Dakwah Ilallah adalah jalan semua rasul dan para pengikut mereka, untuk mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan kepada cahaya yang terang benderang, dari kekufuran kepada keimanan, dari kesyirikan kepada tauhid, dan dari neraka ke surga.
Dakwah para rasul inilah yang wajib
diikuti oleh setiap juru dakwah, agar dakwah mereka membuahkan hasil
yang baik, barang siapa berdakwah tanpa memakai asas-asas dakwah para
rasul maka dakwah itu tidak bernilai sama sekali di sisi Allah dan
menjadikan daya upaya yang dicurahkan padanya sia-sia.
Di antara jama’ah-jama’ah dakwah yang menyelisihi manhaj para rasul adalah Hizbut Tahrir yang
mengonsentrasikan dakwahnya untuk merebut kekuasaan dan mendirikan
Khilafah Islamiyyah (negara Islam) dan mengabaikan sisi-sisi penting
dari syari’at Islam seperti aqidah, akhlak, dan yang lainnya.
Mengingat begitu gencarnya dakwah mereka
pada hari ini dan di sisi lain banyak dari kaum muslimin yang belum
mengetahui hakikat dakwah mereka maka insya Allah di dalam bahasan kali
ini akan kami paparkan studi kritis terhadap manhaj kelompok ini dengan
menukil dari tulisan-tulisan mereka sendiri dan penjelasan-penjelasan
para ulama tentang hakikat mereka.
SEJARAH PENDIRIAN HIZBUT TAHRIR
Kelompok ini didirikan oleh Taqiyddin bin
Ibrahim an-Nabhani. Dia dilahirkan tahun 1909 M di Desa Ijzam yang
terletak di sebelah selatan Kota Jifa, Yordania. Dia banyak terpengaruh
oleh kakeknya, Yusuf Isma’il an-Nabhani yang dikenal dengan pemikiran sufinya dan permusuhannya kepada Salafush Shalih sebagaimana di dalam banyak tulisan-tulisannya seperti Syawahidul Haqqi fi Istighatsah Bisayyidil Khalqi.
Pada tahun 1952 dia mengajukan permohonan
resmi kepada Kementerian Dalam Negeri Yordania untuk mendapatkan izin
bagi partainya yang bernama Hizbut Tahrir al-Islami, tetapi
permohonannya ditolak. Sesudahnya, kelompok Hizbut Tahrir melakukan aktivitas politik secara rahasia.
- Nizhamul Islam (Peraturan hidup dalam Islam)
- Nizhamul Hukmi fil Islam (Sistem Pemerintahan Islam)
- Nizhamul Iqtishadi fil Islam (Sistem Ekonomi Islam)
- Nizhamul Ijtima’i fil Islam (Sistem Pergaulan Dalam Islam)
- At-Takattul Hizbi (Pembentukan Partai)
- Asy-Syakhshiyah al-Islamiyyah (Kepribadian Islam)
- Nida’ul Har ila Alamil Islami (Seruan Kepada Dunia Islam)
Dan beberapa kitab lainnya. Kitab-kitab
diatas banyak sekali menyelisihi pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan
terpengaruh oleh filsafat Mu’tazilah (lihat al-Jama’at al-Islamiyyah
hlm. 282 dan Mausu’ah al-Muyassarah hlm. 344).
RASIONALISME HIZBUT TAHRIR
Merupakan hal yang dimaklumi bahwa sumber
kesesatan dari setiap kelompok bid’ah adalah karena mereka meninggalkan
Sabilil Mukminin yaitu jalan para sahabat di dalam memahami dan
mengamalkan Islam. Allah Ta’ala berfirman :
Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam neraka Jahanam, itulah seburuk-buruk tempat kembali. (QS. an-Nisa [4]:115).
Kalimat (Sabiilul mu’miniin) artinya
adalah jalan orang-orang mukmin, yang pertama kali masuk dalam makna ini
adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sebagaimana dalam sabdanya :
“Dan sesungguhnya umatku ini akan
berpecah belah menjadi 73 kelompok, semuanya di neraka kecuali satu
kelompok, ia adalah al-Jama’ah.” Di dalam riwayat lain, “Ia adalah jalan
yang aku tempuh dan para sahabatku.”[1]
Dari sinilah jelas bagi kita bahwa biang keladi kesesatan semua kelompok dalam Islam, sejak dahulu sampai sekarang, yaitu bahwasanya mereka tidak menghiraukan ayat dan hadits-hadits di atas sehingga mereka menyeleweng dri jalan yang lurus dan memilih jalan-jalan yang sesat. Mereka mengandalkan akal dan pemikiran mereka tanpa merujuk kepada pemahaman sahabat dan ulama yang mengikuti jalan mereka. Padahal, jalan keselamatan adalah manhaj para sahabat dan as-salaf ash-shalih yaitu orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.
Kelompok
Hizbut Tahrir di dalam memahami Islam secara terang-terangan
meninggalkan pemahaman para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan menggantinya dengan pemahaman pemimpin pertama mereka dan
pendiri kelompok mereka yaitu Taqiyuddin an-Nabhani yang banyak
terpengaruh oleh pemikiran Mu’tazilah.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani
rahimahullah berkata : “Dari sini kita meletakkan satu titik dalam
dakwah Hizbut Tahrir bahwasanya mereka terpengaruh oleh Mu’tazilah dalam
dasar pijakan mereka mengenai jalan keimanan (thariqul iman). Jalan
keimanan (thariqul iman) ini adalah sebuah judul pembahasan mereka yang
terdapat dalam kitab Nizhamul Islam yang dikarang oleh pemimpin mereka,
yaitu Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah. Saya (Syaikh al-Albani) pernah
berjumpa dengannya (Taqiyuddin an-Nabhani) beberapa kali. Saya
mengenalnya dengan baik dan mengenal dengan sangat baik jalan yang
ditempuh oleh Hizbut Tahrir. Karena itu, Insya Allah saya berbicara
berdasarkan ilmu tentang segala hal yang dakwah mereka tegak di
atasnya.”[2]
Taqiyuddin an-Nabhani berkata di dalam kitabnya, Nizhamul Islam hlm. 10 :
“Dan berdasarkan atas hal itu maka iman kepada Allah adalah datang dari jalan akal, dan tidak boleh tidak bahwa iman ini terjadi dari jalan akal. Maka adalah dengan hal itu tonggak utama yang berdiri di atasnya keimanan kepada seluruh perkara-perkara gaib dan semua yang Allah kabarkan kepada kita.”
“Dan berdasarkan atas hal itu maka iman kepada Allah adalah datang dari jalan akal, dan tidak boleh tidak bahwa iman ini terjadi dari jalan akal. Maka adalah dengan hal itu tonggak utama yang berdiri di atasnya keimanan kepada seluruh perkara-perkara gaib dan semua yang Allah kabarkan kepada kita.”
Hizbut Tahrir berkata di dalam kitab mereka Nidaun Harrun ilal Muslimin min Hizbut Tahrir dari website resmi mereka :
“Maka Islam sebagai pemikiran-pemikiran maka asasnya adalah akal.”
“Maka Islam sebagai pemikiran-pemikiran maka asasnya adalah akal.”
Demikianlah, Hizbut Tahrir banyak
terpengaruh dengan kelompok Mu’tazilah yang merupakan pionir semua
kelompok rasionalis dalam Islam. Mu’tazilah menjadikan akal sebagai hakim secara mutlak. Mereka mempromosikan akal setinggi-tingginya, sebagaimana sering terungkap dalam perkataan gembong-gembong mereka:
Al-Qadhi Abdul Jabbar menyebutkan urutan dalil-dalil syar’i menurutnya, “Yang pertama adalah akal, karena dengannya bisa dibedakan baik dan buruk, dan dengan akallah diketahui bahwa Kitab adalah hujjah, demikian juga sunnah dan ijma’!!” (Fadhlul I’tizal hlm. 139).
Amr bin Ubaid[3] menyebut hadits Shadiqul Mashduq dan berkomentar, “Seandainya aku mendengar hadits ini langsung dari A’masy pasti akan kudustakan, seandainya aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakannya pasti akan kutolak! dan seandainya aku mendengar Allah mengatakannya maka akan kukatakan, ‘Bukan atas ini Engkau mengambil mitsaq (perjanjian) dari kami.”!!
Az-Zamakhsyari berkata, “Berjalanlah dalam agamamu di bawah panji akal, jangan engkau merasa cukup dengan riwayat dari Fulan dan Fulan.”! (Athwaqu Dzahab fil Mawaizh wal Khuthab hlm. 28).
Demikianlah kaum rasionalis. Mereka
menjadikan akal semata sebagai sumber ilmu mereka, mengagungkan akal,
dan menjadikan iman dan al-Qur’an tunduk di bawah akal. (Majmu Fatawa
Syaikhul Islam 5/338).
Syubhat mereka ini telah dikikis habis
dan dihancurkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam
kitabnya yang agung yang berjudul Dar’u Ta’arudh al-‘Aql wan Naql yang
tersusun dalam 10 jilid, kemudian diringkas oleh muridnya al-Allamah
Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Shawa’iq Mursalah yang tersusun
dalam dua jilid. Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan dalam kitabnya
tersebut 54 argumen dalam membantah syubhat mereka ini, diantaranya :
- Perkataan mereka bahwa akal adalah
landasan naql adalah batil karena apa yang dikabarkan oleh Allah dan
Rasul-Nya adalah shahih dari dirinya, entah kita ketahui dengan akal
kita atau tidak kita ketahui, entah dibenarkan oleh manusia atau
didustakan oleh mereka, sebagaimana Rasulullah adalah haq meskipun
didustakan oleh manusia, dan sebagaimana wujud Allah dan keberadaan
nama-nama dan sifat-sifat-Nya adalah haq, entah akal kita mengetahui
atau tidak.
- Mendahulukan akal atas naql adalah cela
pada akan dan naql sekaligus, karena akan telah bersaksi bahwa wahyu
lebih tahu dibandingkan akal. Jika hukum akal didahulukan atas hukum
wahyu maka itu adalah cela pada persaksian akal, jika persaksiannya
batal maka tidak boleh diterima ucapannya, maka mendahulukan akal atas
wahyu adalah cela pada akal dan wahyu sekaligus.
- Syari’at diambil dari Allah dengan
perantaraan malaikat dan Rasul-Nya, dengan membawa ayat-ayat,
mukjizat-mukjizat, dan bukti-bukti atas kebenarannya, hal ini diakui
oleh akal
Lalu bagaimana perkataan Allah pencipta semesta alam ditentang dengan pemikiran-pemikiran Plato, Aristoteles, Ibnu Sina dan pengikut-pengikut mereka?
Bagaimana perkataan seorang Rasul
ditentang dengan perkataan filosof, padahal filosof wajib mengikuti
Rasul, bukan Rasul yang mengikuti filosof, karena Rasul diutus oleh
Allah, dan filosof adalah umatnya.[4]
MENOLAK HADITS AHAD DALAM MASALAH AQIDAH
Hizbut Tahrir termasuk kelompok Inkarus
Sunnah, mereka menolak hadits-hadits Ahad di dalam masalah aqidah,
mereka berkata di dalam kitab ad-Dusiyah hlm. 3, “Terdapat
perbedaan antara hukum-hukum syariat dan perkara-perkara aqidah dari
sisi dalil. Hukum-hukum syar’iyyah boleh ditetapkan dengan dalil zhanni
dan boleh dengan dalil qath’i kecuali aqidah, karena harus ditetapkan
dengan dalil qath’i tidak boleh ditetapkan dengan dalil zhanni
sedikitpun. Aqidah tidak boleh diambil melainkan harus dengan
dalil yakin, apabila dalilnya qath’i maka wajib diimani dan
mengingkarinya adalah kafir, namun jika dalilnya zhanni maka haram bagi
tiap muslim mengimaninya…, maka wajib menetapkan aqidah dengan dalil
qath’i…“
Hizbut Tahrir berkata di dalam kitab ad-Dusiyah hlm. 4:
“Dan hadist ahad adalah zhanni.”
KAMI KATAKAN : Sesungguhnya dalil-dalil
dari Kitab, Sunnah, dan amalan sahabat, dan perkataan para ulama
menunjukkan tentang wajibnya berhujjah dengan hadits ahad dalam syari’at
Islam tanpa memperbedakannya dalam ‘aqidah ‘ilmiyyah atau ahkam
‘amaliyyah, dan bahwasanya pendapat yang membedakan antara keduanya
adalah pendapat yang bid’ah yang tidak pernah dikenal oleh salaf. Karena
itulah al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata :
Pendapat yang membedakan antara keduanya
adalah pendapat yang batil dengan kesepakatan umat karena umat tidak
henti-hentiny berhujjah dengan hadits-hadits ahad dalam khabar-khabar
ilmiyyah yang berhubungan dengan aqidah, sebagaimana mereka berhujjah
dengan khabar-khabar amaliyyah, terutama hukum-hukum amaliah yang
mengandung kabar dari Allah bahwasanya Allah mensyari’atkan ini dan itu,
mewajibkannya, dan meridhainya sebagai agama, … Tidak henti-hentinya
para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan ahli hadits dan sunnah
berhujjah dengan hadits-hadits ahad dalam masalah-masalah sifat, qadar,
asma, dan ahkam, … (Mukhtashar Shawa’iq Mursalah 2/412).
Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata :
“Kaum muslimin sejak dahulu hingga sekarang telah sepakat atas menetapkan hadits ahad dan berhenti padanya.” (ar-Risalah hlm. 457).
Berkata al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah,
“Telah tersebar secara luas tentang amalan sahabat dan tabi’un akan
khabar (hadits) ahad; tanpa ada pengingkaran, bahkan sudah terjadi
ittifaq untuk menerimanya.” (Lihat Fathul Bari 13/234)
Berkata al-Imam Ibnu Abil Izz al-Hanafi rahimahullah “Tentang
hadit ahad, telah sepakat umat menerimanya, baik sebagaimana amal dan
wajib untuk dibenarkan; dan juga memberi faedah ilmu yaqin di kalangan
ulama umat ini. Hal tersebut karena hadits ahad merupakan bahagian dari
hadits mutawatir, dan tidak terdapat perbedaan di kalangan salaf umat
ini.” (Lihat Syarh al-Aqidah ath-Thahawiyyah hlm. 399-400-takhriij Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah).
Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, “Seandainya
argumen tidak tegak dengan khabar ahad maka tidaklah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Abu Ubaidah radhiyallahu ‘anhu ke
Yaman seorang diri, demikian juga ini dikatakan pada hadits-hadits
dalam Shahihain yang mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengutus Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, Mu’adz bin Jabal
radhiyallahu ‘anhu, dan Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu sebagai
da’i-da’i yang diutus untuk mendakwahkan Islam ke negeri-negeri tertentu
dalam keadaan sendirian. Merupakan hal yang tidak diragukan lagi bahwa keseluruhan termasuk di dalamnya masalah-masalah aqidah.”[5]
MENOLAK TAQDIR ALLAH TA’ALA
Taqiyyuddin an-Nabhani berkata di dalam kitabnya, Syakhshiyyah Islamiyyah 1/71-72
“Perbuatan-perbuatan ini-yaitu perbuatan-perbuatan manusia-tidak ada hubungan sama sekali dengan qadha’, karena manusia adalah yang melakukan sendiri perbuatan-perbuatan ini dengan kehendak dan pilihannya, dan berdasarkan atas hal itu maka fi’il-fi’il ikhtiyariyyah tidak masuk di bawah qadha’.”
Dia dalam kitab Nizhamul Islam mengatakan:
“Maka digantungkannya pahala atau hukuman dengan petunjuk dan kesesatan menunjukkan bahwa petunjuk dan kesesatan keduanya termasuk perbuatan manusia dan keduanya bukan dari Allah.”
Perkataan ini jelas sekali menyelisihi
nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah yang menyatakan bahwa segala sesuatu
telah telah ditakdirkan Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman :
Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan takdir-takdir (ukuran-ukurannya) dengan serapi-rapinya. (QS. al-Furqan [25] :2)
Dan Allah Ta’ala berfirman :
Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu. (QS. ash-Shaffat [37] :96)
Dan Allah Ta’ala berfirman :
Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan takdir. (QS. al-Qamar [54] : 49).
MENGADOPSI PEMAHAMAN KHAWARIJ
Hizut Tahrir
mengikuti pemahaman Khawarij di dalam masalah takfir dan bolehnya
khuruj (pemberontakan, red) kepada penguasa muslim.
Di dalam kitab Manhaj Hizbit Tahrir fit Taghyir hlm. 36 mereka berkata, “Hizb
tidak berkompromi dengan para penguasa dan tidak memberikan loyalitas
kepada mereka, termasuk konstitusi dan perundang-undangan mereka walau
dengan alasan kelancaran dakwah. Sebab syara’ mengharamkan mempergunakan
sarana yang haram untuk memenuhi suatu kewajiban. Sebaliknya
hizb mengoreksi dan mengkritik penguasa dengan tegas. Hizb menganggap
bahwa peraturan yang mereka terapkan itu adalah peraturan kufur sehingga
harus dimusnakan dan diganti dengan hukum Islam. Hizb juga menganggap
bahwa mereka pada hakikatnya adalah orang-orang yang fasik dan zalim…”
Dalam hlm. 37, “… Hizb juga menolak
membantu mereka melakukan ishlah baik di bidang ekonomi, pendidikan,
sosial kemasyarakatan maupun di bidang moral…”
Dalam hlm. 42, “Aktivitas
hizb adalah menentang para penguasa di negara-negara Arab maupun
negara-negara Islam lainnya. Mengungkapkan makar-makar jahat mereka,
mengoreksi dan mengkritik mereka…”
Inilah pemahaman Hizbut Tahrir yang
menyelisihi perintah Allah kepada setiap muslim agar taat kepada
waliyyul amr-sebagaimana dalam firman-Nya :
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kalian. (QS. an-Nisa [4]:59),
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kalian. (QS. an-Nisa [4]:59),
Demikian juga Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam selalu memerintahkan agar selalu taat kepada waliyyul
amr, tidak membatalkan bai’at dan sabar atas kecurangan para penguasa :
Dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu bahwasanya dia berkata :
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru kami maka kami membai’atnya, di antara yang diambil atas kami bahwasanya kami berbai’at atas mendengar dan taat dalam keadaan yang lapang dan sempit, dalam keadaan sulit dan mudah, dan atas sikap egois atas kami, dan agar kami tidak merebut kekuasaan dari pemiliknya. Beliau bersabda, ‘Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang jelas dan nyata yang kalian punya bukti di hadapan Allah.” (Shahih Muslim 1709).
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru kami maka kami membai’atnya, di antara yang diambil atas kami bahwasanya kami berbai’at atas mendengar dan taat dalam keadaan yang lapang dan sempit, dalam keadaan sulit dan mudah, dan atas sikap egois atas kami, dan agar kami tidak merebut kekuasaan dari pemiliknya. Beliau bersabda, ‘Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang jelas dan nyata yang kalian punya bukti di hadapan Allah.” (Shahih Muslim 1709).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah berkata, “Ini adalah perintah agar selalu taat walaupun ada
sikap egois dari waliyyul amr, yang ini merupakan kezaliman darinya,
dan larangan dari merebut kekuasaan dari pemiliknya, yaitu larangan dari
memberontak kepadanya, karena pemiliknya adalah para waliyul amr yang
diperintahkan agar ditaati, dan mereka adalah orang-orang yang memiliki
kekuasaan untuk memerintah”[6]
Hizbut Tahrir juga mengatakan
bahwa seluruh negeri Islam saat ini adalah Darul Kufur wal Harb,
sebagaimana dalam buku mereka, Manhaj Hizbit Tahrir fit Taghyir hlm. 5, “Adapun
kondisi negeri-negeri yang hidup didalamnya kaum muslimin saat ini di
seluruh negeri, adalah darul kufr bukan darul Islam.”
Asy-Syaikh Abdurrahman ad-Dimasyqy
berkata dalam kitabnya. Hizbut Tahrir Munaqasyah Ilmiyyah li Ahammi
Mababdi’il hizbi wa Raddu Ilmi Mufashshal Haula Khabari Wahid hlm. 47.
Aku bertanya kepada salah seorang di antara mereka (Hizbut Tahrir),
‘Bagaimanakah (menurutmu) dengan Makkah dan Madinah?
Apakah termasuk Darul Iman ataukah Darul Kufur wal Harb??’
Dia menjawab,
‘Termasuk Darul Kufur dan Harb!’
Aku berkata lagi,
‘Lantas apakah boleh aku berhaji ke darul Kufur??
Lantas dimanakah Darul Iman jika Makkah dan Madinah termasuk Darul Kufur!!’
Dia pun kebingungan …
Ada seorang juga bertanya kepada mereka (Hizbut Tahrir),
‘Apakah ada Darul Islam di dunia saat ini?’
Mereka menjawab,
“Tidak ada!!’
Ia bertanya lagi,
“Saya ingin berhijrah, ke manakah gerangan aku harus berhijrah (jika tidak ada Darul Islam)??’
mereka kebingungan menjawabnya.”
Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
“Tidaklah terputus hijrah hingga terputusnya taubat dan tidak terputus taubat hingga terbitnya matahari dari baratnya (hari kiamat).”[7]
Dari Isham al-Muzani radhiyallahu ‘anhu bahwasanya dia berkata :
“Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika mengutus suatu pasukan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, jika kalian melihat masjid atau mendengar adzan maka janganlah kalian membunuh seorang pun.’”[8]
Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Hadits
ini menunjukkan bahwa sekadar keberadaan sebuah masjid di suatu negeri
maka ini cukup menjadi dalil atas keislaman penduduknya, walaupun belum
didengar adzan dari mereka, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan pasukan-pasukannya agar mencukupkan dengan salah satu dari
dua hal : adanya masjid atau mendengar adzan.” (Nailul Authar 7/287)
Berdasarkan uraian diatas maka jika mendengar adzan di suatu negeri atau didapati suatu masjid, dan penduduknya muslim, maka negeri tersebut adalah darul Islam, meskipun para penguasanya tidak menerapkan syari’at Islam.
Hal inilah yang dikuatkan oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah beliau berkata, “Keberadaan suatu
tempat sebagai negeri kafir atau negeri iman atau negeri orang-orang
fasik, bukanlah sifat yang tidak terpisah darinya, tetapi ia adalah
sifat yang insidental sesuai dengan keadaan penduduknya. Setiap jengkal
bumi yang penduduknya orang-orang mukmin yang bertakwa maka tempat
tersebut adalah negeri para wali Allah di saat itu. Setiap jengkal tanah
yang penduduknya orang-orang fasik, maka ia adalah negeri kefasikan di
saat itu. Dan jika para penduduknya selain yang kita sebutkan tadi, dan
berubah dengan selain mereka, maka negeri itu adalah negeri mereka.”[9]
PENEGAKAN DAULAH DENGAN MENGORBANKAN SYARI’AT ISLAM
Hizbut Tahrir memprioritaskan penegakan
Daulah Islamiyyah dan kekuasaan ketimbang perbaikan aqidah dan tauhid.
Mereka telah menjadikan penegakan daulah saat ini hukumnya paling wajib
dan paling urgen (mendesak). Mereka berpandangan bahwa segala
kemerosotan, kehancuran, dan kekacauan yang melanda umat saat ini
dikarenakan tidak adanya payung yang melindungi umat dari kaum kuffar,
yakni daulah khilafah. Maka semenjak Kesultanan Utsmani runtuh, pada
tahun 1924 di Turki, maka umat Islam semuanya dalam keadaan berdosa dan
umat wajib ‘ain mengembalikannya.
Taqiyuddin an-Nabhani berkata di dalam kitabnya Syakhshiyyah Islamiyyah 2/92 :
Dan demikianlah maka seluruh kamu muslimin sejak tahun 1924 yaitu sejak hilangnya Khilafah Islamiyyah dari Turki maka mereka mati dan akan mati jahiliyyah.”
Dan demikianlah maka seluruh kamu muslimin sejak tahun 1924 yaitu sejak hilangnya Khilafah Islamiyyah dari Turki maka mereka mati dan akan mati jahiliyyah.”
Maka mereka mengonsentrasikan segala daya dan upaya untuk meraih kembali kekuasaan. Namun, di sisi lain mereka banyak meremehkan syari’at-syari’at Islam.
Lihatlah,
bagaiman tokoh-tokoh mereka tidak menampakkan penampilan Islam sama
sekali. Mereka cukur habis jenggot-jenggot mereka. Mereka tidak
memperhatikan shalat jama’ah dan yang lainnya dari syari’at Islam. Jika
engkau ingatkan mereka tentang hal itu maka mereka mengatakan bahwa hal
itu akan mereka lakukan kalau sudah tegak Daulah Islam!! (Lihat Jama’at
Islamiyyah hlm. 288-289).
Padahal Daulah Islam adalah sarana untuk menegakkan syari’at Islam, pantaskah jika seorang muslim berjuang mewujudkan daulah Islam dengan jalan mengorbankan syari’at Islam?!
Daulah adalah anugerah Allah kepada kaum
muslimin karena keteguhan mereka melaksanakan kewajiban-kewajiban
seperti jihad, melaksanakan syari’at dan perkara-perkara yang
disyari’atkan Allah kepada mereka. Anugerah inilah yang diperoleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, karena
kesabaran mereka dalam menempuh manhaj dakwah yang haq, menghadapi
kekejian dan kebrutalan kaum musyrikin. Allah menolong Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, memenangkan din
mereka, dan pengokohkan mereka di muka bumi, sebagai perwujudan janji
Allah dalam Kitab-Nya :
Dan Allah telah berjanji kepada
orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang
shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di
bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka
berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah
diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan)
mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa.
Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun
dengan aku. (QS. an-Nur [24] : 55)[10]
PENDAPAT-PENDAPAT GANJIL HIZBUT TAHRIR
Sesungguhnya pendapat-pendapat Hizbut
Tahrir yang ganjil amatlah banyak sekali dan bertebaran di dalam
kitab-kitab mereka, di antaranya :
- Hizbut Tahrir memperbolehkan berjabat tangan lelaki dan perempuan yang bukan mahram. Taqiyuddin berkata dalam Nizhamul Ijtima’i fil Islam, “Seorang
pria pada dasarnya boleh menjabat tangan seorang wanita, demikian pula
sebaliknya, seorang wanita boleh menjabat tangan seorang pria tanpa ada
penghalang di antara keduanya.” Hal ini juga diperkuat dengan
nusyrah sual jawab mereka no. 24/Rabi’ul Wal/1390 atau 29/5/1970,
no.8/Muharram/1390 atau 16/3/1970 dan nusyrah al-ajwibah wal as’ilah
tanggal 26/4/1970.
- Hizbut Tahrir memperbolehkan memandang wajah wanita, karena menurut mereka wajah tidak termasuk aurat.
Taqiyuddin berkata dalam Nizhamul Ijtima’i fil Islam, “Allah Ta’ala
berfirman : ‘Katakanlah kepada mukmin laki-laki hendaklah mereka
menundukkan pandangan mereka.’ (QS. an-Nur [24]:30), maksudnya tentu
adalah menundukkan pandangan terhadap wanita pada selain wajah dan kedua
telapak tangan, sebab memandang wajah dan telapak tangan adalah mubah.”
- Hizbut Tahrir menghalalkan musik dan nyanyian (walau diiringi alat musik)
sebagaimana dalam nusyrah jawab wa sual no. 9 (20/Shafar/1390 atau
26/4/1970), “Suara wanita tidak termasuk aurat dan nyanyian mubah
hukumnya serta mendengarkannya mubah. Adapun hadits-hadits yang warid
(datang) mengenai larangan musik adalah tidak shahih haditsnya. Yang
benar adalah musik tidak haram dan hadits-hadits yang memperbolehkan
musik adalah shahih.”
Dan masih banyak lagi pendapat-pendapat aneh Hizbut Tahrir lainnya (Lihat al-Jama’at al-Islamiyyah hlm. 345-348).
PENUTUP
Inilah sedikit yang bisa kami paparkan
tentang penyimpangan-penyimpangan Hizbut Tahrir, sebetulnya masih banyak
hal-hal lain yang belum kami cantumkan karena keterbatasan tempat,
semoga yang kami paparkan di atas bisa menjadikan kewaspadaan kepada
kita semua tentang bahaya kelompok ini, dan sekaligus menyadarkan
saudara-saudara kami yang hingga saat ini masih terperdaya dengan
kelompok ini serta membuka mata mereka tentang jati diri kelompok ini.
Semoga Allah selalu menunjukkan kita kepada jalan yang lurus, yaitu
jalannya para nabi, para shiddiqin, syuhada, dan shalihin. Amin
Sumber: Majalah AL FURQONEdisi 4 no. 118 thn ke 11 Dzulqo’dah 1432H/Okt-Nov 2011M
=================================================
[1] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya 2/503-504 dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Silsilah ash-Shahihah 203, 204, dan 1492).
[1] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya 2/503-504 dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Silsilah ash-Shahihah 203, 204, dan 1492).
[2] “Hizbut Tahrir Mu’tazilah judud” dari Majalah Salafiyyah, Riyadh, Edisi Kedua, tahun 1417 H, hlm. 17-32.
[3] Taqiyuddin an-Nabhani di dalam
kitabnya Syakhshiyyah Islamiyyah memuji Amr bin Ubaid ini dan mengatakan
bahwa dia tidak memiliki penyelewengan sama sekali dalam aqidah.
[4] Lihat bahasan “Kedudukan Akal di Dalam Islam” di dalam Majalah Al-Furqon IV/4 rubrik Manhaj.
[5] Al-Hadits Hujjatun Binafsihi fil
‘Aqaid wal Ahkam hlm. 59. untuk pembahasan lebih rinci dalam masalah ini
silakan melihat bahasan “Hadits Ahad dalam Sorotan” didalam Majalah Al
Furqon VIII/Edisi Khusus rubrik Manhaj.
[6] Mihhajus Sunnah 3/395 dan untuk
bahasan yang lebih rinci tentang masalah ini silahkan melihat bahasan
“Renungan Bagi Para Pemberontak” di dalam Majalah AL FURQON V/6 rubrik
Manhaj
[7] Diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam
Sunan-nya 2/312 dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah di
dalam Irwaul Ghalil 5/33 no. 1208.
[8] Diriwayatkan oleh Ahmad dalam
Musnad-nya 3/448, Abu Dawud dalam Sunan-nya 2635, dan Tirmidzi dalam
Jami-nya 1545, dan dilemahkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam
Dha’if Sunan Abu Dawud hlm. 202.
[9] Majmu Fatawa 18/282 dan untuk bahasan
yang lebih rinci tentang masalah ini silakan melihat bahasan “Darul
Islam dan Darul Kufur” di dalam Majalah Al-Furqon IV/9 Rubrik Manhaj.
[10] Lihat kitab Manhajul Anbiya’ fid Da’wah ila Allah oleh Syaikh al-Allamah Dr. Rabi’bin Hadi al-Madkhali hafidhahullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar