Dinamika dakwah Islam di tanah air dalam tiga dekade terakhir diwarnai dengan fenomena pesatnya perkembangan dakwah salafiyah yang bertujuan mengembalikan pemahaman umat Islam kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah berdasarkan manhaj salafus saleh. Fakta demikian ternyata mengundang pobia luar biasa dari kalangan tradisionalis atau yang menyebut diri sebagai aswaja, di mana praktek-praktek keislaman mereka yang sarat pencampuradukan dengan budaya lokal mendapatkan koreksi dari kalangan salafi.
Perlu ditegaskan, makna aswaja dalam term kaum tradisionalis bukanlah satu pengamalan beragama yang meneladani Rasulullah SAW dan para sahabatnya dalam akidah maupun ibadah sebagaimana definisi Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebenarnya, melainkan
satu model baru keislaman yang memadukan berbagai unsur semisal mazhab
ilmu kalam Asya’irah, tasawuf, dan ritual-ritual amaliah yang berasal
dari warisan kultur Hindu-Budha.
Maka tak heran, berkembangnya dakwah
salafi dari Aceh hingga Papua mendatangkan kegelisahan dari kalangan
tokoh aswaja NU yang selama ini terlanjur menikmati kedudukan begitu
tinggi di tengah-tengah masyarakat ‘santri’.
Sikap pobia akut kalangan NU terhadap
salafi-wahabi sejatinya sudah tergambar jelas dalam lembaran sejarah
seputar berdirinya ormas tersebut. Sebagaimana diketahui, NU bermula
dari satu tim panitia “Komite merembuk Hijaz” yang didirikan guna
merespon peperangan Wahabi di Saudi Arabia yang berakhir dengan
terusirnya Syarif Husein dari Makkah pada 1924.
Kemenangan Abdul Aziz Al-Saud yang
disebut berhaluan Wahabi atas Syarif Husein yang berpaham sufi merupakan
pukulan telak bagi kalangan tradisionalis di manapun termasuk di
wilayah Hindia-Belanda. Sebab,
dengan jatuhnya Makkah ke tangan Wahabi, sama artinya dengan hilangnya
kemerdekaan bagi kaum sufi-tradisionalis untuk menjalankan praktek
amalan-amalan khas quburiyun di tanah suci.
Pada saat bersamaan, di seantero
Nusantara juga tengah berkembang dakwah pembaharuan yang dimotori oleh
Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan Persis dengan inti dakwahnya memberantas
takhayul, bid’ah, dan khurafat (TBC) serta memerangi sikap taklid buta
terhadap kyai.
Fakta semakin gencarnya dakwah pembaharuan Islam di tanah air, dan kembali berkuasanya kaum Wahabi di tanah suci itulah yang mendorong inisiatif para tokoh Islam tradisionalis untuk mendirikan satu wadah bersama guna melestarikan corak keberagamaan mereka.
Tak cukup dengan berserikat, para pendiri
ormas NU juga merasa perlu untuk merumuskan “bagaimana Islam yang benar
versi mereka” hingga lahirlah istilah Aswaja untuk membungkus hakikat
keberagamaan warga nahdliyin yang sarat akulturasi dengan budaya
pra-Islam.
Dan buat melegitimasi sikap pengultusan
terhadap kyai yang memang sudah umum berlaku di kalangan nahdliyin,
mereka dengan bangga mengemukakan dalil “Ulama adalah ahli waris para
Nabi”. Tentu saja tafsir ulama versi aswaja NU adalah kyai yang sejalan dengan model beragama mereka, seperti demen tahlilan, yasinan, mauludan atau tawashulan dengan perantara arwah para wali.
Adapun ulama di luar golongan mereka,
kendati selevel ahli hadis abad moderen Syaikh Muhammad Nashiruddin
al-Albani pun ditolaknya karena fatwa-fatwanya yang justru menelanjangi
kesesatan beragama mereka.
Jika kaitannya dengan perpolitikan
nasional, sikap NU memang berubah-ubah. Dalam Pemilu 1955, NU yang
menjelma sebagai sebuah partai politik turut serta memperjuangkan dasar
negara Islam bagi republik ini. Selanjutnya, NU justru duduk mesra
bersama-sama kaum nasionalis dan komunis dalam mengusung paham Nasakom.
Pada Pemilu 1977, NU menyatakan berfusi
dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sepuluh tahun berselang, NU
malah berperan sebagai penggembos PPP dengan keputusannya lewat muktamar
Situbondo 1984 yang menyatakan kembali ke khittah 1926, tidak
berpolitik. Realitanya, kembali ke khittah 1926 ternyata bukannya tidak
berpolitik, tetapi justru berpolitik dengan menggembosi PPP.
Pasca tumbangnya rezim Orde Baru, kembali
ke khittah 1926 yang mereka dengung-dengungkan pun dibuang lagi. PBNU
memfasilitasi lahirnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Sejumlah tokoh
NU yang tidak sejalan dengan platform PKB, turut pula membidani lahirnya
beberapa partai seperti Partai Nahdlatul Umat (PNU), Partai Kebangkitan
Umat (PKU), dan Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia (Partai
SUNI).
Terkait lahirnya sejumlah parpol yang
saling mengklaim sebagai partainya warga NU di awal reformasi, Gus Dur
pernah berkomentar, “NU itu ibarat ayam, dari pantatnya keluar telur dan tai ayam. Yang telur itu PKB, yang partai lain itu tai ayam.”
Nah, bila untuk soal politik NU bersikap pagi kedele sore tempe alias mencla-mencle, lain halnya dengan sikap mereka terhadap dakwah tauhid dan sunnah. Semenjak awal berdirinya hingga hari ini, NU selalu berada di garda terdepan dalam menentang setiap gerakan pemurnian Islam.
Stigma Wahabi seakan menjadi jurus pamungkas membangun opini publik buat membangkitkan kesan horor dan radikal terhadap dakwah tauhid dan sunnah.
Hari ini NU mengklaim sebagai ormas Islam yang paling toleran, sampai-sampai rela mengerahkan ribuan anak mudanya yang tergabung dalam banser untuk mengamankan perayaan malam Natal.
Demi mendapatkan sebutan pluralis, tokoh-tokoh NU pun lantang
mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang intinya membela eksistensi
sekte-sekte menyimpang di tanah air.
Demi mendapatkan predikat nasionalis dan pancasilais, sejumlah kyai NU rela blusukan keluar masuk kelenteng atau gereja. Namun
semangat ‘toleran, pluralis, nasionalis, dan pancasilais’ yang selalu
mereka bangga-banggakan, tiba-tiba berubah 180 derajat kala mereka
berhadapan dengan kalangan salafi-wahabi.
Beragam cara mereka gunakan untuk membendung dan mendiskreditkan dakwah wahabi. Akan tetapi, semakin dibendung, dakwah wahabi justru makin tak terbendung.
Semakin difitnah, justru semakin banyak yang tercerahkan dengan dakwah
wahabi. Pada tahun 2009 misalnya, rumah sejumlah penganut salafi di
Gerung, Lombok Barat diserang warga yang masih jahil dengan Sunnah.
Kejadian ini bukan kali pertama terjadi
di provinsi NTB. Namun dengan peristiwa tersebut, yang kemudian diliput
luas oleh sejumlah media nasional justru menyebabkan masyarakat semakin
familiar dengan istilah “salafi-wahabi” dan ujung-ujungnya mereka
penasaran mencari tahu, apa sih sebetulnya salafi-wahabi itu.
Munculnya radio Rodja dan Rodja TV
sebagai salah satu media dakwah salafi yang memantik reaksi para tokoh
sufi-tradisionalis untuk memperingatkan jamaahnya agar tidak
mendengarkan dan menonton siaran tersebut, rupanya malah menjadi iklan gratis yang menyebabkan radio Rodja dan Rodja TV kian dikenal luas.
Upaya-upaya sejumlah kyai NU yang
berusaha menyebarkan opini di tengah masyarakat soal sesatnya ajaran
salafi-wahabi justru berujung pada turun tangannya MUI meneliti gerakan
tersebut, dan hasilnya MUI Jakarta Utara dengan tegas menyatakan “Salafi bukan aliran menyimpang”.
Begitu pula opini publik (baca penyesatan publik) yang coba dibangun kang Said Agil Siraj ketum PBNU yang alumni Saudi, bahwa ideologi wahabi merupakan akar dari terorisme di tanah air pun mentah di tengah jalan. Nyatanya, dalam beberapa tahun terakhir dakwah salafiyah justru semakin berkembang di kalangan aparat pemerintahan.
Bahkan tak jarang para da’i salafi
memberikan tausiyah di masjid Mabes Polri, masjid Polda Metro Jaya, atau
masjid PTIK. Teranyar, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
malah mendatangkan ulama salafi murid Syaikh Albani, yakni Syaikh Ali
bin Hasan al-Halabi untuk berdakwah kepada para napi terpidana teroris
agar kembali kepada pemahaman Islam yang haq.
Mungkin masih lekat pula dalam benak
kita, tatkala di penghujung 2009 taklim Ustadz Zainal Abidin, da’i
salafi mantan santri tambak beras di Masjid Amar Ma’ruf Bekasi yang
membedah buku JihadMelawanTeror diserang sejumlah orang yang ditengerai sebagai simpatisan Jamaah Anshorut Tauhid (JAT). Dengan demikian, jelas sudah beda antara salafi dengan takfiri.
Kaum salafi menyeru kepada tauhid,
sunnah, dan pemahaman sahabat Nabi yang di dalamnya termasuk ketaatan
terhadap pemerintah kaum Muslimin. Sedangkan jamaah takfiri meyeru
kepada pengkafiran terhadap pemerintah RI serta hasutan untuk membenci
atau bahkan memberontak terhadap pemerintah.
Lantas, apa yang menyebabkan kyai aswaja NU begitu membenci salafi dan ketakutan dengan pesatnya perkembangan dakwah salaf?
Apabila kita mencermati sejarah dakwah para Rasul, niscaya akan dijumpai bahwa kelompok yang paling keras menentang dakwah tauhid para Rasul tersebut adalah mereka yang selalu menamakan dirinya sebagai “pembela ajaran nenek moyang”.
Begitu pula kita dapati hari ini, yang paling keras menentang dakwah salaf yang mengajak umat Islam untuk memurnikan peribadatan kepada Allah, adalah kelompok yang menamakan dirinya sebagai “pemelihara tradisi nenek moyang.”
Selanjutnya, berkembangnya dakwah
salafiyah di tengah masyarakat sama artinya dengan terbongkarnya klaim
dusta Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang selama ini mereka gembar-gemborkan.
Nyatanya, yang mereka praktekkan bukanlah
akidah dan amaliah Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagaimana dicontohkan
Rasulullah SAW dan para sahabatnya, melainkan amalan-amalan Ahli bid’ah
wal firqah, entah itu firqah Asy’ariyah, shufiyah, quburiyah, batiniyah,
filsafat, hingga kejawen yang saling bercampur aduk.
Dan terakhir, tentu saja dengan
tersebarnya pemahaman salafiyah di tengah masyarakat akan menyebabkan
jatuhnya status sosial kyai tradisionalis yang selama ini menikmati sikap pengultusan luar biasa dari kaum santri maupun masyarakat awamnya, dan ujung-ujungnya turut pula mematikan income sebagian kyai yang juga rangkap profesi sebagai ‘dukun berjubah’.
Sekiranya para kyai aswaja NU mau menanggalkan hawa nafsu dan sikap fanatisme yang membabi buta terhadap tradisi leluhur mereka,
niscaya mereka bakal mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada
para dai salafi yang telah meluruskan makna Ahlus Sunnah wal Jama’ah
yang selama ini mereka pahami secara keliru.
KENAPA WAHABI DIBENCI? CEK DISINI
APAKAH WAHABI ITU ADA YANG SESAT? oh ada, hati-hati terhadapa pemikirannya, CEK DISINI
BUYA HAMKA bercerita tentang apa itu WAHABI, BACA DISINI
SALAFI WAHABI dibajak, kok bisa? BACA BAIK-BAIK DISINI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar