anhum. Maka
jawabannya ialah: Kata salafiyah memang belum digunakan oleh Rasul dan
para sahabat karena pada saat itu hal ini belum dibutuhkan.
Pada saat itu kaum muslimin generasi awal
masih hidup di dalam pemahaman Islam yang shahih sehingga tidak
dibutuhkan penamaan khusus seperti ini. Mereka bisa memahami Islam
dengan murni tanpa perlu khawatir akan adanya penyimpangan karena
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih berada di antara mereka.
Hal ini sebagaimana mereka mampu berbicara dengan bahasa Arab yang fasih tanpa perlu mempelajari ilmu Nahwu, Sharaf dan Balaghah. Apakah ada di antara para ulama yang membid’ahkan ilmu-ilmu tersebut karena semata-mata tidak ada di zaman Nabi ?!
Oleh karena itulah tatkala muncul berbagai kekeliruan dan penyimpangan
dalam penggunaan bahasa Arab maka muncullah ilmu-ilmu bahasa Arab
tersebut demi meluruskan kembali pemahaman dan menjaga keutuhan bahasa
Arab. Maka demikian pula dengan istilah salafiyah.
Di saat sekarang ini ketika sekian banyak
penyimpangan pemahaman bertebaran di udara kaum muslimin maka sangat
dibutuhkan adanya rambu-rambu yang jelas demi mengembalikan pemahaman
Islam kepada pemahaman yang masih murni dan lurus. Apalagi mayoritas kelompok yang menyerukan pemahaman yang menyimpang itu juga mengaku sebagai pengikut Al Qur’an dan As Sunnah.
Berdasarkan realita inilah para ulama bangkit untuk berupaya memisahkan
pemahaman yang masih murni ini dengan pemahaman-pemahaman lainnya
dengan nama pemahaman ahli hadits dan salaf atau salafiyah (lihat Limadza, hal. 36).
Kalaupun masih ada orang yang tetap ngotot mengingkari istilah ini maka kami akan katakan kepadanya: Kalau dia konsekuen dengan pengingkaran ini maka dia pun harus menolak penamaan lainnya yang tidak ada di zaman Nabi
seperti istilah Hanbali (pengikut fikih Ahmad bin Hanbal), Hanafi
(pengikut fikih Abu Hanifah), Nahdhiyyiin (pengikut Nahdhatul Ulama),
dll.
Kalau dia mengatakan, “Oo, kalau ini berbeda…!”
Maka kami katakan: Baiklah, anggap istilah salafiyah berbeda dengan istilah-istilah itu, namun kami tetap mengatakan bahwa penamaan salafiyah lebih layak untuk dipakai daripada istilah Hanbali, Hanafi atau Nahdhiyyiin.
Alasannya
adalah karena salafiyah adalah penisbatan kepada generasi Shahabat yang
sudah dipuji oleh Allah dan Rasul-Nya dan terjaga secara umum dari
bersepakat dalam kesalahan. Adapun Hanbali, Hanafi dan
Nahdhiyyiin adalah penisbatan kepada individu dan kelompok yang tidak
terdapat dalil tegas tentang keutamaannya serta tidak terjamin dari
kesalahan mereka secara kelompok. Maka bagaimana mungkin kita bisa
menerima penisbatan kepada pribadi dan kelompok yang tidak ma’shum
(terpelihara dari kesalahan) dan justru menolak penisbatan kepada
pribadi dan kelompok yang ma’shum…?? Laa haula wa laa quwwata illa billaah… (lihat Silsilah Abhaats Manhajiyah As Salafiyah 5 hal. 66-67 karya Doktor Muhammad Musa Nashr hafizhahullah,
silakan baca juga fatwa para ulama tentang wajibnya berpegang teguh
dengan manhaj Salaf di dalam Rubrik Fatwa, Majalah Al Furqan Edisi 8
Tahun V/Rabi’ul Awwal 1427 H/April 2006 M hal. 51-53. Bacalah…!).
Meninggalkan Salaf Berarti Meninggalkan Islam
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah pernah ditanya: Kenapa
harus menamakan diri dengan salafiyah? Apakah ia sebuah dakwah yang
menyeru kepada partai, kelompok atau madzhab tertentu. Ataukah ia
merupakan sebuah firqah (kelompok) baru di dalam Islam? Maka beliau rahimahullah
menjawab, “Sesungguhnya kata Salaf sudah sangat dikenal dalam bahasa
Arab. Adapun yang penting kita pahami pada kesempatan ini adalah
pengertiannya menurut pandangan syari’at.
Dalam hal ini terdapat sebuah hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala beliau berkata kepada Sayyidah Fathimah radhiyallahu ‘anha di saat beliau menderita sakit menjelang kematiannya, “Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah. Dan sesungguhnya sebaik-baik salaf (pendahulu)mu adalah aku.”
Begitu pula para ulama banyak sekali
memakai kata salaf. Dan ungkapan mereka dalam hal ini terlalu banyak
untuk dihitung dan disebutkan. Cukuplah kiranya kami bawakan sebuah
contoh saja. Ini adalah sebuah ungkapan yang digunakan para ulama dalam
rangka memerangi berbagai macam bid’ah. Mereka mengatakan, “Semua
kebaikan ada dalam sikap mengikuti kaum salaf… dan semua keburukan
bersumber dalam bid’ah yang diciptakan kaum khalaf (belakangan).” …”
Kemudian Syaikh melanjutkan
penjelasannya, “Akan tetapi ternyata di sana ada orang yang mengaku
dirinya termasuk ahli ilmu; ia mengingkari penisbatan ini dengan
sangkaan bahwa istilah ini tidak ada dasarnya di dalam agama, sehingga
ia mengatakan, “Tidak boleh bagi seorang muslim untuk mengatakan saya adalah seorang salafi.”
Seolah-olah dia ini mengatakan, “Seorang muslim tidak boleh mengatakan: Saya adalah pengikut salafush shalih
dalam hal akidah, ibadah dan perilaku.” Dan tidak diragukan lagi
bahwasanya penolakan seperti ini -meskipun dia tidak bermaksud demikian-
memberikan konsekuensi untuk berlepas diri dari Islam yang shahih yang
diamalkan oleh para salafush shalih yang mendahului kita yang ditokohi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana disinggung di dalam hadits mutawatir di dalam shahihain dan selainnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah di zamanku (sahabat), kemudian diikuti orang sesudah mereka, dan kemudian sesudah mereka.”
Oleh sebab itu maka tidaklah
diperbolehkan bagi seorang muslim untuk berlepas diri dari menisbatkan
dirinya kepada salafush shalih. Berbeda halnya dengan penisbatan
(salafiyah) ini, seandainya dia berlepas diri dari penisbatan (kepada
kaum atau kelompok) yang lainnya niscaya tidak ada seorang pun di antara
para ulama yang akan menyandarkannya kepada kekafiran atau kefasikan…” (Al Manhaj As Salafi ‘inda Syaikh Al Albani, hal. 13-19, lihat Silsilah Abhaats Manhajiyah As Salafiyah 5 hal. 65-66 karya Doktor Muhammad Musa Nashr hafizhahullah).
Cinta Salaf Berarti Cinta Islam
Ketahuilah saudaraku, sesungguhnya salaf
atau para sahabat adalah generasi pilihan yang harus kita cintai.
Sebagaimana kita mencintai Nabi maka kita pun harus mencintai
orang-orang pertama yang telah mengorbankan jiwa, harta dan pikiran
mereka untuk membela dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka itulah para sahabat yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar.
Inilah akidah kita, tidak sebagaimana
akidah kaum Rafidhah/Syi’ah yang membangun agamanya di atas kebencian
kepada para sahabat Nabi. Imam Abu Ja’far Ath Thahawi rahimahullah
mengatakan di dalam kitab ‘Aqidahnya yang menjadi rujukan umat Islam di
sepanjang zaman, “Kami mencintai para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kami tidak melampaui batas dalam
mencintai salah satu di antara mereka. Dan kami juga tidak berlepas diri
dari seorangpun di antara mereka. Kami membenci orang yang membenci
mereka dan kami juga membenci orang yang menceritakan mereka dengan cara
tidak baik. Kami tidak menceritakan mereka kecuali dengan kebaikan.
Mencintai mereka adalah termasuk agama, iman dan ihsan. Sedangkan
membenci mereka adalah kekufuran, kemunafikan dan pelanggaran batas.” (Syarah ‘Aqidah Thahawiyah cet. Darul ‘Aqidah, hal. 488).
Pernyataan beliau ini adalah kebenaran
yang dibangun di atas dalil-dalil syari’at, bukan sekedar omong kosong
dan bualan belaka sebagaimana akidahnya kaum Liberal. Marilah kita
buktikan…
Berikut ini dalil-dalil hadits yang
menunjukkan bahwa mencintai kaum Anshar adalah tanda keimanan seseorang.
Imam Bukhari rahimahullah membuat sebuah bab di dalam kitabul Iman di
kitab Shahihnya dengan judul ‘Bab tanda keimanan ialah mencintai kaum Anshar’.
Kemudian beliau membawakan sebuah hadits dari Anas, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Tanda keimanan adalah mencintai kaum Anshar, dan tanda kemunafikan adalah membenci kaum Anshar.” (Bukhari no. 17). Imam Muslim juga mengeluarkan hadits ini di dalam Kitabul Iman dengan lafazh, “Tanda orang munafik adalah membenci Anshar.
Dan tanda orang beriman adalah mencintai Anshar.” (Muslim no. 74) di dalam bab Fadha’il Anshar (Keutamaan kaum Anshar). Imam bukhari juga membawakan hadits Barra’ bin ‘Azib bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kaum Anshar, tidak ada orang yang mencintai mereka kecuali orang beriman.” Imam Muslim juga meriwayatkan di dalam kitab shahihnya dari Abu Sa’id bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada seorang pun yang beriman kepada Allah dan hari akhir lantas membenci kaum Anshar.” (Muslim no. 77). Dalam riwayat lain dikatakan, “Tidaklah
mencintai mereka kecuali orang beriman dan tidaklah membenci mereka
kecuali orang munafik. Barangsiapa yang mencintai mereka maka Allah
mencintainya. Dan barangsiapa yang membenci mereka maka Allah juga
membencinya.” (Muslim no. 75). Begitu pula Imam Ahmad mengeluarkan hadits dari Abu Sa’id di dalam Musnadnya, bahwa Nabi bersabda, “Mencintai kaum Anshar adalah keimanan dan membenci mereka adalah kemunafikan.” (lihat Fathul Bari, 1/80, Syarah Muslim, 2/138-139).
Imam Nawawi rahimahullah ketika
menjelaskan sebagian hadits di atas mengatakan, “…Makna hadits-hadits
ini adalah barangsiapa yang mengakui kedudukan kaum Anshar, keunggulan
mereka dalam hal pembelaan terhadap agama Islam, upaya mereka dalam
menampakkannya, dan melindungi umat Islam (dari serangan musuhnya), dan
juga kesungguhan mereka dalam menunaikan tugas penting dalam agama Islam
yang dibebankan kepada mereka, kecintaan mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
serta kecintaan Nabi kepada mereka, kesungguhan mereka dalam
mengerahkan harta dan jiwa di hadapan beliau, peperangan dan permusuhan
mereka terhadap semua umat manusia (yang menentang dakwah Nabi, red)
demi menjunjung tinggi Islam….maka ini semua menjadi salah satu tanda
kebenaran iman dan ketulusannya dalam memeluk Islam…” (Syarah Muslim, 2/139).
Selain itu dalil-dalil dari Al Qur’an
juga lebih jelas lagi menunjukkan kepada kita bahwa mencintai para
sahabat adalah bagian keimanan yang tidak bisa dipisahkan. Syaikh Shalih
Al Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Para sahabat adalah generasi terbaik, ini berdasarkan sabda Nabi ‘alaihis shalatu was salam, “Sebaik-baik
kurun (masa) adalah masaku. Kemudian orang-orang yang mengikuti sesudah
mereka. Dan kemudian generasi berikutnya yang sesudah mereka.” Maka mereka itu adalah kurun terbaik karena keutamaan mereka dalam bersahabat dengan Nabi ‘alaihish shalatu was salam.
Sehingga mencintai mereka adalah keimanan dan membenci mereka adalah kemunafikan. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “…Supaya Allah membuat orang-orang kafir benci dengan adanya mereka (para sahabat).”
(QS. Al Fath: 29). Maka kewajiban seluruh umat Islam adalah mencintai
keseluruhan para sahabat dengan dalil tegas dari ayat ini.
Karena Allah ‘azza wa jalla sudah
mencintai mereka dan juga kecintaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
kepada mereka. Dan juga karena mereka telah berjihad di jalan Allah,
menyebarkan agama Islam ke berbagai belahan timur dan barat bumi, mereka
muliakan Rasul dan beriman kepada beliau. Mereka juga telah mengikuti
cahaya petunjuk yang diturunkan bersamanya. Inilah akidah Ahlus Sunnah
wal Jama’ah.” (Syarah ‘Aqidah Thahawiyah, hal. 489-490).
Catatan:
Perlu kita perhatikan riwayat yang dibawakan oleh Syaikh Shalih Al Fauzan di atas yaitu hadits yang bunyinya, “Sebaik-baik kurun (masa) adalah masaku dst” dengan lafazh khairul quruun…. Syaikh Salim Al Hilaly mengatakan, “Hadits ini tersebar di dalam banyak kitab dengan lafazh khairul quruun
(sebaik-baik masa). Saya (Syaikh Salim) katakan: Lafazh ini tidak
terpelihara keotentikannya. Adapun yang benar adalah yang sudah kami
sebutkan (yaitu Khairunnaas; sebaik-baik manusia, red).” (lihat Limadza Ikhtartul Manhaj Salafi, hal. 87).
Benci Salaf Berarti Benci Islam
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Muhammad
itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah
keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.
kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan
keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas
sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat
mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya
Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan
tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati
penanam-penanamnya Karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang
kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara
mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al Fath: 29). Di dalam
ayat ini disebutkan bahwa salah satu ciri para sahabat yaitu membuat
jengkel dan marah orang-orang kafir.
Imam Ibnu Katsir mengatakan di dalam tafsirnya terhadap ayat yang mulia ini, “Dan berdasarkan ayat inilah Imam Malik rahimahullah
menarik sebuah kesimpulan hukum sebagaimana tertera dalam salah satu
riwayat darinya untuk mengkafirkan kaum Rafidhah (bagian dari Syi’ah)
yang membenci para sahabat radhiyallahu’anhum. Beliau (Imam
Malik) mengatakan, “Hal itu karena mereka (para sahabat) membuat benci
dan jengkel mereka (kaum Rafidhah). Barangsiapa yang membenci para
sahabat radhiyallahu’anhum maka dia telah kafir berdasarkan ayat ini.” Dan sekelompok ulama radhiyallahu’anhum pun ikut menyetujui sikap beliau ini…” (lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7/280).
Dari perkataan Imam Malik dan penjelasan
Imam Ibnu Katsir ini teranglah bagi kita bahwasanya konflik yang terjadi
antara kaum Syi’ah (yang dulu maupun para pengikut Khomeini yang ada
sekarang ini) dengan Ahlus Sunnah/Sunni bukanlah konflik politik atau
perebutan kekuasaan yang diselimuti dengan jubah agama sebagaimana yang
dikatakan oleh Gus Dur -semoga Allah memberinya petunjuk-, Kyai ini
mengatakan di dalam sebuah wawancaranya dengan JIL (yang sama-sama suka
menebarkan syubhat kepada umat Islam), “Konflik itu (maksudnya
antara Syi’ah dan Sunni, red) muncul akibat doktrin agama yang
dimanipulasi secara politis. Sejarah mengabarkan pada kita, dulu muncul
peristiwa penganiyaan terhadap menantu Rasulullah, Ali bin Abi Thalib
dan anak cucunya. Keluarga inilah yang disebut Ahlul Bayt, dan mereka
memiliki pendukung fanatik. Pendukung atau pengikut di dalam bahasa Arab
disebut syî’ah. Selanjutnya kata syî’ah ini menjadi sebutan dan
identitas bagi pengikut Ali yang pada akhirnya menjadi salah satu firkah
teologis dalam Islam. Sedangkan pihak yang menindas Ali dan pengikutnya
dikenal dengan sebutan Sunni. Persoalan sesungguhnya waktu itu adalah
tentang perebutan kekuasaan atau persoalan politik. Namun doktrin agama
dibawa-bawa.” (wawancara JIL dengan Gus Dur tentang RUU Anti
Pornografi dan Pornoaksi) Ini adalah kedustaan… !!! (silakan baca
tulisan Ustadz Abdul Hakim Abdat dalam Al Masaa’il jilid 3
Masalah 66, hal 42-72 yang membongkar kedok kaum Syi’ah dengan
menyertakan fatwa-fatwa para ulama tentang Rafidhah/Syi’ah. Baca juga
Majalah Al Furqon Edisi 6 Tahun V/Muharram 1427 dengan tema Agama Syi’ah
Semoga Allah memberikan ganjaran yang besar kepada ustadz-ustadz kita
karena jasa mereka ini. Bacalah!!).
Imam Ibnu Katsir juga mengatakan, “…Para
sahabat itu memiliki keutamaan lebih, begitu pula lebih dahulu (berjasa
bagi umat Islam) dan lebih sempurna, yang tidak ada seorangpun di antara
umat ini yang mampu menyamai kehebatan mereka, semoga Allah meridhai
mereka dan aku pun ridha kepada mereka. Allah telah menyiapkan
surga-surga Firdaus sebagai tempat tinggal mereka, dan Allah telah
menetapkan hal itu. (Imam) Muslim mengatakan di dalam shahihnya: Yahya
bin Yahya menceritakan kepada kami, Abu Mu’awiyah menceritakan kepada
kami dari Al A’masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu. Beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah
kalian mencaci para sahabatku. Demi Dzat yang jiwaku berada di
tangannya, seandainya ada salah seorang di antara kalian yang berinfak
emas sebesar Gunung Uhud niscaya itu tidak bisa mencapai (pahala) satu
mud sedekah mereka, bahkan setengahnya juga tidak.” (HR. Muslim dalam Fadha’il Shahabah, diriwayatkan juga Al Bukhari dalam kitab Al Manaaqib no. 3673).” (lihat Tafsir Ibnu Katsir 7/280).
Allah Meridhai Salaf dan Para Pengikutnya
Di dalam ayat yang lain Allah ta’ala juga berfirman yang artinya, “Orang-orang
yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan
muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik,
Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah
menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di
dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan
yang besar.” (QS. At Taubah: 100). Di dalam ayat ini Allah memuji
tiga golongan manusia yaitu: kaum Muhajirin, kaum Anshar dan orang-orang
yang mengikuti mereka dengan baik. Maka kita katakan bahwa Muhajirin
dan Anshar itulah generasi salafsuh shalih. Sedangkan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik itulah yang disebut sebagai salafi.
Al Ustadz Abdul Hakim Abdat hafizhahullah
mengatakan, “Ayat yang mulia ini merupakan sebesar-besar ayat yang
menjelaskan kepada kita pujian dan keridhaan Allah kepada para Shahabat radhiyallahu ‘anhum.
Bahwa Allah ‘azza wa jalla telah ridha kepada para Shahabat dan mereka
pun ridha kepada Allah ‘azza wa jalla. Dan Allah ‘azza wa jalla juga
meridhai orang-orang yang mengikuti perjalanan para Shahabat dari tabi’in, tabi’ut tabi’in dan setrusnya dari orang alim sampai orang awam di timur dan di barat bumi sampai hari ini. Mafhum-nya,
mereka yang tidak mengikuti perjalanan para Shahabat, apalagi sampai
mengkafirkannya, maka mereka tidak akan mendapatkan keridhaan Allah
subhanahu wa ta’ala.” (Al Masaa’il jilid 3, hal. 74).
Imam Ibnu Katsir rahimahullah
mengatakan tentang tafsir ayat ini, “Allah ta’ala mengabarkan bahwa
keridhaan-Nya tertuju kepada orang-orang yang terlebih dahulu (masuk
Islam) yaitu kaum Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik. Sedangkan bukti keridhaan-Nya kepada mereka adalah
dengan mempersiapkan surga-surga yang penuh dengan kenikmatan serta
kelezatan yang abadi bagi mereka…” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/140).
Imam Al Alusi menerangkan bahwa yang dimaksud dengan As Saabiquun adalah seluruh kaum Muhajirin dan Anshar (Ruuhul Ma’aani, Maktabah Syamilah).
Imam Syaukani menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan, “Orang-orang yang
mengikuti” di dalam ayat ini adalah orang-orang sesudah mereka (para
sahabat) hingga hari kiamat. Adapun kata-kata, “dengan baik” merupakan
ciri pembatas yang menunjukkan jati diri mereka. Artinya mereka adalah
orang-orang yang mengikuti para sahabat dengan senantiasa berpegang
teguh dengan kebaikan dalam hal perbuatan maupun perkataan sebagai
bentuk peniruan mereka terhadap As Sabiquunal Awwaluun, tafsiran serupa juga disampaikan oleh Syaikh As Sa’di di dalam tafsirnya (Lihat Fathul Qadir dan Taisir Karimir Rahman, Maktabah Syamilah).
Imam Ibnu Jarir Ath Thabari mengatakan di dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan “Orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik”
di dalam ayat ini adalah: Orang-orang yang meniti jalan mereka dalam
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta berhijrah dari negeri kafir
menuju negeri Islam dalam rangka mencari keridhaan Allah..” (Tafsir Ath Thabari, Maktabah Syamilah).
Imam Asy Syinqithi rahimahullah
mengatakan, “(Ayat) Ini merupakan dalil tegas dari Al Qur’an yang
menunjukkan bahwasanya barangsiapa mencaci mereka (para sahabat) dan
membenci mereka maka dia adalah orang yang sesat dan menentang Allah
jalla wa ‘ala, dimana dia telah berani membenci suatu kaum yang telah
diridhai Allah.
Dan tidak diragukan lagi bahwa kebencian
kepada orang yang sudah diridhai Allah merupakan sikap penentangan
kepada Allah jalla wa ‘ala, tindakan congkak dan melampaui batas.”
(lihat Adhwaa’ul Bayaan, Maktabah Syamilah). Masih dalam konteks penafsiran ayat ini Imam Ibnu Katsir rahimahullah
memberikan sebuah komentar pedas yang akan membakar telinga ahlul
bid’ah pencela shahabat. Beliau mengatakan, “Duhai alangkah celaka orang
yang membenci atau mencela mereka (semua sahabat), sungguh celaka orang
yang membenci atau mencela sebagian mereka…”
Setelah memberitakan sikap orang-orang
Rafidhah yang memusuhi, membenci dan mencela orang-orang terbaik sesudah
Nabi (diantaranya Abu Bakar dan ‘Umar) Imam Ibnu Katsir mengatakan,
“Sikap ini (yaitu permusuhan, kebencian dan celaan kaum Rafidhah atau
Syi’ah) menunjukkan bahwa akal mereka sudah terbalik dan hati mereka
juga sudah terbalik.
Lalu dimanakah letak keimanan mereka
terhadap Al Qur’an sehingga berani-beraninya mereka mencela orang-orang
yang telah diridhai oleh Allah?…” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/140)
Maka hanguslah telinga-telinga ahlul bid’ah;… mereka yang membenci dan
mencaci maki para shahabat; generasi terbaik yang pernah hidup di
permukaan bumi ini, radhiyallahu ‘anhum wa ardhaahum (Allah ridha kepada mereka dan saya pun ridha kepada mereka).
Pemahaman Salaf Adalah Jalan Keluar Perselisihan
Abu Naajih ‘Irbadh bin Saariyah radhiyallahu’anhu mengatakan, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberikan sebuah nasihat kepada
kami dengan nasihat yang membuat hati bergetar dan air mata bercucuran.
Maka kamipun mengatakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah. Seolah-olah
ini merupakan nasihat dari orang yang hendak berpisah. Maka sudilah
kiranya anda memberikan wasiat kepada kami”. Beliau pun bersabda: “Aku
wasiatkan kepada kalian supaya senantiasa bertakwa kepada Allah. Dan
tetaplah mendengar dan taat (kepada pemimpin). Meskipun yang memimpin
kalian adalah seorang budak. Karena sesungguhnya barangsiapa yang hidup
sesudahku niscaya akan menyaksikan banyak perselisihan. Maka
berpeganglah dengan Sunnahku, dan Sunnah para khalifah yang lurus dan
berpetunjuk. Gigitlah sunnah itu dengan gigi-gigi geraham. Serta
jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan (di dalam agama). Karena
semua bid’ah (perkara yang diada-adakan dalam agama) adalah sesat.”
Imam Nawawi mengatakan: (hadits ini)
diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi. Beliau (Tirmidzi) menilainya
‘Hadits hasan shahih’. Pen-takhrij Ad Durrah As Salafiyah
menyebutkan bahwa derajat hadits ini: shahih. Hadits ini dikeluarkan
oleh Ahmad (4/126), Abu Dawud (4607), Tirmidzi (2676), Al Haakim
(1/174), Ibnu Hibaan (1/179) serta dinyatakan shahih oleh Al Albani
dalam Shahihul Jaami’ hadits no. 2549 (lihat Ad Durrah As Salafiyyah Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, cet. Markaz Fajr lith Thab’ah hal. 199, Lihat juga Lau Kaana Khairan, hal. 164).
Di dalam hadits yang mulia ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah memberikan sebuah solusi bagi umat tatkala menyaksikan sekian
banyak perselisihan yang ada sesudah beliau wafat: yaitu berpegang teguh
dengan Sunnah Nabi dan Sunnah Khulafa’ur Rasyidin. Imam Nawawi menerangkan bahwa yang dimaksud Khulafa’ur Rasyidin adalah para khalifah yang empat yaitu; Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali radhiyallahu’anhum (lihat Ad Durrah As Salafiyah, hal. 201).
Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied juga menjelaskan bahwa mereka adalah keempat khalifah tersebut berdasarkan ijma’ (lihat Ad Durrah As Salafiyah, hal. 202). Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin mengatakan, “Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan kita tatkala melihat perselisihan ini (yaitu banyaknya
perselisihan, sebagaimana disebutkan di dalam hadits) supaya berpegang
teguh dengan Sunnah beliau. Arti dari ungkapan ‘alaikum bi sunnatii ialah; Berpegang teguhlah dengannya (dengan Sunnah Nabi)…”.
Beliau rahimahullah juga berkata, “Sedangkan makna kata Sunnah beliau ‘alaihish shalaatu was salaam
adalah: jalan yang beliau tempuh, yang mencakup akidah, akhlak, amal,
ibadah dan lain sebagainya. Kita harus berpegang teguh dengan Sunnah
(ajaran) beliau. Dan kita pun berhakim kepadanya. Sebagaimana yang
difirmankan Allah ta’ala yang artinya, “Maka demi Tuhanmu, mereka
pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam
perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An Nisaa’: 65).
Dengan demikian Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah satu-satunya jalan keselamatan bagi orang yang dikehendaki Allah
untuk selamat dari berbagai perselisihan dan berbagai macam
kebid’ahan…” (Syarh Riyadhush Shalihin, I/603).
Di dalam keterangan beliau terhadap Hadits Arba’in Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “…Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan supaya kita berpegang teguh dengan Sunnah-nya; yaitu jalan beliau, dan juga supaya berpegang teguh dengan jalan Khulafa’ur Rasyidin Al Mahdiyyin.
Dan juga termasuk di dalamnya (Khulafa’ur Rasyidin) adalah para khalifah/pengganti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam hal ilmu, ibadah dan dakwah pada umatnya, dan sebagai pemuka
mereka ialah empat orang Khalifah; yaitu Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan
‘Ali radhiyallahu’anhum.” (lihat Ad Durrah As Salafiyah, hal. 203).
Keterangan Syaikh ‘Utsaimin ini serupa
dengan keterangan Imam Al Mubarakfuri. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya
hadits itu umum berlaku bagi setiap khalifah yang lurus dan tidak
dikhususkan bagi dua orang Syaikh (Abu Bakar dan ‘Umar) saja. Dan telah
dimaklumi berdasarkan kaidah-kaidah syari’at bahwa seorang khalifah yang
lurus tidak diperkenankan untuk menetapkan suatu jalan selain jalan
yang ditempuh oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Tuhfatul Ahwadzi, 3/50-51, dinukil dari Limadza, hal. 74-75).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan (Majmu’ Fatawa, 1/282), “Adapun yang dimaksud dengan Sunnah (ajaran) Khulafa’ur Rasyidin
maka sebenarnya mereka tidaklah menggariskan sebuah ajaran kecuali
berdasarkan perintah beliau (Nabi), maka dengan begitu ia termasuk
bagian dari Sunnah beliau…” (dinukil dari Limadza, hal. 73). Di dalam Tuhfatul Ahwadzi (3/50 dan 7/420) Al Mubarakfuri juga mengatakan, “Bukanlah yang dimaksud dengan Sunnah Khulafa’ur Rasyidin kecuali jalan hidup mereka yang sesuai dengan dengan jalan hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam…” (dinukil dari Limadza, hal. 73).
Kesimpulan dari penjelasan para ulama di
atas ialah sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Salim Al Hilali. Beliau
mengatakan, “Dengan demikian kesimpulan semua keterangan ini menunjukkan
bahwa Sunnah Khulafa’ur Rasyidin adalah pemahaman para Shahabat radhiyallahu ‘anhum
terhadap agama, karena mereka senantiasa meniti jalan sebagaimana jalan
pemahaman dan penerapan Islam yang diajarkan oleh Nabi mereka…” (Limadza, hal. 75)
Maka kita juga mengatakan bahwasanya
jalan keluar bagi umat Islam dari sekian banyak perselisihan yang dapat
kita saksikan dengan mata kepala kita pada hari ini berupa munculnya
berbagai macam firqah dan aliran-aliran adalah memegang teguh Sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan mengikuti pemahaman para Shahabat radhiyallahu’anhum. Atau
dengan kalimat yang ringkas kita katakan ‘Dengan mengikuti manhaj
salaf’. Inilah hakikat dari istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Barangsiapa tidak mengikuti pemahaman para Shahabat maka dia telah
menentang Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang agung ini.
Hakikat Ahlus Sunnah wal Jama’ah
As Sunnah secara bahasa artinya jalan. Adapun secara istilah As Sunnah adalah ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
beserta para sahabatnya, baik berupa keyakinan, perkataan maupun
perbuatan. Dalam hal ini Sunnah menjadi lawan dari bid’ah. Bukan sunnah
dalam terminologi fikih. Karena sunnah menurut istilah fikih adalah
segala perbuatan ibadah yang bila dikerjakan berpahala akan tetapi bila
ditinggalkan tidak berdosa. Maka sunnah yang dimaksud dalam istilah
Ahlus Sunnah adalah seluruh ajaran Rasul dan para sahabat, baik yang
hukumnya wajib maupun sunnah!! (silakan baca Lau Kaana Khairan karya Ustadz Abdul Hakim, hal. 14-17 baca juga Panduan Aqidah Lengkap penerbit Pustaka Ibnu Katsir hal. 36-40).
Al Jama’ah secara bahasa artinya kumpulan orang yang bersepakat untuk suatu perkara. Sedangkan menurut istilah syar’i, al jama’ah
berarti orang-orang yang bersatu di atas kebenaran yaitu jama’ah para
sahabat beserta orang-orang sesudah mereka hingga hari kiamat yang
meniti jejak mereka dalam beragama di atas Al Kitab dan As Sunnah secara
lahir maupun batin. Oleh karena itu seorang Sahabat yang mulia Abdullah
bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan, “Al Jama’ah adalah segala yang sesuai dengan al haq walaupun engkau seorang diri.” (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih, hal. 29 dan 30).
Ukuran seseorang berada di atas jama’ah bukanlah jumlah. Akan
tetapi ukurannya adalah sejauh mana dia berpegang teguh dengan
kebenaran yaitu Islam yang murni yang dipahami oleh para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum. Sebagaimana
hal ini telah diisyaratkan oleh Rasul ketika menceritakan akan terjadi
perpecahan umat ini menjadi 73 golongan, semuanya di neraka kecuali satu
yaitu al jama’ah. Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa mereka itu adalah orang-orang yang beragama sebagaimana Nabi dan para sahabat.
Hadits perpecahan umat adalah hadits yang sah menurut ulama ahli hadits. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan di dalam Majmu’ Fatawa
(3/345), “Hadits tentang perpecahan umat adalah hadits yang shahih dan
sangat populer di dalam kitab-kitab sunan dan musnad.” (lihat Al Minhah Al Ilahiyah fi Tahdzib Syarh Ath Thahawiyah, hal. 348, Silsilah Ash Shahihah no. 203 dan 204 karya Al Imam Al Albani rahimahullah, baca keterangan tentang status dan faidah-faidah dari hadits perpecahan umat di dalam buku Lau Kaana Khairan, hal. 190-196).
Sehingga hakikat Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan Sunnah para sahabatnya dan juga orang-orang yang mengikuti mereka
dan menempuh jalan mereka dalam berkeyakinan, berucap dan mengerjakan
amalan, demikian pula orang-orang yang konsisten di atas jalur ittiba’ (mengikuti Sunnah) dan menjauhi jalur ibtida’
(mereka-reka bid’ah). Mereka senantiasa ada, eksis dan mendapatkan
pertolongan (dari Allah) hingga datangnya hari kiamat. Oleh sebab itu
maka mengikuti mereka adalah hidayah sedangkan menyelisihi mereka adalah
kesesatan. Mereka itulah yang disebut dengan istilah ’salaf’ (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih, hal. 30, Panduan Aqidah Lengkap hal. 40, baca juga definisi Ahlus Sunnah di dalam Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah hal. 17-18, karya Syaikh Doktor Muhammad bin Husain Al Jizani hafizhahullah).
Sedangkan lawan dari Ahlus Sunnah adalah Ahlul bid’ah yaitu orang-orang yang tetap mengerjakan bid’ah sesudah ditegakkan hujjah atas mereka, baik bid’ah i’tiqadiyyah (keyakinan) maupun bid’ah amaliyah (amalan), tetapi kemudian mereka tetap istiqamah dengan bid’ahnya (lihat Lau Kaana Khairan,
hal. 170). Kita tidak boleh sembarangan dalam menghukumi seseorang atau
jama’ah sebagai ahli bid’ah. Syaikh Al Albani berkata, “Terjatuhnya
seorang ulama dalam bid’ah tidaklah secara otomatis menjadikannya
sebagai seorang ahli bid’ah….” “…Ada dua persyaratan agar seseorang
dikatakan sebagai ahli bid’ah:
- Ia bukanlah seorang mujtahid, namun seorang pengikut hawa nafsu.
- Berbuat bid’ah merupakan kebiasaannya (Silsilah Huda wa Nur, kaset no. 785)
Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad (Ahli hadits Madinah saat ini) berkata, “Tidak semua orang yang melakukan bid’ah secara otomatis menjadi ahli bid’ah.
Hanyalah dikatakan ahli bid’ah bagi orang yang telah jelas dan dikenal
dengan bid’ahnya. Sebagian orang sangat berani dalam pembid’ahan
sampai-sampai mentabdi’ orang yang memiliki kebaikan dan memberi manfaat
yang banyak bagi masyarakat. Sebagian orang menyebut setiap orang yang
menyelisihinya sebagai ahli bid’ah.” (dinukil dari Ringkasan buku Lerai Pertikaian, Sudahi Permusuhan karya Ustadz Abu Abdil Muhsin hafizhahullah).
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah
pernah ditanya: Siapakah yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah?
Beliau menjawab, “Yang disebut sebagai Ahlus Sunnah wal jama’ah
hanyalah orang-orang yang benar-benar berpegang teguh dengan As Sunnah
(ajaran Nabi) dan mereka bersatu di atasnya. Mereka tidak menyimpang
kepada selain ajaran As Sunnah, baik dalam urusan keyakinan ilmiah
maupun dalam masalah amal praktik hukum. Oleh sebab inilah mereka
disebut dengan Ahlus Sunnah, yaitu karena mereka bersatu padu di atasnya
(di atas Sunnah). Dan apabila anda cermati keadaan ahlul bid’ah niscaya
anda dapatkan mereka itu berselisih dalam hal metode akidah dan
amaliah, ini menunjukkan bahwa mereka itu sangat jauh dari petunjuk As
Sunnah, tergantung dengan kadar kebid’ahan yang mereka ciptakan.” (Fatawa Arkanul Islam, hal. 21).
Ahlus Sunnah wal Jama’ah memiliki sebutan lain di kalangan para ulama yaitu: Ash-habul Hadits atau Ahlul Hadits (pengikut dan pembela hadits), Ahlul Atsar (pengikut jejak salaf), Ahlul Ittiba’ (Peniti Sunnah Nabi), Al Ghurabaa’ (Orang-orang yang terasing dari berbagai keburukan), Ath Thaa’ifah Al Manshurah (Kelompok yang mendapatkan pertolongan Allah) dan Al Firqah An Najiyah
(Golongan yang selamat). Dan pada saat sekarang ini ketika banyak
kelompok dalam tubuh umat Islam yang mengaku sebagai Ahlus Sunnah wal
Jama’ah dan pengikut Al Kitab dan As Sunnah namun ternyata praktik dan
ajarannya jauh menyimpang dari prinsip-prinsip Salafush Shalih maka
bangkitlah para ulama untuk memberikan sebuah istilah pembeda yaitu
Salafiyun (para pengikut Salaf) (lihat Mujmal Ushul Ahlis Sunnah, hal. 6, Limadza hal. 36-38, Minhaaj Al Firqah An Najiyah, hal. 6-17 dan Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, hal. 7-14).
Apabila para pembaca ingin mengetahui
lebih dalam tentang sejarah munculnya istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah
maka kami sarankan untuk membaca Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah
karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas yang diterbitkan Pustaka At
Taqwa hal. 14-17. Di sana beliau sudah menerangkan hal ini, semoga Allah
memberikan balasan sebaik-baiknya kepada beliau. Dan bagi para pembaca
yang ingin membaca keterangan yang menjelaskan bahwa Al Firqatun Najiyah adalah Ath Tha’ifah Al Manshurah juga sama dengan Ahlul Hadits maka silakan baca buku Mereka Adalah Teroris
cet. I hal. 77-95. Semoga Allah merahmati para ustadz kita dan
menyatukan mereka dalam barisan dakwah Salafiyah dalam membumihanguskan
gerombolan dakwah Ahlul bid’ah, …Aammiin.
Hanya Satu yang Selamat!
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah memberitakan tentang terjadinya perpecahan umatnya sesudah
beliau wafat. Kami sangat mengharapkan keterangan dari yang mulia
tentang hal itu? Beliau menjawab, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitakan dalam hadits-hadits yang sah (riwayat Abu Dawud di Kitab As Sunnah bab Syarhu Sunnah (4596), At Tirmidzi di Kitabul Iman bab Iftiraqu Hadzihihil Ummah (2642), Ibnu Majah di Kitabul Fitan bab Iftiraqul Ummah (3991)).
Hadits-hadits itu menceritakan bahwa kaum Yahudi berpecah belah menjadi 71 kelompok/firqah. Sedangkan kaum Nashara berpecah menjadi 72 firqah. Dan umat ini akan berpecah menjadi 73 firqah. Seluruh firqah ini terancam berada di neraka kecuali satu firqah. Firqah tersebut terdiri dari orang-orang yang berpegang teguh dengan ajaran dan pemahaman agama sebagaimana yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para sahabatnya.
Kelompok inilah yang disebut dengan Al Firqah An Najiyah
(kelompok yang selamat). Mereka selamat dari kebid’ahan ketika berada
di dunia. Dan mereka terselamatkan dari api neraka ketika di akhirat
kelak. Inilah Ath Thaa’ifah Al Manshuurah (kelompok
yang diberi pertolongan dan dimenangkan) yang akan tetap eksis hingga
datangnya hari kiamat. Mereka senantiasa menang dan mendapatkan
ketegaran dalam menegakkan agama Allah ‘azza wa jalla.”
“Tujuh puluh tiga firqah ini,
salah satunya berada di atas kebenaran sedangkan selainnya berada di
atas kebatilan. Sebagian ulama berusaha untuk merincinya satu persatu
dan menyimpulkannya menjadi lima aliran utama ahlul bida’ (kaum
pembela bid’ah). Dari setiap aliran itu mereka bagi lagi menjadi
beberapa sekte sampai bisa mencapai total bilangan tersebut yang telah
disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sedangkan ulama yang lainnya memandang
bahwa dalam hal ini sikap yang lebih baik ialah menahan diri untuk tidak
merincinya. Mereka beralasan karena bukan hanya firqah-firqah
yang sudah ada ini saja yang tersesat. Tetapi telah banyak kelompok
orang yang tersesat dalam jumlah kelompok yang lebih besar di masa
sebelumnya.
Begitu pula banyak firqah baru yang
muncul setelah tujuh puluh dua firqah yang ada sekarang. Mereka
berpendapat bahwa bilangan ini tidak akan pernah terhenti dan tidak
mungkin bisa diketahui sampai kapan berakhirnya kecuali nanti di akhir
zaman ketika hari kiamat datang. Oleh sebab itu sikap yang lebih baik
ialah kita sebutkan secara global saja bilangan yang sudah disebutkan
secara global oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan kita katakan bahwasanya umat ini akan
berpecah belah menjadi 73 firqah, semuanya berada di neraka kecuali
satu. Kemudian kita katakan bahwa setiap orang yang menyimpang dari
petunjuk dan pemahaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya adalah termasuk dalam firqah-firqah ini. Dan bisa juga Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam
memberikan gambaran tentang pokok-pokok aliran sesat yang belum bisa
kita ketahui keberadaannya sekarang ini kecuali hanya sebatas sepuluh
aliran saja yang baru bisa kita lihat. Atau bisa juga beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengisyaratkan beberapa pokok aliran sesat yang di dalamnya terkandung
cabang-cabang sebagaimana pendapat demikian dipilih oleh sebagian ulama.
Adapun ilmu yang sebenarnya ada di sisi Allah ‘azza wa jalla.” (Fatawa Arkaanul Islaam, hal. 21-22).
Firqah-Firqah yang Menyimpang
Setelah kita mengetahui bersama
bahwasanya satu-satunya jalan yang diridhai Allah dalam beragama adalah
pemahaman Ahlus Sunnah Wal Jama’ah; yaitu tegak di atas Al Qur’an dan As
Sunnah dengan pemahaman salafush shalih. Maka tidak kalah pentingnya sekarang adalah mengetahui berbagai kelompok Islam atau firqah
yang menyimpang dari pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Di sini kami
ingin mengingatkan kembali perkataan Imam Ibnul Qayyim yang sangat
penting untuk kita cermati. Beliau rahimahullah mengatakan,
“Pemahaman yang benar dan niat yang baik adalah termasuk nikmat paling
agung yang dikaruniakan Allah kepada hamba-Nya. Bahkan tidaklah seorang
hamba mendapatkan pemberian yang lebih utama dan lebih agung setelah
nikmat Islam daripada memperoleh kedua nikmat ini.
Bahkan kedua hal ini adalah pilar
tegaknya agama Islam, dan Islam tegak di atas pondasi keduanya. Dengan
dua nikmat inilah hamba bisa menyelamatkan dirinya dari terjebak di
jalan orang yang dimurkai (al maghdhuubi ‘alaihim) yaitu orang yang memiliki niat yang rusak. Dan juga dengan keduanya ia selamat dari jebakan jalan orang sesat (adh dhaalliin) yaitu orang-orang yang pemahamannya rusak.
Sehingga dengan itulah dia akan termasuk orang yang meniti jalan orang yang diberi nikmat (an’amta ‘alaihim) yaitu orang-orang yang memiliki pemahaman dan niat yang baik. Mereka itulah pengikut shirathal mustaqim..” (I’laamul Muwaqqi’iin, 1/87, dinukil dari Min Washaaya Salaf,
hal. 44) Dari perkataan beliau ini kita bisa menarik kesimpulan
berharga bahwasanya sumber penyimpangan manusia dari jalan yang lurus
adalah buruknya pemahaman dan buruknya niat. Inilah dua pokok kesesatan
yang ada, baik di dalam Islam maupun di luar Islam.
Sebagian besar kelompok menyimpang yang
ada sekarang ini pada hakikatnya mewarisi penyimpangan-penyimpangan yang
ada pada para pendahulunya, sedikit maupun banyak. Ada di antara mereka
yang murni mengikuti sebuah aliran masa silam tapi ada juga yang
menggabung-gabungkan penyimpangan dari berbagai aliran masa silam ke
dalam tubuh kelompok mereka. Dan kebanyakan dari mereka sudah tidak lagi
memakai nama lama.
Akan tetapi mereka kelabui umat dengan
nama-nama yang indah dan mempesona. Ada lagi orang-orang yang merasa
tidak puas dengan referensi-referensi Islam dan mencoba menggali
‘tambahan pelajaran’ dari produk pemikiran orang-orang Kafir. Di antara
mereka ada yang masih berada dalam lingkaran Islam. Tetapi ada juga yang
sudah mental keluar karena bosan dengan manhaj para ulama Salaf dan
lebih senang dengan ajaran Orientalis.
Maka jadilah orang-orang seperti ini
sebagai orang-orang yang merasa memperjuangkan keagungan nilai ajaran
agama Islam. Berdasarkan persangkaan ini maka mereka pun mengumpulkan
manusia dan menyebarkan ide-ide mereka dalam bentuk ceramah maupun
tulisan. Mereka bangun sekolah demi mengkader para penerus kesesatan
mereka. Mereka racuni pikiran para generasi muda dan kaum cerdik
cendekia. Bahkan tidak jarang ada di antara mereka yang nekat turun ke
jalan dan mengerahkan massa. Atau lebih sangar lagi ada yang berani
mengangkat senjata dan menumpahkan darah manusia tanpa hak. Subhaanallaah…!!
Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah mengatakan, “Setiap golongan yang menamakan dirinya dengan selain identitas Islam dan Sunnah adalah mubtadi’
(ahli bid’ah) seperti contohnya: Rafidhah (Syi’ah), Jahmiyah, Khawarij,
Qadariyah, Murji’ah, Mu’tazilah, Karramiyah, Kullabiyah, dan juga
kelompok-kelompok lain yang serupa dengan mereka.
Inilah firqah-firqah sesat dan kelompok-kelompok bid’ah, semoga Allah melindungi kita darinya.” (Lum’atul I’tiqad, dinukil dari Al Is’ad fi Syarhi Lum’atil I’tiqad
hal 90. Namun di sana tidak disebutkan nama Khawarij, dugaan saya ini
adalah salah cetak, sebagaimana tampak dari syarahnya yang juga
menjelaskan firqah Khawarij. Silakan bandingkan dengan Syarah Lum’atul I’tiqad Syaikh Al ‘Utsaimin, hal. 161). Setelah membawakan perkataan Imam Ibnu Qudamah ini Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah
menyebutkan mengenai sebagian ciri-ciri Ahlul bid’ah. Beliau
mengatakan, “Kaum Ahlul bid’ah itu memiliki beberapa ciri, di antara
cirinya adalah:
- Mereka memiliki karakter selain karakter Islam dan Sunnah sebagai akibat dari bid’ah-bid’ah yang mereka ciptakan, baik yang menyangkut urusan perkataan, perbuatan maupun keyakinan.
- Mereka sangat fanatik kepada pendapat-pendapat golongan mereka. Sehingga mereka pun tidak mau kembali kepada kebenaran meskipun kebenaran itu sudah tampak jelas bagi mereka.
- Mereka membenci para Imam umat Islam dan para pemimpin agama (ulama) (Syarah Lum’atul I’tiqad, hal. 161).
Kemudian Syaikh Al ‘Utsaimin menjelaskan
satu persatu gambaran firqah sesat tersebut secara singkat. Berikut ini
intisari penjelasan beliau dengan beberapa tambahan dari sumber lain.
Mereka itu adalah:
- Rafidhah (Syi’ah), yaitu orang-orang yang melampaui batas dalam mengagungkan ahlul bait (keluarga Nabi). Mereka juga mengkafirkan orang-orang selain golongannya, baik itu dari kalangan para Shahabat maupun yang lainnya. Ada juga di antara mereka yang menuduh para Shahabat telah menjadi fasik sesudah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka ini pun terdiri dari banyak sekte. Di antara mereka ada yang sangat ekstrim hingga berani mempertuhankan ‘Ali bin Abi Thalib, dan ada pula di antara mereka yang lebih rendah kesesatannya dibandingkan mereka ini. Tokoh mereka di zaman ini adalah Khomeini beserta begundal-begundalnya. (Silakan baca Majalah Al Furqon Edisi 6 Tahun V/Muharram 1427 hal. 49-53).
- Jahmiyah. Disebut demikian karena mereka adalah penganut paham Jahm bin Shofwan yang madzhabnya sesat. Madzhab mereka dalam masalah tauhid adalah menolak sifat-sifat Allah. Sedangkan madzhab mereka dalam masalah takdir adalah menganut paham Jabriyah. Paham Jabriyah menganggap bahwa manusia adalah makhluk yang terpaksa dan tidak memiliki pilihan dalam mengerjakan kebaikan dan keburukan. Adapun dalam masalah keimanan madzhab mereka adalah menganut paham Murji’ah yang menyatakan bahwa iman itu cukup dengan pengakuan hati tanpa harus diikuti dengan ucapan dan amalan. Sehingga konsekuensi dari pendapat mereka ialah pelaku dosa besar adalah seorang mukmin yang sempurna imannya. Wallaahul musta’aan.
- Khawarij. Mereka ini adalah orang-orang yang memberontak kepada khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu karena alasan pemutusan hukum. Di antara ciri pemahaman mereka ialah membolehkan pemberontakan kepada penguasa muslim dan mengkafirkan pelaku dosa besar. Mereka ini juga terbagi menjadi bersekte-sekte lagi. (Tentang Pemberontakan, silakan baca Majalah Al Furqon Edisi 6 Tahun V/Muharram 1427 hal. 31-36).
- Qadariyah. Mereka ini adalah orang-orang yang berpendapat menolak keberadaan takdir. Sehingga mereka meyakini bahwa hamba memiliki kehendak bebas dan kemampuan berbuat yang terlepas sama sekali dari kehendak dan kekuasaan Allah. Pelopor yang menampakkan pendapat ini adalah Ma’bad Al Juhani di akhir-akhir periode kehidupan para Shahabat. Di antara mereka ada yang ekstrim dan ada yang tidak. Namun yang tidak ekstrim ini menyatakan bahwa terjadinya perbuatan hamba bukan karena kehendak, kekuasaan dan ciptaan Allah, jadi inipun sama sesatnya.
- Murji’ah. Menurut mereka amal bukanlah bagian dari iman. Sehingga cukuplah iman itu dengan modal pengakuan hati saja. Konsekuensi pendapat mereka adalah pelaku dosa besar termasuk orang yang imannya sempurna. Meskipun dia melakukan kemaksiatan apapun dan meninggalkan ketaatan apapun. Madzhab mereka ini merupakan kebalikan dari madzhab Khawarij.
- Mu’tazilah. Mereka adalah para pengikut Washil bin ‘Atha’ yang beri’tizal (menyempal) dari majelis pengajian Hasan Al Bashri. Dia menyatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar itu di dunia dihukumi sebagai orang yang berada di antara dua posisi (manzilah baina manzilatain), tidak kafir tapi juga tidak beriman. Akan tetapi menurutnya di akhirat mereka akhirnya juga akan kekal di dalam Neraka. Tokoh lain yang mengikuti jejaknya adalah Amr bin ‘Ubaid. Madzhab mereka dalam masalah tauhid Asma’ wa Shifat adalah menolak (ta’thil) sebagaimana kelakuan kaum Jahmiyah. Dalam masalah takdir mereka ini menganut paham Qadariyah. Sedang dalam masalah pelaku dosa besar mereka menganggapnya tidak kafir tapi juga tidak beriman. Dengan dua prinsip terakhir ini pada hakikatnya mereka bertentangan dengan Jahmiyah. Karena Jahmiyah menganut paham Jabriyah dan menganggap dosa tidaklah membahayakan keimanan. Inilah anehnya bid’ah, dua prinsip aliran sesat yang bertentangan bisa bertemu dalam satu tubuh. Tahsabuhum jamii’an wa quluubuhum syattaa. Kalian lihat mereka itu bersatu padu akan tetapi sebenarnya hati mereka tercerai-berai. (lihat QS. Al Hasyr: 14).
- Karramiyah. Mereka adalah pengikut Muhammad bin Karram yang cenderung kepada madzhab Tasybih (penyerupaan sifat Allah dengan makhluk) dan mengikuti pendapat Murji’ah, mereka ini juga terdiri dari banyak sekte.
- Kullabiyah. Mereka ini adalah pengikut Abdullah bin Sa’id bin Kullab Al Bashri. Mereka inilah yang mengeluarkan statemen tentang Tujuh Sifat Allah yang mereka tetapkan dengan akal. Kemudian kaum Asya’irah (yang mengaku mengikuti Imam Abul Hasan Al Asy’ari) pada masa ini pun mengikuti jejak langkah mereka yang sesat itu. Perlu kita ketahui bahwa Imam Abul Hasan Al Asy’ari pada awalnya menganut paham Mu’tazilah sampai usia sekitar 40 tahun. Kemudian sesudah itu beliau bertaubat darinya dan membongkar kebatilan madzhab Mu’tazilah. Di tengah perjalanannya kembali kepada manhaj Ahlus Sunnah beliau sempat memiliki keyakinan semacam ini yang tidak mau mengakui sifat-sifat Allah kecuali tujuh saja yaitu: hidup, mengetahui, berkuasa, berbicara, berkehendak, mendengar dan melihat. Kemudian akhirnya beliau bertaubat secara total dan berpegang teguh dengan madzhab Ahlus Sunnah, semoga Allah merahmati beliau. (lihat Syarh Lum’atul I’tiqad, hal. 161-163).
Syaikh Abdur Razzaq Al Jaza’iri hafizhahullah
mengatakan, “Dan firqah-firqah sesat tidak terbatas pada beberapa
firqah yang sudah disebutkan ini saja. Karena ini adalah sebagiannya
saja. Di antara firqah sesat lainnya adalah: Kaum Shufiyah dengan
berbagai macam tarekatnya, Kaum Syi’ah dengan sekte-sektenya, Kaum
Mulahidah (atheis) dengan berbagai macam kelompoknya.
Dan juga kelompok-kelompok yang gemar ber-tahazzub (bergolong-golongan) pada masa kini dengan berbagai macam alirannya, seperti contohnya: Jama’ah Hijrah wa Takfir
yang menganut aliran Khawarij; yang dampak negatif ulah mereka telah
menyebar kemana-mana (yaitu dengan maraknya pengeboman dan pemberontakan
kepada penguasa, red),
Jama’ah Tabligh dari India yang menganut aliran Sufi, Jama’ah-jama’ah Jihad yang mereka ini termasuk pengusung paham Khawarij tulen, kelompok Al Jaz’arah, begitu juga (gerakan) Al Ikhwan Al Muslimun baik di tingkat internasional maupun di kawasan regional (bacalah buku Menyingkap Syubhat dan Kerancuan Ikhwanul Muslimin karya Ustadz Andy Abu Thalib Al Atsary hafizhahullah).
Sebagian di antara mereka (Ikhwanul Muslimin) ada juga yang tumbuh berkembang menjadi beberapa Jama’ah Takfiri (yang mudah mengkafirkan orang). Dan kelompok-kelompok sesat selain mereka masih banyak lagi.” (lihat Al Is’aad fii Syarhi Lum’atul I’tiqaad,
hal. 91-92, bagi yang ingin menelaah lebih dalam tentang hakikat dan
bahaya di balik jama’ah-jama’ah yang ada silakan membaca buku Jama’ah-Jama’ah Islam karya Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali hafizhahullah).
Haram Berpecah Belah Menjadi Berbagai Jama’ah dan Partai
Berikut ini sebagian fatwa para ulama
yang mengecam keras tindakan mendirikan berbagai jama’ah dan
mengkotak-kotakkan umat Islam dalam sekat-sekat partai dan kelompok
keagamaan. Komite Tetap urusan fatwa Kerajaan Saudi Arabia yang diketuai
oleh Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah pernah ditanya, “Apakah hukum berbilangnya jama’ah dan hizb/partai di dalam Islam, dan apakah hukum berloyalitas kepadanya ?”
Komite tersebut menjawab: “Tidak diperbolehkan kaum muslimin terpecah
belah dalam agama mereka menjadi berbagai kelompok dan golongan… Karena
sesungguhnya perpecahan ini tergolong perkara yang dilarang Allah kepada
kita. Allah mencela orang yang menciptakan dan juga orang yang
mengikuti orang yang mencetuskannya.
Dan Allah telah mengancam pelakunya dengan siksaan yang sangat besar. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Berpegang teguhlah kalian dengan tali Allah dan janganlah berpecah belah..” (QS. Ali ‘Imran : 103) sampai firman Allah ta’ala, “Dan
janganlah kalian seperti orang-orang yang berpecah belah dan senantiasa
berselisih sesudah datang berbagai macam keterangan kepada mereka. Dan
bagi mereka itulah siksaan yang sangat besar.” (QS. Ali ‘Imran: 105).
Allah ta’ala juga berfirman, “Sesungguhnya
orang-orang yang memecah belah agama mereka sehingga mereka pun menjadi
bergolong-golongan tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada
mereka.” (QS. Al An’am : 159).
Adapun apabila pemegang urusan kaum
muslimin (Pemerintah, red) yang melakukan upaya pengaturan terhadap
mereka serta memilah-milah mereka dalam berbagai kegiatan agama atau
keduniaan (bukan untuk memecah belah, red) maka tindakan semacam ini
disyari’atkan.” (Fatwa No. 1674 tertanggal 7/10/1397 H, lihat Silsilah Abhats Manhajiyah Salafiyah, hal. 52-53).
Nasihat serupa juga disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah.
Beliau mengatakan, “Tidak terdapat dalil baik di dalam Al Kitab maupun
di dalam As Sunnah yang membolehkan munculnya berbagai macam jama’ah dan
hizb/partai. Akan tetapi yang ada di dalam Al Kitab dan As Sunnah justru mencela hal itu. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Kemudian
mereka (pengikut-pengikut Rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah
belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan
apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).” (QS. Al Mu’minuun: 53).
Dan tidak ragu lagi bahwasanya keberadaan hizb-hizb
ini bertentangan dengan perintah Allah, bahkan ia juga bertolak
belakang dengan anjuran yang disinggung di dalam firman Allah ta’ala, “Sesungguhnya (agama Tauhid) Ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, Maka sembahlah Aku.” (QS. Al Anbiyaa’: 92)” (lihat Silsilah Abhats Manhajiyah Salafiyah, hal. 54).
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah yang dulunya pernah membolehkan orang untuk khuruj
(keluar daerah untuk berdakwah ala Tablighi dalam rentang waktu
tertentu) bersama Jama’ah Tabligh pun dalam fatwa terakhirnya
mengatakan, “Jama’ah Tabligh tidak memiliki bashirah (ilmu dan keterangan) dalam berbagai permasalahan akidah, sehingga tidak diperbolehkan untuk khuruj
bersama mereka, kecuali bagi orang yang sudah mempunyai bekal ilmu dan
bashirah (pemahaman yang dalam) dalam hal akidah lurus yang dipegang
oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah supaya dia bisa mengarahkan dan menasihati
mereka.” (Majalah Ad Da’wah, Riyadh No. 1438 tertanggal 13/1/1414 H dan
tercantum dalam Majmu’ Fatawa beliau 8/331, dinukil dengan sedikit perubahan dari Silsilah Abhats Manhajiyah Salafiyah, hal. 55-56).
Dalam permasalahan ini para ulama lainnya juga memberikan fatwa yang melarang terbentuknya berbagai jama’ah dan hizb
semacam ini, di antara mereka adalah Syaikh Shalih Al Fauzan (anggota
Lembaga Ulama Besar kerajaan Saudi Arabia), Syaikh Muhammad Nashiruddin
Al Albani (mujaddid dan ahli hadits abad ini), Syaikh Bakr Abu
Zaid dan ulama-ulama yang lainnya dari negeri Saudi, Yaman, Yordan, dan
negeri lain, semoga Allah menjaga mereka semua.
Maka pada masa ini di negeri yang kita tempati, kita
sungguh dibuat terheran-heran oleh ulah sebagian kelompok umat Islam
yang menyerukan persatuan dan mengajak untuk mempererat jalinan ukhuwah
di antara sesama muslim namun di saat yang sama mereka justru asyik
mendengung-dengungkan kehebatan partainya sembari mengibar-ngibarkan
bendera partainya, mengenakan kaos dan beraneka atribut partai,
merentangkan spanduk kebanggaannya serta memobilisasi massa untuk
mencoblos partai mereka dan tidak memilih partai Islam yang lainnya.
Inilah salah satu keajaiban Harakah Islamiyah (Gerakan Islam) abad 21 yang berusaha ‘menegakkan benang basah’ dan rela untuk merengek-rengek kepada Demokrasi demi mendapatkan jatah kursi. Wallahul musta’aan. Adakah orang yang mau merenungkan?
Penutup
Di akhir tulisan ini kami ingin
menegaskan ulang bahwa Salaf artinya para sahabat Nabi dan orang-orang
yang mengikuti jejak mereka dengan baik,>Salaf bukanlah pabrik atau
partai atau organisasi atau yayasan atau perkumpulan atau perusahaan…
jangan salah paham.
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam
telah bersabda mensifati sebuah golongan yang selamat dari perpecahan
di dunia dan siksa di akhirat, yang biasa disebut dengan istilah Al Firqah An Najiyah (golongan yang selamat) atau Ath Thaa’ifah Al Manshuurah (kelompok yang mendapat pertolongan) atau Al Jama’ah atau Al Ghurabaa’ (orang-orang yang asing), beliau bersabda, “Mereka adalah orang-orang yang beragama sebagaimana caraku dan cara para sahabatku pada hari ini.” (HR. Ahmad, dinukil dari Kitab Tauhid Syaikh Shalih Fauzan hal. 11).
Maka sebenarnya pertanyaan yang harus
kita tujukan pertama kali kepada diri-diri kita sekarang adalah; apakah
akidah kita, ibadah kita, dakwah kita, garis perjuangan kita sudah
selaras dengan petunjuk Rasul dan para sahabat ataukah belum?
Pikirkanlah baik-baik dengan hati dan pikiran yang tenang: Benarkah apa
yang selama ini kita peroleh dari para ustadz dan Murabbi serta
Murabbiyat sudah sesuai dengan pemahaman sahabat ataukah belum? Kalau
iya mana buktinya?
Marilah kita ikuti jejak dakwah Rasul
serta para sahabat dan juga para ulama Salaf dari zaman ke zaman.
Ukurlah keadaan kita dengan timbangan Al Kitab dan As Sunnah dengan
pemahaman Salaf. Ingat, jangan ta’ashshub (fanatik buta).
Pelajari dulu akidah dan manhaj yang
benar, baru saudara akan bisa menilai apakah manhaj dan dakwah
saudara-saudara sudah cocok dengan pemahaman sahabat ataukah belum cocok
tapi dipaksa-paksa biar kelihatan cocok?!
Orang yang bijak mengatakan: ‘Kenalilah
kebenaran maka engkau akan mengenal siapa yang benar!’ Kenapa kita harus
ngotot membela seorang tokoh, beberapa individu, sebuah partai, atau
yayasan, atau organisasi, atau pergerakan, atau perhimpunan, atau
kesatuan aksi, atau apapun namanya kalau ternyata itu semua menyimpang
dari jalan Rasul dan para sahabat?
Pikirkanlah ini baik-baik sebelum anda
bertindak, berorasi, menulis, atau menggalang massa, sadarilah kita
semua telah mendapatkan larangan dari Allah Ta’ala dari atas langit sana
dengan firman-Nya yang artinya, “Dan janganlah kamu mengikuti
apa-apa yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya, karena sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati semua itu pasti akan dimintai
pertanggungjawaban.” (QS. Al Israa’ : 36). Peganglah akidah ini kuat-kuat!!
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Katakanlah:
“Inilah jalan (agama) ku, Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak
(kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan Aku
tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam:
[katakanlah] kepada manusia [inilah jalanku] artinya: jalan yang
kutempuh dan kuajak kamu untuk menempuhnya. Yaitu suatu jalan yang akan
mengantarkan menuju Allah dan negeri kemuliaan-Nya (surga).
Jalan itu mencakup ilmu terhadap
kebenaran dan mengamalkannya, menjunjung tinggi kebenaran serta
mengikhlashkan ketaatan beragama hanya untuk Allah, tidak ada sekutu
bagi-Nya. [aku mengajak kamu kepada Allah] artinya: aku memotivasi
seluruh makhluk dan hamba-hamba agar menempuh jalan menuju Tuhan mereka.
Aku senantiasa mendorong mereka untuk
itu, dan aku memperingatkan mereka dari bahaya yang dapat menjauhkan
dari jalan itu. Bersama itu akupun memiliki [hujjah yang nyata]
dari ajaran agamaku, (dakwahku) tegak di atas landasan ilmu dan
keyakinan, tidak ada keraguan, kebimbangan dan ketidakpastian. [dan]
begitu pula [orang-orang yang mengikutiku], mereka mengajakmu kepada
Allah sebagaimana ajakanku, berdasarkan hujjah yang nyata dari
agama-Nya. [dan Maha suci Allah] dari segala sesuatu yang disandarkan
kepada-Nya tapi tidak sesuai bagi kemuliaan-Nya atau mengurangi
kesempurnaan-Nya. [dan aku bukan termasuk orang-orang musyrik] dalam
segala urusanku, tetapi aku menyembah Allah dengan mengikhlashkan agama
untuk-Nya.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 406).
Demikianlah yang dimudahkan bagi kami
untuk menyusun tulisan ini. Tulisan ini memang masih jauh dari
kesempurnaan. Yang benar bersumber dari Allah. Sedangkan yang salah
berasal dari kami dan dari syaithan, Allah dan Rasul-Nya berlepas diri
dari kesalahan kami. Dan kami memohon ampun kepada Allah atasnya.
Nasihat dan kritik membangun dari para pembaca yang budiman sangat kami
harapkan demi tegaknya kebenaran dan untuk mengharapkan limpahan ridha,
rahmat dan barakah dari Allah subhanahu wa ta’ala. Semoga Allah menerima
amal-amal kita. Shalawat beriring salam semoga selalu tercurah kepada
teladan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, para sahabat dan seluruh pengikut mereka yang setia.
Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar