Tak banyak yang tahu, Ihya` ‘Ulumuddin, kitab yang banyak dipuja orang ini, merupakan salah satu gudangnya kemungkaran. Kajian berikut memang tidak memaparkannya secara keseluruhan.
Namun cukuplah menjadi peringatan bagi kita semua agar tidak lagi menggeluti buku ini terlebih mengagungkannya.
Ahlus Sunnah Wal Jamaah merupakan suatu umat yang senantiasa berupaya untuk komitmen di atas kemurnian agama, serta bersikap tegas terhadap segala bentuk penyimpangan atau upaya segolongan orang yang akan mengaburkan As-Sunnah.
Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam
bersabda (yang artinya): “Yang paling aku takutkan menimpa umatku ialah
imam-imam yang menyesatkan.” (HR. Abu Dawud, 4/4252 dan dishahihkan
Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, jilid 4 no. 1586)
Abdurrahman bin Abu Hatim Ar-Razi
berkata: “Aku mendengar bapakku dan Abu Zur’ah, keduanya memerintahkan
untuk memboikot ahlul bid’ah. Keduanya sangat keras terhadap mereka, dan
mengingkari pemahaman kitab (Al-Qur`an, red.) dengan akal semata tanpa
bersandar dengan atsar (hadits, red.), melarang duduk bersama ahlul
kalam (kaum filsafat), dan melihat kitab-kitab ahlul kalam.” (Syarh
Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 322)
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu berkata:
“Kalian akan mendapati segolongan kaum yang menyangka bahwa mereka
menyeru kepada Kitabullah, namun hakekatnya mereka telah melemparkannya
ke belakang punggung-punggung mereka.” (Al-Ibanah, 1/322)
Mengingat hal ini, akan kami paparkan
secara ringkas tentang kitab Ihya` ‘Ulumuddin yang selalu dibanggakan
segolongan orang. Bahkan dianggap sebagai literatur yang sarat akan
bimbingan aqidah dan akhlak!
Berikut beberapa kesalahan yang terdapat dalam kitab Ihya` ‘Ulumuddin dan bantahannya secara global.
1. Dalam pembahasan sifat-sifat Allah
Subhanahu Wata’ala.
Al-Ghazali terkadang melakukan penakwilan ayat-ayat
yang berkenaan dengan sifat-sifat Allah Subhanahu Wata’ala.
Ahlus Sunnah Wal Jamaah selalu meyakini
bahwa sifat-sifat Allah Subhanahu Wata’ala tidak boleh disamakan dengan
sifat makhluk, tidak boleh ditanyakan tentang bagaimana keadaannya,
tidak boleh menakwilkan dengan sesuatu yang keluar dari makna zhahir
sebagaimana yang telah diyakini salafus shalih, dan tidak boleh pula
mengingkarinya. (lihat Fathur Rabbil Bariyyah bi Talkhisil Hamawiyyah,
hal. 27-28)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahab
Al-Wushabi hafizhahullah berkata: “Tauhid asma wash shifat adalah
mengesakan Allah Subhanahu Wata’ala pada apa yang telah Dia namakan
diri-Nya sendiri dengannya atau dengan apa yang telah dinamakan
Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, dan mengesakan Allah kpada apa
yang Dia sifatkan terhadap diri-Nya atau yang telah Rasulullah
Sholallahu ‘Alaihi Wasallam sifatkan untuk-Nya, tanpa mempertanyakan
bagaimananya (kaifiyah), atau menyerupakannya dengan makhluk,
memalingkan maknanya, dan mengingkarinya. (Al-Qaulul Mufid fi Adillatit
Tauhid, hal. 81)
Sebagai contoh, Al-Ghazali telah
menakwilkan makna istiwa` (artinya naik di atas ‘Arsy) dengan istaula
(menguasai). (lihat Ihya` ‘Ulumuddin, jilid 1 sub pemba-hasan Aqidah)
Hal ini telah menyelisihi Al-Qur`an,
As-Sunnah, dan ijma’ para salafush shalih. Allah Subhanahu Wata’ala
berfirman (yang artinya):
“Sucikan Rabbmu yang Maha Tinggi.” (Al-A’la: 1)
“Sesungguhnya Allah itu Maha Tinggi dan Maha Besar.” (An-Nisa`: 34)
“Ar-Rahman ber-istiwa` di atas ‘Arsy-Nya.” (Thaha: 5)
Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda (yang artinya):
“Ketika Allah menentukan ketentuan
makhluk, maka Dia tulis dalam Kitab-Nya yang ada di sisi-Nya, di atas
‘Arsy…” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata:
“Tidak ada satupun salafush shalih yang mengingkari bahwa Allah k
benar-benar ber-istiwa` di atas Arsy-Nya. Yang tidak mereka ketahui
adalah bagaimana cara ber-istiwa`. Dan sungguh hal itu tidaklah
diketahui hakekatnya.” (Muhammad bin ‘Utsman bin Abi Syaibah wa Kitabuhu
Al-’Arsy, hal. 187)
2. Tentang Ilmu Kalam
Al-Ghazali mengatakan:
“Dia merupakan penjaga aqidah masyarakat awam dan yang melindungi dari
berbagai kerancuan para ahli bid’ah. Dan perumpamaan ahli ilmu kalam
adalah seperti penjaga jalan bagi para jamaah haji.” (Ihya` ‘Ulumuddin,
1/22)
Aqidah yang bersih akan selalu terbangun
di atas pondasi yang benar berlandaskan Al-Qur`an dan As-Sunnah dengan
pemahaman salaful ummah. Adapun ilmu kalam adalah belenggu yang
menjadikan orang terlena dengan akal, sehingga akan menjauh dari hakekat
kemurnian aqidah.
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman (yang
artinya): “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu, bagi mereka yang mengharap Allah dan hari kiamat, dan
dia banyak mengingat Allah.” (Al-Ahzab: 21)
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah:
“Contoh yang baik adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang
yang mengambil suri teladan darinya berarti telah menempuh suatu jalan
yang akan menyampaikan kepada kemuliaan Allah Subhanahu Wata’ala. Inilah
jalan yang lurus.”
Al-Imam Al-Barbahari rahimahullah:
“Ketahuilah –semoga Allah Subhanahu Wata’ala merahmatimu–, sungguh
tidaklah muncul kezindiqan, kekufuran, keraguan, bid’ah, kesesatan, dan
kebingungan dalam agama kecuali akibat ilmu kalam, ahli ilmu kalam,
debat, berbantahan, dan perselisihan.” (Syarhus Sunnah, hal. 93).
Ibnu Rajab rahimahullah berkata:
“Mengikuti ocehan ahli ilmu kalam dan filsafat merupakan kerusakan yang
nyata. Tak sedikit orang yang mencoba menyelami perkara itu akhirnya
berlumuran dengan berbagai kotorannya, sebagaimana ucapan Al-Imam Ahmad:
‘Tidaklah orang yang melihat ilmu kalam kecuali akan terpengaruh dengan
Jahmiyyah’. Beliau dan para ulama salaf lainnya selalu memperingatkan
dari ahli ilmu kalam walaupun (ahli ilmu kalam itu) berniat membela
As-Sunnah.” (Fadhlu ‘Ilmis Salaf ‘alal Khalaf, hal. 43)
Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyah
berkata: “Ilmu kalam –yang telah disepakati Al-Imam Malik, Abu Hani-fah,
Ahmad, dan Asy-Syafi’i sebagai suatu yang bid’ah– tidak akan mungkin
menjadi penjaga aqidah dari berbagai bid’ah. Karena ilmu kalam itu
sendiri adalah bid’ah.” (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqida-uhu wa Tashawwufuhu
hal. 9)
Sungguh malang nasib pengagum ilmu
kalam. Na’udzubillahi min dzalika (Kita berlindung kepada Allah
Subhanahu Wata’ala dari hal itu).
3 Al-Ghazali membagi ilmu menjadi dua bagian:
a. Ilmu zhahir: ilmu muamalah.
b. Ilmu batin: ilmu kasyaf. (Ihya` ‘Ulumuddin, 1/19-21)
Keyakinan bahwa ilmu kasyaf merupakan
puncak ilmu merupakan hal yang umum di kalangan para Shufi! Kasyaf
menurut keyakinan Shufi adalah tersingkapnya hijab di hadapan para wali
Shufi, sehingga dia bisa melihat dan mengetahui sesuatu yang ghaib tanpa
melalui indera perasa. Namun ilmu kasyaf adalah ilmu yang terilhamkan
dalam hati. (Ash-Shufiyah wa Ta‘atstsu-ruha bin Nashraniyyah wal
Yahudiyyah, hal. 114)
Sungguh menakutkan keadaan mereka. Bukankah Allah Subhanahu Wata’ala telah berfirman (yang artinya):
“Katakanlah: ‘Tidak ada siapapun yang ada di langit dan di bumi yang mengetahui suatu yang ghaib selain Allah.’” (An-Naml: 65)
“(Dialah) Yang Maha Mengetahui perkara
ghaib dan tidak menampakkannya kepada siapapun, kecuali kepada
utusan-Nya yang telah Dia ridhai. Sesungguhnya Dia memberikan penjagaan
(dengan para malaikat) dari depan dan belakangnya.” (Al-Jin: 26-27)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya Dia mengetahui yang ghaib dan yang nyata. Dan sungguh
tidak ada makhluk-Nya yang bisa mengetahui ilmu-Nya kecuali yang Allah k
beritahukan kepadanya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/462)
Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam
bersabda (yang artinya): “Ada lima perkara yang tidak diketahui kecuali
oleh Allah.” Kemudian beliau membaca ayat (yang artinya): “Sesungguhnya
Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan
Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim.
Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan
diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi
mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.” (Luqman: 34) [HR. Ahmad, 5/353. Dihasankan Asy-Syaikh Muqbil v
dalam Shahihul Jami’, 6/361]
Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Ilmu
ghaib merupakan sifat khusus bagi Allah Subhanahu Wata’ala. Dan segala
perkara ghaib yang Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam kabarkan merupakan
sesuatu yang dikabarkan Allah Subhanahu Wata’ala kepadanya. Dan tidaklah
beliau mengetahui dari dirinya sendiri.” (Fathul Bari, 9/203). Adanya
keyakinan kasyaf merupakan upaya penghinaan kepada Allah Subhanahu
Wata’ala.
4. Penafsiran ayat secara ilmu batin dan keluar dari kaedah-kaedah salaf.
Sebagai contoh Al-Ghazali menafsirkan
firman Allah Subhanahu Wata’ala (yang artinya): “Dan jauhkan aku serta
keturunanku dari penyembahan terhadap berhala.” (Ibrahim: 35)
Al-Ghazali menyatakan bahwa yang dimaksud berhala adalah dua batu, yaitu emas dan perak! (Ihya` ‘Ulumuddin, 3/235)
Cara seperti ini merupakan tipudaya
setan, karena hanya akan menjadikan seseorang keluar dan menyeleweng
dari pemahaman salafush shalih.
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman (yang artinya):
“Katakanlah, jika kalian benar-benar
mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali
‘Imran: 31)
“Dan barangsiapa menentang Rasul setelah
jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
mukmin, maka Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan Kami jadikan ia di Jahannam. Dan Jahannam adalah
sejelek-jelek tempat kembali.” (An-Nisa`: 115)
Ilmu batin menurut Shufiyyah adalah
rahasia-rahasia ilmu yang ganjil, dan hanya diketahui oleh orang-orang
Shufi yang berbicara dengan lisan yang abadi. (Majmu’ Fatawa, 13/231)
Keadaan ini menyerupai orang-orang
bathiniyyah Qaramithah yang menafsirkan Al-Qur`an secara ilmu batin,
seperti shalat berarti doa, puasa berarti menahan rahasia, haji bermakna
safar dan berkunjung kepada guru serta para syaikh. (Majmu’ Fatawa,
13/236)
5. Al-Ghazali terpengaruh dengan suluk orang-orang Cina dan kependetaan dalam Nasrani. (Ihya` ‘Ulumuddin, 3/334)
Ia berkata: “Upaya para wali dalam
penyucian, pencerahan, kebersihan, dan keindahan jiwa sehingga suatu
kebenaran menjadi gemerlap, nampak dan bersinar sebagaimana dilakukan
orang-orang Cina. Dan demikianlah upaya kaum cendekiawan dan ulama untuk
meraih dan menghiasi ilmu, sehingga terpatri indah dalam hati
sebagaimana yang dilakukan orang-orang Romawi.” (Ihya` ‘Ulumuddin, 3/24)
Bahkan hubungan manis antara Shufiyyah
dengan Nasrani dinyatakan Ibrahim bin Adham. Ia berkata: “Aku
mempelajari ma’rifat dari seorang pendeta bernama Sam’an dan aku pernah
masuk ke dalam tempat ibadahnya.” (Talbis Iblis, hal. 137)
Abdurrahman Al-Badawi berkata: “Sungguh,
kalangan Shufiyyah dari kaum Muslimin menganggap tidak mengapa untuk
mendengarkan pelajaran-pelajaran para pendeta dan perihal olah batin
mereka karena terdapatnya faedah, walaupun hal itu datang dari Nasrani.
(Ash-Shufiyyah wa Ta`atstsuruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal.
64)
Anggapan seperti ini sangatlah naif, dan
hanya akan melumpuhkan serta menelanjangi seseorang dari al-wala`
wal-bara`. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman (yang artinya):
“Dan janganlah kalian seperti orang-orang
yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri
mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Al-Hasyr: 19)
“Kemudian kami jadikan kamu berada di
atas suatu syariat dari urusan itu, maka ikutilah syariat itu dan
janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.”
(Al-Jatsiyah: 18)
Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda (yang artinya):
“Benar-benar kalian akan mengikuti kebiasaan orang-orang yang sebelum kalian…” (HR. Al-Bukhari no. 3456 dan Muslim no. 2669)
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka
ia termasuk mereka.” (HR. Abu Dawud, 2/74. Dan dihasankan Asy-Syaikh
Al-Albani dalam Adabuz Zifaf hal. 116)
Bahkan Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi
Wasallam dengan jelas menyatakan (yang artinya): “Tidak ada kependetaan
dalam Islam.” (Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, 4/7)
Sungguh perilaku Shufiyyah merupakan
virus pluralisme yang akan selalu bergulir seperti bola liar dengan
kemerdekaan berfikir tanpa batas (freedom of thinking is every-thing)
.
6. Menurut Al-Ghazali, martabat kenabian
bisa diraih seorang Shufi dari sisi turunnya ilham Ilahi di dalam
hatinya. (Ihya`, 3/18-19)
Menurut para Shufi, ilham adalah pancaran
ilmu kepada para syaikh dan wali dari Allah Subhanahu Wata’ala, yang
tercurahkan dalam hati, yang bisa didapatkan baik saat terjaga ataupun
tidur, sehingga terbukalah rahasia ilmu yang ada di Lauhul Mahfuzh. Hal
ini terkadang mereka namakan ilmu laduni, yang tidak akan berakhir
seperti berhentinya wahyu kepada para nabi. (Ash-Shufiyah wa
Ta`atstsuruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 114-115)
Bahkan Al-Ghazali berkata: “Sesungguhnya
hati, di hadapannya siap tergelar hakekat sesuatu yang haq dalam semua
urusan. Bahkan tercurahkan segala bentuk yang rahasia dan tersingkap
dengan mata hati, menjadikan apa yang tertulis di Lauhul Mahfuzh
terpampang, sehingga bisa mengetahui apa yang akan terjadi.”
Kemudian beliau menambahkan: “Berbagai
urusan tersingkap bagi para nabi dan wali. Dan suatu cahaya tertuang
dalam hati mereka yang didapatkan tanpa belajar, mengkaji, menulis, dan
buku-buku, yang diraih dengan zuhud di dunia. (Ihya` ‘Ulumuddin,
3/18-19)
Beliau juga berkata: “Sesungguhnya
ilmu-ilmu yang didapatkan para nabi dan wali itu melalui pintu batin
atau melalui hati, dan melalui pintu yang terbuka dari alam malakut/
Lauhul Mahfuzh.” (Ihya` ‘Ulu-muddin, 3/20)
Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyah
berkata: “Perkataan Al-Gha-zali tentang kenabian merupakan kepanjangan
tangan Ibnu Sina yang menganggap bahwa para nabi memiliki tiga kekuatan:
kekuatan kesucian, kekuatan khayalan, kekuatan perasaan dan batin.”
(Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqidatuhu wa Tashaw-wufuhu hal. 35)
Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyah
menukilkan ucapan Al-Ghazali dalam kitab Al-Jawahirul Ghali: “Tidak ada
perbedaan sedikitpun antara wahyu dan ilham, bahkan dalam kehadiran
malaikat yang memberikan faedah ilmu. Sesungguhnya ilmu didapatkan dalam
hati kita dengan perantara para malaikat.” (Abu Hamid Al-Ghazali
‘Aqidatuhu wa Tashawwufuhu hal. 38)
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya yang terkandung dalam ucapan mereka adalah bahwa
berita-berita dari Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam tidaklah
berfaedah sedikitpun dalam sisi ilmiah. Bahkan hal yang seperti itu bisa
diraih oleh setiap orang dengan musyahadah [1], nur, dan kasyaf.”
(Dar`u Ta’arudhil ‘Aql wan Naql, 5/347)
Al-Ghazali bahkan menghina para fuqaha
dengan ucapannya: “Para fuqaha hanyalah sekedar ulama dunia dan tugas
mereka tidak lebih dari itu.” (Ihya` ‘Ulumuddin, 1/18)
Ibnul Jauzi rahimahullah berkata:
“Kebenciannya kepada para fuqaha merupakan kezindiqan terbesar. Karena
para fuqaha selalu menghadirkan fatwa-fatwa tentang kesesatan dan
kefasikan mereka. Dan sungguh al-haq itu berat sebagaimana beratnya
zakat.” (Talbis Iblis hal. 374)
Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyyah
berkata: “Fiqih merupakan suatu upaya untuk membenahi sesuatu yang
zhahir dan yang batin. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman (yang
artinya): “Akan tetapi orang-orang munafiq tidaklah memahami.”
(Al-Munafiqun: 7)
Jikalau hati-hati mereka bersih dan
tercermin dalam zhahir-zhahirnya, sungguh mereka adalah orang yang
memahami. Ingatlah pemimpin para fuqaha, Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘Anhu
yang didoakan oleh Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam: ‘Ya Allah,
fahamkanlah dia dalam urusan agama’.” (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqida-tuhu
wa Tashawwufuhu hal. 45)
Perilaku Shufiyyah merupakan pintu
kesombongan, kecongkakan dan sikap ekstrim dalam memposisikan diri
mereka. Mereka telah melupakan Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam
sebagai seorang nabi yang membawa kesempurnaan syariat dan akhlak yang
mulia. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman (yang artinya):
“Hari ini telah Aku sempurnakan agama
kalian dan telah Aku sempurnakan kepada kalian nikmat-Ku dan telah Aku
ridhai Islam sebagai agama bagi kalian.” (Al-Ma`idah: 3)
“Sungguh Allah telah memberi karunia
kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka
seorang Rasul dari golongan mereka sendiri yang membacakan kepada mereka
ayat-ayat Allah, membersihkan jiwa mereka dan mengajarkan kepada mereka
Al-Kitab dan Al-Hikmah.” (Ali ‘Imran: 164)
7. Tentang Ajaran Wihdatul Wujud (manunggal kawula gusti).
Al-Ghazali berkata menyebutkan tingkatan orang-orang shiddiqin: “Mereka
adalah segolongan kaum yang melihat Allah Subhanahu Wata’ala dalam
keesaan-Nya. Dengan-Nya, mereka melihat segala sesuatu. Dan tidaklah
mereka melihat dalam dua tempat selain dari-Nya, dan tidaklah mereka
memperhatikan alam wujud selain Dia. Inilah memperhatikan de-ngan
pandangan tauhid. Hal ini mengajarkan kepadamu bahwa yang bersyukur
adalah yang disyukuri. Dan dia adalah yang mencintai dan yang dicintai
[2]. Inilah pandangan seseorang yang mengetahui bahwa tidaklah ada di
alam yang wujud ini melainkan Dia.” (Ihya` ‘Ulumuddin, 4/86)
Bahkan terdapat keterikatan yang kuat
antara Al-Ghazali dan Al-Hallaj yang meyakini aqidah wihdatul wujud,
bahkan sebagai puncak dari tauhid. (Ihya` ‘Ulumuddin, 4/247)
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata
membantah keyakinan yang bejat ini: “Para salaf mengkafirkan Jahmiyah
karena perkataan mereka bahwa Allah Subhanahu Wata’ala berada di semua
tempat. Di antara bentuk pengingkaran para salaf adalah: Bagaimana
mungkin Allah Subhanahu Wata’ala berada di perut, di tempat-tempat
kotor, di tempat-tempat sunyi? Maha Tinggi Allah dari perkara tersebut!
Lalu bagaimanakah dengan mereka yang menjadikan perut, tempat-tempat
kotor, tempat-tempat sunyi, barang-barang najis, dan kotoran-kotoran
sebagai bagian dari Dzat-Nya?” (Majmu’ Fatawa, 2/126)
Ahlus Sunnah meyakini bahwa Allah
Subhanahu Wata’ala ber-istiwa` di atas ‘Arsy dan Allah Subhanahu
Wata’ala tidak membutuhkan ‘Arsy. Dan Allah Subhanahu Wata’ala tidaklah
serupa dengan makhluk dalam segala sifat-Nya.
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman (yang artinya):
“Ar-Rahman ber-istiwa` di atas ‘Arsy.” (Thaha: 5)
“Sesungguhnya Rabb kalian telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari kemudian ber-istiwa` di atas Arsy.” (Yunus: 3)
“Tidaklah Allah serupa dengan apapun dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11)
8. Ajaran Khalwat Atau Menyendiri Dan Menyepi, Dan Kesalahan Dalam Memahami ‘Uzlah.
Al-Ghazali berkata: “Dalam
‘uzlah (menyingkir dan menjauhi umat), ada jalan keluar (kedamaian).
Adapun dalam beramar ma’ruf dan nahi mungkar akan meninggalkan
perselisihan dan membangkitkan kedengkian hati. Dan siapapun yang
mencoba beramar ma’ruf niscaya kebanyakannya akan menyesal.” (Ihya`
‘Ulumuddin, 2/228)
Bahkan dengan khalwat akan tersingkap kehadiran Rabb dan nampak baginya Al-Haq. (Ihya` ‘Ulumuddin, 3/78)
Syarat-syarat khalwat menurut kaum Shufi:
* Meminta bantuan dengan ruh para syaikh, dengan perantara gurunya.
* Menyibukkan diri dengan dzikir sehingga nampak Allah Subahanahu Wata’ala baginya.
* Bertempat di ruangan yang gelap dan jauh dari suara serta gerakan manusia.
* Tidak berbicara.
* Tidak memikirkan kandungan makna Al-Qur`an dan hadits, karena akan menyibukkan dari dzikir yang sebenarnya.
* Tidak boleh masuk dan keluar dari tempat khalwat kecuali dengan izin dari syaikhnya.
* Selalu mengikat hati dengan mengingat syaikh. (Ash-Shufiyah wa Ta‘atstsuruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 186)
Ini merupakan amalan-amalan yang akan
menguburkan nilai-nilai agama yang suci, akibat salah memahami ‘uzlah
dan upaya meniru gaya kependetaan.
Makna ‘uzlah bukanlah khalwat ala
Shufiyyah yang rancu. Maknanya adalah menjauhi suatu fitnah agar tidak
menimpanya, baik itu di dalam rumah ataupun di suatu tempat, yang
apabila telah hilang fitnah tersebut maka dia kembali melakukan amar
ma’ruf nahi mungkar, berdakwah, dan berjihad di jalan-Nya. (lihat
Ash-Shufiyyah wa Ta`atstsuruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal.
188)
Suatu fitnah harus dihadapi dengan ilmu
dan bimbingan yang benar, bukan dengan sikap emosional atau mengekor
pola-pola orang kafir. (baca kitab Al-Qaulul Hasan fi Ma’rifatil Fitan)
9. Al-Ghazali lebih mengutamakan as-sama’
(mendengarkan nasyid dan dendang kerohanian) daripada membaca Al-Qur`an.
Setelah menceritakan keutamaan as-sama’, beliau berkata: “Dan apabila
hati telah terbakar (mabuk) dalam kecintaan kepada Allah Subhanahu
Wata’ala, maka untaian bait syair yang aneh akan lebih membangkitkan
sesuatu yang tidak bisa dibangkitkan dengan membaca Al-Qur`an.” (Ihya`
‘Ulumuddin, 2/301)
Keganjilan kaum Shufi ini merupakan
sesuatu yang tidak pernah dilakukan para shahabat. Ibnu Taimiyyah
Rahimahullah berkata: “Berkumpul untuk mendengarkan dendangan-dendangan
rohani baik yang diiringi tepuk tangan, dawai, ataupun rebana, merupakan
sesuatu yang tidak pernah dilakukan para shahabat, baik Ahlush Shuffah
atau yang lainnya. Demikian pula para tabi’in (tidak pernah
melakukannya).” (Majmu’ Fatawa, 11/57)
Al-Imam Asy-Syafi’i Rahimahullah berkata:
“Tidaklah aku tinggalkan Baghdad kecuali telah muncul at-taghbir
(dendang kerohanian) yang dibuat orang-orang zindiq, yang hanya
menghalangi manusia dari Al-Qur`an. Dan Yazid bin Harun berkata:
“Tidaklah melakukan at-taghbir kecuali orang fasiq.” (Majmu’ Fatawa,
11/569)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah berkata: “Orang yang membiasakan mencari semangat dengan
as-sama’ niscaya tidak akan lembut dan senang hatinya dengan Al-Qur`an.
Dan dia tidak akan mendapatkan apapun saat mendengarkan Al-Qur`an
sebagaimana ketika mendengarkan bait-bait syair. Bahkan apabila
mendengarkan Al-Qur`an, dia akan mendengarkan dengan hati dan lisan yang
lalai.” (Majmu’ Fatawa, 11/568)
Orang-orang Shufi telah melupakan firman Allah Subhanahu Wata’ala (yang artinya):
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman
adalah apabila diingatkan tentang Allah maka hati-hati mereka bergetar,
dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka bertambahlah
keimanan mereka.” (Al-Anfal: 2)
“Ketahuilah bahwa dengan mengingat Allah hati akan tenang.” (Ar-Ra’d: 28)
10. Kesalahan yang
fatal dalam memahami makna tawakkal, sehingga menghilangkan sebab yang
harus ditempuh.
Al-Ghazali berkata: “Telah diceritakan dari Banan
Al-Hammal: ‘Suatu hari saya dalam perjalanan pulang dari Mesir, dan saya
membawa bekal keperluanku. Datanglah kepadaku seorang wanita dan
menasehatiku: ‘Wahai Banan, engkau adalah tukang pembawa yang selalu
membawa bekal di punggungmu dan engkau menyangka bahwa Dia tidak
memberimu rizki?’ Banan berkata: ‘Maka aku buang bekalku’.” (Ihya`
‘Ulumuddin, 4/271)
Hal ini sangatlah berseberangan dengan bimbingan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman (yang artinya):
“Hendaknya kalian mengambil bekal, dan sebaik-baik bekal adalah takwa.” (Al-Baqarah: 197)
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata:
“Allah Azza Wa Jalla memerintahkan untuk membawa bekal bagi safar yang
mubarak (diberkahi) ini (yakni haji). Sesungguhnya persiapan bekal akan
mencukupinya dan bisa mencegah dari harta orang lain, tidak mengemis dan
meminta bantuan. Bahkan dengan memperbanyak bekal akan bisa menolong
para musafir.” Kemudian beliau berkata: “Adapun bekal yang hakiki yang
akan terus bermanfaat di dunia dan di akhirat adalah bekal takwa, inilah
bekal untuk menuju rumah abadi.” (Taisirul Karimirrahman hal. 74)
Al-Ghazali berkata: “Barangsiapa
menyimpan persediaan makanan untuk 40 hari atau kurang dari itu, maka
akan terharamkan dari al-maqam al-mahmud (kedudukan terpuji) yang
dijanjikan kepada orang yang bertawakkal di akhirat kelak.” (Ihya`
‘Ulumuddin, 4/276)
Al-’Iraqi berkata setelah menyebutkan
hadits bahwa Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam mempersiapkan
makanan untuk keluarganya selama satu tahun yang diriwayatkan Al-Imam
Al-Bukhari: “Apakah Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam telah keluar
dari tingkatan orang-orang yang bertawakkal, sebagaimana yang
diterangkan Al-Ghazali dalam manhajnya yang rusak dalam masalah
tawakkal?” (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqidatuhu wa Tashawwufuhu hal. 79)
Bahkan ketika orang-orang Nasrani
menyerbu negeri Baghdad, ia lebih memilih untuk ber-khalwat daripada
berjihad. (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqidatuhu wa Tashawwufuhu hal. 89)
11. Menjauhi suatu yang fitrah, bahkan yang diperintahkan Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, seperti nikah.
Al-Ghazali berkata: “Barangsiapa menikah maka sungguh dia telah cenderung kepada dunia.” (Ihya` ‘Ulumuddin, 3/101)
Hal ini sangat menyelisihi sabda
Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam (yang artinya): “Menikahlah
kalian, sesungguhnya aku berbangga dengan banyaknya umat dari kalian,
dan janganlah kalian meniru kependetaan Nasrani.” (Dishahihkan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, 4/385, hadits no.
1782. Beliau mengatakan hadits ini diriwayatkan Al-Baihaqi dalam
As-Sunan Al-Kubra, 7/78)
PERINGATAN ULAMA SALAF TERHADAP KITAB IHYA` ‘ULUMUDDIN [3]
Asy-Syaikh Abdul Lathif bin Abdur-rahman
Alusy Syaikh berkata: “Di dalam kitab Ihya`, beliau (yakni Al-Ghazali)
menulis dengan metode filsafat dan ilmu kalam dalam banyak pembahasan
yang berkaitan dengan permasalahan ketuhanan dan teologi, serta
membingkai filsafat dengan syariat. Ibnu Taimiyyah berkata: ‘Namun Abu
Hamid telah memasuki ruang lingkup ilmu filsafat dalam banyak hal, yang
Ibnu ‘Aqil menyatakan ilmu filsafat sebagai bagian dari zindiq’.”
Ibnul ‘Arabi, murid Al-Ghazali
mengatakan: “Guru kami Abu Hamid telah masuk dalam cengkeraman ilmu
filsafat, dan beliau ingin melepaskannya namun tidak berhasil.” [4]
Abu ‘Ali Ash-Shadafi berkata: “Syaikh Abu
Hamid terkenal dengan berbagai berita buruk dan memiliki karya yang
besar. Beliau sangat ekstrim dalam tarekat Shufiyyah dan mencurahkan
waktunya untuk membela madzhabnya, bahkan menjadi penyeru dalam
Shufiyyah. Beliau mengarang berbagai tulisan yang terkenal dalam hal ini
dan membahasnya dalam berbagai tempat, sehingga mengakibatkan umat
berburuk sangka kepadanya. Sungguh Allah Yang Maha Tahu rahasianya. Dan
penguasa di tempat kami di negeri Maghrib –berdasarkan fatwa para ulama–
telah memerintahkan untuk membakar dan menjauhi karyanya.”
Adz-Dzahabi berkata: “Karyanya ini penuh dengan musibah yang sungguh sangat tidak menyenangkan.”
Ahmad bin Shalih Al-Jaili mengatakan: “(Al-Ghazali
adalah) seorang yang fatwa-fatwanya terbangun dari sesuatu yang tidak
jelas. Di dalamnya banyak riwayat-riwayat yang dicampuradukkan antara
sesuatu yang tsabit/jelas dengan yang tidak tsabit. Demikian pula apa
yang dia nisbatkan kepada para ulama salaf, tidak mungkin untuk
dibenarkan semuanya. Ia juga menyebutkan berbagai kejadian-kejadian para
wali dan renungan-renungan para wali sehingga mengagungkan posisi
mereka. Ia mencampurkan sesuatu yang manfaat dan yang berbahaya.”
Abu Bakr Ath-Thurthusi berkata: “Abu
Hamid telah memenuhi kitab Ihya` dengan berbagai kedustaan atas nama
Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam. Dan tidaklah ada di atas bumi
yang lebih banyak kedustaan darinya, sangat kuat keterikatannya dengan
filsafat dan risalah Ikhwanush Shafa, yaitu segolongan orang yang
menganggap bahwa kenabian adalah sesuatu yang bisa diraih manusia biasa
dan mu’jizat hanyalah halusinasi dan khayalan.”
Al-Hafizd Al-Imam Ibnu Katsir (ulama
ahlul hadits sekaligus ahli tafsir yang terkenal dengan “Tafsir Ibnu
Katsir”nya, wafat 774H /1372 M) berkata dalam kitab Al-Bidayah wa
Al-Nihayah: “Ketika berada di Damsyik dan Baitulmaqdis, al-Ghazali
mengarang kitabnya Ihya Ulumuddin. Ia sebuah kitab yang ganjil. Ia
mengandung ilmu yang banyak berkaitan syara’, bercampur dengan kehalusan
tasawuf dan amalan hati. Namun dalamnya “banyak hadis yang gharib
(asing), mungkar dan palsu”.(Rujukan: Ibn Kathir, Al-Bidayah wa
al-Nihayah, 12/186, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah. )
Tajuddin As Subki (ulama ahlul hadits,
wafat 771H/1355 M), beliau berkata dalam kitab “Thobaqot Asy
Sayafi’iyyah” jilid 4 halaman 145 dalam bab mengenai biografi Al Ghozali
: “Di bab ini aku kumpulkan semua hadits2 yang ada di kitab Ihya
Ulumuddin yang aku belum dapatkan sanadnya, ternyata jumlah hadits2 itu
sekitar 943 hadits yang tidak ada asalnya. Sedangkan hadits yang punya
sanad tetapi dho’if (lemah) atau Maudlu’ (palsu) barangkali berlipat
ganda dari jumlah ini.
Al-Hafizd Al-Imam Ibnu Al Jauzi
(wafat 597H/1200M): “Kemudian datang Abu Hamid al-Ghazali menulis untuk
golongan sufi kitab al-Ihya Ulumuddin berdasarkan pegangan mereka. Dia
memenuhi bukunya dengan hadis-hadis batil yang dia tidak tahu
kebatilannya.” (Rujukan: Ibn Jauzi, Talbis Iblis, hlm 190, Beirut: Dar
al-Kutub al-ilmiyyah) .
Imam Nawawi (Ulama ahlus sunnah yang
sangat masyhur dikalangan penuntut ilmu, wafat 676 H/1277 M).
Beliau
pernah ditanya tentang sholat Ragha’ib yang sering dilakukan orang di
malam jum’at pertama bulan Rajab, apakah amalan ini termasuk sunnah
ataukah bid’ah?, maka beliau menjawab :”Ia adalah bid’ah yang buruk lagi
di ingkari dengan pengingkaran yang sangat keras”. Kemudian ia berkata,
“Janganlah kalian tertipu dengan banyaknya orang yang melakukan amalan
tersebut di banyak negri, meskipun amalan tersebut di anjurkan di kitab
Quth al Qulub atau Ihya Ulumudin dan semisalnya, maka sesungguhnya
sholat Ragha’ib itu adalah bid’ah yang bathil” (Al Mi’rayul Maghrib
(I/300) karya Al Wansyarisi)
Ibnu Taimiyah (ulama besar ahlus sunnah,
wafat 728H/1327M).
Beliau berkata dalam kitab “Dar’ut Ta’aarudh jilid 7
hal 149 setelah beliau menukil tulisan panjang dari kitab Ihya Ulumudin,
kemudian ia mengkritik dan mengomentarinya : “Al Ghozali tidaklah
memiliki pengetahuan tentang atsar-atsar (riwayat2) Nabawi yang
didasarkan pada pemahaman sahabat yang dimiliki oleh ahli ilmu, yaitu
orang2 yang membedakan/memilah mana yang shahih dan yang dho’if (lemah).
Oleh karena itu ia pun memasukkan hadits2 dan atsar2 yang maudhu’
(palsu) dan dusta di dalam kitab “Ihya” nya yang apabila beliau tau
bahwa itu adalah palsu, niscaya beliau tidak akan memasukkannya”
Dan masih banyak lagi komentar2 dan
kritikan2 para ulama ahlus sunnah lainnya tentang kesalahan2 yang ada
dalam kitab Ihya Ulumudin ini.
Semoga Allah Subhanahu Wata’ala selalu menjaga kita dari tipu daya, kesesatan dan makar setan.
Wallahu a’lam.
———————————————————————————————————————
Foot Note :
[1] Musyahadah menurut kalangan Shufi
adalah melihat kehadiran Allah Subhanahu Wata’ala yang kemudian
memberikan/membuka rahasia-rahasia-Nya kepada hamba-Nya.
[2] Maksudnya dia telah bersatu dengan Allah, sehingga tidak lagi terpisah antara dia dengan Allah.
[3] Diambil dari kitab At-Tahdzirul Mubin min Kitab Ihya` ‘Ulumuddin karya Asy-Syaikh Abdul Lathif bin Abdurrahman Alusy Syaikh
[4] Tentang akhir kehidupan Al-Ghazali,
Ibnu Taimiyyah Rahimahullah mengatakan: “…Oleh karena itu, menjadi jelas
baginya (Al-Ghazali, ed) di akhir hayatnya bahwa jalan tasawuf tidaklah
menyampaikan kepada tujuannya. Kemudian ia mencari petunjuk melalui
hadits-hadits Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam. Mulailah ia menyibukkan
diri dengan Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Dan ia meninggal di
tengah kesibukannya itu, dalam keadaannya yang paling baik. Beliau juga
membenci apa yang terdapat dalam bukunya berupa perkara-perkara semacam
itu, yaitu perkara yang diingkari oleh orang-orang.” (‘Aqidah
Asfahaniyyah, hal. 108)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar