Mari kita (Saya: Rizki Maulana, pent- dan anda semua) mulai berpikir jernih. Mungkin luput dari pengamatan kita, betapa banyak orang yang menggolongkan kepada seseorang atau kelompok namun ternyata tidak selaras dengan pemikiran atau faham orang atau kelompok yang di ikuti, masih segar dalam ingatan kita, Imam Syafi’i berpendapat bahwa mengirim pahala kepada orang yang telah meninggal tidak akan sampai sama sekali.
Namun
anehnya (tapi nyata) orang yang mengaku pengikuti Imam Syafi’i justru
menjadi pelopor terdepan dalam mengamalkan amalan ini bahkan
memasyarakatkanya.
Demikian pula dengan pengikuti Abu Hasan
Al–Asy’ari. Mereka mengaku mengikuti beliau dalam masalah akidah,
terutama penetapan Nama-nama dan Sifat Allah yang berjumlah tujuh.
Mereka disebut Asya’iroh alias
Asy’ariyah. Padahal beliau (Imam Abul Hasan Al-Asy’ari -ed) telah ruju’
(kembali) ke manhaj salaf, ahlussunah waljama’ah dengan menetapkan semua
sifat bagi Allah, tidak hanya tujuh.
Namun pengikutnya tidak menyadari. Lebih
aneh lagi ucapan yang terlontar dari Pensyarah kitab Ihya Ulumuddin,
Imam Az Zabidi dalam kitabnya Ittihaf Sadatul Mutaqiin. Apabila
disebut kaum Ahlussunah wal jama’ah, maka maksudnya ialah orang–orang
yang mengikuti rumusan (faham) Asy’ari dan faham Abu Manshur Al-Maturidi. (Lihat I’tiqad Ahlussunah Wal Jama’ah, KH. Sirojuddin Abbas, hal. 16–17)
Dalam uraian berikut akan dikemukakan
secara ilmiah -Insya Allah- perbedaan antara imam Abul Hasan Al-Asy’ari
dengan Asya’iroh dan sekaligus sebagai bukti kongkrit kesalahan faham
tersebut dan penganutnya.
Pembahasan ini dibagi menjadi tiga bagian:
- Biografi Imam Abul Hasan Al-Asy’ari.
- Perkataan beliau dalam kitab-kitabnya setelah ruju’ ke manhaj salaf
- Pijakan penetapan dan pembatasan sifat 20 menurut Asya’iroh dan bantahannya.
Kita masih sering, mendengar lantunan: Wujud,
Qidam, Baqa’ Mukholafathu Ta’al Lil Hawaditsi, Qiyamuhu Binafsihi,
Wahdaaniyah, Qudrat, Iradah, Ilmu, Hayat, Sama’ Bashara, Kalam, Kaunuhu
Qadiran, Kaunuhu Muridan, Kaunuhu Aaliman, Kaunuhu Hayyan, Kaunuhu
Sami’an, Kaunuhu Bashiran, Kaunuhu Mutakaliman. Inilah yang dinamakan sifat wajib dua puluh bagi Allah yang harus diyakini menurut Asya’iroh.
Sebenarnya sifat–sifat tersebut bukan
murni rumusan Abu Hasan Al-Asy’ari, namun sudah ditambahi oleh
Maturidiyyah, beliau hanya merumuskan tujuh sifat yang terkumpul dalam
syair’ Sifat hayat (hidup). Ilmu (mengetahui), Qudroh (berkuasa) dan
Kalam (berbicara); Irodah (berkehendak), Sam’u (mendengar) dan Bashor
(melihat).
Dikemudian hari populer dengan nama sifat
dua puluh. Maturidiyah adalah orang yang mengaku mengikuti Imam Abu
Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al-Maturidi. Hal ini
sebagaimana dikatakan oleh KH. Sirodjudin Abbas:
“I’tiqod Nabi dan sahabat–sahabat itu telah termaktub dalam Al Qur’an dan dalam sunah Rasul secara terpencar–pencar, belum tersusun secara rapi dan teratur, tetapi kemudian dikumpulkan dan dirumuskan dengan rapi oleh seorang ulama Ushuluddin besar, yaitu Syeikh Abu Hasan Al-Asy’ari (lahir di Basrah tahun 260 H. wafat di Bashrah juga tahun 324 H dalam usia 64 tahun, yang benar beliau meninggal di Baghdad –Pen) karena itu ada orang yang memberi nama kepada kaum Alhussunah Wal Jama’ah dengan kaum Asya’irah jama’ dari Asy’ari, dikaitkan kepada Imam Abu Hasan Al-Asy’ari tersebut. (I’tiqad Ahlussunah Wal Jama’ah, hal. 16)
Sedangkan Abu Mansur Al-Maturidi adalah seorang ulama ushuluddin juga. Yang faham dan I’tiqadnya sama atau hampir sama dengan Abu Hasan Al-Asy’ari, beliau wafat di sebuah desa bernama Maturudin Samarqand. Di Asia tengah pada tahun 333 H. Terkemudian 9 tahun dari Imam Abu Hasan Al-Asy’ari (hal 17).
Inilah yang dinamakan oleh kaum Ahlusunah wal jama’ah dengan Sifat tuhan dua puluh yang wajib diketahui dan diyakini seyakin-yakinnya oleh setiap muslim yang baligh-beraqal (“I'tiqad Ahlussunah Wal Jama’ah, hal 36 – 45).
Itulah sekilas faham mereka seputar sifat–sifat Allah.
A. BIOGRAFI IMAM ABUL HASAN AL-ASY’ARI
Nama beliau adalah Ali bin Ismail bin Abi
Sisyr Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdilah bin Musa bin Amir Bashroh
Bilal bin Abi Burdah bin Abu Musa Al-Asy’ari Abdulloh bin Qois bin Hadhor Al-Asy’ari Al-Yamani,
Sahabat Rasulullah. Populer dengan nama Abu Hasan Al-Asy’ari.
Dilahirkan di Basroh lalu menetap di Baghdad setelah melepas faham
Mu’tazilah. Tahun kelahirannya diperselisihkan, namun mayoritas
sejarawan menetapkan tahun 260 H, sebagaimana di tetapkan oleh
Adz-Dzahabi, dan wafat tahun 324 H. di Baghdad, perlu diperhatikan bahwa
beliau menjalani tiga fase kehidupan.
1. Fase Awal
Beliau mengikuti faham Mu’tazilah. Karena sejak kecil sampai umur empat tahun dalam naungan didikan bapak tirinya, Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahhab Al Juba’i (wafat 303 H. seorang tokoh Mu’tazilah), seperti dikisahkan oleh Ibnu Nadim (wafat 385 H).
”Awalnya beliau adalah berfaham
Mu’tazilah lalu bertobat dari faham tersebut dengan berpidato di masjid
jam’i di Bashroh pada hari Jum’at. Beliau naik kursi dan bersuara
lantang: “siapa yang telah mengenalku berarti dia telah betul –
betul mengenalku, dan siapa yang belum pernah mengenalku maka saya
mengetahui diri saya sendiri. Saya adalah Fulan bin Fulan. Saya dulu
berpendapat bahwa al Qur’an itu makhluk, Allah tidak bisa dilihat dengan
mata (pada hari Kiamat). Dan perbuatan jelek itu saya sendiri yang
berbuat (Allah tidak berperan) sekarang saya taubat dan melepas
keyakinan tersebut untuk membantah faham Mu’tazilah” lalu beliau turun dan keluar, meninggalkan kejelekan dari aib mereka” (al Fahrosat, hal 257)
Ibnu ‘Asakir menambahkan: ”wahai
seluruh manusia, saya menghilang dari hadapan kalian beberapa waktu
karena saya mendapati beberapa dalil dan belum bisa membedakan mana yang
hak dan yang batil. Lalu saya meminta petunjuk kepada Allah dan Allah
memberikan petunjuk-Nya, untuk meninggalkan semua yang kutulis di
buku–buku saya. Maka saya ditinggalkan semua yang dulu saya yakini
seperti saya melepaskan baju saya ini” lalu beliau melepaskan bajunya dan melemparknya. (Tabyiini Kadzibil Muftari, hal 39)
Adapun sebabnya ada dua, seperti disebutkan Ibnu Asakir, Pertama:
bermimpi melihat Rasulullah kata Abul Hasan Al-Asy’ari: penyebab saya
keluar dari faham Mu’tazilah adalah saya bermimpi melihat Rasulullah
pada awal bulan Ramadhan, Kedua: pertanyaan yang disodorkan kepada para gurunya, tetapi mereka tidak mampu menjawab “(Tabyiin hal. 38 – 42)
2. Fase kedua
Setelah keluar dari faham Mu’tazilah beliau menganut faham Kullabiyah, yang dimotori oleh Abdulloh bin Sa’id bin Kullab Al Bashri. Mulailah beliau membantah golongan Mu’tazilah dengan berpijak kepada faham Kullabiyah ini.
Ibnu Taimiyah berkata: “Abul Hasan
Al-Asy’ari dahulunya adalah seorang Mu’tazilah, ketika keluar darinya
dia mengikuti faham Muhammad bin Kullab” (Majmu‘Fatawa 5 /556) hal ini diakui pula oleh Ad Dzahabi dan selainnya (lihat Siyar A’laminubala 2/228)
Mengenai Ibnu Kullab, Ibnu Taimiyah
berkata: “Dialah yang mengarang kitab–kitab yang isinya membantah
Jahmiyah, Mu’tazilah dan firqoh lainnya. Dia termasuk ahli kalam dalam
masalah sifat–sifat Allah. Metode yang dia tempuh mendekati metode ahlul
hadits dan sunah, namun masih termuat cara–cara bid’ah.
Karena dia menetapkan sifat Dzatiyah dan
menolak sifat Ikhtiariyah bagi Allah, Tetapi ketika membantah Jahmiyah
dikarenakan mereka menolak sifat dan sifat Uluw (Allah berada di tempat
yang tinggi). Sarat dengan hujjah dan dalil dan menerangkan keutamaan
hujah dan dalil tersebut. Maka apa yang dikemukakan itu menyapu bersih
syubhat Mu’tazilah. Dan ini membantu bagi kalangan cendekia. Jadilah dia
seorang imam dan panutan bagi orang yang muncul setelahnya dalam
masalah penetapan sifat dan membantah orang yang menafikannya.
Walaupun antara mereka (Ibnu Kullab dan
pengikutnya) dengan golongan yang dibantahnya masih ada persamaan dalam
kaidah–kaidah pokok. Hal inilah yang menyebabkan sebagian kaidah yang
mereka munculkan. Menjadi batil dilihat dari kaca mata akal dan karena
menyelisihi sunah Rasulullah “. (Majmu’fatwa 12/ 366).
Lanjut beliau : ”…namun tatkala Muhammad
bin Kullab berbicara dan berdialog dengan Mu’tazilah menggunakan cara
berfikir Qiyas (analogi), dia menerima kaidah yang dicipta oleh
Mu’tazilah yaitu menolak bahwa Allah berbicara dengan huruf, melekatnya
sifat–sifat ikhtiariyah yang berkaitan dengan kehendak/ kekuasaan Allah
berupa perbuatan, kalam dan selainnya.
Dengan beranggapan bahwa penetapan sifat
ikhtiariyah itu berkonsekuensi: Allah mempunyai sifat yang hadits
(baru), padahal sesuatu yang tidak terbebas dari sifat hadits berarti
dia hadits (baru). Implikasinya dia berpendapat bahwa kalam Allah itu
hanya berupa makna, dan huruf (ketika Allah berbicara) tidak termasuk
kalam Allah. Pendapat ini diikuti oleh Abul Hasan Al-Asy’ari” (Majmu’Fatawa 12/366)
Disinilah Abul Hasan Al-Asy’ari tidak
menyadari. Ketika Ibnu Kullab membantah Mu’tazilah dan menetapkan sifat
Lazimah Allah sifat yang selalu melekat pada dzat Allah (dia juga
menafikan sifat–sifat ikhtiariyah Allah seperti sifat ridho, marah,
benci senang dan lain–lainnya).
Memang dalam penetapan sifat lazimah ini
Ibnu Kullab mencocoki madzhab Ahlususunnah seperti sifat Hidup, Ilmu,
Qudroh dan lainnya namun juga menyelisihinya dengan menolak sifat
Ikhtiyariyah tadi. Sehingga bisa dikatakan dia membentuk madzhab baru
yang sebagiannnya sesuai dengan madzhab ahlussunnah dan sebagiannya
menyelisihinya.
Berikut ini metode penetapan sifat Ibnu Kullab yang diikuti oleh Abul Hasan Al-Asy’ari:
- Menetapkan sifat lazimah, semisal : Ilmu, Qudrah
- Menafikan/menolak sifat ikhtiariyah yang berkatian dengan Masyi’ah (kehendak) dan Qudrah Allah.
- Kalam Allah adalah makna yang melekat tersimpan pada dzat (dalam ungkapan kita: ungkapan yang masih terpendam di hati), jika diungkapkan dengan bahasa Arab disebut Al Qur’an, bila dalam bahasa Ibrani disebut Taurat, dalam bahasa Suryaniyah disebut Injil
- Al Qur’an bukanlah kalam Allah tetapi kalam Jibril atau yang lain, Jibril mengungkapkan makna yang tersimpan dalam dzat Allah dengan ungkapan dia sendiri.
- Menafikan Allah bersifat senang, ridho kepada kaum mukminin setelah merek beriman, dan memurkai kaum kafirin setelah mereka kafir.
Adapun ahlussunnah wal jama’ah atau salafiyah menetapkan seluruh sifat ikhtiariyah yang Allah tetapkan bagi diri-Nya tanpa ditakyif, tamtsil, tahrif dan ta’thil.
Sebagai contoh, Allah beristiwa
di atas arsy, Allah turun, datang dan lainnya. Allah juga bersifat
marah, senang, murka, ridho dan sifat lainnya yang ditetapkan oleh
Rasulullah.
Allah juga berbicara, namun kalam Allah adalah qodimun nau’ dan haditsul aahad,
maksudnya adalah selalu bersifat bicara (sifat kalam ini selalu melekat
pada Allah), dan kalam perkalamnya adalah baru, kalam Allah kepada Adam
bukanlah kalam-Nya kepada Nuh, kalam-Nya kepada Nuh bukanlah kalam-Nya
kepada Ibrohim, juga bukan pula kalam-Nya kepada Muhammad dan
seterusnya.
3. Fase ketiga
Setelah sekaian lama bergelut dengan
faham Kullabiyah, meyakini dan menyebarkannya, beliau sadar dan kembali
kepada manhaj yang benar, manhaj salaf ahlussunnah wal jama’ah dengan
menisbatkan diri kepada Imam Ahmad bin Hanbal karena hidayah Allah,
kesadaran dan kembalinya beliau ke manhaj Ahlussunnah wal jama’ah
dibuktikan dengan tiga hal :
- Perkataan Para Ulama
Banyak sekali ulama yang mempersaksikan
kembalinya Imam Abul Hasan Al-Asy’ari kepada madzhab salaf Ahlusunnah
wal jama’ah, persaksian mereka itu diikrarkan setelah meneliti kehidupan
Imam Abul Hasan Al-Asy’ari.
Diantara mereka adalah:
a. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
b. Imam Ibnul Qoyyim
c. Imam Ad Dzahabi
d. Imam Ibnu Katsir, beliau berkata: “Mereka (para ulama) menyebutkan tiga fase kehidupan Abul Hasan Al-Asy’ari, Fase pertama, berfaham Mu’tazilah. Fase kedua:
penetapan sifat tujuh yaitu hayat, ilmu, qudroh, irodah, sam’u, bashar,
dan kalam dengan berdasarkan kaidah akal. Adapun sifat Khobariyah,
seperti wajah, dua tangan, kaki, betis dan lainnya dita’qil (ditahrif). Fase ketiga,
menetapkan semua sifat khobariyah tadi dengan tanpa ditakyif dan
tasybih menurut faham salaf. Inilah metode yang beliau tempuh seperti
dijabarkan dalam kitab al Ibanah, karya terakhir beliau” (Ithaf Sadatil Muttaqin, Murtadho Az- Zabidi, 2/5 cet. Darul Fikr).
e. Syaik Nu’man Al-Alusi
f. Syaikh Abul Ma’ali Mahmud Al Alusi
g. Al Allammah Muhibudiin Al Khotibb,
beliau berkata: “Abul Hasan Al-Asy’ari Ali bin Ismail termasuk pembesar
imam ahlu kalam dalam Islam. Pada awal kehidupannya dia menganut faham
Mu’tazilah, dengan berguru kepada Abu Ali Al Jubba’i kemudian Allah
menyadarkannya ketika beliau menginjak usia paruh baya dan awal
kematangannya.
Beliau mengumumkan kesadaran?
Keinsyafannya dan membeberkan kesesatan
faham Mu’tazilah. Pada fase ini beliau banyak menulis, berdebat dan
mengajar dengan membantah faham Mu’tazilah berlandaskan metode jidal
(debat) ta’wil (tahrif) dan metode salaf. Akhirnya beliau benar–benar
kembali ke manhaj salaf dengan mengistbatkan semua perkara–perkara ghoib
(termasuk sifat–sifat Allah) yang wajib diimani oleh para hamba-Nya
dengan berdasarkan pada Nash (al Qur’an dan Hadits) buktinya beliau
menulis kitabnya yang paling akhir yang sudah banyak dibaca orang yaitu
Al Ibanah.
Para penulis biografi beliau memastikan
bahwa al Ibanah adalah kitab terakhir yang ditulis oleh Abul Hasan.
Inilah yang dikehendaki oleh Allah. Adapun yang menyelisihi hal di atas
dan dinisbatkan kepada beliau atau apa yang diada-adakan oleh Asy’iroh,
sesungguhnya Abul Hasan Al-Asy’ari telah menyadari bahwa itu salah dan
beliau telah meninggalkannya serta kembali ke manhaj salaf ahlussunah
wal jama’ah seperti yang ditulis dalam kitab al Ibanah dan kitab
lainnya”. (Lihat komentar no. 2 pada Muntaqo Minhajul I’tidal milik Adz
Dzahabi).
- Perjumpaan Beliau Dengan Al Hafidz Zakaria As-Saaji
Setelah Abul Hasan Al-Asy’ari melepas
faham Mu’tazilah dan Kullabiyah, mulailah beliau menemui para imam ahlul
hadits yang selamat aqidahnya guna mengambil dan mengikuti metode yang
ditempuh oleh mereka. Yang paling mashyur adalah pertemuannya dengan
ahli hadits negri Bahsrah Al Hafidz Zakaria As-Saaji.
Para ulama begitu memperhatikan pertemuan
ini karena merupakan point penting seputar keterusterangan Abul Hasan
Al-Asy’ari untuk kembali ke manharj salaf dan dan penisbatannya kepada
Ahmad bin Hanbal.
Ibnu Taimiyah berkata: “Abu Hasan
Al-Asy’ari mengambil dasar–dasar ilmu hadits dari Zakaria as-Saaji di
Bashrah lalu setelah datang ke Baghdad menimba ilmu lainya dari pada
ulama Hanbaliyah. Ini adalah fase terakhir dikehidupannya seperti
disebutkan oleh para sahabatnya (muridnya) di kitab mereka” (Majmu Fatwa 3/ 288).
Kata Ibnu Taimiyah selanjutnya : “Abul
Hasan Al-Asy’ari mengambil ushul (pokok–pokok) ahlussunah dan hadits
dari Zakaria As-Saaji. Hal ini banyak dijumpai di kitabnya Maqolatul Islamiyyin.
Dia menyebutkan pendapat imam ahlussunnah sebagaimana juga pendapat
Hammad bin Zaid bahwa Allah berada di atas arsy dan dia mendekat kepada
hamba-Nya sekehendak-Nya” (Majmu’ Fatawa 5/ 386)
Imam Adz–Dzahabi sangat menaruh perhatian
terhadap pertemuan dua orang ini. Ketika Adz-Dzahabi menulis biografi
As-Saaji beliau berkata : “Abul Hasan Al-Asy’ari mengambil dari Al
Hafidz As-Saaji perkataan ahlul hadits dan salaf“. (Tadzkirotul Hufadz 2/709).
Pada Syiar A’lamun Nubala’ 14/198,
Ad Dzahabi berkata: “Abul Hasan Al-Asy’ari mengambil dari Al Hafidz
as-Saaji perkataan salaf dalam masalah sifat–sifat Allah. Lalu dijadikan
pijakan dalam kitab–kitabnya”. Termasuk ulama yang memastikan adanya
pertemuan antar Al Hafidz As-Saaji dengan Abul Hasan Al-Asy’ari adalah
dua orang imam: Ibnul Qoyyim dan Ibnu Katsir (lihat Ijtima’u Juyus Islamiyah hal 97, Al Bidayah Wan Nihayah 11/131 dan Ghoyatul Amani oleh Al Alusi 1/480)
- Penulisan Kitab Al Ibanah Dan Pemastian Bahwa Kitab Itu Karya
Beliau Banyak sekali ulama yang
memastikan bahwa kitab Al Ibanah merupakan karya terakhir Abu Hasan
Al-Asy’ari, baik ulama terdahulu atau yang belakangan, yang paling dekat
masa hidupnya dengan Abu Hasan adalah Ibnu Nadim, dalam kitabnya, al Fahrosat hal. 257, Ibnu Nadim menyebutkan biografi Abu Hasan dan karya–karyanya. Di antara karyanya adalah kitab At–Tabyiin an Ushulludin.
Setelah itu Ibnu Asakir, beliau membela Abu Hasan dan memastikan bahwa kitab Al-Ibanah
adalah kitab karya Abu Hasan, lalu Ibnu Asakir menyebut–nyebut dari
kitab Al Ibanah dalam kitabnya At Tabyiin untuk memuji akidah Abu Hasan
Al-Asy’ari, Ibnu Asakir berkata: “Karya Abu Hasan Al-Asy’ari
telah mashur di kalangan ulama, menurut ulama peneliti, kitab tersebut
sangat baik dan benar, siapa yang meneliti Al Ibanah niscaya mengerti
isinya yang sarat dengan ilmu dan ketaatan”. (Tabyiin Kadzabul Muftari, hal 28)
disebutkan bahwa Imam Abu Utsman as-Shobuni tidak akan keluar ke majlis
kecuali membawa kita Al Ibanah karya Abul Hasan Al-Asy’ari, beliau
sangat terkesan dengan kitab itu, hingga berujar: “apa–apa yang
dingkarkan kepada saya tentang isi kitab ini maka akan terbongkarlah
madzab orang tersebut” Lalu Ibnu Asakir berkomentar: “Ini adalah ucapan
Imama Abu Utsman, sedang dia adalah tokoh ahli hadits di Khurosan” (Tabyiin Kadzbul Muftari, hal 389)
Berikutnya, Ibnu Darbas
(wafat 659 H) mengarang sebuah kitab untuk membela Abu Hasan Al-Asy’ari
dan memastikan bahwa kitab al Ibanah adalah karya Abu Hasan. Dia
berkata: “Adapun sesudah itu, ketahuilah wahai saudara–saudara, semoga
Allah memberikan taufik dan hidayah kepada kita menapaki dien yang lurus
dan untuk meniti jalan lurus, sesungguhnya kitab Al Ibanah An
Ushulid Diyanah buah karya imam Abu Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari
adalah kitab dimana akidah beliau tertancap mantap padanya.
Dan dengannya beliau beribadah kepada
Allah setelah melepas paham I’tizal (Mu’tazilah) karena karunia Allah
dan kelembutan-Nya, adapun perkataan yang muncul sekarang dan
dinisbatkan kepada beliau namun menyelisihi akidahnya, beliau telah
meninggalkannya dan beliau minta pembebasan kepada Allah dari perkataan
tersebut. Bagaimana tidak, beliau telah menyatakan bahwa akidah tersebut
adalah keyakinannya guna beribadah kepada Allah.
Dan dia telah meriwayatkan dan memastikan
keyakinan sahabat, Tabi’in para imam ahlul hadits yang telah berlalu,
dan ucapan Ahmad bin Hanbal– semoga Allah merohmati mereka semua.
Tambahan lagi keyakinan itu telah ditunjukkan oleh Al Qur’an dan Sunah
Rarul-Nya. Apakah mungkin beliau kembali kepada kayakinan lain? Lalu
kepada apa beliau kembali?
Mungkinkah beliau berpaling dari kitab
dan Sunnah, menyelisihi pemahaman sahabat Tabi’in dan para imam hadits
yang telah lalu? Padahal telah diketahui bahwa itulah madzab beliau dan
beliau sendiri telah meriwiyatkan dari mereka (imam ahlul hadits,
tabi’in dan sahabat).
Demi Allah, ini tidak patut dinisbatkan
kepada orang awam apalagi kepada pemuka agama ini! Sekelompok imam
dunia, para fuqoha Islam, imam ahli Qiro’at, ahli Hadits dan selain
mereka telah menyebut kitab Al Ibanah ini, mereka jadikan pijakan dan
pastikan bahwa kitab ini karya Abu Hasan Al-Asy’ari, mereka juga
memujinya, membersihkanya dari bid’ah–bid’ah yang dinisbatkan kepada
beliau. Dan menukil perkataan beliau dari Al Ibanah dalam
tulisan–tulisan mereka”. (Risalatul Dzahabbi An Abil Hasan Al-Asy’ari, hal 107, peneliti Dr. Ali bin Nashir Al Fakihi).
Kemudian Ibnu Darbas Menyebutkan nama–nama mereka:
- Imam ahli Qiro’at al Qur’an, Abu Ali Al Hasan bin Ali bin Ibroihim Al Farisi (wafat 446)
- Al Hafidz Abu Utsman As Shobuni (wafat 449H)
- Al Faqih Al Hafiz Aabu Bakr Al Baihaqi (wafat 458 H)
- Imam Abul Fath Nashr Al Maqdisi (wafat 490H)
- Al Faqih Abul Ma’ali Mujalli, penyusun kitab Ad Dzakhooir (wafat 550H)
Ulama lainnya yang tidak disebutkan Ibnu Darbas semisal:
- Imam Ibnu Timiyah
- Al Hafiz Ad Dzahabi, beliau berkata: “Kitab al Ibanah adalah termasuk karangan Abu Hasan yang termashur. Dipopulerkan oleh Al Hafidz Ibnu Asakir dan dijadikan rujukan dan disalin oleh Imam Nawawi (Mukhtashor Al Uluw, hal 239)
- Imam Ibnul Qoyyim
- Al Hafidz Ibnu Katsir.
- Al Allmah Ibnu Farhun Al Maliki (wafat 799)
- dan masih banyak lagi
Kesimpulannya:
Abu Hasan Al-Asy’ari pada awal
kehidupannya menganut faham Mu’tazilah kemudian berlepas diri. Setelah
itu menganut faham Kullabiyah.
Masa inilah beliau menetapkan sebagian sifat (yang tujuh dan menta’wil sifat yang lain).
Akhirnya
beliau Ruju’ (kembali) kepada faham salaf, membelanya dan berpendapat
sesuai pendapat salaf beliau mengambil dari pada ahlu hadits pendapat
ahlussunnah wal jama’ah, lalu mengarang kitab Al Ibanah dan meyakini apa
yang ditulisnya.
Inilah yang dikehendaki oleh Allah. Kitab
Al Ibanah adalah karya imam Abu Hasan Al-Asy’ari, seperti ditegaskan
oleh para ulama, persaksian mereka sudah cukup sebagai bantahan terhadap
orang yang menyangka bahwa kitab itu hanya dinisbatkan kepada beliau
bukan karyanya. (lihat bahasan ini dari hal 1 – 55)
PERKATAAN ABU HASAN AL-ASYA’ARI SEPUTAR SIFAT– SIFAT ALLAH
Berikut ini akan dikemukakan perkataan imam Abu Hasan Al-Asy’ari yang diambil dari kitab beliau yaitu Al Ibanah An Ushulid Diyanah dan Muqolatul Islamiyyin Wakhtilafil Mushollin. Dalam kitab Al Ibanah Bab Kejelasan Perkataan ahlul hak dan ahlussunah hal 17–19, beliau berkata;
“Apabila seseorang bertanya: “kamu mengingkari perkataan Mu’tazilah, Qodariyyah, Jahmiyyah, Harruriyyah, Rofidhoh dan Murji’ah, maka terangkan kepada kami pendapatmu dan keyakinanmu yang mengaku beribadah kepada Allah dengannya!
Jawablah:“Pendapat dan keyakinan kami yang kami pegangi adalah perpegang teguh dengan kitab rabb kita azza wajalla, sunnah Nabi kita dan apa yang diriwayatkan dari para sahabat, Tabi’in dan para ahlul hadits. Kami berpegang teguh dengannya.Dan berpendapat dengan apa yang dikatakan oleh Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal–semoga Allah mencerahkan wajahnya, meninggikan derajatnya, dan memberi balasan yang melimpah. Siapa yang menyelisihi perkataannya dia akan menyimpang, karena dia adalah imam yang mulia, pemimpin yang sempurna yang dengan perantaranya Allah menjelaskan kebenaran, menumpas kesesatan, membuat minhaj ini menjadi gamblang, membarantas bid’ah–bid’ah rekayasa para ahli bid’ah, penyelewangan orang yang menyimpang, dan kegamangan orang yang ragu–ragu. Semoga Allah merohmatinya’.Ringkas perkataan kami adalah kami beriman kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab– kitab-Nya, para Rasul-nya dan apa yang dibawa oleh mereka dari sisi Allah dan apa yang diriwayatkan oleh para ulama yang terpercaya dari Rasulullah, kami tidak akan menolak sedikitpun, sesunguhnya Allah adalah Ilah yang Esa, tiada Ilah yang berhak diibadahi kecuali Dia, Dia Esa dan tempat bergantung seluruh makluk, tidak membutuhkan anak dan istri, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, Allah mengutusnya dengan membawa petunjuk dan dien yang benar, Surga dan Neraka benar adanya. Hari kiamat pasti datang, tidak ada kesamaran sedikitpun. Dan Allah akan membangkitkan yang ada di kubur, dan Allah bersemayam di atas Arsy, seperti firman-nya. الرَّحْمَانُ عَلىَ الْعَرْشِ اسْتَوَاى (Thoha ayat 5) Allah mempunyai dua tangan, tapi tidak boleh di takyif, seperti firman-Nya: خَلَقْتُ بِيَدَيً (QS. Shod: 75) dan Firman-Nya: بَلْ يََدَاهُ مَبْسُوْطَتَانِ (QS. Al Maidah: 64) Allah mempunyai dua mata tanpa ditakyif, seperti firmanya (QS. Al Qomar: 14), siapa yang menyangka bahwa nama–nama Allah bukanlah Allah maka dia telah sesat, Allah mempunyai ilmu, firmanya (QS. An Nisa 166) firmannya:وَمَاتَحْمِلُ مِنْ أُنْثَى وَلاَتَضْعُ إِلاَّ بِعِلْمِهِ tidak ada seorang perempuan –perempuan mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan sepengetahuan-Nya. (QS. Al Fathir: 11)
Kita menetapkan bahwa Allah mendengar dan melihat, kita tidak menafikanya seperti dilakukan oleh Mu’tazilah, Jahmiyah dan Khowarij, kita juga menetapkan bahwa Allah mempunyai Quwwah (kekuatan), seperti firman-Nya :أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّ اللهَ الَّذِي خَلَقَهُمْ هُوَ أَشَدّ مِنْهُمْ قُوَّةً (QS. Fushilat: 15), kita katakan bahwa kalam Allah bukan makhluk, Allah tidak menciptakan sesuatupun kecuali akan mengatakan jadilah! Seperti firmannya إِنَّمَا قَوْلُنَا لِشَىءٍ إِذَاأَرِدْنَاهُ أَنْ نَقُوْلَ لَهُ كُنْ فَيَكُوْنَ (QS. An Nahl: 40) Tidak ada satu kebaikan atau kejelekan pun di bumi ini kecuali telah dikehendaki oleh Allah, sebab sesuatu itu terjadi karena kehendak-Nya azza wajalla seseorang tidak mampu berbuat suatu perbuatanpun sebelum Allah menentukannya dan dia pasti butuh kepada Allah, tidak ada seorangpun yang mampu keluar dari ilmu Allah azza wa jalla sesungguhnya tidak ada pencipta kecuali Allah, amal perbuatan hamba itu diciptakan dan ditentukan oleh Allah, seperti firmannya: وَ اللهُ خَلَقَكُمْ وَمَاتَُعْمَلُوْنَ (Qs.Ash Shofat: 96) seorang hamba tidak mampu menciptakan sesuatupun, bahwa mereka diciptakan, seperti firman-Nya: هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللهِ (QS. Fathir: 3) لاَيَخْلُقُوْنَ شَيْئًا وَهُمْ يُخْلَقُوْنَ (QS An Nahl: 20) أَفَمَنْ يَخْلُقُ كَمَنْ لاَيَخْلُقُ أَفَلاَ تَذَكَّرُوْنَ (Qs. An Nahl; 17) أَمْ خُلِقُوْا مِنْ غَيْرِ شَىءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُوْنَ (QS At Thur: 35) dan masih banyak lagi ayat yang lain dalam kitab Allah.”
Dalam maqolatul Islamiyyin bab inilah
hikayat Sekumpulan perkatan ahlul hadits dan ahlussunah, hal 290–297
beliau berkata seperti yang tercantum dalam Al Ibanah di muka. Kemudian
pada akhir Bab beliau berkata:
“Inilah sekumpulan perkataan yang diperintahkan, dilaksanakan oleh mereka dan itulah pendapat mereka, kami berkata dan berpendapat sama persis dengan siapa perkataan dan pendapat mereka. Tidak ada yang memberi taufik kepada kami kecuali Allah saja. Dialah yang mencukupi kami dan dialah sebaik–baik pemelihara. Kepada-Nya kami meminta pertolongan, kepada-Nya kami bertawakal dan kepada-Nya akan kembali!”
Dari dua kitab tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa beliau menetapkan:
- Sifat–sifat yang tetap bagi Allah yang termaktuf dalam kitab-nya dan dalam sunah nabi-Nya secara hakiki sesuai kegungan Allah ta’ala, seperti sifat istiwa Allah di atas Arsy, Allah mempunyai dua tangan, dua mata dan wajah secra hakiki, namun tidak boleh ditanyakan bentuknya dan diserupakan dengan makhluk. Allah memiliki sifat ilmu, pendengaran, penglihatan, kekuatan dan irodah (berkehendak) Allah berbicara dan al Qur’an adalah kalam Allah, Allah turun ke langit dunia.
- Allah akan dilihat pada hari kiamat dengan jelas tanpa pengahalng.
- Allah akan datang (sifat mamji’) pada hari kiamat sedangkan malaikat berbaris )
Tidak hanya itu dalam kitab lainnya Risalah Ila Ahli Tsaghr, beliau menetapkan adanya ijma’ (kesepakatan) salaf dalam masalah aqidah khususnya asma dan sifat yaitu;
- Salaf bersepakat menetapkan sifat mendengar, melihat, dua tangan, sifat qobdh (menggenggam) dan dua tangan Allah adalah kanan.
- Mereka bersepakat menetapkan sifat nuzul (Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang akhir), maji (kedatangan Allah pada hari kiamat untuk memutuskan), uluw (ketinggian) dan Allah berada di atas arsy.
- Mereka bersepakat bahwa kaum mukmin akan melihat Allah pada hari kiamat dengan mata mereka, (hal 210 – 225)
Kemudian beliau menyebutkan beberap ijma’
lainnya, lalu menutup dengan ijma’ yang menyeluruh sebagai kaidah
terpenting bagi salaf, katanya:
“para salaf telah bersepakat untuk menetapkan sifat–sifat bagi Allah sebagaimana Allah telah mensifati diri-Nya dengan sifat tersebut dan pensifatan oleh Nabi-Nya tanpa pemalingan dan tanpa ditakyif, iman kepada sifat–sifat tersebut adalah wajib, demikian pula tidak bolehnya takhif juga wajib” (hal 224)
Semakin jelas kiranya bahwa akidah imam Abu Hasan Al-Asy’ari dalam masalah asma’ dan sifat berdasarkan:
- Kitab Allah ta’ala yaitu al Qur’an dimana Allah menetapkan di dalamnya sifat–sifat bagi diri-nya
- Hadits – hadits Rasululah yang shohih yang menetapkan sifat
- Perkatan salaf dan para imam hadits. Karena aqidah mereka adalah aqidah yang selamat dan motode mereka adalah lurus, yang menetapkan sifat-sifat yang baik bagi Allah, tanpa ditakyif, tanpa tamsil, tanpa tahrif, tanpa ta’thil, panutan dalam masalah ini adalah imam Ahmad bin Hambal
Berbeda
dengan apa yng diyakini oleh sementara orang yang mengaku mengikuti
beliau, dikenal dengan nama Asya’iroh, ternyata yang mereka klaim itu
tidak benar sama sekali, sehingga terlihat nyata perbedaan antara imam
Abu Hasan Al-Asy’ari dan Asy’iroh, dimana beliau menetapkan semua sifat
bagi Allah yang tertera dalam al Qur’an sedangkan Asya’iroh hanya
menetapkan dua puluh sifat saja, uraian ini sebenarnya
sudah cukup membuktikan kesalahan mereka dan sebagai bantahan kepada
mereka, karena beliau telah ruju’ (berlepas diri) dari faham Mu’tazilah
dan faham Kullabiyah. Membuktikan bahwa faham tadi itu salah dan sesat,
selain itu mereka telah berbuat lancang dzolim kepada imam Abu Hasan
Al-Asy’ari, jika mereka mengaku ittiba’ kepada beliau seharusnya juga
bertaubat dari keyakinan mereka dan ruju’ kepada faham salaf,
ahlussunnah wal jama’ah yang hakiki, Allahu a’lam.
(Penyusun: Abu Syamiel A)
Penjelasannya simak kajian yang sampaikan
oleh Al-Ustadz Abu Ahmad Zainal Abidin, Lc pada kajian rutin di Masjid
Astra Sunter, Jakarta Utara pada hari kamis, 11 Januari 2007 dengan
pembahasan ” Mengenal Abul Hasan Al-Asy’ari dan Asy’ariyah “
Atau download dalam format mp3.zip Disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar