Oleh: Kholili Hasib (Peneliti Institut Pemikiran dan Peradaban Islam (InPAS) Surabaya)
Akidah merupakan pondasi sakral dalam
agama. Penyimpangan akidah berarti menegasikan agama Islam itu
tersendiri. KH. Hasyim ‘Asy’ari, pendiri Nahdhatul Ulama’, ketika hidup
di masa kolonial Belanda mencermati bahwa banyak aliran-aliran pemikiran
yang bisa melunturkan akidah Ahlussunnah wal Jama’ah.
Ciri yang dapat ditangkap dari figur
Syekh Hasyim ini salah satu di antaranya adalah penguatan basic-faith
(asas kepercayaan) kaum Muslim. Fatwa-fatwanya mengikuti sejumlah
ulama’-ulama’ mutakallimun (teolog) dari mazhab Asy'ariyah dan Maturidiyah.
Organisasi NU yang didirikannya juga bertujuan melestarikan ajaran Ahlussunnah dalam masyarakat Nusantara, dengan menyatukan para ulama’ dan menepis fanatisme sempit terhadap kelompoknya. Buah pikirannya yang cemerlang dan melampaui zamannya (visioner) ini adalah salah satu hal yang menarik.
Figur Anti Paham Nyeleneh
Umat Islam Indonesia tentu berharap besar agar ormas-ormas Islam terbebas dari oknum yang berpaham liberal dan Syiah. NU, sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia sangat berperan penting menjaga keislaman Muslim Indonesia – apalagi pendirinya, KH. Hasyim Asy’ari, termasuk yang menolak keras segala bentuk penodaan akidah. Jika ada anak muda NU yang liberal, sejatinya mereka adalah oknum.
Maka, sudah saatnya arus liberalisasi
agama yang diusung oleh sebagian intelektual muda NU ditanggapi
serius[1]. Sebab, pemikiran mereka sangat jauh dari ajaran-ajaran KH.
Hasyim Asy’ari — pendiri NU — yang dikenal tegas terhadap
pemikiran-pemikiran yang menodai kesucian agama.
Ketokohan KH. Hasyim Asy’ari jangan sampai ditinggalkan Nahdliyyin (umat NU). Beliau adalah figur ulama’ Nusantara yang patut diteladani, tidak hanya bagi kalangan NU, tapi juga umat Islam lainnya di Indonesia.
KH. Hasyim Asy’ari adalah ulama’ kenamaan
yang lahir dari darah keturunan para ulama’. Ia lahir di Gedang,
Jombang, Jawa Timur, hari Selasa, 24 Dzulhijjah 1287 H bertepatan dengan
14 Februari 1871 M. Ayahnya bernama Kiai Asy’ari, seorang ulama asal
Demak Ayahnya, juga seorang ulama’ di daerah selatan Jombang yang
memiliki pesantren. Kakeknya, Kyai Ustman, terkenal sebagai pemimpin
Pesantren Gedang, yang santrinya berasal dari berbagai daerah di seluruh
Jawa, pada akhir abad 19. Ayah kakeknya, Kyai Sihah, juga ulama’,
adalah pendiri Pesantren Tambakberas di Jombang.
Menginjak usia 15 tahun, KH. Hasyim
berkelana ke berbagai pesantren yakni ke pesantren Wonokoyo Probolinggo,
pesantren Langitan Tuban, pesantren Trenggilin Madura, dan akhirnya ke
pesantren Siwalan Surabaya. Di pesantren Siwalan ia menetap selama 2
tahun. Selama tujuh tahun ia nyantri di Makkah beliau berguru kepada
masyayikh di tanah haram[2]. Di antaranya ia berguru kepada Syekh Ahmad
Khatib, Syekh ‘Alawi dan Syekh Mahfudh at-Tarmisi, gurunya di bidang
hadis yang berasal dari Termas Jawa Timur. Ia juga pernya belajar kepada
Kyai Cholil Bangkalan (mbah Cholil), ulama Madura yang cukup disegani.
Cukup banyak Kyai sepuh NU yang belajar kepadanya.
Sepulang ke tanah air, ia memulai tapak
perjuangan melalui pendidikan dan organisasi sosial. Di bidang
pendidikan ia mendirikan pesantren bercorak tradisional di Tebuireng
Jombang. Untuk mengkonsolidasi dakwah secara efektif ia mendirikan
jam’iyyah Nahdlatul Ulama’, yang artinya organisasi kebangkitan ulama’
pada 31 Januari tahun 1936.
Ia termasuk penulis produktif. Karya yang
dibukukan sekarang ini ada sekitar lebih dari 19 kitab. Itu belum
risalah-risalah pendek belum dicetak yang menurut informasi masih
tersimpan di perpustakaan keluarga di Jombang. Barangkali Syekh Hasyim
Asy’ari ingin meneladani Imam al-Ghazali rahimahullah dalam perjuangan. Imam al-Ghazali rahimahullah dalam gerakan pembaharuannya dengan membenahi ilmu dan ulama’.
Syekh Hasyim Asy’ari dengan berdirinya
NU, berusaha membangkitkan ulama’ dan semangat untuk kembali kepada
ajaran-ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Ulama’ adalah ‘mesin’ dakwah
Islam. Oleh sebab itu ketika terjadi krisis, ulama’ harus dibangkitkan,
dibenahi keilmuannya dan diatur strategi perjuangannya.
Syekh Hasyim sendiri adalah mengikuti madzhab Syafi’i dalam bidang fikih, dalam bidang teologi mengikut Abul Hasan Asy'ari dan Maturid. Madzhab dan teologi ini mayoritas dianut umat Islam Nusantara.
Dalam kitabnya al-Tibyan fi al-Nahyi ‘an
Muqatha’ati al-Arham wa al-‘Aqarib wa al-Ikhwan terekam nasihat-nasihat
penting yang disampaikan dalam pidato mu’tamar NU ke-XV 9 Pebruari 1940
di Surabaya.
Ia menyeru kepada umat Islam untuk bersungguh-sungguh berjihad melawan akidah yang rusak dan pengkhina al-Qur’an. Untuk itu, ia mewanti-wanti agar menjaga keutuhan umat Islam dan tidak fanatik buta kepada perkara furu’[3].
Di hadapan peserta mu’tamar yang dihadiri para ulama’, Syekh Hasyim Asy’ari menyeru untuk meninggalkan fanatisme buta kepada satu madzhab. Sebaliknya
ia mewajibkan untuk membela agama Islam, berusaha keras menolak orang
yang menghina al-Qur’an, dan sifat-sifat Allah swt, dan memerangi pengikut ilmu-ilmu batil dan akidah yang rusak. Usaha dalam bentuk ini wajib hukumnya. Ia mengatakan:
“Wahai para ulama’ yang fanatik terhadap madzhab-madzhab atau terhadap suatu pendapat, tinggalkanlah kefanatikanmu terhadap perkara-perkara furu’, dimana para ulama telah memiliki dua pendapat yaitu; setiap mujtahid itu benar dan pendapat satunya mengatakan mujtahid yang benar itu satu akan tetapi pendapat yang salah itu tetap diberi pahala.
“Wahai para ulama’ yang fanatik terhadap madzhab-madzhab atau terhadap suatu pendapat, tinggalkanlah kefanatikanmu terhadap perkara-perkara furu’, dimana para ulama telah memiliki dua pendapat yaitu; setiap mujtahid itu benar dan pendapat satunya mengatakan mujtahid yang benar itu satu akan tetapi pendapat yang salah itu tetap diberi pahala.
Tinggalkanlah fanatisme dan hindarilah jurang yang merusakkan ini (fanatisme). Belalah
agama Islam, berusahalah memerangi orang yang menghinal al-Qur’an,
menghina sifat Allah dan perangi orang yang mengaku-ngaku ikut ilmu
batil dan akidah yang rusak. Jihad dalam usaha memerangi (pemikiran-pemikiran) tersebut adalah wajib”[4].
Tegas, tidak kenal kompromi dengan tradisi-tradis batil, serta bijaksana, inilah barangkali karakter yang bisa kita tangkap dari pidato beliau tersebut. Bahkan pidato tersebut disampaikan kembali dengan isi yang sama pada Muktamar ke-XV 9 Pebruari 1940 di Surabaya.
Hal ini menunjukkan kepedulian beliau
terhadap masa depan warga Nadliyyin dan umat Islam Indonesia umumnya,
terutama masa depan agama mereka ke depannya – yang oleh beliau telah
diprediksi mengalami tantangan yang berat.
Menurut Syekh Hasyim Asy’ari, fanatisme terhadap perkara furu’ itu tidak dipernkenankan oleh Allah swt, tidak diridlai oleh Rasulullah saw
(al-Tibyan, hal. 33). Oleh sebab itu ia menyeru untuk bersatu padu,
apapun mazhab fikihnya. Selama ia mengikuti salah satu madzhab yang
empat, ia termasuk Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Jika berdakwah dengan orang yang berbeda
madzhab fikihnya, ia melarang untuk bertindak keras dan kasar, tapi
harus dengan cara yang lembut. Sebaliknya, orang-orang yang menyalahi
aturan qath’i tidak boleh didiamkan. Semuanya harus dikembalikan kepada
al-Qur’an, hadis, dan pendapat para ulama terdahulu. Inilah sikap adil,
yakni menempatkan perkara pada koridor syariah yang sebenarnya.
Dalam kitab yang sama, beliau mengutip
hadis dari kitab Fathul Baariy bahwa akan datang suatu masa bahwa
keburukannya melebihi keburukan zaman sebelumnya. Para ulama dan pakar
hukum telah banyak yang tiada.
Ditulis dalam Muqaddimah al-Qanun
al-Asasi li Jam’iyati Nadlatu al-‘Ulama, Seykh Hasyim Asy’ari mewanti
agar berhati-hati jangan jatuh pada fitnah – yakni orang yang tenggelam
dalam lautan fitnah, yaitu berdakwah mengajak kepada agama Allah akan
tetapi dalam hati ia durhaka kepada-Nya[5].
Nahi Munkar Syekh Hasyim
Hadratus Syekh Hasyim Asyari, pernah
menceritakan tentang keadaan pemikiran kaum Muslimin di pulau Jawa.
Cerita itu kemudian ditulis dalam salah satu kitabnya, Risalah Ahl
al-Sunnah wal Jamaah. Selain dalam kitab tersebut, juga diuraikan dalam
karya-karya lain, tentang ajaran-ajaran yang menyimpang yang harus
diluruskan.
Sejak NU didirikan pertama kali pada 31
Januari 1926, Syeikh Hasyim Asy’ari sudah mengeluarkan rambu-rambu
peringatan terhadap paham nyeleneh. Peringatan tersebut dikeluarkan agar
warga NU ke depan hati-hati menyikapi fenomena perpecahan akidah.
Pada sekitar tahun 1330 H terjadi
infiltrasi beragam ajaran dan tokoh-tokoh yang membawa pemikiran yang
tidak sesuai dengan mainstream Muslim Jawa waktu, yakni berakidah
Ahlussunnah wal Jama’ah[6].
Kyai Hasyim mengkritik
orang-orang yang mengaku-ngaku pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab,
dengan menggunakan paradigma takfir terhadap madzhab lain,
penganut aliran kebatinan, kaum Syiah Rafidhah, pengikut tasawwuf
menyimpang yang menganut pemikiran manunggaling kawulo gusti[7].
Organisasi yang beliau dirikan, NU,
bertujuan memperbaiki keislaman kaum Muslim nusantara dengan cara
membangkitkan kesadaran ulama-ulama’ Nusantara akan pentingnya amar
ma’ruf nahi munkar. Diharapkan dengan wadah organisasi ini, para ulama’ bersatu padu membela akidah Islam.
Paradigma takfir, dalam bidan furu’,
tidaklah tepat karena akan memecah belah kaum Ahlussunnah wal Jama’ah.
Dalam menyikapi perbedaan furuiyah, Kyai Hasyim melarang untuk bersikap
fanatik buta. Ia mendorong keras kepada para ulama’ untuk bersama-sama
membela akidah Islam.
Maka, seruan untuk tidak fanatik buta terhadap pendapat ijtihad merupakan salah satu cara untuk menggalang kekuatan pemikiran dalam satu barisan.
Jika berdakwah dengan orang yang berbeda
madzhab fikihnya, ia melarang untuk bertindak keras dan kasar, tapi
harus dengan cara yang lembut. Sebaliknya, orang-orang yang menyalahi
aturan qath’i tidak boleh didiamkan. Semuanya harus dikembalikan kepada
akidah yang benar.
Aliran Syiah yang mencaci sahabat Abu Bakar dan Umar adalah aliran yang dilarang untuk diikuti.
Bagaimana bermuamalah dengan penganut Rafidhah? Beliau mengutip
penjelasan Qadhi Iyadh tentang hadis orang yang mencela sahabat, bahwa
ada larangan untuk shalat dan nikah dengan pencaci maki sahabat
tersebut. Karena mereka sesungguhnya menyakiti Rasulullah saw.
Meski
pada masa itu aliran Syi’ah belum sepopuler sekarang, akan tetapi
Hasyim Asya’ari memberi peringatan kesesatan Syi’ah melalui berbagai
karyanya. Antara lain; “Muqaddimah Qanun Asasi li
Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’, “Risalah Ahlu al-Sunnah wal Jama’ah,al-Nur
al-Mubin fi Mahabbati Sayyid al-Mursalin” dan “al-Tibyan fi Nahyi ‘an
Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqrab wa al-Akhwan”.
Hasyim Asy’ari, dalam kitabnya “Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’” memberi peringatan kepada warga nahdliyyin agar tidak mengikuti paham Syi’ah.Menurutnya, madzhab Syi’ah Imamiyyah dan Syi’ah Zaidiyyah bukan madzhab sah. Madzhab yang sah untuk diikuti adalah Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali[8].
Beliau mengatakan: “Di zaman akhir ini
tidak ada madzhab yang memenuhi persyaratan kecuali madzhab yang empat
(Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali). Adapun madzhab yang lain seperti
madzhab Syi’ah Imamiyyah dan Syi’ah Zaidiyyah adalah ahli bid’ah.
Sehingga pendapat-pendapatnya tidak boleh diikuti” (Muqaddimah Qanun
Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’, halaman 9)[9].
Syeikh Hasyim Asy’ari mengemukakan alasan
mengapa Syi’ah Imamiyyah dan Zaidiyyah termasuk ahli bid’ah yang tidak
sah untuk diikuti. Dalam kitab Muqaddimah Qanun Asasi halaman 7 mengecam
golongan Syi’ah yang mencaci bahkan mengkafirkan sahabat Nabi saw.
Mengutip hadis yang ditulis Ibnu Hajar
dalam Al-Shawa’iq al-Muhriqah, Syeikh Hasyim Asy’ari menghimbau agar
para ulama’ yang memiliki ilmu untuk meluruskan penyimpangan golongan
yang mencaci sahabat Nabi saw itu.
Hadis Nabi saw yang dikuti itu adalah:
“Apabila telah Nampak fitnah dan bid’ah pencacian terhadap sahabatku,
maka bagi orang alim harus menampakkan ilmunya. Apabila
orang alim tersebut tidak melakukan hal tersebut (menggunakan ilmu
untuk meluruskan golongan yang mencaci sahabat) maka baginya laknat
Allah, para malaikat dan laknat seluruh manusia”.
Peringatan untuk membentengi akidah umat
itu diulangi lagi oleh Syeikh Hasyim dalam pidatonya dalam muktamar
pertama Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’, bahwa madzhab yang sah adalah empat
madzhab tersebut, warga NU agar berhati-hati menghadapi perkembangan
aliran-aliran di luar madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah tersebut.
Dalam Qanun Asasi itu, Syeikh Hasyim Asy’ari menilai fenomena Syi’ah merupakan fitnah agama yang tidak saja patut diwaspadai, tapi harus diluruskan.
Pelurusan akidah itu menurut beliau adalah tugas orang berilmu, jika
ulama’ diam tidak meluruskan akidah, maka mereka dilaknat Allah swt.
Kitab “Muqaddimah Qanun Asasi li
Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’” sendiri merupakan kitab yang ditulis oleh
Syeikh Hasyim Asy’ari, berisi pedoman-pedoman utama dalam menjalankan
amanah keorganisasian Nahdlatul Ulama. Peraturan dan tata tertib
Jam’iyyah mesti semuanya mengacu kepada kitab tersebut.
Sikap tegas juga ditunjukkan Syeikh
Hasyim dalam karyanya yang lain. Antara lain dalam “Risalah Ahlu
al-Sunnah wal Jama’ah” dan “al-Nur al-Mubin fi Mahabbati Sayyid
al-Mursalin” dan “al-Tibyan fi Nahyi ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqrab
wa al-Akhwan”, di mana cacian Syi’ah dijawab dengan tuntas oleh Syeikh
Hasyim dengan mengutip hadis-hadis Nabi SAW tentang laknat bagi orang
yang mencaci sahabatnya.
Hampir setiap halaman dalam kitab “al-Tibyan” tersebut berisi kutipan-kutipan pendapat parra ulama salaf salih tentang keutamaan sahabat dan laknat bagi orang yang mencelanya. Diantara ulama’ yang banyak dikutip adalah Ibnu Hajar al-Asqalani, dan al-Qadli Iyadl.
Hadis-hadis Nabi saw yang dikutip dalam
dua kitab tersebut antara lain berbunyi:”Janganlah kau menyakiti aku
dengan cara menyakiti ‘Aisyah”. “Janganlah kamu caci maki sahabatku.
Siapa yang mencaci sahabat mereka, maka dia akan mendapat laknat Allah
swt, para malaikat dan sekalian manusia. Allah tidak akan menerima semua
amalnya, baik yang wajib maupun yang sunnah”.
Pada masa lalu di Jawa juga telah muncul
ajaran ibadhiyyah. Kelompok ini mengajarakan pengguguran kewajiban
syariah. Dijelaskannya, jika seseorang telah mencapai puncak mahabbah
(cinta), hatinya ingat kepada Sang Maha Pencipta, maka kewajiban
menjalan syariat menjadi gugur. Ibadah cukup hanya dengan mengingat
Allah saja. Kyai Hasyim menyebut mereka sebagai kelompok sesat dan
zindiq[10]. (Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah, hal. 11).
Ajaran-ajaran lain yang menyusup merusak
tasawwuf adalah ajaran inkarnasi, dan manunggaling kawula gusti. Menurut
beliau orang yang meyakini inkarnasi telah mendustakan firman Allah swt
dan sabda Rasulullah saw. Ajaran manunggaling kawula gusti merusak
telah merusak ajaran tasawwuf. Ajaran ini menyimpangkan karena
mengajarkan panteisme.
Menurut Kyai Hasyim, konsep penyatuan
wujud yang ada pada para ulama’ sufi dahulu bukanlah panteisme bukan
pula pluralisme, tapi penyatuan itu hanya dalam konteks hierarki wujud,
antara wujud makhluk dan wujud Allah. Tidak dipungkiri ajaran tersebut
sengaja dirusak untuk menyimpangkan ajaran tasawwuf para ulama’-ulama’
terdahulu. Mereka ini disebut orang jahil yang sok bertasawwuf.
Dalam kitab Al-Dhurar al-Muntastiro fi
Masa’ili al-Tis’i ‘Asyarah Syekh Hasyim memberi penjelasan-penjelasan
ringkas dan padat tentang konsep-konsep kewalian dan tasawwuf. Di
situ, terdapat penjelasan penting. Bahwasannya, jika ada seorang
mengaku wali lantas melakukan hal-hal ‘aneh’, namun mengingkari syariat
maka — menurut beliau — dia bukan wali, tapi sedang ditipu setan.
Beliau mengatakan bahwa, siapapun
diwajibkan untuk melaksanakan syariat. Tidak ada perbedaan antara
seorang santri, kyai, orang awam dan wali, semuanya sama diwajibkan
menjalankan perintah syariah.
Ia mengatakan, “Tidak ada namanya wali yang meninggalkan kewajiban syariat. Apabila ada yang mengingkari syariat maka ia sesungguhnya mengikuti hawa nafsunya saja dan sedang tertipu setan”[11].
Penjelasan-penjelasan tersebut merupakan
usaha Kyai Hasyim untuk membendung keyakinan yang mendekonstruksi akidah
Ahlussunnah wal Jama’ah di kalangan jam’iyah NU secara khusus dan umat
Islam di Nusantara secara umum. Bahkan menurutnya, kelompok-kelompok
yang menyimpang tersebut lebih berbahaya bagai kaum Muslimin daripada
kekufuran lainnya. Sebab, kalangan Muslim awam mudah terkecoh dengan
penampilan mereka, apalagi bagi kalangan yang awam dalam bahasa arab dan
syariat.
Mereka wajib dibendung. Tapi beliau
mengingatkan, bahwa nahi munkar terhadap aliran ‘nyeleneh’ tersebut
harus dilakukan sesuai petunjuk syariat.
Tidak boleh nahi munkar dengan cara
munkar pula atau menimbulkan fitnah baru. Sehingga tidak menyudahi
kemungkaran namun akan menambah kemungkaran itu sendiri, yakni menambah
umat Islam makin menyimpang akidahnya. Sebagaimana dilarangnya sedekah
dengan harti hasil curian. Tapi di sini bukan larangan nahi mungkar
dengan ‘tangan’, namun yang dilarang adalah yang melanggar syariat.
Inilah karakter Syekh Hasyim Asy’ari yang patut diteladani umat. Tegas
terhadap penyimpangan Islam, teduh dalam menyikapi perbedaan furu’.
Ia salah satu tokoh nasional pejuang
syari’ah. Ia adil. Kepada pengikutnya yang salah, ia tak segan
membenahi, dan terhadap kelompok lain yang menyimpang, tanpa sungkan ia
mengkritik. Semuanya demi Islam, demi keagungan Allah, bukan demi
manusia tertentu.
Dalam kitabnya Al-Tasybihat al-Wajibat Li
man Yashna’ al-Maulid bi al-Munkarat mengisahkan pengalamannya.
Tepatnya pada Senin 25 Rabi’ul Awwal 1355 H, Kyai Hayim berjumpa dengan
orang-orang yang merayakan Maulid Nabi saw. Mereka berkumpul membaca
Al-Qur’an, dan sirah Nabi[12].
Akan tetapi, perayaan itu disertai
aktivitas dan ritual-ritual yang tidak sesuai syari’at. Misalnya,
ikhtilath (laki-laki dan perempuan bercampur dalam satu tempat tanpa
hijab), menabuh alat-alat musik, tarian, tertawa-tawa, dan permainanan yang tidak bermanfaat. Kenyataan ini membuat Kyai Hasyim geram. Kyai Hasyim pun melarang dan membubarkan ritual tersebut.
Syekh Hasyim Asy’ari tidak pernah
mengajarkan paham liberalisme, pluralisme, dan sekularisme.
Fatwa-fatwanya cukup tegas. Tidak abu-abu. Beliau mengatakan bahwa agama
Yahudi dan Kristen telah menyimpang. Hanya Islam lah agama wahyu yang
orisinil, yang harus tetap dijaga dan dipeluk.
Sebab, liberalisasi dan pluralisasi agama
jelas menyalahi tradisi NU, apalagi melawan perjuangan KH. Hasyim
Asy’ari. ”Liberalisme ini mengancam akidah dan syariah secara bertahap,”
ujar KH Hasyim Muzadi seperti dikutip http://www.nuonline.com pada 7 Februari 2009.
KH. Hasyim Asy’ari sangat menentang ide
penyamaan agama, dan memerintahkan untuk melawan terhadap orang yang
melecehkan Al-Qur’an, dan menentang penggunaan ra’yu mendahului nash
dalam berfatwa (lihat Risalah Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah). Dalam
Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyati Nadlatu al-‘Ulama, Syekh
Hasyim mewanti agar berhati-hati jangan jatuh pada fitnah – yakni orang
yang tenggelam dalam laut fitnah, bid’ah, dan dakwah mengajak kepada
Allah, padahal mengingkari-Nya.
Perjuangan Syekh Hasyim pada zaman dahulu
adalah menerapkan syariat Islam. Untuk itulah beliau, sepulang dari
belajar di Makkah mendirikan jam’iyyah Nadlatul Ulama’ – sebagai wadah
perjuangan melanggengkan tradisi-tradisi Islam berdasarkan madzhab Ahlus
Sunnah wal Jama’ah.
Liberalisme di kalangan NU sesungguhnya telah dianggap sebagai penyimpangan yang harus diluruskan.
Pada Muktamar NU di Boyolali Jawa Tengah, terbit rekomendasi dari
sesepuh Kyai NU agar kepengurusan NU dan organisasi-organisasi di
bawahnya dibebaskan dari orang-orang berhaluan Islam Liberal.
PWNU Jawa Timur patut menjadi teladan
warga NU dalam meneruskan perjuangan Kyai Hasyim ‘Asy’ari. Pada 9
Januari 2012, melalui ketuanya, KH. Mutawakil Alallah, PWNU secara resmi menyatakan bahwa Syiah sesat.
“Kami harap, aparat membubarkan kelompok Syiah. Jika dibiarkan
berkembang keberadaan mereka akan menabrak konstitusi. Aliran itu hanya
mengakui satu pimpinan dan imam, yakni yang masih ada hubungan keluarga
dengan pimpinan sebelumnya. Hal itu bisa memecah persatuan dan kesatuan bangsa,” terang Mutawakkil kepada metronews.com. seperti dilansir dalam berita suara-islam.com, Kyai asal Probolinggo ini menjelaskan bahwa Syiah telah melanggar HAM karena mecaci sahabat Nabi saw.
Ajaran Syiah menyebut Abu Bakar, Umar bin
Khattab, dan Usman bin Affan sebagai “perampok” posisi Sayidina Ali bin
Abi Thalib. juga tidak mengakui Al Quran sebanyak 30 juz serta tidak
mengakui Hadits Bukhari-Muslim, kecuali hadits dari Syiah sendiri.
Mereka juga tidak mengakui imam di luar Sayidina Ali, sehingga mereka
tidak menerima kepemimpinan presiden, gubernur, bupati/wali kota, dan
seterusnya.
Ketegasan Kyai Hasyim ‘Asy’ari semoga
menjadi teladan baik bagi ulama di Indonesia. Tindakan nyata dan tegas
hukumnya fardlu ‘ain bagi para ulama’ yang memiliki otoritas dalam tubuh
organisasi.
Ormas-ormas Islam terbesar di Indonesia
seperti NU adalah aset bangsa yang harus diselamatkan dari gempuran
penyimpangan akidah. NU dan Muhammadiyah bagi muslim Indonesia adalah
dua kekuatan yang perlu terus di-backup. Jika dua kekuatan ini lemah,
tradisi keislaman Indonesia pun bisa punah.[]
[1] Uraian ini dapat dibaca di Muhammad
Najih Maimoen, Membuka Kedok Tokoh-Tokoh Liberal dalam Tubuh NU,
(Rembang: Toko Kitab al-Anwar PP al-Anwar Sarang, 2011)
[2] http://kangdoellah.wordpress.com/2011/04/05/biografi-kh-hasyim-asy%E2%80%99ari
[3] Hasyim Asy’ari, al-Tibyan fi al-Nahyi ‘an Muqatha’ati al-Arham wa al-‘Aqarib wa al-Ikhwan,(Jombang: Maktabah al-Turats al-Islamiy, tanpa tahun), hal. 32
[4] Ibid, hal. 33-34
[5] Hasyim ‘Asy’ari, al-Qanun al-Asasi li Jam’iyati Nadlatu al-‘Ulama, dalam al-Tibyan fi al-Nahyi ‘an Muqatha’ati al-Arham wa al-‘Aqarib wa al-Ikhwan,(Jombang: Maktabah al-Turats al-Islamiy, tanpa tahun), hal. 22-23
[6] Hasyim ‘Asy’ari, Risalah Ahl al-Sunnah wal Jamaah, (Jombang: Maktabah al-Turats al-Islamiy,), hal. 9
[7] Ibid, hal. 10
[8] Ibid, hal. 14. Lihat juga Keputusan Muktamar NU I di Surabaya pada 21 Oktober 1929 dalam Ahkamul Fukoha’ Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, (Surabaya; Diantama dan LT NU Jawa Timur), hal. 3
[9] Hasyim ‘Asy’ari, Risalah Ahl al-Sunnah wal Jamaah, (Jombang: Maktabah al-Turats al-Islamiy,), hal. 9
[2] http://kangdoellah.wordpress.com/2011/04/05/biografi-kh-hasyim-asy%E2%80%99ari
[3] Hasyim Asy’ari, al-Tibyan fi al-Nahyi ‘an Muqatha’ati al-Arham wa al-‘Aqarib wa al-Ikhwan,(Jombang: Maktabah al-Turats al-Islamiy, tanpa tahun), hal. 32
[4] Ibid, hal. 33-34
[5] Hasyim ‘Asy’ari, al-Qanun al-Asasi li Jam’iyati Nadlatu al-‘Ulama, dalam al-Tibyan fi al-Nahyi ‘an Muqatha’ati al-Arham wa al-‘Aqarib wa al-Ikhwan,(Jombang: Maktabah al-Turats al-Islamiy, tanpa tahun), hal. 22-23
[6] Hasyim ‘Asy’ari, Risalah Ahl al-Sunnah wal Jamaah, (Jombang: Maktabah al-Turats al-Islamiy,), hal. 9
[7] Ibid, hal. 10
[8] Ibid, hal. 14. Lihat juga Keputusan Muktamar NU I di Surabaya pada 21 Oktober 1929 dalam Ahkamul Fukoha’ Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, (Surabaya; Diantama dan LT NU Jawa Timur), hal. 3
[9] Hasyim ‘Asy’ari, Risalah Ahl al-Sunnah wal Jamaah, (Jombang: Maktabah al-Turats al-Islamiy,), hal. 9
[10] Hasyim ‘Asy’ari, Risalah Ahl al-Sunnah wal Jamaah, (Jombang: Maktabah al-Turats al-Islamiy,), hal. 11
[11] Hasyim Asy’ari, Al-Dhurar
al-Muntastiro fi Masa’ili al-Tis’i ‘Asyarah,(Kediri: PP. Lirboyo Kediri,
tanpa tahun), hal. 4 dan 6
[12] Hasyim Asy’ari, Al-Tasybihat al-Wajibat Li man Yashna’ al-Maulid bi al-Munkarat,(Jombang: Maktabah al-Turast al-Islamiy,tanpa tahun), hal. 9
[12] Hasyim Asy’ari, Al-Tasybihat al-Wajibat Li man Yashna’ al-Maulid bi al-Munkarat,(Jombang: Maktabah al-Turast al-Islamiy,tanpa tahun), hal. 9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar