Allah subhanahu wata’ala berfirman:
وَإِنَّ مِنْهُمْ لَفَرِيْقًا يَلْوُوْنَ أَلْسِنَتَهُمْ بِالْكِتَابِ لِتَحْسَبُوْهُ مِنَ الْكِتَابِ وَمَا هُوَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَقُوْلُوْنَ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللهِ وَمَا هُوَ مِنْ عِنْدِ اللهِ وَيَقُوْلُوْنَ عَلَى اللهِ الْكَذِبَ وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ
“Sesungguhnya ada segolongan di antara mereka yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab, supaya kamu mengira yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab, padahal ia bukan dari Al Kitab dan mereka mengatakan: ‘Ini (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah’, padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah, sedang mereka mengetahui.” (Ali ‘Imran: 78) (lihat pembahasan tafsirnya disini)
يَا أَيُّهَا الرَّسُوْلُ لاَ يَحْزُنْكَ الَّذِيْنَ يُسَارِعُوْنَ فِي الْكُفْرِ مِنَ الَّذِيْنَ قَالُوا آمَنَّا بِأَفْوَاهِهِمْ وَلَمْ تُؤْمِنْ قُلُوْبُهُمْ وَمِنَ الَّذِيْنَ هَادُوا سَمَّاعُوْنَ لِلْكَذِبِ سَمَّاعُوْنَ لِقَوْمٍ آخَرِيْنَ لَمْ يَأْتُوْكَ يُحَرِّفُوْنَ الْكَلِمَ مِنْ بَعْدِ مَوَاضِعِهِ يَقُوْلُوْنَ إِنْ أُوْتِيْتُمْ هَذَا فَخُذُوْهُ وَإِنْ لَمْ تُؤْتَوْهُ فَاحْذَرُوا وَمَنْ يُرِدِ اللهُ فِتْنَتَهُ فَلَنْ تَمْلِكَ لَهُ مِنَ اللهِ شَيْئًا أُولَئِكَ الَّذِيْنَ لَمْ يُرِدِ اللهُ أَنْ يُطَهِّرَ قُلُوْبَهُمْ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي اْلآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيْمٌ
“Hai Rasul, janganlah kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya, yaitu di antara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka: ‘Kami telah beriman’, padahal hati mereka belum beriman; dan (juga) di antara orang-orang Yahudi. (Orang-orang Yahudi itu) amat suka mendengar (berita-berita) bohong dan amat suka mendengar perkataan-perkataan orang lain yang belum pernah datang kepadamu; mereka mengubah perkataan-perkataan (Taurat) dari tempat-tempatnya. Mereka mengatakan: ‘Jika diberikan ini (yang sudah diubah-ubah oleh mereka) kepada kamu, maka terimalah, dan jika kamu diberi yang bukan ini, maka hati-hatilah.’ Barangsiapa yang Allah menghendaki kesesatannya, maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatu pun (yang datang) dari Allah. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak mensucikan hati mereka. Mereka mendapat kehinaan di dunia dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang besar.” (Al-Maidah: 41)
A. Kitab Taurat dan Injil Telah Berubah
Allah subhanahu wata’ala
tidak memberikan jaminan penjagaan atas kalam-Nya yang termaktub dalam
kitab Taurat dan Injil, sebagaimana jaminan penjagaan yang
diberikan-Nya kepada Al-Qur-an:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُوْنَ“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Adz-Dzikra (Al-Qur-an) dan sungguh Kamilah yang akan menjaganya.” (Al-Hijr: 9)
Karena penjagaan ini
maka Al-Qur`an selama-lamanya tidak akan dapat dipalsukan sampai
kalamullah itu diangkat kembali dari lembaran dan dada-dada manusia
(dari hapalan mereka) menjelang hari kiamat. Adapun kitab samawi
lainnya seperti Taurat dan Injil tidaklah selamat dari pemalsuan
sehingga wajar bila kita katakan kitab-kitab yang dipegang ahlul kitab
telah dipalsukan para rahib dan pendeta mereka dari aslinya. Ini
berdasarkan pengabaran Allah subhanahu wata’ala sendiri melalui Al-Qur`an, dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
dari atsar dan juga dari bukti-bukti sejarah serta pertentangan dan
keganjilan-keganjilan yang ada di dalam Taurat dan Injil sendiri.
Di dalam Al-Qur`an, Allah subhanahu wata’ala
mengabarkan bahwa ahlul kitab telah mengubah-ubah kitab mereka yang
tadinya merupakan kalamullah yang diturunkan dari atas langit, namun
kemudian karena ulah para pendeta Yahudi dan Nasrani bercampurlah
kalamullah tersebut dengan kalam manusia. Bahkan kalamullah itu sendiri
mereka ubah dan dipindahkan dari tempatnya, sehingga kitab mereka
tidak lagi murni sebagaimana diturunkan pada awalnya, tetapi tercampur
dengan kepalsuan dan kedustaan, dan susah untuk dipisahkan mana yang
haq dan mana yang batil. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
فَوَيْلٌ لِلَّذِيْنَ يَكْتُبُوْنَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيْهِمْ ثُمَّ يَقُوْلُوْنَ هَذَا مِنْ عِنْدِ اللهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيْلاً فَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيْهِمْ وَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا يَكْسِبُوْنَ
Maka kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: “Ini dari Allah”, dengan maksud untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan.” (Al-Baqarah: 79) [1]
Al-Imam Ath-Thabari rahimahullah
berkata: “Yang Allah maksudkan dengan firman-Nya ini adalah
orang-orang Yahudi Bani Israil yang telah melakukan tahrif atas
Kitabullah. Dan mereka menulis sebuah kitab berdasarkan penakwilan/
penafsiran menyimpang yang mereka buat, menyelisihi dengan apa yang
Allah subhanahu wata’ala turunkan kepada Nabi Musa ‘alaihissalam.
Kemudian orang-orang Yahudi ini menjual kitab karangan mereka itu
kepada suatu kaum yang tidak memiliki ilmu tentang penakwilan tersebut,
tidak pula memiliki pengetahuan dengan apa yang terdapat dalam Taurat,
dan kepada orang-orang bodoh yang tidak mengetahui apa yang terdapat
dalam kitabullah. Mereka, orang-orang Yahudi melakukan hal ini, karena
ingin mendapatkan dunia yang rendah.” (Jami’ul Bayan fi Ta`wil Ayil
Qur`an 1/422)
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
مِنَ الَّذِيْنَ هَادُوا يُحَرِّفُوْنَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ“Mereka (orang-orang Yahudi) mengubah perkataan dari tempat-tempatnya.” (An-Nisa: 46)
Ayat di atas
menunjukkan bahwa sifat orang-orang Yahudi itu suka mengganti dan
mengubah-ubah makna Taurat dari tafsir yang sebenarnya. (Jami‘ul
Bayan fi Ta`wil Ayil Qur`an 4/121)
Perubahan yang mereka
lakukan itu bisa berupa lafadz atau maknanya, atau keduanya
sekaligus. Mereka mengubah hakikat yang ada, menempatkan al-haq di
atas al-batil, dan menentang al-haq itu. (Taisir Al-Karimir Rahman,
hal. 181)
Sejarah Perubahan Taurat
Dalam kitabnya Al-Fishal fil Milal wal Ahwa` wan Nihal, Ibnu Hazm rahimahullah menyebutkan secara panjang lebar sejarah Bani Israil sejak wafatnya Nabi Musa ‘alaihissalam untuk membuktikan bahwa kitab Taurat tidak lagi asli tetapi telah diubah-ubah. Disebutkan bahwa sepeninggal Nabi Musa ‘alaihissalam, Bani Israil dipimpin Yusya’ bin Nun selama 31 tahun dengan tetap istiqamah berpegang dengan agama. Kemudian mereka dipimpin Fainuhas ibnul ‘Azar bin Harun selama
25 tahun, juga masih istiqamah di atas agama. Setelah wafatnya
Fainuhas, seluruh Bani Israil murtad dari agama mereka dan menyembah
berhala secara terang-terangan. Dan sejak itu mereka dipimpin
penguasa-penguasa kafir, meski terkadang diselingi kepemimpinan
penguasa yang beriman. Namun tetap lebih dominan dikuasai penguasa
kafir dan yang berkubang dalam kekafiran dan penyembahan terhadap
berhala. (Al-Fishal fil Milal wal Ahwa` wan Nihal, 1/ 213-215)
Al-‘Allamah Asy-Syaikh Rahmatullah bin Khalilur Rahman Al-Kairanawi Al-Hindi rahimahullah
menyebutkan beberapa bukti bahwa kitab Taurat dan Injil yang ada
sekarang bukanlah Taurat dan Injil yang pernah diturunkan kepada Nabi
Musa dan Nabi ‘Isa ‘alaihissalam.
Di antaranya, beliau menyebutkan fakta sejarah berkenaan dengan
Taurat bahwasanya Taurat yang ada sekarang terputus sanadnya sebelum
zaman raja Yusya’ bin Amun yang berkuasa pada tahun
638 SM. Sedangkan nuskhah (manuskrip) bertuliskan Taurat yang
didapatkan setelah 18 tahun ia berkuasa, tidak bisa dijadikan
sandaran. Karena nuskhah itu dibuat-buat oleh Al-Kahin Hilqiyya. Selain tidak bisa dijadikan sandaran, secara umum nuskhah itu hilang sebelum Bukhtanashar menaklukkan negeri Palestina pada tahun 587 SM. Seandainya kita anggap nuskhah itu tidak hilang, maka ketika Bukhtanashar menguasai
Palestina niscaya ia akan memusnahkan Taurat dan seluruh kitab
Perjanjian Lama sehingga tidak tersisa bekasnya. Orang-orang Yahudi
berdalih bahwa Uzara telah menulis sebagian lembaran-lembaran Taurat di Babil, namun yang ditulisnya ini pun hilang ketika Anthaikhus IV menaklukkan negeri Palestina.
Ketika Suraya berkuasa
antara tahun 175-163 SM, ia berencana memusnahkan agama Yahudi dan
mewarnai Palestina dengan ajaran Hailainiyyah (Helenisme Yunani). Ia
pun menjual jabatan-jabatan pendeta Yahudi, membunuh sejumlah 40
hingga 80 juta pendeta Yahudi, merampas barang-barang yang ada di
seluruh tempat ibadah Yahudi, bertaqarrub kepada sesembahannya dengan
menyembelih babi dan menyalakan api di atas tempat penyembelihan
orang Yahudi, serta memerintahkan 20 ribu tentara untuk mengepung
Al-Quds yang akhirnya menyerbu Al-Quds pada hari Sabtu ketika
orang-orang Yahudi berkumpul untuk mengerjakan shalat. Mereka
merampas Al-Quds, meruntuhkan rumah dan pagar-pagar, menyalakan api di
dalamnya serta membunuh semua orang yang ada di dalamnya sampaipun
para wanita dan anak-anak. Tidak ada yang selamat pada hari itu
kecuali orang yang lari ke gunung-gunung atau bersembunyi dalam
gua-gua.” (Mukhtashar Kitab Izh-harul Haq, hal. 20-21)
Ibnu Hazm rahimahullah berkata: “Sejak Bani Israil masuk ke tanah yang disucikan (Palestina) sepeninggal Musa ‘alaihissalam sampai masa pemerintahan raja mereka Syawul, sebanyak tujuh kali mereka meninggalkan keimanan dan terang-terangan menyembah berhala.” Beliau rahimahullah
juga berkata: “Perhatikanlah, kitab apa yang masih tertinggal bersama
dengan kekufuran yang terus menerus dan menolak keimanan selama masa
yang panjang (lebih dari 114 tahun-red) di sebuah negeri yang kecil.
Sementara tidak ada seorang pun di muka bumi ketika itu yang berada di
atas agama mereka dan mengikuti kitab mereka selain mereka sendiri.”
(Al-Fishal 1/215)
B. Contoh Penyimpangan Taurat dan Injil
Ibnul Qayyim
melanjutkan: “Taurat yang berada di tangan orang-orang Yahudi di
dalamnya terdapat tambahan, perubahan/ penyimpangan dan pengurangan
yang kentara bagi orang-orang yang mendalam ilmunya. Dan mereka (ahlul
ilmi) yakin secara pasti bahwa hal itu tidak terdapat dalam Taurat
yang Allah turunkan kepada Musa ‘alaihissalam.
Demikian pula Injil yang berada di tangan orang-orang Nasrani. Di
dalamnya terdapat tambahan, perubahan/ penyimpangan dan pengurangan yang
tidak bisa disembunyikan dari orang-orang yang ilmunya dalam. Dan
mereka yakin secara pasti bahwa hal itu tidak terdapat dalam Injil yang
Allah subhanahu wata’ala turunkan kepada Al-Masih `Isa ‘alaihissalam.” (Hidayatul Hayara fi Ajwibatil Yahudi wan Nashara, hal. 101)
Demikian pula keberadaan Injil yang dipegangi orang-orang Nasrani. Jauh ditulis setelah diangkatnya Nabi ‘Isa ‘alaihissalam,
baik itu Injil yang konon katanya ditulis oleh Yohanes yang kemudian
disebut Injil Yohanes, Injil Markus, Injil Lukas maupun Injil Matius.
Cukuplah keberadaan empat Injil ini yang masing-masing isinya terdapat
pertentangan, sebagai bukti ketidakotentikan Injil tersebut. Dan
Injil-Injil itu bukanlah Injil yang pernah diturunkan kepada Nabi ‘Isa ‘alaihissalam. Berikut ini kami sebutkan beberapa contoh kedustaan yang terdapat dalam Taurat.
1. Menyekutukan Allah dengan Adam
Di dalam Taurat dihikayatkan bahwa Allah subhanahu wata’ala
berfirman: “Ini Adam, ia telah menjadi seperti salah satu dari Kami
dalam mengetahui kebaikan dan kejelekan….” Ibnu Hazm menyatakan dengan
ucapan ini menunjukkan mereka meyakini ilaah atau sesembahan itu lebih
dari satu dan Adam termasuk ilaah tersebut.(Al-Fishal 1/146)
2. Mengatakan Allah mempunyai Anak
Disebutkan pula dalam
Taurat: “Ketika manusia telah banyak memenuhi muka bumi dan lahir
putri-putri Adam. Maka saat putra-putra Allah melihat putri-putri Adam
yang cantik-cantik, putra-putra Allah pun memperistri sebagian dari
mereka.” Ibnu Hazm membantah kedustaan mereka ini dengan menyatakan
bahwa ucapan tersebut adalah kedunguan dan kedustaan yang besar, di
mana Allah dijadikan memiliki anak laki-laki yang menikahi putri-putri
Adam, yang berarti Allah dan Adam berbesanan. Maha Suci Allah dari
kedustaan ini. (Al-Fishal 1/147)
3. Menghina Para Nabi
Selain itu di dalam Taurat yang mereka pegangi disebutkan bahwa Nabi Luth ‘alaihissalam
digauli dua putrinya secara bergantian setelah beliau yang telah renta
dibuat mabuk dengan diminumi khamr. Sehingga kedua putrinya hamil dari
hasil hubungan dengan ayahnya. Na’udzubillah dari tuduhan keji mereka
yang membuat gemetar kulit orang-orang yang beriman yang mengetahui
hak-hak para nabi. (Al-Fishal 1/161)
4. Terdapat banyak versi Taurat dan Injil yang saling bertentangan
Ibnul Qayyim rahimahullah
mendustakan ucapan orang-orang Yahudi bahwa lembaran-lembaran yang
bertuliskan Taurat saling mencocoki baik yang ada di belahan bumi timur
maupun barat. Ibnul Qayyim berkata: “Ini adalah kedustaan yang nyata,
karena Taurat yang berada di tangan orang-orang Nasrani menyelisihi/
berbeda dengan Taurat yang berada di tangan orang-orang Yahudi, dan
juga Taurat yang ada di tangan Samiri berbeda pula dengan keduanya.
Demikian pula Injil, sebagiannya berbeda dengan yang lain dan saling
bertentangan.”
5. Mengubah Ciri-Ciri Rasulullah dalam Taurat
Al-Imam Al-Baghawi rahimahullah menyebutkan bahwa pendeta-pendeta Yahudi itu khawatir kehilangan sumber penghidupan dan kepemimpinan mereka ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang ke Madinah. Mereka lalu melakukan tipu daya untuk menyimpangkan orang-orang Yahudi dari beriman kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka telah memahami sifat/ ciri-ciri beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
yang tersebut dalam Taurat, di mana disebutkan bahwa beliau memiliki
wajah dan rambut yang bagus, kedua matanya seperti bercelak,
perawakannya sedang tidak terlalu tinggi tidak pula pendek. Mereka lalu
kemudian mengubah sifat-sifat tersebut dan menggantinya dengan sifat
tinggi, miring matanya, dan keriting rambutnya. Bila orang-orang
bodoh yang tidak mengerti Taurat bertanya tentang sifat/ ciri-ciri
nabi yang terakhir kepada para pendeta ini, mereka pun membacakan apa
yang telah mereka tulis, sehingga orang-orang bodoh tersebut
menjumpai sifat/ ciri-ciri nabi yang akhir itu berbeda dengan sifat/
ciri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Akibatnya mereka pun mendustakannya. (Ma’alimut Tanzil, 1/54-55)
C. Masih terdapat Ayat-Ayat Allah yang Asli dan Taurat dan Injil
Namun adanya perubahan
tersebut bukan berarti bahwa semua yang terdapat dalam kitab Taurat
ataukah Injil telah mengalami perubahan secara keseluruhan. Bahkan di
dalam keduanya itu masih banyak terdapat ayat-ayat yang merupakan teks
asli dari kitab Allah subhanahu wata’ala, yang jika
seseorang Nasrani atau Yahudi mengimani ayat-ayat tersebut dengan
keimanan yang sebenar-benarnya, niscaya mereka akan beriman dengan apa
yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berupa wahyu Al-Qur`an Al-Karim. Hal ini telah dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, beliau berkata:
“Demikian pula
dikatakan: jika lafadz-lafadz khabar diubah sedikit, tidaklah mencegah
bahwa kebanyakan lafadznya tidak terjadi perubahan. Apalagi jika di
dalam Al-Kitab itu sendiri ada yang menunjukkan sesuatu yang telah
diubah itu. Dan dikatakan pula bahwa apa-apa yang telah diubah dari
lafadz-lafadz Taurat dan Injil, maka dalam Taurat dan Injil itu
sendiri ada yang menjelaskan sesuatu yang telah berubah tersebut.”
Lalu beliau melanjutkan perkataannya:
“Sesungguhnya,
perubahan yang ada hanya sedikit dan kebanyakannya tidak berubah. Dan
pada yang tidak berubah terdapat lafadz-lafadz yang jelas dan sangat
nampak maksudnya yang menjelaskan kesalahan yang menyelisihinya, dan
memiliki penguat-penguat yang banyak yang membenarkan sebagian terhadap
sebagian yang lainnya. Berbeda dengan sesuatu yang telah berubah,
sesungguhnya lafadznya sedikit dan nash-nash Al-Kitab membantahnya.
Sehingga (Al-Kitab) ini berkedudukan seperti kitab-kitab hadits yang
dinukil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, di mana
terdapat beberapa hadits yang lemah di dalam Sunan Abu Dawud,
At-Tirmidzi, atau selainnya. Maka dalam hadits-hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ada yang menjelaskan lemahnya riwayat tersebut.
Bahkan di dalam Shahih
Muslim terdapat sedikit lafadz yang keliru, yang mana hadits-hadits
yang shahih bersama Al-Qur`an ada yang menjelaskan kekeliruan
tersebut. Seperti apa yang diriwayatkan bahwa Allah menciptakan bumi
pada hari Sabtu dan menjadikan penciptaan makhluk dalam tempo tujuh
hari, di mana hadits ini telah dijelaskan para imam ahli hadits
seperti Yahya bin Ma’in, Abdurrahman bin Mahdi, Al-Bukhari dan
selainnya bahwa hadits ini keliru, dan bahwa itu bukan dari perkataan
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan Al-Bukhari
menjelaskan dalam Tarikh Kabir bahwa ini adalah perkataan Ka’b
Al-Ahbar, sebagaimana telah dirinci pada pembahasannya. Dan Al-Qur`an
juga menunjukkan kesalahan ini dan menjelaskan bahwa penciptaan
terjadi selama enam hari. Dan telah terdapat dalam hadits shahih bahwa
akhir penciptaan pada hari Jum’at, maka awal penciptaan terjadi pada
hari Ahad.
Demikian pula yang diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat kusuf (gerhana) dengan dua atau tiga ruku’, maka sesungguhnya yang tsabit dan mutawatir dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
dalam dua kitab Shahih (Al-Bukhari dan Muslim) dan selainnya dari
hadits ‘Aisyah, Ibnu ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Amr, dan yang lainnya bahwa
beliau shalat pada satu rakaat dengan dua ruku’. Oleh karenanya
Al-Imam Al-Bukhari tidak mengeluarkan hadits lain kecuali hadits ini.”
Lalu beliau berkata lagi:
“Demikian pula jika
terjadi perubahan pada sebagian lafadz kitab-kitab terdahulu, maka
dalam kitab itu sendiri ada yang menjelaskan kekeliruannya. Dan telah
kami jelaskan bahwa kaum muslimin tidaklah mengklaim bahwa seluruh
salinan (Al-Kitab) yang ada di dunia dari zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
dengan setiap bahasa dari Taurat, Injil, dan Zabur telah diubah
lafadz-lafadznya. Sesungguhnya saya tidak mengetahui ada yang
mengucapkan demikian baik dari ulama salaf, meskipun dari kalangan
mutaakhirin (orang belakangan) bisa jadi ada yang mengatakannya.
Sebagaimana di kalangan umat belakangan ada yang membolehkan
ber-istinja (bersuci) dengan setiap salinan Taurat dan Injil yang ada
di dunia. Maka ucapan ini dan yang semisalnya bukanlah ucapan
pendahulu dan para imam umat ini.” (Daqa`iq At-Tafsir, 2/57-59. Lihat
pula Al-Jawab Ash-Shahih Liman Baddala Dinal Masih, 2/442-444)
D. Sikap Seorang Muslim terhadap Berita-berita Ahlul Kitab
Berita-berita yang
datang dari ahlul kitab, Yahudi ataupun Nasrani, yang tidak ada
keterangannya dalam syariat kita, tidak boleh kita pastikan
kebenarannya kemudian kita benarkan. Atau memastikan kedustaannya
kemudian kita pun mendustakannya. Karena berita itu bisa jadi benar atau
haq dan bisa jadi dusta atau batil. Jika kita benarkan dikhawatirkan
itu adalah batil dan bila kita dustakan khawatirnya itu adalah haq.
Sehingga dua keadaan ini bisa menjatuhkan kita ke dalam dosa. Shahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengabarkan:
كَانَ أَهْلُ الْكِتَابِ يَقْرَؤُوْنَ التَّوْرَاةَ بِالْعِبْرَانِيَّةِ وَيُفَسِّرُوْنَهَا بِالْعَرَبِيَّةِ لأَهْلِ اْلإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ تُصَدِّقُوْا أَهْلَ الْكِتَابِ وَلاَ تُكَذِّبُوْهُمْ ، وَقُوْلُوْا : {آمَنَّا بِاللهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا …} الآية (البقرة : 136)
Adalah ahlul kitab mereka membaca Taurat dalam bahasa Ibrani dan mereka menafsirkannya dengan bahasa Arab kepada orang-orang Islam. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian membenarkan ahlul kitab dan jangan pula mendustakannya, dan katakanlah: “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan pada kami….” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 4485)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata ketika menjelaskan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: لاَ تُصَدِّقُوْا أَهْلَ الْكِتَابِ وَلاَ تُكَذِّبُوْهُمْ(Janganlah
kalian membenarkan ahlul kitab dan jangan pula mendustakannya): “Yakni
apabila berita yang mereka kabarkan itu masih mengandung ihtimal
(kemungkinan benar dan kemungkinan salah). Sehingga jangan sampai
perkaranya benar namun kalian mendustakannya atau perkaranya dusta
namun kalian membenarkannya, dan kalian pun terjatuh dalam dosa. Dan
tidak ada larangan mendustakan mereka dalam perkara yang memang syariat
kita menyelisihinya dan tidak pula ada larangan untuk membenarkan
mereka dalam perkara yang disepakati syariat kita, demikian penjelasan
Al-Imam Asy-Syafi`i.” (Fathul Bari 8/214)
Asy-Syaikh
Rahmatullah Al-Hindi berkata: “Kitab samawi (yang diturunkan dari
langit) yang wajib kita terima adalah kitab yang ditulis dengan
perantara salah seorang nabi, dan sampai kepada kita dengan sanad yang
bersambung tanpa ada perubahan dan penggantian. Adapun kitab yang
disandarkan kepada seseorang yang memiliki ilham dengan semata-mata
persangkaan dan dugaan, tidaklah cukup untuk menetapkan bahwa kitab
tersebut merupakan karya orang itu, sekalipun misalnya ada satu atau
beberapa kelompok mengaku-aku penyandaran tersebut. Tidakkah engkau
lihat bahwa kitab-kitab Perjanjian Lama yang disandarkan kepada Musa,
Uzra, Isy’aya`, Irmiya dan Sulaiman, tidaklah tsabit (benar) dengan
satu dalil pun yang menunjukkan keshahihan penyandarannya kepada
mereka, karena hilangnya sanad yang bersambung atas kitab-kitab
tersebut. Dan juga tidakkah engkau lihat bahwa kitab-kitab dari
Perjanjian Baru yang lebih dari 70 (buah) disandarkan kepada ‘Isa,
Maryam, Hawariyyun dan pengikut mereka. Kelompok-kelompok Nasrani yang
ada sekarang telah sepakat tentang ketidakshahihan penyandaran
kitab-kitab tersebut kepada Isa dan lainnya. Bahkan kitab-kitab itu
termasuk kedustaan yang dibuat-buat. Kemudian ada kitab yang wajib
diterima menurut penganut Katholik, namun wajib ditolak menurut
orang-orang Yahudi dan penganut Protestan….” (Mukhtashar Kitab
Izh-harul Haq, hal.19)
Dengan demikian
semakin pastilah dari fakta-fakta yang ada bahwa kitab-kitab yang
dipegangi Yahudi dan Nasrani bukanlah Taurat dan Injil yang
disebutkan dalam Al-Qur`anul Karim, sehingga tidak wajib untuk kita
terimanya. Namun kitab-kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
tersebut ditempatkan sebagai berikut:
1.
Setiap riwayat yang terdapat di dalamnya bila dibenarkan oleh
Al-Qur`anul Karim maka riwayat tersebut diterima dengan yakin, kita
benarkan tanpa rasa berat.
2. Namun bila didustakan Al-Qur`an maka kita tolak dengan yakin, kita dustakan tanpa keberatan.
3. Bila Al-Qur`an mendiamkannya, tidak membenarkan dan tidak pula mendustakan maka kita pun mendiamkannya, yakni kita tidak membenarkan dan tidak pula mendustakan.
Al-Qur`anul Karim
adalah penjaga bagi kitab-kitab sebelumnya, yakni Al-Qur`an
menampakkan al-haq yang terdapat dalam kitab-kitab sebelumnya dan
mendukungnya, serta menampakkan kebatilan yang ada di dalam
kitab-kitab tersebut dan menolaknya.
Bantahan ulama Islam
atas Taurat dan Injil serta menampakkan kedustaan serta perubahan yang
ada di dalamnya, tidaklah ditujukan kepada Taurat dan Injil yang
diturunkan Allah kepada Musa dan ‘Isa ‘alaihimussalam.
Namun yang mereka bantah adalah kisah dan riwayat-riwayat yang
dikumpulkan dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sepanjang
beberapa kurun, di mana orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan
bahwa itu adalah wahyu dan ilham. Sungguh Taurat yang Allah turunkan
kepada Musa hanya satu dan Injil yang Allah turunkan kepada ‘Isa hanya
satu pula. Lalu bagaimana bisa didapatkan sekarang ini ada tiga
Taurat yang berbeda dan ada empat Injil yang juga berbeda?”
(Mukhtashar Kitab Izh-harul Haq, hal. 35-37)
E. Peringatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari Membaca Buku-buku Ahlul Kitab
1. Rasulullah melarang Umar membaca Taurat
Shahabat yang mulia bernama Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu menuturkan:
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكِتَابٍ أَصَابَهُ مِنْ بَعْضِ أهل الْكُتُبِ. فَقَرَأَهُ النَّبِيُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَغَضِبَ فَقَالَ: أَمُتَهَوِّكُوْنَ فِيْهَا، يَا ابْنَ الْخَطَّابِ؟ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ جِئْتُكُمِ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةً، لاَ تَسْأَلُوْهُمْ عَنْ شَيْءٍ فَيُخْبِرُوْكُمْ بِحَقٍّ فَتُكَذِّبُوْا بِهِ أَوْ بِبَاطِلٍ فَتُصَدِّقُوْا بِهِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ مُوْسَى عَلَيْهِ السَّلاَمُ كَانَ حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِلاَّ أَنْ يَتَّبِعَنِي
“Umar ibnul Khaththab radhiyallhu ‘anhu datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan membawa sebuah kitab yang diperolehnya dari sebagian ahlul kitab. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun membacanya lalu beliau marah seraya bersabda: “Apakah engkau termasuk orang yang bingung [2], wahai Ibnul Khaththab? Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku telah datang kepada kalian dengan membawa agama yang putih bersih. Janganlah kalian menanyakan sesuatu kepada mereka (ahlul kitab), sehingga mereka mengabarkan al-haq (kebenaran) kepada kalian namun kalian mendustakan al-haq tersebut. Atau mereka mengabarkan satu kebatilan lalu kalian membenarkan kebatilan tersebut. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Musa ‘alaihissalam masih hidup niscaya tidaklah melapangkannya kecuali dengan mengikuti aku.” (HR. Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya 3/387 dan Ad-Darimi dalam muqaddimah kitab Sunan-nya no. 436. Demikian pula Ibnu Abi ‘Ashim Asy-Syaibani dalam kitabnya As-Sunnah no. 50. Hadits ini dihasankan oleh imam ahlul hadits di jaman ini Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani v dalam Zhilalul Jannah fi Takhrij As-Sunnah dan Irwa`ul Ghalil no. 1589.)
Dalam riwayat Ad-Darimi hadits di atas datang dengan lafadz:
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَتَى رَسُوْلَ اللهَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِِنُسْخَةٍ مِنَ التَّوْرَاةِ، فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ هذِهِ نُسْخَةٌ مِنَ التَّوْرَاةِ. فَسَكَتَ، فَجَعَلَ يَقْرَأُ وَوَجْهُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَغَيَّرُ. فَقَالَ أَبُوْ بَكْرٍ: ثَكِلَتْكَ الثَّوَاكِلُ ، مَا تَرى مَا بِوَجْهِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَنَظَرَ عُمَرُ إِلَى وَجْهِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: أَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ غَضَبِ اللهِ وَغَضَبِ رَسُوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، رَضِيْنَا بِاللهِ رَبًّا وَبِاْلإِسْلاَمِ دِيْنًا وَبِحُمَّدٍ نَبِيًّا. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوْ بَدَالَكُم مُوْسَى فَاتَّبَعْتُمُوْهُ وَتَرَكْتُمُوْنِي، لَضَلَلْتُمْ عَنْ سَوَاءِ السَّبِيْلِ، وَلَو كَانَ حَيًّا وَأَدْرَكَ نُبُوَّتِي لاَتَّبَعَنِيْ
‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan membawa salinan dari kitab Taurat. Ia berkata: “Ya Rasulullah, ini salinan dari kitab Taurat.” Rasulullah n diam, lalu mulailah ‘Umar membacanya dalam keadaan wajah beliau n berubah. Melihat hal itu Abu Bakar berkata kepada ‘Umar: “Betapa ibumu kehilangan kamu [3], tidakkah engkau melihat perubahan pada wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?” Umar melihat wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (dan ia menangkap perubahan tersebut), maka ia berkata: “Aku berlindung kepada Allah dari kemurkaan Allah dan RasulNya. Kami ridha Allah sebagai Rabb kami, Islam sebagai agama kami dan Muhammad sebagai Nabi kami.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seandainya Musa ‘alaihissalam muncul kepada kalian kemudian kalian mengikutinya dan meninggalkan aku, sungguh kalian telah sesat dari jalan yang lurus. Seandainya Musa masih hidup dan ia menemui masa kenabianku, niscaya ia akan mengikutiku.”
Karena bercampurnya al-haq dengan al-batil inilah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingkari perbuatan Umar radhiyallhu ‘anhu yang memegang Taurat. Di samping itu, apa yang datang dalam syariat agama yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
sudah sangat memadai sehingga umat beliau tidak lagi membutuhkan
syariat agama lain atau syariat umat terdahulu. Umat ini tidak lagi
butuh nabi dan rasul lain setelah diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di tengah mereka. Kalaupun para nabi dan rasul terdahulu, sebelum Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam,
masih hidup dan menemui masa kenabian beliau, niscaya para nabi dan
rasul tersebut akan mengikuti beliau dan tunduk pada syariat yang
beliau bawa.
2. Shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang membaca Kitab Terdahulu
• Diriwayatkan bahwa Ka‘b Al-Ahbar pernah datang menemui Umar ibnul Khaththab radhiyallhu ‘anhu,
yang ketika itu menjabat sebagai Amirul Mukminin, dengan membawa
sebuah mushaf, ia berkata: “Wahai Amirul Mukminin, dalam mushaf ini
tertulis Taurat, apakah aku boleh membacanya?” Umar menjawab: “Jika
memang engkau yakin itu adalah Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa ‘alaihissalam pada hari Thursina maka silahkan membacanya. Dan jika tidak, maka jangan membacanya.” (Syarhus Sunnah 1/271)
• Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:
كَيْفَ تَسْأَلُوْنَ أَهْلَ الْكِتَابِ عَنْ شَيْءٍ وَكِتَابُكُمُ الَّذِي أُنْزِلَ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْدَثُ، تَقْرَؤُوْنَهُ مَحْضًا لَمْ يُشَبْ، وَقَدْ حَدَّثَكُمْ أَنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ بَدَّلُوْا كِتَابَ اللهِ وَغَيَّرُوْهُ، وَكَتَبُوْا بِأَيْدِيْهِمُ الْكِتَابَ وَقَالُوْا هُوَ مِنْ عِنْدِ اللهِ لِيَشْتَرُوْا بِهِ ثَمَنًا قَلِيْلاً، لاَ يَنْهَاكُمْ مَا جَاءَكُمْ مِنَ الْعِلْمِ عَنْ مَسْأَلَتِهِمْ، لاَ وَاللهِ مَا رَأَيْنَا مِنْهُمْ رَجُلاً يَسْأَلُكُمْ عَنِ الَّذِي أُنْزِلَ عَلَيْكُمْ
Bagaimana kalian bertanya kepada ahlul kitab tentang sesuatu sementara kitab kalian yang diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah kitab paling akhir (turunnya dari sisi Allah). Kalian membacanya dalam keadaan murni tidak bercampur (dengan kepalsuan). Allah telah menyampaikan (keterangan) kepada kalian bahwa ahlul kitab itu telah mengganti dan mengubah-ubah kitabullah. Mereka menulis kitab itu dengan tangan-tangan mereka (mereka karang sendiri) kemudian mereka mengatakan: “Ini (apa yang mereka tulis itu) diturunkan dari sisi Allah.” Mereka lakukan perbuatan itu untuk memperoleh keuntungan yang sedikit. Tidakkah ilmu yang datang kepada kalian mencegah kalian dari bertanya kepada mereka? Tidak, demi Allah! Kami tidak melihat seorang pun dari mereka yang bertanya kepada kalian tentang apa yang diturunkan kepada kalian. (HR. Al-Bukhari no. 7363, kitab Al-I’tisham bil Kitab was Sunnah, bab Qaulin Nabi shallallahu ‘alahi wasallam: La Tas`alu Ahlal Kitab ‘an Syai`in)
Dari ucapan beliau radhiyallhu ‘anhu: لاَ وَاللهِ مَا رَأَيْنَا مِنْهُمْ رَجُلاً يَسْأَلُكُمْ عَنِ الَّذِي أُنْزِلَ عَلَيْكُمْ , seakan-akan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma
hendak menyatakan: “Mereka ahlul kitab tidak pernah menanyakan tentang
sesuatu pun kepada kalian, sementara mereka tahu kitab kalian tidak
ada tahrif (penyimpangan/ perubahan) di dalamnya. Mengapa kalian justru
bertanya kepada mereka sedangkan kalian benar-benar mengetahui bahwa
kitab mereka telah diubah dari aslinya?” (Fathul Bari 13/621).
• Abdurrazzaq Ash-Shan’ani radhiyallhu ‘anhu meriwayatkan dalam Mushannafnya (no. 19212) dari jalan Huraits bin Zhuhair, ia berkata: “Abdullah (yakni Ibnu Mas‘ud) berkata rahimahullah:
لاَ تَسْأَلُوْا أَهْلَ الْكِتَابِ عَنْ شَيْءٍ، فَإِنَّهُمْ لَنْ يَهْدُوْكُمْ وَقَدْ أَضَلُّوا أَنْفُسَهُمْ، فَتُكَذِّبُوْنَ بِحَقٍّ أَوْ تُصَدِّقُوْنَ بِبَاطِلٍ
“Janganlah kalian bertanya tentang sesuatu kepada ahlul kitab karena sesungguhnya mereka tidak akan memberikan petunjuk/ hidayah kepada kalian. Mereka sendiri telah menyesatkan diri mereka. (Bila kalian bertanya kepada mereka kemudian mereka memberitakan apa yang kalian tanyakan, dikhawatirkan) kalian akan mendustakan yang haq atau membenarkan yang batil.” (Al-Hafizh Ibnu Hajar menghasankan sanadnya dalam FathulBari 13/408)
Bila ada yang menyatakan bahwa larangan bertanya kepada ahlul kitab ini seakan bertentangan dengan perintah Allah subhanahu wata’ala dalam firman-Nya:
فَاسْأَلِ الَّذِيْنَ يَقْرَؤُوْنَ الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكَ“Maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca Al-Kitab sebelummu.” (Yunus: 94)
Maka dijawab bahwa
ayat ini tidaklah bertentangan dengan larangan yang tersebut dalam
hadits. Karena yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah bertanya kepada
ahlul kitab yang telah beriman, sementara larangan yang tersebut dalam
hadits hanyalah ditujukan bila bertanya kepada ahlul kitab yang belum
beriman. (Fathul Bari 13/408)
F. Ayat Allah pada Kitab Taurat dan Injil yang Asli menunjukkan Kebenaran Islam
Apa yang disebutkan
Syaikhul Islam ini dibuktikan kebenarannya oleh Al-Qur`an dan
As-Sunnah. Al-Qur`an Al-Karim dalam banyak tempat banyak menjadikan isi
Taurat dan Injil sebagai hujjah atas ahli kitab untuk membenarkan apa
yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Silahkan baca surah Al-Ma`idah, mulai dari ayat 46-50. Demikian pula firman Allah subhanahu wata’ala:
كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ حِلاًّ لِبَنِي إِسْرَائِيْلَ إِلاَّ مَا حَرَّمَ إِسْرَائِيْلُ عَلَى نَفْسِهِ مِنْ قَبْلِ أَنْ تُنَزَّلَ التَّوْرَاةُ قُلْ فَأْتُوا بِالتَّوْرَاةِ فَاتْلُوْهَا إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِيْنَ
“Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya’qub) untuk dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan. Katakanlah: ‘(Jika kamu mengatakan ada makanan yang diharamkan sebelum turun Taurat), maka bawalah Taurat itu, lalu bacalah dia jika kamu orang-orang yang benar’.” (Ali Imran: 93)
Demikian pula yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim, dari Abdullah bin ‘Umar bahwa beberapa orang Yahudi datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan membawa seorang lelaki dari mereka dan seorang wanita yang keduanya telah berbuat zina. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada mereka:
“Apa yang kalian lakukan terhadap orang yang berzina di antara kalian?” Mereka menjawab: “Kami melumuri wajahnya dengan arang (ada pula yang menafsirkannya: kami menyiramnya dengan air panas. Dalam riwayat lain: Kami mempermalukan mereka dan mereka dicambuk -red) dan memukulnya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Apakah kalian tidak menemukan hukum rajam dalam Taurat?” Mereka menjawab: “Kami tidak mendapati sedikitpun (tentang rajam).” Abdullah bin Sallam berkata kepada mereka: “Kalian telah berdusta, datangkanlah Taurat jika kalian jujur.” Salah seorang guru mereka yang mengajari mereka meletakkan telapak tangannya di atas ayat rajam (dengan maksud menutupinya, red.). Lalu diapun mulai membaca ayat yang sebelum dan sesudahnya, dan tidak membaca ayat rajam. (Abdullah bin Sallam) melepaskan tangannya dari ayat rajam dan bertanya: “(Ayat) apa ini?” Tatkala mereka melihat itu merekapun menjawab: “Itu ayat rajam.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar keduanya dirajam (Dalam riwayat lain bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Sesungguhnya aku menghukuminya berdasarkan apa yang terdapat dalam Taurat.”-red). Maka keduanya pun dirajam di dekat tempat jenazah yang ada di dekat masjid. Ibnu ‘Umar berkata: “Aku melihat (yang dirajam tersebut) berusaha menghindar, melindungi dirinya dari bebatuan (yang dilemparkan kepadanya hingga ia tewas).” (HR. Al-Bukhari, 8/4556 dan Muslim no. 1699)
Bagi siapa yang melihat kitab Injil sekarang ini, masih sangat banyak ajaran-ajaran asli yang berasal dari ajaran Nabi ‘Isa ‘alaihissalam,
yang apabila mereka memahaminya dengan pemahaman yang jernih, niscaya
akan membawa kepada keyakinan akan kebenaran Islam yang dibawa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Di antaranya adalah apa yang disebutkan dalam Injil, kitab Ulangan 6:4:
“Dengarlah hai orang Israil, Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu satu.”
Dan dalam kitab Yesaya 45:5-6:
“Akulah Tuhan dan tidak ada yang lain.”
Demikian pula dalam Yohanes 17:3:
“Inilah hidup yang kekal, yaitu mereka mengenal Engkau, satu-satu-Nya yang benar dan mengenal Yesus (maksudnya adalah Nabi ‘Isa ‘alaihissalam -red) yang telah engkau utus.”
Demikian pula di dalam kitab Injil yang terdapat larangan membuat patung, dalam kitab keluaran 20:4-5:
“Janganlah membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku Tuhan, Allahmu adalah Allah yang cemburu.”
Bahkan anjuran untuk berkhitan pun disebutkan dalam Injil mereka, seperti yang disebutkan dalam Kitab Kejadian 17:13:
“Orang yang lahir di rumahmu dan orang yang engkau beli dengan uang harus disunat,”
lalu pada ayat ke-14 disebutkan:
“Dan orang yang tidak disunat, yakni laki-laki yang tidak dikerah kulit khatannya, maka orang itu harus dilenyapkan dari tengah masyarakatnya. Ia telah mengingkari perjanjian-Ku.”
Demikian pula dijelaskan bahwa Nabi ‘Isa ‘alaihissalam hanyalah diutus secara khusus untuk Bani Israil, dan tidak lebih dari itu. Seperti yang disebutkan dalam Matius 10:5-6:
“Kedua belas murid itu diutus Yesus dan ia berpesan kepada mereka: ‘Janganlah kamu menyimpang ke jalan bangsa lain atau masuk ke dalam kota Samaria, melainkan pergilah kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel.”
Dan dalam Matius 15:24 disebutkan:
“Jawab Yesus: ‘Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israil’.”
Seluruh perkara ini dibenarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam dalam banyak haditsnya. Oleh karenanya, setelah diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
sebagai Nabi dan Rasul penghabisan, maka beliau diutus untuk seluruh
umat manusia. Sehingga tidak diperkenankan lagi bagi seorangpun dari
kalangan umat ini untuk menjadikan petunjuk kecuali apa yang telah
dibawa Muhammad bin Abdullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana diriwayatkan Al-Imam Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِيْ أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ اْلأُمَّةِ لاَ يَهُوْدِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ“Demi Allah yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah mendengar tentangku seorangpun dari umat ini, apakah dia seorang Yahudi ataukah Nasrani, lalu dia mati dan tidak mengimani apa yang dengannya aku telah diutus, melainkan dia tergolong penduduk neraka.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Karena terbatasnya
lembaran yang ada dalam rubrik ini maka kami tidak dapat memaparkan
semuanya. Bagi pembaca yang ingin mendapatkan penjelasan lebih jauh,
silahkan membaca kitab-kitab seperti Al-Fishal fil Milal wal Ahwa` wan
Nihal Al-Imam Ibnu Hazm, Al-Jawabus Shahih liman Baddala Dinal Masih
Al-Imam Ibnu Taimiyyah, Hidayatul Hayara fi Ajwibatil Yahudi wan
Nashara Al-Imam Ibnul Qayyim, Izh-harul Haq Asy-Syaikh Rahmatullah
Al-Hindi atau Mukhtasharnya.
Melihat ‘Umar radhiyallahu ‘anhu memegang lembaran yang tertulis Taurat di dalamnya sudah membuat wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berubah karena marah. Padahal kitab Taurat merupakan salah satu kitab samawi, Kalamullah yang diturunkan Allah subhanahu wata’ala dari langit, meski kemudian diubah-ubah dan diganti Yahudi. Lalu bagaimana kiranya jika beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
melihat buku-buku yang jelas tidak diturunkan dari langit, malah isinya
bertentangan dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah? Bagaimana kira-kira
kemarahan beliau bila melihat kita membolak-balik buku tersebut dan
membacanya? Apalagi ingin menyelami kebenaran yang katanya ada atau
mungkin ada di dalamnya? Tentunya kemurkaan beliau jauh lebih besar
lagi. Wallahul musta’an.
Bisa jadi buku-buku
yang ditulis ahlul bid’ah dan pengekor hawa nafsu itu ada setitik
atau beberapa titik nilai kebenaran, tapi kebenaran apa yang bisa
diharapkan bila ia dibalut dan diselimuti sekian banyak kebatilan?
Dan bukankah buku-buku yang selamat dari kebatilan masih banyak,
buku-buku yang ditulis ulama Ahlus Sunnah masih menggunung? Kenapa
harus mempersulit diri dengan menyelami samudera kebatilan nan pekat
karena ingin mendapatkan sebutir kecil mutiara kebenaran?
Ketika Abu Zur’ah Ar-Razi rahimahullah
memperingatkan seseorang dari buku Al-Harits Al-Muhasibi dengan
menyatakan: “Hati-hati engkau dari buku-buku ini, karena ini merupakan
buku-buku bid’ah dan kesesatan. Wajib bagimu berpegang dengan atsar
(hadits atau Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam)
karena di dalamnya engkau akan merasa cukup.” Ternyata orang itu
berkelit dengan mengatakan: “Dalam buku-buku ini ada ibrah/
pelajaran.” Apa jawaban Abu Zur’ah rahimahullah?
Beliau menegaskan: “Siapa yang tidak mendapatkan ibrah dalam
Kitabullah, niscaya tidak ada baginya ibrah dalam buku-buku ini.”
(Al-Mizan 2/165)
Memberi peringatan
(tahdzir) dari kitab-kitab yang di dalamnya terdapat kebid’ahan dan
kesesatan, memang termasuk manhaj as-salafus shalih dengan mencontoh
Rasul yang mulia shallallahu ‘alaihi wasallam ketika mengingkari perbuatan ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu.
Tahdzir ini dimaksudkan sebagai penjagaan terhadap manhaj kaum
muslimin dari kemudharatan dan bahaya yang dikandung dalam buku-buku
tersebut. Dan tidak termasuk perbuatan dzalim bila seorang muslim
menasehati saudaranya untuk menjauhi buku-buku yang demikian karena
ingin menghindarkan kemudharatan yang akan didapatkannya, dengan semata
ia menyebutkan kejelekan buku tersebut tanpa menyinggung
kebaikannya. (Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah fi Naqdir Rijal, wal
Kutub wath Thawa`if, hal. 128, karya Asy-Syaikh Prof. Dr. Rabi‘ bin
Hadi Al-Madkhali)
Al-Imam Ibnu Muflih rahimahullah berkata: “Asy-Syaikh Muwaffaquddin rahimahullah
menyebutkan larangan dari melihat buku-buku ahlul bid’ah. Beliau
mengatakan: “Adalah generasi salaf melarang dari bermajelis dengan ahlul
bid’ah, melarang melihat buku-buku mereka, dan mendengar ucapan
mereka.” (Al-Adabus Syar’iyyah, 1/251)
Asy-Syaikh Prof. Dr.
Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali berkata menukilkan ucapan Al-Imam Ibnu
Qayyim Al-Jauziyyah: “Setiap buku yang berisi penyelisihan terhadap
As-Sunnah tidak boleh dilihat dan dibaca. Bahkan yang diizinkan dalam
syariat adalah menghapus dan memusnahkannya.” Kemudian Ibnul Qayyim rahimahullah
menyebutkan: “Para shahabat telah membakar seluruh mushaf yang
menyelisihi mushaf Utsman karena kekhawatiran mereka akan timbulnya
perselisihan di tengah umat. Maka bagaimana bila mereka melihat
buku-buku ini yang menciptakan perselisihan dan perpecahan di kalangan
umat….” Ibnul Qayyim berkata lagi: “Maksud dari semua ini adalah
buku-buku yang mengandung kedustaan dan bid’ah wajib untuk dimusnahkan
dan dipunahkan. Bahkan memusnahkannya lebih utama daripada
menghancurkan alat-alat laghwi dan musik serta bejana-bejana yang
berisi khamr. Karena bahaya buku-buku ini lebih besar daripada bahaya
alat-alat musik. Dengan demikian tidak ada ganti rugi terhadap
buku-buku tersebut sebagaimana tidak ada ganti rugi dari penghancuran
bejana-bejana khamr.” (Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah fi Naqdir
Rijal, wal Kutub wath Thawa`if, hal. 134). Lihat juga pembahasannya
tentang buku-buku sesat disini).
Wallahu’alam bish-shawab.
Catatan Kaki:
[1] Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah
menyatakan bahwa dalam ayat ini dan yang sebelumnya ada peringatan dari
melakukan penggantian, perubahan, dan penambahan dalam syariat. Maka
semua orang yang mengganti, mengubah atau mengadakan perkara baru
(bid’ah) dalam agama Allah dengan sesuatu yang bukan bagian dari agama
dan dengan sesuatu yang terlarang dalam agama, maka ia masuk dalam
ancaman yang keras dan azab yang pedih tersebut. (Al-Jami’ li Ahkamil
Qur`an 1/9)
[2] Ibnu ‘Aun berkata: “Aku bertanya
kepada Al-Hasan: ‘Apa yang dimaksud dengan مُتَهَوِّكُوْنَ ?’. Al-Hasan
menjawab: ‘Orang-orang yang bingung’. Demikian disebutkan Al-Baihaqi
dalam Syu’abul Iman (1/132), sebagaimana dinukilkan dalam Al-Irwa`
(6/38). Al-Imam Al-Baghawi rahimahullah menyebutkan makna sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
tersebut: ‘Yakni apakah kalian bingung dalam berIslam, kalian tidak
mengetahui agama kalian hingga kalian harus mengambil agama tersebut
dari Yahudi dan Nasrani?” (Syarhus Sunnah 1/271)
[3] ثَكِلَتْكَ الثَّوَاكِلُ yakni betapa
ibumu kehilangan kamu. Orang yang mengucapkan hal ini kepada
seseorang seakan-akan mendoakan kematian lawan bicaranya karena
jeleknya perbuatan atau ucapannya. Atau ia mengucapkan ucapan tersebut
dengan maksud menyatakan: “Bila engkau berbuat/ berucap demikian,
maka kematian lebih baik bagimu, agar engkau tidak menambah kejelekan
lagi.” Atau bisa pula ucapan ini termasuk lafadz-lafadz yang biasa
beredar di lisan orang Arab tanpa dimaksudkan sebagai doa seperti
ucapan mereka: تَرِبَتْ يَدَاكَ dan قَاتَلَكَ اللهُ . (An-Nihayah,
hal. 123)
Sumber:
- Kelancangan Ahlul Kitab Terhadap Kitab Suci-Nya. Penulis : Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi. http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=327.
- Petunjuk bagi Orang-Orang yang Bingung (Terhadap Buku Ahlul Kitab dan Buku-Buku Sesat). Penulis : Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari. http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=328.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar