Menjadi salafi berarti memilih sesuatu yang lain. Seorang peneliti antropologi, sayangnya, belum jeli melihat kenyataan ini. Sampai sekarang, belum ada kajian antropologi yang concern mengkaji kehidupan komunitas Salafi. Belum ada karya antropolog yang berwibawa, sewibawa karya-karya Clifford Geertz tentang masyarakat Jawa, mengangkat komunitas Salafi sebagai bahan penelitian.
Yang patut dicatat, Salafi bukan teroris. Selama ini, publik selalu saja menggambarkan bahwa teroris adalah Salafi dan Salafi adalah teroris. Padahal, yang sebenarnya, orang-orang yang melakukan aksi terorisme berkedok Islam dan jihad melawan pemerintah serta mengafirkan orang-orang banyak, termasuk juga meledakkan bom di sana-sini, adalah gerombolan pencatut label Salafi dalam landasan aksi-aksi mereka.
Kalau kita mau jeli, dan meneliti secara jujur dan berani, kita akan menemukan bahwa teroris adalah teroris dan Salafi adalah Salafi.
Sepertinya, tahun-tahun sekarang bakal membutuhkan banyak tenaga
antropolog untuk meneliti tentang subjek ini. Jika tidak, bias istilah
akan semakin merajalela.
Mengapa antropolog? Justru karena mereka yang mau dan mampu melihat dari dalam. Salafi itu komunitas aneh, jauh berbeda dari orang-orang kebanyakan.
Bahkan, dapat dikatakan, mereka ada sebagai sebuah subkultur yang eksis
dan ada di tengah-tengah masyarakat kita. Hanya tinggal kita: apakah kita mau dan jeli melihatnya?
Salaf, Salafi, Komunitas Salafi
Di Indonesia, menyebut istilah salaf,
asosiasi banyak orang akan terarah pada sebuah pesantren tradisional
yang tak berijazah, tak berkurikulum sebagaimana sekolah umum dan
madrasah-madrasah modern, santri-santri yang bersarung dan berkopiah
menenteng Al-Qur’an untuk mengaji di masjid pesantren. Mereka diasuh
oleh seorang kiai bersarung yang jelas bukan PNS bukan pula pegawai
perusahaan swasta tapi punya penghasilan lewat tanah-tanah sawah yang
digarap atau kebun yang dipanen.
Asosiasi itu akan semakin lengkap dengan bentuk pesantren yang sungguh-sungguh apa-adanya. Ada
masjid, bangunan sederhana untuk asrama ala kadarnya, bangunan mck
untuk santri yang menginap, dan sudah tentu bangunan rumah kiai yang
memimpin pesantren itu. Lokasi pesantren itu pun akan berada di suatu
desa, bukan di kota. Masyarakat desa menghormati keberadaan pesantren
itu, sebagaimana mereka menghormati kiai yang memimpinnya.
Dan akan semakin lengkap dengan gambaran tentang kegiatan mereka yang mengkaji kitab-kitab Arab gundul.
Mereka duduk melingkari kiai itu mendengarkan penjelasannya. Belajar
bagi mereka adalah menghafal isi kitab-kitab gundul itu. Satu-satunya
kitab yang tidak gundul untuk mereka hanya kitab suci Al-Qur’an.
Tapi, bukan itu yang dimaksud dengan istilah salaf yang ada di sini. Bahkan santri-santri dalam asosiasi kita itu hanya akan disebut dengan istilah santri salaf. Pesantrennya, pesantren salaf. Bukan Salafi.
Terkait dengan tulisan ini, Salaf dimaksud sebagai istilah untuk generasi pertama dari kalangan sahabat Nabi Muhammad (murid-murid Nabi langsung), tabiin (murid-murid sahabat nabi itu), dan tabiut tabiin (murid-murid para tabiin itu).
Dilihat dari segi waktu, tiga generasi itu terentang dalam kurang lebih
dua ratus tahun pertama sejak ayat-ayat Al-Qur’an pertama kali turun.
Dalam praktek agama, mereka diyakini sebagai orang-orang yang masih berada di atas fitrah dan ajaran Islam yang masih murni dan selamat.
Mereka menyaksikan wahyu turun dan melihat langsung praktek-praktek
Nabi atas wahyu itu. Mereka kemudian ikut mempraktekkan dan meneruskan
kepada murid-murid mereka (para tabiin). Murid-murid mereka pun
mengajarkan kepada murid-murid mereka lagi (tabiut tabiin).
Praktek agama mereka, baik itu dalam cara memahami Qur’an dan Hadis ataupun dalam cara melaksanakannya, disebut dengan istilah mazhab kaum Salaf. Dan
setiap orang setelah mereka, siapa pun dan di mana pun itu, yang
mempraktekkan pemahaman dan cara-cara ibadah mereka disebut dengan
Salafi atau pengikut Salaf.
Dengan pengertian seperti itu, dari sejak zaman Imam Syafi'i sampai hari Kiamat nanti, orang-orang yang disebut Salafi akan terus ada selama ada yang mempraktekkan pemahaman dan praktek ibadah generasi Salaf. Dan itu tidak terbatas pada wilayah Timur Tengah saja, tetapi merentang jauh menembus sampai ke New York, Toronto, London, Paris, Lyon, Amsterdam.
Tentu saja, juga di daratan Cina, belahan Afrika Utara, Somalia, Pakistan, India, Semenanjung Malaya, dan Indonesia. Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya adalah kota-kota besar di Jawa yang banyak dihuni oleh komunitas Salafi.
Aceh, Medan, Pekan Baru, Padang, Jambi, Palembang, Bengkulu, Bandar
Lampung, Balikpapan, Bontang, Makassar, Ambon, Jayapura, dan kota-kota
kabupaten yang lain sudah pasti ada. Orang-orang yang sejatinya disebut Salafi ada di sekitar kita.
Eksistensi Salafi di Sekitar Kita
Komunitas mereka tetap eksis sampai sekarang, baik di kehidupan nyata kita sehari-hari ataupun di dunia maya. Situs-situs mereka terus diakses. Blog-blog Salafi terus memberikan informasi seputar dakwah mereka.
Mereka pun mengeluarkan majalah-majalah dakwah mereka. Tiap Jum’at, di
kota-kota di Indonesia, buletin-buletin Jum’at mereka ditebar. Di
sejumlah kota, bahkan, stasiun-stasiun radio mereka mengudarakan
acara-acara kajian dakwah mereka. Dan sudah pasti: dai-dai Salafi
terkadang mengisi khutbah-khutbah Jum’at di masjid-masjid sekitar kita.
Satu-satunya yang belum mereka rambah adalah televisi. Akan
tetapi, ini terkait dengan prinsip yang masih mereka pegang teguh dalam
berdakwah. Kita pasti tidak akan habis pikir mendengar alasan mereka
tentang itu. Menghormati pendapat mereka, kita pasti bisa memahami dan
menerima alasan mereka yang dipakai mereka.
Istilah yang tepat untuk melukiskan
hakikat sebenarnya tentang komunitas Salafi adalah komunitas belajar
kitab gundul. Sebab aktivitas mereka tampaknya berporos pada pengajian
kitab-kitab gundul yang menjadi bagian khazanah Islam.
Mereka
secara rutin—baik itu harian, mingguan, bulanan atau pun
tahunan—mengkaji kitab-kitab tersebut dan menerapkannya dalam aktivitas
harian mereka, mulai dari aktivitas sosial kemasyarakatan,
aktivitas beribadah kepada Allah, sampai kepada aktivitas pribadi dengan
pasangan hidup masing-masing mereka di atas ranjang. Bagi sebagian
pengamat Islam, komunitas Salafi itu akan digolongkan ke dalam kelompok
muslim literalis.
Menariknya, komunitas mereka adalah komunitas yang terbuka (open community). Kebanyakan
orang di luar mereka justru menilai mereka sebagai komunitas yang
eksklusif, serba tertutup dan tersendiri, hanya dari melihat penampilan
luar mereka. Padahal, nyatanya tidak. Mereka terbuka terhadap siapa pun di luar mereka yang ingin tahu tentang mereka. Mulai
dari seorang pejalan kaki yang kebetulan mampir sampai intel-intel yang
bekerja untuk Densus 88 Polri boleh menghadiri pengajian-pengajian
kitab mereka. Asal saja tidak mengganggu dan menyakiti mereka.
Selain itu, tidak ada baiat atau sumpah keanggotaan untuk bergaul atau bergabung dengan komunitas mereka.
Demikian pula, siapa pun yang ikut mengaji kitab-kitab gundul dengan
mereka dapat keluar dan pergi kapan pun dan di mana pun dari lingkaran
komunitas mereka. Tidak ada istilah akan dikejar atau diintimidasi oleh
mereka akibat tindakan seperti itu bagi siapa pun yang melakukannya. Sekali lagi, komunitas Salafi bukan sekumpulan jaring klandestin yang susah untuk dilacak.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar